Share

Bab 4 Uang Rokok

“Oh, iya, tadi Mbak Rima bilang apa, ya? Bisa diulangi lagi?”

Arum berucap sembari menyunggingkan senyum yang bagi Akmal begitu mengerikan. Ia bukan bertanya, tapi lebih kepada mengintimidasi.

Akmal sengaja berdiri di belakang Arum, agar dirinya leluasa memberikan kode pada Bu Rahma dan juga Rima. Tangannya melambai ke udara tanda jangan. Ya, jangan, agar kedua wanita itu jangan membicarakan hal itu lagi. Kemudian Akmal menggunakan kedua tangan untuk mencekik lehernya, ia memejamkan mata sembari menjulurkan lidah. Artinya, jika ibunya dan Rima masih tetap bicara, bisa-bisa ia akan mati dibuat Arum.

Kedua wajah wanita itu menjadi tegang. Akan tetapi, Rima yang memiliki jiwa petarung itu tak bisa diam. Ia ingin sekali melawan dan berperang mulut dengan Arum. Untungnya, bu Rahma segera mencubit pahanya yang dibalut celana leging hitam yang ketat. Akhirnya, ia pun mengangguk dan terpaksa bungkam.

“Enggak, tak jadi Rum. Ibu cuma antarkan ini saja. Dimakan, ya. Kami mau pulang!” ujar bu Rahma takut. Bagaimana pun, ia sangat menyayangi putranya itu. Dirinya sadar jika saat ini kehidupan putranya sangat bergantung pada sang istri.

Selain itu, Bu Rahma juga sadar bahwa Akmal sedang berada di titik terendah. Sebagai suami yang sedang tidak memiliki pekerjaan, Akmal dituntut untuk menurut dan mengalah pada Arum, sampai batas waktu yang ia sendiri tidak tahu. Yang jelas, keadaan akan kembali normal jika ia sudah kembali bekerja.

“Loh, kok langsung pulang, sih, Mbak, Bu? Kita makan sama- sama saja, yuk!” ajak Arum sopan. Namun di mata Rima, hal itu hanyalah sebuah kepura-puraan belaka. Terbesit kembali rasa menyesal dalam hatinya karena sudah bersusah payah memasak dan mengantarkan makanan ini pada Arum, namun kembali berakhir dengan rasa kecewa.

Begitu pun Akmal, firasatnya mengatakan jika Arum pasti akan menghabisinya hari ini juga. Wanita itu mungkin akan mengomel panjang seperti lintasan kereta api.

“Sudah, tidak usah. Kami pulang saja,” tukas Bu Rahma sembari menarik tangan Rima untuk segera naik ke motornya. Kemudian kembali melaju di bawah terpaan panas matahari, melewati jalanan desa yang rusak dan berbatu.

Akmal menarik napas dalam. Bersiap menerima serangan bertubi-tubi dari mulut Arum.

Istrinya yang dulu lembut dan penurut, berubah garang sejak ia mengubah status menjadi seorang pengangguran.

“Mas, sudah makan?” Akmal terkejut kala mendengar kalimat yang keluar dari bibir ranum Arum. Bukan omelan, melainkan sebuah perhatian.

“Belum, Dek,” ucapnya ragu dan hati-hati. Bisa saja Arum berbasa-basi dahulu sebelum menghujaninya dengan berbagai macam omelan.

“Ya, sudah, kita makan bareng, ya.”

Arum mengangkat rantang berisi makanan itu ke dapur. Lalu mewadahinya ke dalam mangkok dan piring.

Akmal lega, sejauh ini Arum masih belum bersuara. Ia pikir, Arum akan marah-marah lagi. Sebenarnya ia pun ingin bertanya, tapi hatinya menolak untuk lebih baik diam. Ia khawatir jika dirinya bertanya, Arum malah l jadi kesal dan akhirnya marah benaran.

Arum mengambilkan nasi ke piring Akmal berikut lauk pauknya. Mereka makan besar hari ini, meja bulat itu penuh dengan aneka makanan.

“Alhamdulillah,” ucap Akmal setelah bersendawa yang cukup keras. Pria pengangguran itu telah selesai makan, tapi Arum masih menikmati makanannya. Bukan makanan dari Rima, tapi makanan yang ia beli sendiri. Ia tak menyentuh sedikit pun makanan itu, dibiarkannya saja Akmal menikmati menu buatan kakaknya itu sendirian.

 Arum tipe perempuan yang memang lamban kalau makan. Ia harus melumat makanannya sampai halus, barulah menelannya. Sehingga satu piring nasi, baru akan habis dalam waktu lima belas menit.

“Dek, tolong ambilkan minum,” pinta Akmal sembari menyodorkan gelas berukuran besar. Arum mengambil teko, lalu menuangkan air ke dalamnya.

“Dek, tisunya mana?” tutur Akmal lagi, karena meja ini terlalu penuh, matanya tak melihat ada tisu di atasnya. Biasanya posisi benda itu terletak di tengah meja.

Padahal posisi tisu ada di atas kursi kosong di sebelah Akmal, namun Arum tetap mengambilkannya untuk sang suami setelah menyuap sesendok nasi ke mulutnya terlebih dahulu.

“Dek, tusuk gigi!” perintah Akmal lagi. Sebenarnya ia tahu tusuk gigi ada di atas kulkas. Tapi karena perutnya penuh, ia jadi malas untuk beranjak ke kulkas yang jaraknya dua meter dari tempatnya duduk.

Arum bangkit dari duduknya, lalu mengambilkan sekotak tusuk gigi dan meletakkannya di depan Akmal.

“Dek, minum lagi, dong!”

Bagi Akmal tak cukup hanya minum segelas air, ia butuh beberapa gelas agar makanan tidak terasa sangkut di leher.

