Accueil / Rumah Tangga / Istri yang tak Berharga / Bab 4 Terjebak Pesona Aisyah

Share

Bab 4 Terjebak Pesona Aisyah

Auteur: Ray
last update Dernière mise à jour: 2025-08-31 12:27:24

Pagi itu, ruang makan keluarga Mahendra terasa ramai. Maryam duduk di kursi utama, Aluna di sampingnya, sementara Fahri hanya fokus pada ponselnya. Aisyah duduk dengan tenang, di samping Fahri. Ia mencoba menuangkan air minum untuk semua, tanpa banyak bicara.

Namun obrolan yang tercetus membuat hatinya bergetar.

“Ma, ingat nggak dulu waktu Kak Fahri sama Mbak Salsabila Hana?” tanya Aluna dengan suara penuh semangat. “Cantik banget ya, Ma. Badannya… ya ampun, seksi terjaga. Siapa sih yang nggak bakal jatuh cinta.”

Maryam terkekeh tipis. “Iya, Mama juga masih ingat. Wajahnya modern, modis, pinter bawa diri. Mama kira dulu Kakak mu itu bakalan nikah sama dia.”

Aluma mengangguk cepat, matanya melirik sekilas ke arah Aisyah. “Sayang banget ya, Ma, harus putus. Padahal Kak Salsabila itu tipe cewek yang cocok buat Kak Fahri. Nggak kaku, nggak ketinggalan zaman.”

Aisyah yang sedang menunduk hanya bisa mendengar setiap kata menusuk jantungnya. Tangannya sedikit gemetar saat menuangkan air. Mencoba kuat, agar air yang ia pegang tidak tumpah.

Maryam melanjutkan dengan nada lebih tajam. “Tapi ya mau gimana, Papa yang maksa perjodohan ini. Hasilnya ya gini. Fahri kelihatan nggak bahagia.”

Fahri menegakkan badan, tapi tidak menegur. Justru ia tersenyum samar, seakan mengenang seseorang.

“Salsa memang berbeda,” katanya pelan.

Kalimat itu seperti belati bagi Aisyah. Ia merasa seluruh dirinya dipandang tidak cukup. Tidak cukup cantik, tidak cukup modern, tidak cukup berharga. Air mata Aisyah jatuh tanpa bisa ia tahan. Matanya merah tapi tak ada seorangpun yang peduli. Hanya senyum sinis seolah semua orang puas melihat ia menderita.

Seusai sarapan, Aisyah masuk kamar dengan langkah gontai. Air matanya jatuh lagi begitu pintu terkunci. Ia bersandar di ranjang, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

“Ya Allah… aku ingin menjadi istri yang baik. Tapi mengapa aku terus dibandingkan? Apa aku harus berubah? Apa aku harus menjadi seperti yang mereka harapkan?”

Ia menatap cermin. Wajahnya ayu, kulitnya putih bersih, tapi tertutup cadar dan pakaian longgar yang selalu ia kenakan. Ia tahu Fahri tidak pernah menoleh padanya.

Hatinya digelayuti dilema besar. Ia tidak ingin mengkhianati prinsip syar’inya, tapi juga ia ingin diterima suaminya.

Keesokan harinya, setelah menimbang panjang, Aisyah memberanikan diri. Malam itu, ia memutuskan untuk tampil berbeda di depan Fahri.

Saat Fahri masuk kamar setelah pulang larut, ia terdiam di depan pintu.

Aisyah berdiri di dekat meja rias. Pakaian yang ia kenakan bukan lagi gamis longgar, melainkan gaun tidur sederhana, lembut, yang sedikit membentuk lekuk tubuhnya. Rambut panjangnya terurai, kulit putih bersihnya terlihat semakin bercahaya dalam temaram lampu kamar.

Aisyah menunduk, wajahnya memerah, suaranya lirih.

