LOGINMalam kini sudah sangat larut, aku memberanikan diri lagi. Aku duduk di meja makan, menunggu kepulangannya dengan hidangan sederhana yang kususun sepenuh hati.
Saat ia pulang, aku menyapanya. "Fahri, aku sudah siapkan makan malam." Ia menatap hidangan itu sebentar, lalu berkata dingin, "Aku sudah makan di luar." Aku tercekat. "Tapi… aku sudah menyiapkannya sejak sore." Fahri menghela napas panjang, seakan kesal dengan keberadaanku. "Kenapa repot-repot? Aku tidak butuh kau layani. Aku bisa hidup sendiri. Urus saja dirimu sendiri." Aku menunduk. Air mataku jatuh ke piring yang masih utuh. Malam itu, aku kembali berdoa. "Ya Allah, aku tahu jodoh adalah takdir-Mu. Aku tahu Engkau tidak pernah salah memilihkan jalan untuk hamba-Mu. Tapi hati ini sakit, Rabb… Hatiku remuk, tubuhku lelah. Aku ingin kuat, tapi aku merasa hancur. Jika memang jalan ini adalah ujian, kuatkan aku. Tapi jika aku memang tidak berharga di matanya, jangan biarkan aku merasa tidak berharga juga di mata-Mu." Aku terisak lama, hingga tertidur di sajadah. Beberapa minggu setelah itu, aku mendengar langsung sesuatu yang semakin menancapkan luka. Aku tanpa sengaja mendengar percakapan Fahri dengan temannya di teras rumah. "Gue muak, Bro," suara Fahri terdengar jelas. "Setiap hari pulang, Gue lihat dia dengan cadarnya, duduk manis kayak boneka. Gue kagak bisa… Gue nggak akan pernah bisa mencintai cewek kayak dia itu." Hatiku serasa dihantam palu besar. Aku berdiri di balik pintu, menahan tubuhku agar tidak jatuh. "Gue pingin cewek yang bebas, yang bisa diajak ke mana saja tanpa ribet. Bukan cewek yang jalan aja seperti hantu hitam. Jangankan membuka hati, melihatnya saja gue udah muak." "Ha... ha... ha.... bisa aje lu bro, kocak" sahut temannya di seberang sana. Aku terpejam, menahan air mata yang deras mengalir. Dadaku sesak, nafasku tercekat. Malam itu, aku sadar satu hal, Aku bukan hanya istri yang tidak dicintai. Aku adalah istri yang dianggap hina, tak berharga, dan tidak diinginkan. Aku menulis lagi di buku harianku. "Aku mencoba menjadi istri yang sabar, tapi kesabaranku mulai retak. Aku mencoba menjadi istri yang taat, tapi ketaatanku terasa sia-sia. Suamiku tidak hanya tidak mencintaiku, tapi juga muak padaku. Apa artinya rumah tangga ini, Ya Allah? Haruskah aku terus bertahan dalam kehinaan ini?" Tanganku gemetar menulisnya. Air mataku membasahi lembaran kertas itu. Aku menutup mata, memeluk erat buku harian dan mushaf. Dan malam itu aku berbisik lirih, "Jika aku benar-benar istri yang tidak berharga, biarlah Engkau yang menilai, Rabb. Jangan biarkan aku hancur hanya karena pandangan manusia…" Namun, jauh di dalam hati, aku tahu… badai yang lebih besar mungkin baru saja akan dimulai. **** Setelah akad dan resepsi selesai, Aisyah dan Fahri sempat tinggal beberapa hari di rumah yang sudah disiapkan keluarga Fahri. Rumah yang tidak terlalu mewah dan besar itu sebenarnya cukup nyaman, sederhana tapi tenang. Aisyah merasa lebih leluasa menata, meski Fahri hampir tidak pernah mengajaknya bicara. