Share

Bab 5 Aku bukan Salsa

Penulis: Ray
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-31 12:42:52

Malam itu Aisyah duduk di sudut kamar setelah selesai menunaikan shalat tahajud. Matanya masih basah, sujudnya terasa lebih lama dari biasanya. Ia tak sanggup segera bangkit, karena hatinya terasa berat oleh rasa bersalah.

"Ya Allah… apa yang hamba lakukan? Apa pantas hamba mengubah diri hanya demi seorang suami yang bahkan tak pernah menginginkan kehadiran hamba?"

Air matanya menetes, membasahi sajadah. Ia teringat malam ketika ia memberanikan diri berpakaian lebih terbuka di hadapan Fahri. Ia yang sejak kecil dididik menjadi gadis sopan, pemalu, dan menjaga diri, tiba-tiba mengkhianati semua itu.

Bukan karena ia ingin, tapi karena rasa cinta yang diam-diam tumbuh pada suaminya. Meskipun Fahri tidak menerimanya, tapi Ia berusaha selalu membuka hati dan berusaha mencintai pria yang telah sah menjadi suaminya itu.

Aisyah menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaghfirullah… Astaghfirullah... Astaghfirullah” bisiknya lirih.

Hari-hari di rumah itu begitu sulit baginya. Namun ia terus berusaha sekuat tenaga bertahan. Sudah tiga bulan pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Fahri menyentuhnya.

Ketika sore harinya, saat ia sedang merapikan pakaian, hatinya kembali dipenuhi kegelisahan. Ia memandang baju tidur tipis yang beberapa malam lalu sempat ia kenakan. Jemarinya gemetar menyentuh kain itu.

"Aku… benar-benar sudah melampaui batas."

Ia teringat jelas bagaimana tatapan Fahri kala itu. Tatapan yang tidak lagi muak, tapi… terbelalak. Untuk sesaat, ia merasa berhasil.

Ada rasa bangga karena suaminya akhirnya menoleh padanya.

Namun setelah itu, muncul rasa bersalah yang jauh lebih besar.

"Apakah itu cara yang benar untuk mendapatkan cinta suami? Apakah aku harus melanggar nilai-nilai yang selama ini ku jaga? Bukankah seharusnya aku cukup menjadi diriku sendiri?"

Aisyah menarik napas panjang, namun sesak itu tak kunjung hilang.

Saat malam tiba, cuaca di luar cukup dingin, Aisyah duduk di taman belakang rumah keluarga Mahendra. Angin berhembus lembut, namun yang ia rasakan dadanya terasa sesak.

Aluna yang kebetulan lewat langsung menyindir, “Mbak Aisyah kenapa diam aja? Nggak bisa menyesuaikan diri, ya? Pantes Kak Fahri dulu lebih suka sama Salsa. Dia itu pintar bawa diri, nggak kayak Mbak. Kampungan!”

Aisyah tersenyum samar, meski hatinya tercabik.

"Mereka tidak tahu betapa aku berusaha. Bahkan aku rela mengorbankan prinsipku, hanya untuk sedikit saja diterima."

Ketika Aluna berlalu, Aisyah menunduk, air matanya menetes lagi.

"Aku sudah kehilangan diriku. Aku bahkan mulai kehilangan harga diriku sebagai seorang wanita yang seharusnya dijaga oleh rasa malu."

Malam berikutnya, ia kembali resah.

Fahri sudah tertidur, sementara ia duduk di tepi ranjang dengan mata kosong. Jemarinya meremas ujung kerudung yang masih ia kenakan setelah shalat isya.

Dalam diam, ia bergulat dengan dirinya sendiri.

"Ya Allah, aku ingin dicintai suamiku. apakah keinginan ku itu salah? Aku ingin dia melihatku, menghargai keberadaanku. Salahkah aku berharap pada cinta seorang lelaki yang sah menjadi imamku?"

Air matanya jatuh, membasahi kerudung.

"Tapi kenapa aku harus mengubah diriku sampai seperti itu? Kenapa aku rela melepaskan rasa malu hanya untuk mendapatkan perhatian? Bukankah cinta sejati seharusnya datang karena keikhlasan, bukan karena tipuan penampilan?"

Ia menutup mulutnya, menahan isak agar tak membangunkan Fahri.

"Aku takut, Ya Allah. Aku takut aku sudah terjebak pada dosa. Aku takut aku lebih mencintai suamiku dibandingkan Engkau."

Beberapa hari kemudian, ia sengaja menemui ibunya, yang kebetulan datang menjenguk. sebenarnya ada hal yang ingin Ibunya sampaikan. berita besar setelah pernikahan Aisyah. Namun, melihat putrinya yang tampak tidak baik-baik saja, akhirnya Ibunya memutuskan tidak memberitahu Aisyah.

“Ibu…” Aisyah menahan suaranya bergetar. “Kalau seorang istri berusaha berubah hanya demi suaminya, apakah itu salah?”