“Fahri… aku tahu mungkin aku bukan seperti yang kamu inginkan. Tapi… aku hanya ingin kau menoleh sekali saja. Melihatku… sebagai istrimu.”

Fahri terpaku. Matanya membesar, dadanya berdegup kencang. Selama ini ia menganggap Aisyah terlalu kaku, terlalu menutup diri. Tapi pemandangan di hadapannya malam itu meruntuhkan semua dugaannya.

Kecantikan alami Aisyah memancar kuat. Bahkan jauh melampaui bayangan tentang Salsa yang selama ini menghantuinya.

Fahri bergumam tanpa sadar, “Wow... Eh, Astaghfirullah….”

Namun matanya tidak bisa berpaling. Ada gemuruh yang tidak bisa ia kendalikan.

Fahri menutup pintu kamar dengan pelan, tapi suara jantungnya berdentum keras. Pandangannya masih melekat pada sosok Aisyah yang berdiri malu-malu di sudut kamar, dengan wajah memerah menahan rasa canggung.

Dadanya bergemuruh. Ingin meraih Aisyah, namun...

“Apa yang kulihat barusan? Itu… Aisyah? Wanita yang selama ini ku anggap membosankan, kaku, dan terlalu tertutup?" batinnya masih tidak percaya.

Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan Aisyah dalam balutan gaun tidur sederhana itu terus menari-nari di pelupuk matanya.

“Aku tidak boleh…,” gumam Fahri pelan, menunduk, jemarinya menekan pelipis. “Aku tidak boleh goyah. Perasaan ini… tidak mungkin. Aku sudah berjanji, aku tidak akan pernah menyentuh dia, apalagi sampai mencintai dia.”

Namun, semakin ia berusaha menolak, semakin kuat gambaran itu menghantam kesadarannya.

Aisyah sendiri menunduk dalam, menahan gemetar. Ia merasa sangat asing dengan dirinya malam ini.

“Fahri…” panggilnya lirih.

Fahri spontan berdiri. “Cukup! Jangan… jangan begini, Aisyah.” Suaranya bergetar, lebih seperti peringatan untuk dirinya sendiri ketimbang untuk istrinya.

Aisyah mengangkat wajahnya perlahan, menatap mata Fahri dengan keberanian yang jarang ia tunjukkan. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi membuatmu melihatku. Aku hanya ingin kau menerima aku, meski sedikit saja.”

Kata-kata itu bagai panah yang menancap di dada Fahri. Ia ingin menjawab, ingin menolak, ingin berkata keras bahwa dirinya tidak akan pernah jatuh cinta pada wanita ini. Tapi lidahnya kelu.

Malam itu, setelah Aisyah tidur dengan mata sembab, Karena usahanya juga ternyata tidak membuat Fahri menerimanya. Fahri masih terjaga. Ia duduk di balkon kamar, memandang langit yang dipenuhi bintang.

Kepalanya penuh dengan pertentangan.

“Aku mencintai Salsa. Aku yakin itu. Dia wanita modern, seksi, selalu bisa membuatku bangga di depan orang lain. Bersamanya, aku merasa hidup. Tapi… kenapa saat menatap Aisyah tadi, hatiku seperti dihantam badai? Kenapa aku tidak bisa menolak pesonanya?”

Ia menengadah, meremas rambutnya.

“Aku benci keadaan ini! Aku benci perjodohan ini! Tapi… kenapa aku mulai goyah?”

Kenangan bersama Salsa kembali berkelebat. Gelak tawa, senyum menggoda, aroma parfumnya. Namun bersamaan dengan itu, muncul juga bayangan Aisyah dengan mata beningnya, wajah polosnya, dan keberanian kecilnya malam tadi.

Fahri merasa kepalanya akan pecah.

Keesokan paginya, Aisyah sudah menyiapkan sarapan lebih awal. Senyumnya tetap lembut, meski jelas terlihat sisa merah di pelupuk matanya.

Fahri menatapnya sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan.