Arum yang sedang makan, akhirnya melotot ke arahnya.

Tuh, ‘kan. Dia selalu keberatan melayaniku. Padahal, waktu aku masih bekerja dulu, dia tak pernah keberatan dengan semua perintahku. Sesibuk apa pun dia, selalu menyahut jika kupanggil, dan serepot apa pun pekerjaannya, pasti ditinggalkannya untuk melaksanakan perintahku. Dasar wanita, hanya akan sayang jika lelaki banyak uang. Batin Akmal menggeram.

Baru saja setengah tahun menganggur, Arum sudah berubah menjadi pelit. Pelit uang dan pelit tenaga.

Siang itu, Arum sudah bersiap dengan seragam kerjanya. Sebelum menjadi penulis seperti sekarang, ia juga seorang guru di salah satu lembaga yang berdiri lama di kampung itu. Bahkan sejak belum menikah dengan Akmal, Arum sudah mengajari anak-anak belajar komputer dan bahasa Inggris. Itulah yang membuatnya begitu disegani oleh orang- orang di kampung Sumber Sari. Ia dianggap banyak berjasa pada anak-anak warga, sehingga mereka lihai mengoperasikan komputer dan tidak lagi kesulitan mengerjakan tugas bahasa Inggris yang diberikan guru mereka di sekolah.

Wanita berkulit putih itu mengajar selama tiga jam dalam sehari di Yayasan Pelangi Ilmu. Sebuah lembaga pendidikan non-formal yang sudah beroperasi enam tahun belakangan. Ia mengajar mulai pukul tiga hingga lima sore. Arum menerima gaji yang lumayan setiap bulannya. Sembilan ratus ribu sebulan dan akan selalu naik setiap tahunnya berdasarkan kinerja dan jumlah murid yang masuk.

Maka dari itu, Akmal merasa beruntung mempunyai istri pekerja keras dan juga gigih seperti Arum. Bahkan, sewaktu Akmal masih bekerja dulu, istrinya tidak keberatan jika harus menerima uang lima ratus ribu sebulan.

Itulah sebabnya, Akmal pun berani untuk mencicil mobil dan motor sekaligus. Karena ada Arum yang mampu memenuhi kebutuhan rumah. Walau pada akhirnya, Arum menanggung banyak beban dan kekecewaan akibat ulah suaminya dulu.

Akmal mengantar Arum menuju Yayasan Pelangi Ilmu dengan motor bebek keluaran lama yang ia beli melalui pasar black market. Itu pun, ia beli dengan seperempat uang muka pembelian mobil yang dikembalikan pihak showroom ketika mobil kesayangannya mereka tarik.

Sebenarnya ia malu, kehidupan yang dulunya tampak hedon harus berbalik sedemikian rupa. Akan tetapi, apa yang bisa ia perbuat, selain menikmati kehidupan barunya itu.

Jika ditelisik pada kehidupannya yang dulu, tentu sangat berbanding jauh dengan yang sekarang. Dulu, ia selalu bepergian dengan mobil, jika pun naik motor, selalu yang keluaran terbaru. Terkadang ia kesal, sebagian orang seperti mengejek ketika melihatnya berada di atas motor butut itu.

Akmal mengantar Arum sampai ke depan ruangan khusus para pengajar. Kemudian pria bercelana pendek itu duduk di atas motornya sambil berbincang ringan dengan para orang tua yang mengantar anaknya.

Banyak anak-anak yang sudah berkumpul di depan bangunan luas berpagar besi itu. Karena sekitar tujuh menit lagi bel akan berbunyi.

Akmal sendiri tidak akan beranjak dari tempat itu jika Arum belum masuk ke kelasnya. Karena di ruangan khusus guru, ada Zulham, si lajang tua yang dulu menyukai Arum, istrinya.

Tak lama, bel pun berbunyi. Anak-anak berlarian menuju kelas masing-masing setelah para guru membuka kunci kelasnya. Dan inilah waktu yang tepat bagi Akmal untuk meminta jatah rokok pada Arum.

Setelah situasi dirasa aman, ia mengetuk pintu kelas Arum pelan, anak-anak yang tadinya riuh mendadak diam.

“Dek, rokok!” gumamnya pelan. Meskipun bersuara rendah, Arum sudah mengerti maksud suaminya.

Seperti biasanya, tanpa perlu memelas dan menunggu terlalu lama, Arum akan menghampiri sang suami yang berdiri di depan pintu untuk memberikan suaminya uang berwarna biru untuk membeli rokok.

Bahkan, Arum akan tersenyum manis ke arah Akmal, karena wanita itu harus menjaga reputasinya di hadapan anak didik dan juga orang tua yang masih menunggu di parkiran. Sungguh memalukan jika ia malah berdebat dengan sang suami di tempat itu hanya gara-gara uang rokok.

“Ini, Mas!” ucapnya sambil memasukkan uang itu langsung ke kantong celana Akmal. Untungnya, Akmal memang lebih suka menggunakan celana buntung bersaku banyak, sehingga tangan Arum tidak kesulitan memasukkan lembaran uang ke dalam sana.

Yes, aku berhasil. Batin Akmal kegirangan.

Meskipun lelaki itu telah berkali-kali membuat Arum kesal hari ini. Tapi, ia masih memberi uang untuk jatah rokok Akmal. Karena itu pula, Akmal menarik kembali ucapan yang mengatakan bahwa Arum seorang istri yang pelit.

Setelah menerima uang itu, Akmal berjalan sembari bersiul menghampiri motornya, menghidupkan mesinnya lalu melaju keluar dari tempat itu. Tak lupa ia menarik kuat gas secara berulang agar menimbulkan suara yang bising, tepat di depan kelas yang diampu Zulham, si lajang tak laku itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status