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama. Suatu sore, Pak Mahendra datang berkunjung. Ia duduk di ruang tamu, ditemani Fahri yang terlihat malas meladeni obrolan. Aisyah menyuguhkan teh hangat, lalu duduk sedikit menjauh dengan sopan. Mahendra membuka pembicaraan dengan suara lembut tapi tegas. “Fahri, Aisyah… Papa punya usul. Untuk sementara waktu, kalian tinggal dulu di rumah keluarga. Biar Aisyah lebih dekat dengan Mama, Aluna, dan keluarga besar.” Fahri mendengus pelan, menatap ayahnya. “Untuk apa, Pa? Bukankah lebih baik kami mandiri? Lagi pula… aku sibuk. Tinggal serumah hanya akan bikin repot.” Mahendra menatap anaknya serius. “Justru itu. Kamu sibuk kerja, kamu jarang di rumah. Kalau Aisyah sendirian terus, siapa yang mendampingi? Lagi pula, dia masih baru di keluarga kita. Papa ingin dia merasa diterima.” Fahri terdiam. Pandangannya melirik sekilas ke arah Aisyah, lalu kembali menunduk. “Terserah, Pa. Aku ikut saja.” Aisyah menelan ludah. Hatinya bimbang. Ia tahu tinggal di rumah mertua bukan hal mudah. Tapi ia juga tidak berani menolak usul ayah mertua yang jelas-jelas dan satu-satunya orang yang tampak berpihak padanya. Dengan suara lirih, ia berkata, “Kalau itu yang terbaik, insya Allah Aisyah ikut, Pa.” Mahendra tersenyum kecil. “Bagus. Papa senang kamu mau. Ingat, keluarga besar itu penting. Kalau sudah saling mengenal, insya Allah akan tumbuh rasa sayang.” Beberapa hari kemudian, mereka resmi pindah. Rumah keluarga Mahendra jauh lebih besar, megah, dengan halaman luas dan ruang tamu yang selalu ramai tamu. Saat mobil Fahri berhenti di depan gerbang, Aisyah menarik napas panjang, mencoba menyiapkan hatinya. Di teras, Siti Maryam sudah menunggu dengan wajah datar. Ia tidak tersenyum sedikit pun melihat menantunya. Aisyah turun dari mobil, dengan langkah pelan. Sementara Aluna, adik ipar, berdiri di samping ibunya, memeluk lengan dengan ekspresi setengah mengejek. “Assalamu’alaikum, Bu,” sapa Aisyah lembut sambil menunduk sopan. Maryam menjawab dingin. “Wa’alaikumus salam.” Tatapannya mengarah ke koper yang dibawa Aisyah. “Jadi mulai sekarang tinggal di sini? Jangan sampai bikin rumah ini seperti pondok pesantren.” Aisyah menunduk lagi. “Insya Allah tidak, Bu.” Aluna menyambung dengan nada sinis. “Kak, semoga aja betah di sini. Soalnya rumah ini ramai, bukan tempat buat orang yang sukanya ngurung diri.” Fahri hanya berdiri di samping tanpa bicara. Ia bahkan tidak menengahi. Pandangannya kosong, seolah tidak peduli dengan interaksi yang terjadi. Pak Mahendra yang baru keluar dari dalam rumah menepuk bahu Aisyah, mencoba mencairkan suasana. “Sudah, sudah. Jangan dingin begitu. Aisyah ini kan keluarga kita sekarang. Mari masuk, Nak.” Aisyah mengangguk, menarik kopernya pelan masuk ke rumah megah itu. Dalam hatinya, ia berdoa, “Ya Allah, beri aku kekuatan. Aku tahu ini bukan jalan mudah.” Hari pertama tinggal bersama mertua, Aisyah berusaha sebaik mungkin menyesuaikan diri. Ia membantu di dapur, membersihkan ruang makan, bahkan menyiapkan teh sore untuk keluarga. Namun, apa pun yang ia lakukan selalu tampak salah di mata Maryam dan Aluna. “Tehnya terlalu manis, Aisyah. Mama tidak suka gula yang terlalu banyak,” komentar Maryam sambil meletakkan cangkir dengan wajah masam. Aisyah mencoba menyapu teras rumah mewah itu, mencari kesibukan meskipun sudah ada Asisten rumah tangga yang seharusnya mengerjakan, Aluna bersuara sinis. “Ngapain sih repot? Nanti juga Mbak Sri yang bersihin. Lagi pula, kalau kamu terus kayak gini, orang bisa salah paham. Pikirnya kamu cari muka, atau bahkan pembantu di rumah ini. ck ck ck.” Aluna tersenyum sinis. Aisyah menunduk, tersenyum kecil meski hatinya perih. “Saya