“Kenapa aku jadi canggung begini? Bukankah harusnya aku merasa muak setiap kali melihatnya? Kenapa sekarang justru aku yang tidak bisa menatap matanya lama-lama?”

Saat Maryam masuk ke ruang makan, suasana kembali berubah.

“Fahri, Mama lihat kamu makin kurus. Apa karena nggak betah sama keadaan sekarang?” sindir Maryam dengan tatapan penuh arti ke arah Aisyah.

Aluna ikut menimpali, “Iya, Ma. Coba kalau Kak Fahri sama Kak Salsa, pasti hidupnya lebih ceria. Bukan kayak sekarang, suram tiap hari.”

Aisyah menunduk, mencoba menahan sakit di hatinya.

Namun kali ini, Fahri justru terdiam lama. Ada gejolak berbeda di dadanya. Ia ingin membela Aisyah, ingin berkata bahwa istrinya tidak seburuk itu. Tapi lidahnya kelu, gengsinya terlalu tinggi.

“Kenapa aku nggak bisa bersuara? Kenapa aku malah diam saat dia disakiti? Padahal semalam aku sendiri yang hampir kalah oleh pesonanya.” batin Fahri mencemooh dirinya sendiri.

Hari-hari berikutnya jadi neraka batin bagi Fahri.

Setiap kali ia melihat Aisyah melakukan hal-hal kecil, menyapu halaman, merapikan buku-buku, atau menunduk sopan pada orang tua, hatinya selalu bergetar tanpa alasan. Ia benci mengakuinya, tapi ia mulai menemukan sisi-sisi yang bahkan tidak pernah ia dapatkan dari Salsa

Kesederhanaan. Ketulusan. Kesabaran.

Namun setiap kali rasa itu muncul, ia buru-buru menghempasnya.

“No! gue nggak boleh jatuh cinta pada cewe itu. Kalau sampai gue jatuh cinta, berarti gue kalah. Berarti gue tunduk pada perjodohan ini. Gue harus tetap pada pendirian Gue!”

Tapi malam demi malam, bayangan Aisyah dalam balutan gaun tidur itu kembali hadir. Membuatnya sulit tidur, membuatnya ingin melirik ke arah istrinya yang terlelap damai di ranjang.

Suatu malam, pergulatan itu memuncak.

Fahri bangun dengan keringat dingin. Ia bermimpi tentang Salsa, tapi wajah Salsa tiba-tiba berubah menjadi wajah Aisyah. Senyum yang awalnya menggoda berubah menjadi senyum lembut yang menenangkan.

Ia terbangun, napasnya tersengal. Pandangannya langsung jatuh pada sosok Aisyah yang tidur di sampingnya. Wajahnya begitu tenang, seolah tanpa beban, meski ia tahu betapa berat luka yang ditanggung istrinya.

Fahri mendekat tanpa sadar. Tangannya terulur, hampir menyentuh pipi Aisyah. Tapi ia buru-buru menarik kembali.

“Nggak… gue nggak boleh begini.” Suaranya bergetar. “Kalau gue sampai jatuh cinta… gua bakalan kehilangan diri gue sendiri. Gua Pasti mengkhianati perasaan yang dulu gue punya untuk Salsa.”

Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Malam itu, Fahri menangis dalam diam.

Konflik itu semakin membesar. Ia merasa seperti dua orang yang berbeda, satu sisi ingin tetap membenci Aisyah dan berpegang pada bayangan Salsa, sisi lain justru mulai jatuh pada sosok istri yang selama ini ia abaikan.

Dan semakin ia menolak, semakin kuat rasa itu menghantam dirinya.

