Share

Bab 3 pindah rumah

Penulis: Ray
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-31 11:55:18

Malam kini sudah sangat larut, aku memberanikan diri lagi. Aku duduk di meja makan, menunggu kepulangannya dengan hidangan sederhana yang kususun sepenuh hati.

Saat ia pulang, aku menyapanya. "Fahri, aku sudah siapkan makan malam."

Ia menatap hidangan itu sebentar, lalu berkata dingin, "Aku sudah makan di luar."

Aku tercekat. "Tapi… aku sudah menyiapkannya sejak sore."

Fahri menghela napas panjang, seakan kesal dengan keberadaanku. "Kenapa repot-repot? Aku tidak butuh kau layani. Aku bisa hidup sendiri. Urus saja dirimu sendiri."

Aku menunduk. Air mataku jatuh ke piring yang masih utuh.

Malam itu, aku kembali berdoa.

"Ya Allah, aku tahu jodoh adalah takdir-Mu. Aku tahu Engkau tidak pernah salah memilihkan jalan untuk hamba-Mu. Tapi hati ini sakit, Rabb… Hatiku remuk, tubuhku lelah. Aku ingin kuat, tapi aku merasa hancur. Jika memang jalan ini adalah ujian, kuatkan aku. Tapi jika aku memang tidak berharga di matanya, jangan biarkan aku merasa tidak berharga juga di mata-Mu."

Aku terisak lama, hingga tertidur di sajadah.

Beberapa minggu setelah itu, aku mendengar langsung sesuatu yang semakin menancapkan luka.

Aku tanpa sengaja mendengar percakapan Fahri dengan temannya di teras rumah.

"Gue muak, Bro," suara Fahri terdengar jelas. "Setiap hari pulang, Gue lihat dia dengan cadarnya, duduk manis kayak boneka. Gue kagak bisa… Gue nggak akan pernah bisa mencintai cewek kayak dia itu."

Hatiku serasa dihantam palu besar. Aku berdiri di balik pintu, menahan tubuhku agar tidak jatuh.

"Gue pingin cewek yang bebas, yang bisa diajak ke mana saja tanpa ribet. Bukan cewek yang jalan aja seperti hantu hitam. Jangankan membuka hati, melihatnya saja gue udah muak."

"Ha... ha... ha.... bisa aje lu bro, kocak" sahut temannya di seberang sana.

Aku terpejam, menahan air mata yang deras mengalir. Dadaku sesak, nafasku tercekat.

Malam itu, aku sadar satu hal, Aku bukan hanya istri yang tidak dicintai. Aku adalah istri yang dianggap hina, tak berharga, dan tidak diinginkan.

Aku menulis lagi di buku harianku.

"Aku mencoba menjadi istri yang sabar, tapi kesabaranku mulai retak. Aku mencoba menjadi istri yang taat, tapi ketaatanku terasa sia-sia. Suamiku tidak hanya tidak mencintaiku, tapi juga muak padaku. Apa artinya rumah tangga ini, Ya Allah? Haruskah aku terus bertahan dalam kehinaan ini?"

Tanganku gemetar menulisnya. Air mataku membasahi lembaran kertas itu.

Aku menutup mata, memeluk erat buku harian dan mushaf.

Dan malam itu aku berbisik lirih, "Jika aku benar-benar istri yang tidak berharga, biarlah Engkau yang menilai, Rabb. Jangan biarkan aku hancur hanya karena pandangan manusia…"

Namun, jauh di dalam hati, aku tahu… badai yang lebih besar mungkin baru saja akan dimulai.

****

Setelah akad dan resepsi selesai, Aisyah dan Fahri sempat tinggal beberapa hari di rumah yang sudah disiapkan keluarga Fahri. Rumah yang tidak terlalu mewah dan besar itu sebenarnya cukup nyaman, sederhana tapi tenang. Aisyah merasa lebih leluasa menata, meski Fahri hampir tidak pernah mengajaknya bicara.

Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Suatu sore, Pak Mahendra datang berkunjung. Ia duduk di ruang tamu, ditemani Fahri yang terlihat malas meladeni obrolan. Aisyah menyuguhkan teh hangat, lalu duduk sedikit menjauh dengan sopan.

Mahendra membuka pembicaraan dengan suara lembut tapi tegas.

“Fahri, Aisyah… Papa punya usul. Untuk sementara waktu, kalian tinggal dulu di rumah keluarga. Biar Aisyah lebih dekat dengan Mama, Aluna, dan keluarga besar.”

