Komentar yang banyak ya. Jangan lupa follow akun Instagram aku susilawatia_22.
Rendra tidak menjawab pertanyaan Naira. Dirinya memilih turun dan memutuskan untuk meminta mangga muda tersebut. Dengan resiko menanggung malu. Sedangkan Naira yang melihat suaminya berusaha mendapatkan mangga yang diinginkannya pun seketika perasaannya menjadi sensitif. Ada rasa haru dalam dadanya padahal beberapa saat yang lalu dirinya tidak peduli dengan apa yang Rendra lakukan. Mungkin karena bawaan bayi yang ada di dalam perutnya. "Ada apa dengan perasaanku. Kenapa melihat mas Rendra yang berusaha mencari mangga muda untukku kenapa hatiku merasa senang? Jangan Naira. Jangan mudah terbawa perasaan." "Permisi!" "Permisi!" sejak lagi Rendra mencoba memanggil pemilik rumah yang terdapat buah mangga tersebut. "Iya, selamat siang, Pak. Ada yang bisa di bantu," suara seorang wanita berpakaian rumahan menyaut ucapan permisi Rendra. "Maaf apakah Ibu ini adalah pemilik rumah ini. Jika iya saya ingin membeli mangga muda punya Ibu boleh?" tanya Rendra bersikap baik. "Maaf, Pak. Ini bu
"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Nayla hamil."Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!""Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki anak tanpa harus aku menikah lagi."Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahagia memiliki Rendra seutuhnya tanpa ada orang ketiga di dalam rumah tangga mereka."K
"Mas…." Naira mencoba memberanikan diri untuk berbicara dengan Rendra."Apa?" "Aku ingin kita bicara.""Aku sibuk.""Kalau Mas sibuk, kita bisa bicara di sini."Rendra melirik Naira sekilas. "Memangnya apa yang kamu bicarakan sampai mau bicara di sini.""Aku ingat membicarakan tentang rumah tangga kita.""Untuk apa di bicarakan, bukankah kita sudah membahasnya ketika malam pernikahan kita.""Tapi…""Kita pergi ke restoran terdekat. Kita akan bicara di sana."Naira tersenyum karena pada akhirnya Naira Rendra mau bicara dengan dirinya. Setelah mencari restoran terdekat sekalian makan siang dan ini adalah untuk pertama kalinya mereka makan bersama sebagai pasang suami istri."Apa yang kamu bicarakan?" Tanya Rendra ketika mereka sudah sampai di restoran. Sambil menunggu pesanan mereka sampai akhirnya Rendra memutuskan untuk bertanya apa yang ingin Naira bicarakan."Mas, aku tahu kamu tidak mencintaiku sebagai istri. Begitu juga dengan aku yang belum mencintaimu, aku tahu mas juga pernah
"Bi, buka pintunya!" seru Rendra. Dari luar. Bi Nimah yang mendengar itu pun berjalan tergopoh-gopoh membuka pintu untuk Rendra. "Bi, bagaimana dengan keadaan Naira?" tanya Rendra. "Non, Naira badannya panas terus saja memanggil Ibunya." Penjelasan Bi Nimah membuat Rendra menghembuskan nafasnya kasar. Lalu dia pun berjalan pelan menghampiri istri keduanya. Duduk di tepi ranjang, lalu memegang kening Naira yang ternyata panas. "Kita bawa ke rumah sakit aja, Bi. Tolong siapkan perlengkapannya. Takutnya nanti dirawat di rumah sakit." "Baik Tuan." Rendra langsung saja menggendong tubuh Naira dan di bawahnya keluar. Hal itu tidak luput dari perhatian dari Laras. "Ada apa dengan, istri kedua Rendra. Apakah dia sakit, kalau memang benar. Baguslah biar sekalian anak yang ada di dalam kandungannya mati," ucapnya tanpa perasaan. Rendra mendudukan Naira di belakang, tidak lupa Ia juga memakaikan seat belt untuk keamanan Naira. "Ibu…" "Naira tenanglah, kamu pasti baik-baik saja," ucap R