Hingga akhirnya, Fahri sadar, yang sebenarnya ia takuti bukanlah kehilangan Salsa. Yang ia takuti adalah mengakui bahwa dirinya mulai terjebak pesona Aisyah.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Istri yang tak Berharga    Bab 7 Ego dan Gengsi

    POV Fahri ZidanSetelah kejadian semalam, akhirnya Gue dipanggil Papa ke ruangannya, Gue duduk di ruang kerja Papa, memandangi peta kecil yang beliau buka di meja. Mata Papa berbinar penuh semangat, seakan-akan... “Papa sudah pesan resort di Lombok. Tempatnya indah, suasananya tenang. Pas buat kalian berdua mulai saling mengenal,” katanya dengan senyum penuh harap.Pantas saja sedari tadi Papa senyum penuh semangat, ternyata rencana bulan madu itu benar-benar bakalan terjadi.Gue mendengus, berpura-pura nggak peduli. “Pa, buat apa sih repot-repot? Gue nggak merasa butuh bulan madu.”Papa menatap gue tajam, tatapannya menusuk tapi penuh kasih. “Fahri, jangan keras kepala. Kalian baru menikah. Aisyah butuh kesempatan, kamu juga. Papa yakin kalau kalian pergi berdua, tanpa campur tangan keluarga, kamu bisa lihat sisi Aisyah yang sebenarnya.”Gue terdiam. Dalam hati, ada sesuatu yang bergerak. Iya, jujur, gue juga pengen. Gue pengen ngerasain hidup berdua aja sama Aisyah, jauh dari tata

  • Istri yang tak Berharga    Bab 6 Merasa dipermainkan

    Kamar itu terasa semakin sunyi setelah ucapan Aisyah. Ia duduk kaku di tepi ranjang, menundukkan wajah dengan air mata yang masih menggenang.Fahri menatapnya tajam. Jemarinya mengepal kuat."Apa maksudnya cewe resek ini? dia mencoba tampil menggoda beberapa waktu lalu, membuat gue hampir kehilangan kendali… dan sekarang, dia bilang dia tidak bisa jadi orang lain? Jadi, apa selama ini gue hanya di per mainin?" Batinnya enggan menerima keputusan Aisyah begitu saja.Wajah Fahri mengeras. “Aisyah… kamu ini sebenarnya mau apa, sih?” suaranya dingin.Aisyah tersentak. “Maksud Kamu?” tanyanya hati-hati.Fahri bangkit dari duduknya, berdiri di depan istrinya sambil mendengus keras. “Kamu pikir aku ini mainan, ya? Pertama kamu tampil seperti wanita… yang… seperti wanita lainnya. Sekarang... Kamu bikin aku bingung, kamu bikin aku… hampir... Seenaknya tiba-tiba kamu bilang semua itu salah, dan kamu nggak mau mengulanginya lagi?!” Kata-katanya terputus, namun nada suaranya meninggi. Aisyah terd

  • Istri yang tak Berharga    Bab 5 Aku bukan Salsa

    Malam itu Aisyah duduk di sudut kamar setelah selesai menunaikan shalat tahajud. Matanya masih basah, sujudnya terasa lebih lama dari biasanya. Ia tak sanggup segera bangkit, karena hatinya terasa berat oleh rasa bersalah. "Ya Allah… apa yang hamba lakukan? Apa pantas hamba mengubah diri hanya demi seorang suami yang bahkan tak pernah menginginkan kehadiran hamba?" Air matanya menetes, membasahi sajadah. Ia teringat malam ketika ia memberanikan diri berpakaian lebih terbuka di hadapan Fahri. Ia yang sejak kecil dididik menjadi gadis sopan, pemalu, dan menjaga diri, tiba-tiba mengkhianati semua itu. Bukan karena ia ingin, tapi karena rasa cinta yang diam-diam tumbuh pada suaminya. Meskipun Fahri tidak menerimanya, tapi Ia berusaha selalu membuka hati dan berusaha mencintai pria yang telah sah menjadi suaminya itu. Aisyah menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaghfirullah… Astaghfirullah... Astaghfirullah” bisiknya lirih.Hari-hari di rumah itu begitu sulit baginya. Namun ia