Ibunya, Retno Ayu menatap putrinya lama, mencoba memahami. “Berubah itu baik, Nak, kalau perubahan itu membuatmu lebih dekat pada kebaikan. Tapi kalau perubahan itu justru membuatmu jauh dari dirimu sendiri, membuatmu gelisah, membuatmu menyesal… mungkin itu bukan jalan yang benar.”

Kalimat sederhana itu menusuk hati Aisyah dalam-dalam.

Setelah ibunya pulang, ia kembali menekuk wajah di sajadah.

"Ya Allah, aku takut kehilangan diriku. Aku takut berubah menjadi seseorang yang Kau murkai, hanya karena aku ingin suamiku tersenyum padaku."

Malam berikutnya, ketika Fahri masuk kamar, Aisyah sudah duduk di tepi ranjang dengan pakaian yang sangat sederhana, gamis panjang dan kerudung kecil.

Fahri sempat tertegun, karena beberapa hari lalu Aisyah berusaha tampil berbeda.

“Kenapa… malam ini kamu tidak seperti... oh sudahlah, lupakan saja."

Aisyah paham apa yang di inginkan Fahri.

Aisyah menunduk, suaranya pelan tapi tegas. “Karena aku sadar… aku bukan wanita seperti itu, Mas. Aku bukan Salsa. Aku tidak bisa menjadi orang lain hanya untuk membuatmu menoleh padaku.”

Fahri terdiam. Kata-kata Aisyah menusuk, membuatnya tak bisa menjawab.

Aisyah melanjutkan dengan mata berkaca-kaca. “Aku hanya bisa jadi diriku sendiri. Kalau Mas tidak bisa menerima… aku ikhlas. Aku tidak mau lagi berpura-pura.”

Setelah itu, ia menoleh ke arah jendela, membiarkan keheningan memenuhi kamar. Tapi di dalam hatinya, badai besar masih bergejolak.

"Ya Allah, kuatkan aku. Aku ingin dicintai, tapi lebih dari itu, aku ingin tetap Kau cintai."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri yang tak Berharga    Bab 7 Ego dan Gengsi

    POV Fahri ZidanSetelah kejadian semalam, akhirnya Gue dipanggil Papa ke ruangannya, Gue duduk di ruang kerja Papa, memandangi peta kecil yang beliau buka di meja. Mata Papa berbinar penuh semangat, seakan-akan... “Papa sudah pesan resort di Lombok. Tempatnya indah, suasananya tenang. Pas buat kalian berdua mulai saling mengenal,” katanya dengan senyum penuh harap.Pantas saja sedari tadi Papa senyum penuh semangat, ternyata rencana bulan madu itu benar-benar bakalan terjadi.Gue mendengus, berpura-pura nggak peduli. “Pa, buat apa sih repot-repot? Gue nggak merasa butuh bulan madu.”Papa menatap gue tajam, tatapannya menusuk tapi penuh kasih. “Fahri, jangan keras kepala. Kalian baru menikah. Aisyah butuh kesempatan, kamu juga. Papa yakin kalau kalian pergi berdua, tanpa campur tangan keluarga, kamu bisa lihat sisi Aisyah yang sebenarnya.”Gue terdiam. Dalam hati, ada sesuatu yang bergerak. Iya, jujur, gue juga pengen. Gue pengen ngerasain hidup berdua aja sama Aisyah, jauh dari tata

  • Istri yang tak Berharga    Bab 6 Merasa dipermainkan

    Kamar itu terasa semakin sunyi setelah ucapan Aisyah. Ia duduk kaku di tepi ranjang, menundukkan wajah dengan air mata yang masih menggenang.Fahri menatapnya tajam. Jemarinya mengepal kuat."Apa maksudnya cewe resek ini? dia mencoba tampil menggoda beberapa waktu lalu, membuat gue hampir kehilangan kendali… dan sekarang, dia bilang dia tidak bisa jadi orang lain? Jadi, apa selama ini gue hanya di per mainin?" Batinnya enggan menerima keputusan Aisyah begitu saja.Wajah Fahri mengeras. “Aisyah… kamu ini sebenarnya mau apa, sih?” suaranya dingin.Aisyah tersentak. “Maksud Kamu?” tanyanya hati-hati.Fahri bangkit dari duduknya, berdiri di depan istrinya sambil mendengus keras. “Kamu pikir aku ini mainan, ya? Pertama kamu tampil seperti wanita… yang… seperti wanita lainnya. Sekarang... Kamu bikin aku bingung, kamu bikin aku… hampir... Seenaknya tiba-tiba kamu bilang semua itu salah, dan kamu nggak mau mengulanginya lagi?!” Kata-katanya terputus, namun nada suaranya meninggi. Aisyah terd