hanya ingin membantu.” “Kalau mau membantu, ya tahu diri juga. Jangan sok jadi menantu sempurna,” balas Aluna dengan tawa kecil. Fahri yang duduk di ruang tamu hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap ponselnya, sama sekali tidak berniat membela istrinya. Sementara Pak Mahendra, setiap kali menyaksikan itu, hanya bisa menarik napas panjang. Sesekali ia mencoba menenangkan. “Maryam, Aluna… jangan begitu. Aisyah sedang belajar menyesuaikan diri.” Namun, suaranya kalah dengan dinginnya sikap istri dan anak perempuannya. Malamnya, ketika Aisyah sendirian di kamar, ia menatap koper yang belum sempat dibongkar. Matanya basah menahan tangis. Pernikahan yang baru seumur jagung ini sudah menyesakkan. Suami yang tidak mencintai, ibu mertua yang dingin, ipar yang sinis. Hanya satu sosok yang membuatnya bertahan. Pak Mahendra. Mampukah Aisyah bertahan sendirian dalam pernikahan yang memiliki arus penolakan dari semua sisi?POV Aisyah Aku duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututku erat-erat. Kamar resort ini terasa terlalu sunyi, padahal dari luar samar-samar terdengar suara ombak dan desir angin laut. Sunyi yang membuatku bisa mendengar dengan jelas gemuruh hatiku sendiri."Kenapa Aisyah? Fahri suamimu, kau harusnya memang mengikuti apa kehendaknya" batinku berusaha mencoba membenarkan apa yang telah kupakai tadi. Aku masih bisa merasakan kain tipis merah itu di kulitku. Lingerie yang Fahri berikan tadi… sesuatu yang bahkan tak pernah terbayang akan aku pakai seumur hidupku. Ketika ia menyerahkannya, aku sempat ingin menolak. Namun Lidahku kelu, hati kecilku berontak. Aku merasa berdosa. Tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya, tatapan yang tajam sekaligus penuh tuntutan, yang membuatku tak kuasa berkata “tidak”. Dan sekarang, aku masih bergetar setiap kali mengingat bagaimana ia menatapku tadi. Tatapan yang lain dari biasanya. Tidak ada muak, tidak ada dingin. Justru ada sesuatu yang sulit aku meng
Gue masih belum bisa mengalihkan pandangan dari bayangan itu. Bayangan yang terjadi malam tadi, saat Aisyah dengan wajah memerah dan langkah canggung mencoba menuruti permintaan gue, memakai lingerie merah yang gue beli, sesuatu dalam diri gue bergetar hebat. Jujur aja, gue nggak nyangka… sama sekali nggak nyangka kalau efeknya bakal sebesar ini. Gue pikir gue cuma ingin menguji dia, ingin melihat apakah dia beneran polos atau pura-pura. Tapi ternyata, gue sendiri yang terperangkap di dalamnya.Gue berjalan mondar-mandir di balkon resort kamar gue. Angin laut malam berhembus, suara debur ombak keras terdengar, tapi hati gue jauh lebih gaduh daripada itu. Setiap kali bayangan tubuh Aisyah dengan kulitnya yang putih bersinar, ditutupi kain tipis merah menyala itu, mampir ke kepala gue… dada gue serasa mau meledak. Gue tarik napas panjang, lalu buang kasar. Gue lakukan itu terus menerus supaya gue lebih tenang."Apa-apaan, Fahri? Lo kenapa jadi kayak gini? Lo yang bilang dia bukan tipe