  • Istri yang tak Berharga    Bab 4 Terjebak Pesona Aisyah

    Pagi itu, ruang makan keluarga Mahendra terasa ramai. Maryam duduk di kursi utama, Aluna di sampingnya, sementara Fahri hanya fokus pada ponselnya. Aisyah duduk dengan tenang, di samping Fahri. Ia mencoba menuangkan air minum untuk semua, tanpa banyak bicara. Namun obrolan yang tercetus membuat hatinya bergetar. “Ma, ingat nggak dulu waktu Kak Fahri sama Mbak Salsabila Hana?” tanya Aluna dengan suara penuh semangat. “Cantik banget ya, Ma. Badannya… ya ampun, seksi terjaga. Siapa sih yang nggak bakal jatuh cinta.” Maryam terkekeh tipis. “Iya, Mama juga masih ingat. Wajahnya modern, modis, pinter bawa diri. Mama kira dulu Kakak mu itu bakalan nikah sama dia.” Aluma mengangguk cepat, matanya melirik sekilas ke arah Aisyah. “Sayang banget ya, Ma, harus putus. Padahal Kak Salsabila itu tipe cewek yang cocok buat Kak Fahri. Nggak kaku, nggak ketinggalan zaman.” Aisyah yang sedang menunduk hanya bisa mendengar setiap kata menusuk jantungnya. Tangannya sedikit gemetar saat menuangka

  • Istri yang tak Berharga    Bab 3 pindah rumah

    Malam kini sudah sangat larut, aku memberanikan diri lagi. Aku duduk di meja makan, menunggu kepulangannya dengan hidangan sederhana yang kususun sepenuh hati. Saat ia pulang, aku menyapanya. "Fahri, aku sudah siapkan makan malam." Ia menatap hidangan itu sebentar, lalu berkata dingin, "Aku sudah makan di luar." Aku tercekat. "Tapi… aku sudah menyiapkannya sejak sore." Fahri menghela napas panjang, seakan kesal dengan keberadaanku. "Kenapa repot-repot? Aku tidak butuh kau layani. Aku bisa hidup sendiri. Urus saja dirimu sendiri." Aku menunduk. Air mataku jatuh ke piring yang masih utuh. Malam itu, aku kembali berdoa. "Ya Allah, aku tahu jodoh adalah takdir-Mu. Aku tahu Engkau tidak pernah salah memilihkan jalan untuk hamba-Mu. Tapi hati ini sakit, Rabb… Hatiku remuk, tubuhku lelah. Aku ingin kuat, tapi aku merasa hancur. Jika memang jalan ini adalah ujian, kuatkan aku. Tapi jika aku memang tidak berharga di matanya, jangan biarkan aku merasa tidak berharga juga di mata-M

  • Istri yang tak Berharga    Bab 2 Pernikahan yang tak diinginkan

    Ballroom hotel itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang memantul ke meja akad nikah yang dihias sederhana namun elegan. Warna putih dan emas mendominasi ruangan, bunga mawar segar berjajar di sepanjang meja, sementara kamera dari tim dokumentasi bersiap mengabadikan momen sakral. Para tamu duduk rapi di kursi, menanti detik-detik ijab kabul. Suasana hening, hanya terdengar lantunan ayat suci yang baru saja selesai dibacakan. Penghulu duduk di posisi tengah, diapit oleh dua saksi resmi. Di hadapannya, Arya Suseno, ayah mempelai perempuan, duduk berhadapan dengan Fahri Zidan, sang calon mempelai pria. Fahri mengenakan jas putih modern dipadukan peci dengan warna senada, wajahnya tenang namun dingin. Penghulu membuka prosesi dengan khutbah nikah singkat, lalu memberi isyarat kepada ayah mempelai. Dengan suara mantap, Arya Suseno mengucapkan kalimat ijab. "Saya, Arya Suseno bin Prasetyo, menikahkan engkau, Fahri Zidan dengan putri kandung saya, Aisyah Humaira, dengan mas kawin beru

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status