  • Istri yang tak Berharga    Bab 5 Aku bukan Salsa

    Malam itu Aisyah duduk di sudut kamar setelah selesai menunaikan shalat tahajud. Matanya masih basah, sujudnya terasa lebih lama dari biasanya. Ia tak sanggup segera bangkit, karena hatinya terasa berat oleh rasa bersalah. "Ya Allah… apa yang hamba lakukan? Apa pantas hamba mengubah diri hanya demi seorang suami yang bahkan tak pernah menginginkan kehadiran hamba?" Air matanya menetes, membasahi sajadah. Ia teringat malam ketika ia memberanikan diri berpakaian lebih terbuka di hadapan Fahri. Ia yang sejak kecil dididik menjadi gadis sopan, pemalu, dan menjaga diri, tiba-tiba mengkhianati semua itu. Bukan karena ia ingin, tapi karena rasa cinta yang diam-diam tumbuh pada suaminya. Meskipun Fahri tidak menerimanya, tapi Ia berusaha selalu membuka hati dan berusaha mencintai pria yang telah sah menjadi suaminya itu. Aisyah menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaghfirullah… Astaghfirullah... Astaghfirullah” bisiknya lirih.Hari-hari di rumah itu begitu sulit baginya. Namun ia

  • Istri yang tak Berharga    Bab 4 Terjebak Pesona Aisyah

    Pagi itu, ruang makan keluarga Mahendra terasa ramai. Maryam duduk di kursi utama, Aluna di sampingnya, sementara Fahri hanya fokus pada ponselnya. Aisyah duduk dengan tenang, di samping Fahri. Ia mencoba menuangkan air minum untuk semua, tanpa banyak bicara. Namun obrolan yang tercetus membuat hatinya bergetar. “Ma, ingat nggak dulu waktu Kak Fahri sama Mbak Salsabila Hana?” tanya Aluna dengan suara penuh semangat. “Cantik banget ya, Ma. Badannya… ya ampun, seksi terjaga. Siapa sih yang nggak bakal jatuh cinta.” Maryam terkekeh tipis. “Iya, Mama juga masih ingat. Wajahnya modern, modis, pinter bawa diri. Mama kira dulu Kakak mu itu bakalan nikah sama dia.” Aluma mengangguk cepat, matanya melirik sekilas ke arah Aisyah. “Sayang banget ya, Ma, harus putus. Padahal Kak Salsabila itu tipe cewek yang cocok buat Kak Fahri. Nggak kaku, nggak ketinggalan zaman.” Aisyah yang sedang menunduk hanya bisa mendengar setiap kata menusuk jantungnya. Tangannya sedikit gemetar saat menuangka

  • Istri yang tak Berharga    Bab 3 pindah rumah

    Malam kini sudah sangat larut, aku memberanikan diri lagi. Aku duduk di meja makan, menunggu kepulangannya dengan hidangan sederhana yang kususun sepenuh hati. Saat ia pulang, aku menyapanya. "Fahri, aku sudah siapkan makan malam." Ia menatap hidangan itu sebentar, lalu berkata dingin, "Aku sudah makan di luar." Aku tercekat. "Tapi… aku sudah menyiapkannya sejak sore." Fahri menghela napas panjang, seakan kesal dengan keberadaanku. "Kenapa repot-repot? Aku tidak butuh kau layani. Aku bisa hidup sendiri. Urus saja dirimu sendiri." Aku menunduk. Air mataku jatuh ke piring yang masih utuh. Malam itu, aku kembali berdoa. "Ya Allah, aku tahu jodoh adalah takdir-Mu. Aku tahu Engkau tidak pernah salah memilihkan jalan untuk hamba-Mu. Tapi hati ini sakit, Rabb… Hatiku remuk, tubuhku lelah. Aku ingin kuat, tapi aku merasa hancur. Jika memang jalan ini adalah ujian, kuatkan aku. Tapi jika aku memang tidak berharga di matanya, jangan biarkan aku merasa tidak berharga juga di mata-M

  • Istri yang tak Berharga    Bab 2 Pernikahan yang tak diinginkan

    Ballroom hotel itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang memantul ke meja akad nikah yang dihias sederhana namun elegan. Warna putih dan emas mendominasi ruangan, bunga mawar segar berjajar di sepanjang meja, sementara kamera dari tim dokumentasi bersiap mengabadikan momen sakral. Para tamu duduk rapi di kursi, menanti detik-detik ijab kabul. Suasana hening, hanya terdengar lantunan ayat suci yang baru saja selesai dibacakan. Penghulu duduk di posisi tengah, diapit oleh dua saksi resmi. Di hadapannya, Arya Suseno, ayah mempelai perempuan, duduk berhadapan dengan Fahri Zidan, sang calon mempelai pria. Fahri mengenakan jas putih modern dipadukan peci dengan warna senada, wajahnya tenang namun dingin. Penghulu membuka prosesi dengan khutbah nikah singkat, lalu memberi isyarat kepada ayah mempelai. Dengan suara mantap, Arya Suseno mengucapkan kalimat ijab. "Saya, Arya Suseno bin Prasetyo, menikahkan engkau, Fahri Zidan dengan putri kandung saya, Aisyah Humaira, dengan mas kawin beru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status