Fahri mendengus pelan, menatap ayahnya. “Untuk apa, Pa? Bukankah lebih baik kami mandiri? Lagi pula… aku sibuk. Tinggal serumah hanya akan bikin repot.”

Mahendra menatap anaknya serius. “Justru itu. Kamu sibuk kerja, kamu jarang di rumah. Kalau Aisyah sendirian terus, siapa yang mendampingi? Lagi pula, dia masih baru di keluarga kita. Papa ingin dia merasa diterima.”

Fahri terdiam. Pandangannya melirik sekilas ke arah Aisyah, lalu kembali menunduk.

“Terserah, Pa. Aku ikut saja.”

Aisyah menelan ludah. Hatinya bimbang. Ia tahu tinggal di rumah mertua bukan hal mudah. Tapi ia juga tidak berani menolak usul ayah mertua yang jelas-jelas dan satu-satunya orang yang tampak berpihak padanya.

Dengan suara lirih, ia berkata, “Kalau itu yang terbaik, insya Allah Aisyah ikut, Pa.”

Mahendra tersenyum kecil. “Bagus. Papa senang kamu mau. Ingat, keluarga besar itu penting. Kalau sudah saling mengenal, insya Allah akan tumbuh rasa sayang.”

Beberapa hari kemudian, mereka resmi pindah.

Rumah keluarga Mahendra jauh lebih besar, megah, dengan halaman luas dan ruang tamu yang selalu ramai tamu. Saat mobil Fahri berhenti di depan gerbang, Aisyah menarik napas panjang, mencoba menyiapkan hatinya.

Di teras, Siti Maryam sudah menunggu dengan wajah datar. Ia tidak tersenyum sedikit pun melihat menantunya. Aisyah turun dari mobil, dengan langkah pelan. Sementara Aluna, adik ipar, berdiri di samping ibunya, memeluk lengan dengan ekspresi setengah mengejek.

“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa Aisyah lembut sambil menunduk sopan.

Maryam menjawab dingin. “Wa’alaikumus salam.” Tatapannya mengarah ke koper yang dibawa Aisyah. “Jadi mulai sekarang tinggal di sini? Jangan sampai bikin rumah ini seperti pondok pesantren.”

Aisyah menunduk lagi. “Insya Allah tidak, Bu.”

Aluna menyambung dengan nada sinis. “Kak, semoga aja betah di sini. Soalnya rumah ini ramai, bukan tempat buat orang yang sukanya ngurung diri.”

Fahri hanya berdiri di samping tanpa bicara. Ia bahkan tidak menengahi. Pandangannya kosong, seolah tidak peduli dengan interaksi yang terjadi.

Pak Mahendra yang baru keluar dari dalam rumah menepuk bahu Aisyah, mencoba mencairkan suasana. “Sudah, sudah. Jangan dingin begitu. Aisyah ini kan keluarga kita sekarang. Mari masuk, Nak.”

Aisyah mengangguk, menarik kopernya pelan masuk ke rumah megah itu. Dalam hatinya, ia berdoa, “Ya Allah, beri aku kekuatan. Aku tahu ini bukan jalan mudah.”

Hari pertama tinggal bersama mertua, Aisyah berusaha sebaik mungkin menyesuaikan diri. Ia membantu di dapur, membersihkan ruang makan, bahkan menyiapkan teh sore untuk keluarga.

Namun, apa pun yang ia lakukan selalu tampak salah di mata Maryam dan Aluna.

“Tehnya terlalu manis, Aisyah. Mama tidak suka gula yang terlalu banyak,” komentar Maryam sambil meletakkan cangkir dengan wajah masam.

Aisyah mencoba menyapu teras rumah mewah itu, mencari kesibukan meskipun sudah ada Asisten rumah tangga yang seharusnya mengerjakan, Aluna bersuara sinis.

“Ngapain sih repot? Nanti juga Mbak Sri yang bersihin. Lagi pula, kalau kamu terus kayak gini, orang bisa salah paham. Pikirnya kamu cari muka, atau bahkan pembantu di rumah ini. ck ck ck.” Aluna tersenyum sinis.

Aisyah menunduk, tersenyum kecil meski hatinya perih. “Saya hanya ingin membantu.”

“Kalau mau membantu, ya tahu diri juga. Jangan sok jadi menantu sempurna,” balas Aluna dengan tawa kecil.