Gue akhirnya memilih jalan-jalan sendirian di sekitar resort. Dari pada gue di kira ngikutin Aisyah. Udara sore ini cukup hangat, matahari hampir tenggelam di balik laut. Gue masuk ke salah satu butik kecil di lobi, awalnya cuma mau iseng lihat-lihat. Dan entah kenapa mata gue berhenti pada sebuah lingerie warna merah menyala. Gue nggak tahu apa yang ngebuat tangan gue tiba-tiba meraihnya. Mungkin karena warna itu, mungkin karena bayangan Salsa yang sering pake hal-hal kayak gini. Atau… mungkin juga karena gue penasaran kalau Aisyah, perempuan yang selama ini terlalu tertutup, pake ini. Tanpa pikir panjang, gue beli. Lagian, apa salahnya Kalau Aisyah gue suruh pakai ini. Toh diakan istri gue. Sepanjang jalan gue kepikiran terus gimana cara gue buat nyuruh Aisyah pake pakaian terbuka kayak gini. Gue sangat yakin, pasti dia akan nolak kalo gue minta baik-baik. Malamnya, gue masuk kamar. Aisyah lagi duduk di pinggir ranjang sambil baca buku tipis. Dia menoleh pas gue datang, senyum
Matahari pagi menembus tirai kamar resort kami. Cahaya hangatnya jatuh ke wajah gue yang belum sempat tidur nyenyak. Dari semalam gue gelisah, kebayang terus tangis Aisyah yang nggak pernah berhenti, karena udah gue bentak habis-habisan.Gue bangun pelan, melirik ke arah balkon. Di sana dia duduk, masih dengan gamis sederhana, mukanya pucat tapi tetap tersenyum samar saat sadar gue menatapnya. Senyumnya membuat gue merasa semakin bersalah.“Assalamu'alaikum, Mas. Saya sudah pesenin sarapan. Kalau Mas mau mandi dulu, nanti makanannya dikirim ke kamar,” katanya tenang. Suaranya lembut, seolah nggak ada luka semalam.Gue cuma bisa bengong. Serius nih perempuan? Kemarin gue bikin dia menangis. Gue lemparin kata-kata paling tajam, gue bilang gue muak sama dia. Gue yakin siapa pun di posisi dia pasti udah ngamuk, udah balas kata-kata gue dengan seribu pisau yang sama tajamnya. Tapi dia? Bangun pagi masih bisa mikirin gue, masih bisa nyiapin
(POV Fahri) Gue duduk di balkon resort gue, sengaja gue memesan dua kamar dalam perjalanan bulan madu ini. Gue menatap laut gelap yang berkilauan kena cahaya bulan. Angin laut menerpa wajah gue, tapi nggak bisa mendinginkan kepala gue yang panas. Barusan gue bentak Aisyah lagi. Kata-kata gue terlalu tajam, bahkan untuk orang yang nggak gue suka. Gue bisa lihat jelas matanya yang berkaca-kaca, tapi gue malah pura-pura nggak peduli. Kenapa gue ngomong gitu sih? Rasanya gue pingin mengutuki diri gue sendiri. Kenapa setiap kata yang keluar dari mulut gue ke Aisyah adalah kata yang selalu nyakitin dia. Padahal… gue tahu dia nggak salah apa-apa. Dia cuma berusaha nyambungin obrolan, dia cuma berusaha jadi istri yang baik. Tapi entah kenapa, tiap kali gue lihat wajahnya… gue seperti kalah dengan tatapan matanya, dan ego gue ngerasa muak dengan itu semua. Atau lebih tepatnya, rasa takut
Mobil hitam yang membawa kami melaju keluar dari gerbang rumah keluarga Mahendra. Aku duduk di samping Fahri, menunduk, sementara tanganku menggenggam ujung jilbab panjangku dengan gelisah. Suasana begitu hening, hanya suara mesin dan deru angin dari luar jendela. Aku melirik Fahri sebentar. Wajahnya tetap dingin, tatapannya lurus ke jalan, rahangnya mengeras. “Mas…” suaraku pelan, hampir berbisik. “Apa lagi?” balasnya cepat, nadanya ketus. Tatapannya tetap ke depan. Aku menghela napas kecil. “Saya hanya ingin bilang terima kasih, Mas... sudah mau berangkat. Walau saya tahu mungkin Mas nggak mau.” Ia tertawa pendek, sinis. “Jangan ge-er. Gue berangkat karena dipaksa Papa, bukan karena lo.” Aku terdiam, menunduk lagi. Mataku memanas, tapi aku menahan air mata itu. Kenapa setiap kata dari suamiku tidak pernah sekalipun membuatku bahagia? Pernikahan seperti apakah ini? Aku hanya bi