Seperti yang pernah di janjikan Rendra. Setelah pulang dari rumah sakit. Rendra akan memenuhi keinginan Naira yang ingin keluar dari pavilion, bebas tanpa larangan."Mas, Rendra nggak berangkat ke kantor?" Tanya Naira ketika mereka sampai di pavilion. Naira hanya dirawat di rumah sakit selama 2 hari dan selama itu. Rendra tidak pernah pulang ke apartemen Bianca."Hari ini aku akan menemani kamu, sesuai dengan permintaan kamu waktu di rumah sakit yang ingin keluar. Sekarang kamu sudah sehat, katakan kamu ingin ke mana?" tawar Rendra.Naira yang mendengar hal itu pun tersenyum semringah. "Terimakasih, Mas. Aku boleh nggak pergi ke taman jalan-jalan sebentar. Pagi-pagi kayak gini enak jalan-jalan di taman."Rendra mencoba menimbang-nimbang permintaan Naira, sebenarnya ada rasa takut dalam hati Rendra jika dirinya membawa Naira jalan-jalan keluar.Dirinya takut ada seseorang yang mengenali dirinya dan bertanya tentang siapa Naira. Bukan hal itu saja, Rendra juga takut jika ada orang yang
"Assalamualaikum, Ibu. Perkenalkan namaku Naira. Maaf baru sekarang menemui ibu." Naira yang mendengar pengakuan Laras pun tersenyum, lalu dengan sopan meraih tangan Laras untuk di salaminya. Akan tetapi respon Laras malah menarik tangannya. Enggan untuk bersentuhan dengan Naira. "Wanita murahan." Naira tidak tahu kenapa Laras mengatakan bahwa dirinya adalah wanita, padahal ini adalah kali pertama mereka. "Bu…" Belum sempat Naira bertanya kenapa Laras bisa mengetahui dirinya murahan, tapi Laras sudah mengangkat tangannya dan menatap Naira penuh ancaman. "Dengarkan ini, Jika kamu tidak ingin hidup kamu hancur. Lebih baik kamu pergi dari rumah ini sekarang juga, jangan pernah kembali ke sini. Pergi sejauh-jauhnya bersama anak kamu itu." tunjuk Laras ke arah perut Naira. Naira yang ditunjuk seperti itu pun secara refleks memegang perutnya. Jujur saja saat ini Naira merasa takut melihat Laras. Laras seperti wanita di film yang berperan mertua antagonis. "Tapi, Bu kenapa? Apakah kar
Suara jeritan kesaksian terdengar memilukan, Naira memegang perutnya yang terasa di tusuk ribuan jarum. Keringat dingin mengalir di pelipisnya sampai kerudung yang dikenakan Naira terlihat basah."Ya Allah, kenapa perut sakit banget." Naira terus saja merintih kesaktian. Ingin keluar meminta tolong pada Bi Nimah. Tapi dia tidak memiliki tenaga untuk berdiri."Tolong…""Bi Nimah…""Mas Rendra…""Ibu…" Naira menangis. Ia memanggil satu persatu orang yang dia sayangi.Namun tidak ada satupun dari mereka datang untuk menolongnya. Darah terasa mengalir deras di kakinya. Naira yang merasakan itu pun menggelengkan kepalanya."Tidak, ya Allah. Jangan ambil anakku…." Wajah Naira mulai pucat. Kepalanya sudah terasa sangat pusing. Pandangnya mengabur darah terus saja keluar tanpa henti. "Ya Allah, Non Naira!" jerit Bi Nimah menyangga kepala Naira yang hampir saja menyentuh lantai."Ya Allah, Non…." Bi Nimah berusaha membangunkan Naira. Akan tetapi Naira tak kunjung bangun. Hal itu membuat Bi Ni
"Cepat pilih!" "Aku gak bisa, Bianca. Aku harus pergi." Rendra mengabaikan permintaan Bianca. Yang memintanya untuk memilih antara Naira dan juga Bianca. "Rendra!" teriak Bianca. Dia berusaha menghentikan Rendra yang akan pergi. "Rendra berhenti!" Bianca segera mengambil pakaiannya dan berusaha mengejar Rendra. Akan tetapi Rendra tidak mendengarkan panggilan Bianca, laki-laki yang memiliki dua istri itu memilih untuk pergi ke rumah sakit. Saat ini dirinya sangat mengkhawatirkan keadaan Naira yang mengalami pendarahan. Bianca yang melihat bagaimana suaminya begitu peduli pada istri keduanya pun seketika dadanya merasa sesak. Bianca menjambak rambutnya. "Sialan! Harusnya dulu aku tidak pernah meminta Rendra untuk menikah lagi. Meskipun itu wanita jelek atau buruk sekalipun!" Bianca melampiaskan kemarahannya dengan cara melempar semua barang yang ada di sekitarnya. Di rumah sakit Bi Nimah begitu gelisah menunggu kedatangan Rendra. "Suami dari ibu Naira?" "Bu dokter, bagaimana k