Fahri yang duduk di ruang tamu hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap ponselnya, sama sekali tidak berniat membela istrinya.

Sementara Pak Mahendra, setiap kali menyaksikan itu, hanya bisa menarik napas panjang. Sesekali ia mencoba menenangkan.

“Maryam, Aluna… jangan begitu. Aisyah sedang belajar menyesuaikan diri.”

Namun, suaranya kalah dengan dinginnya sikap istri dan anak perempuannya.

Malamnya, ketika Aisyah sendirian di kamar, ia menatap koper yang belum sempat dibongkar. Matanya basah menahan tangis.

Pernikahan yang baru seumur jagung ini sudah menyesakkan. Suami yang tidak mencintai, ibu mertua yang dingin, ipar yang sinis.

Hanya satu sosok yang membuatnya bertahan. Pak Mahendra.

Mampukah Aisyah bertahan sendirian dalam pernikahan yang memiliki arus penolakan dari semua sisi?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri yang tak Berharga    Bab 7 Ego dan Gengsi

    POV Fahri ZidanSetelah kejadian semalam, akhirnya Gue dipanggil Papa ke ruangannya, Gue duduk di ruang kerja Papa, memandangi peta kecil yang beliau buka di meja. Mata Papa berbinar penuh semangat, seakan-akan... “Papa sudah pesan resort di Lombok. Tempatnya indah, suasananya tenang. Pas buat kalian berdua mulai saling mengenal,” katanya dengan senyum penuh harap.Pantas saja sedari tadi Papa senyum penuh semangat, ternyata rencana bulan madu itu benar-benar bakalan terjadi.Gue mendengus, berpura-pura nggak peduli. “Pa, buat apa sih repot-repot? Gue nggak merasa butuh bulan madu.”Papa menatap gue tajam, tatapannya menusuk tapi penuh kasih. “Fahri, jangan keras kepala. Kalian baru menikah. Aisyah butuh kesempatan, kamu juga. Papa yakin kalau kalian pergi berdua, tanpa campur tangan keluarga, kamu bisa lihat sisi Aisyah yang sebenarnya.”Gue terdiam. Dalam hati, ada sesuatu yang bergerak. Iya, jujur, gue juga pengen. Gue pengen ngerasain hidup berdua aja sama Aisyah, jauh dari tata

  • Istri yang tak Berharga    Bab 6 Merasa dipermainkan

    Kamar itu terasa semakin sunyi setelah ucapan Aisyah. Ia duduk kaku di tepi ranjang, menundukkan wajah dengan air mata yang masih menggenang.Fahri menatapnya tajam. Jemarinya mengepal kuat."Apa maksudnya cewe resek ini? dia mencoba tampil menggoda beberapa waktu lalu, membuat gue hampir kehilangan kendali… dan sekarang, dia bilang dia tidak bisa jadi orang lain? Jadi, apa selama ini gue hanya di per mainin?" Batinnya enggan menerima keputusan Aisyah begitu saja.Wajah Fahri mengeras. “Aisyah… kamu ini sebenarnya mau apa, sih?” suaranya dingin.Aisyah tersentak. “Maksud Kamu?” tanyanya hati-hati.Fahri bangkit dari duduknya, berdiri di depan istrinya sambil mendengus keras. “Kamu pikir aku ini mainan, ya? Pertama kamu tampil seperti wanita… yang… seperti wanita lainnya. Sekarang... Kamu bikin aku bingung, kamu bikin aku… hampir... Seenaknya tiba-tiba kamu bilang semua itu salah, dan kamu nggak mau mengulanginya lagi?!” Kata-katanya terputus, namun nada suaranya meninggi. Aisyah terd

  • Istri yang tak Berharga    Bab 5 Aku bukan Salsa

    Malam itu Aisyah duduk di sudut kamar setelah selesai menunaikan shalat tahajud. Matanya masih basah, sujudnya terasa lebih lama dari biasanya. Ia tak sanggup segera bangkit, karena hatinya terasa berat oleh rasa bersalah. "Ya Allah… apa yang hamba lakukan? Apa pantas hamba mengubah diri hanya demi seorang suami yang bahkan tak pernah menginginkan kehadiran hamba?" Air matanya menetes, membasahi sajadah. Ia teringat malam ketika ia memberanikan diri berpakaian lebih terbuka di hadapan Fahri. Ia yang sejak kecil dididik menjadi gadis sopan, pemalu, dan menjaga diri, tiba-tiba mengkhianati semua itu. Bukan karena ia ingin, tapi karena rasa cinta yang diam-diam tumbuh pada suaminya. Meskipun Fahri tidak menerimanya, tapi Ia berusaha selalu membuka hati dan berusaha mencintai pria yang telah sah menjadi suaminya itu. Aisyah menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaghfirullah… Astaghfirullah... Astaghfirullah” bisiknya lirih.Hari-hari di rumah itu begitu sulit baginya. Namun ia

  • Istri yang tak Berharga    Bab 4 Terjebak Pesona Aisyah

    Pagi itu, ruang makan keluarga Mahendra terasa ramai. Maryam duduk di kursi utama, Aluna di sampingnya, sementara Fahri hanya fokus pada ponselnya. Aisyah duduk dengan tenang, di samping Fahri. Ia mencoba menuangkan air minum untuk semua, tanpa banyak bicara. Namun obrolan yang tercetus membuat hatinya bergetar. “Ma, ingat nggak dulu waktu Kak Fahri sama Mbak Salsabila Hana?” tanya Aluna dengan suara penuh semangat. “Cantik banget ya, Ma. Badannya… ya ampun, seksi terjaga. Siapa sih yang nggak bakal jatuh cinta.” Maryam terkekeh tipis. “Iya, Mama juga masih ingat. Wajahnya modern, modis, pinter bawa diri. Mama kira dulu Kakak mu itu bakalan nikah sama dia.” Aluma mengangguk cepat, matanya melirik sekilas ke arah Aisyah. “Sayang banget ya, Ma, harus putus. Padahal Kak Salsabila itu tipe cewek yang cocok buat Kak Fahri. Nggak kaku, nggak ketinggalan zaman.” Aisyah yang sedang menunduk hanya bisa mendengar setiap kata menusuk jantungnya. Tangannya sedikit gemetar saat menuangka

  • Istri yang tak Berharga    Bab 3 pindah rumah

    Malam kini sudah sangat larut, aku memberanikan diri lagi. Aku duduk di meja makan, menunggu kepulangannya dengan hidangan sederhana yang kususun sepenuh hati. Saat ia pulang, aku menyapanya. "Fahri, aku sudah siapkan makan malam." Ia menatap hidangan itu sebentar, lalu berkata dingin, "Aku sudah makan di luar." Aku tercekat. "Tapi… aku sudah menyiapkannya sejak sore." Fahri menghela napas panjang, seakan kesal dengan keberadaanku. "Kenapa repot-repot? Aku tidak butuh kau layani. Aku bisa hidup sendiri. Urus saja dirimu sendiri." Aku menunduk. Air mataku jatuh ke piring yang masih utuh. Malam itu, aku kembali berdoa. "Ya Allah, aku tahu jodoh adalah takdir-Mu. Aku tahu Engkau tidak pernah salah memilihkan jalan untuk hamba-Mu. Tapi hati ini sakit, Rabb… Hatiku remuk, tubuhku lelah. Aku ingin kuat, tapi aku merasa hancur. Jika memang jalan ini adalah ujian, kuatkan aku. Tapi jika aku memang tidak berharga di matanya, jangan biarkan aku merasa tidak berharga juga di mata-M

  • Istri yang tak Berharga    Bab 2 Pernikahan yang tak diinginkan

    Ballroom hotel itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang memantul ke meja akad nikah yang dihias sederhana namun elegan. Warna putih dan emas mendominasi ruangan, bunga mawar segar berjajar di sepanjang meja, sementara kamera dari tim dokumentasi bersiap mengabadikan momen sakral. Para tamu duduk rapi di kursi, menanti detik-detik ijab kabul. Suasana hening, hanya terdengar lantunan ayat suci yang baru saja selesai dibacakan. Penghulu duduk di posisi tengah, diapit oleh dua saksi resmi. Di hadapannya, Arya Suseno, ayah mempelai perempuan, duduk berhadapan dengan Fahri Zidan, sang calon mempelai pria. Fahri mengenakan jas putih modern dipadukan peci dengan warna senada, wajahnya tenang namun dingin. Penghulu membuka prosesi dengan khutbah nikah singkat, lalu memberi isyarat kepada ayah mempelai. Dengan suara mantap, Arya Suseno mengucapkan kalimat ijab. "Saya, Arya Suseno bin Prasetyo, menikahkan engkau, Fahri Zidan dengan putri kandung saya, Aisyah Humaira, dengan mas kawin beru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status