*Ajeng POV*
Suara dering ponselku, terdengar keras ketika waktu menunjukan pukul lima pagi. Terhentak Aku terbangun, sekilas aku melihat Bram masih tertidur pulas ketika aku mengambil ponsel yang berada persis disamping meja sisi kanan tubuh mas Bram yang masih tertidur nyenyak.
"Hallo Ajeng, ini bibi," terdengar suara bibiku ada di sambungan telpon dengan suara paraunya menangis.
Ia memberitahukan kalau pamanku sakit, di kampung halaman. Bibi meminta aku untuk bisa pulang ke kampung halaman karena pamanku sedang sakit parah.
"Baik bi, Ajeng akan segera pulang dengan mas Bram," Jawabku menahan isak tanggisku yang tertahan.
Setelah aku menutup pembicaraanku dengan bibi lewat Sambungan telepon. Tanggisku pun meledak, hingga membuat Bram terbangun.
Dalam keadaan bingung dan kaget Bram menghampiri diriku.
"Ajeng, kenapa kamu menangis?" tanya Bram menghampiriku dan memeluk erat tubuhku.
Bram sengaja membiarkan aku menumpahkan segala kesedihan. Dan dia dengan sabar menunggu aku berbicara. Setelah beberapa menit berlalu, aku yang sudah dapat mengendalikan diri, berbicara pada Bram."Mas, kita harus pulang ke kampung, karena paman sakit keras dan baru saja bibi mengabariku," ucapku.
Bram hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju. Lalu aku mengambil koper yang akan aku gunakan dalam perjalanan pulang ke kampung halaman.
Aku mengemasi beberapa potong pakaian, dan beberapa perlengkapan yang harus aku bawa. Sedangkan Bram, hanya menaruh beberapa potong pakaian yang diperlukan dengan koper yang berbeda.
Setelah semuanya telah selesai, aku mendengar Bram memesan tiket pesawat untuk kami berdua. Bram memesan tiket pesawat, agar kami lebih cepat sampai ke kampung halaman.
Kami akan berangkat malam hari karena untuk penerbangan siang ini sudah habis terjual, jadi kami dapat penerbangan malam ini dengan pesawat terakhir.
Karena Bram harus berangkat beberapa hari untuk keperluan mendadak maka, Bram pun menghubungi perusahaan tempat dirinya bekerja untuk meminta izin beberapa hari.
Mengingat Bram sudah minta izin dalam satu minggu, dikarenakan bundanya sakit, maka Bram minta penambahan Izin tidak masuk bekerja selama dua hari lagi.
"Ajeng, aku akan menjenguk bunda dan langsung ingin pamitan padanya," ucap Bram memelukku dan mencium keningku.
"Sayang...yakin saja, semua akan baik-baik saja." ucap Bram.
Kemudian Bram pun berlalu dari hadapan ku. Yang terdengar hanyalah suara langkah terburu-buru Bram menuju garasi. Setelah kepergian Bram, kesedihan atas sakit yang menimpa pamanku masih terasa memilukan hatiku.
Masih terdengar nyata dalam benak ini ketika bibi menelpon ku mengabarkan kabar tadi. Sejenak aku teringat ketika masa kanak-kanak ku, bagaimana paman memberikan curahan kasih sayang padaku.
Ketika aku harus kehilangan ayah waktu kecil. Apalagi paman hanya mempunyai dua orang anak lelaki, sehingga aku mendapatkan kasih sayang seorang ayah kepada putrinya.
Walaupun dia adalah pamanku, tapi aku merasa dia seperti ayahku sendiri. Setiap kedua anak lelaki mereka mendapatkan raport per semester yang dilakukan setiap enam bulan sekali, Paman dan bibi selalu pulang ke kampung hanya untuk melihat pertumbuhan diriku ketika aku masih sekolah dasar.
Mereka selalu membawakan banyak mainan kesenanganku. Karena kondisi keadaan di kampung jelas sangat berbeda dengan di kota. Dimana perkembangan orang-orang dalam menerima perubahan dunia luar berbeda dengan orang yang tinggal di kampung sepertiku.
Pada saat ini Bram telah sampai di Rumah Sakit untuk bisa memberitahukan Dina, kalau dirinya akan pergi bersama Ajeng ke kampung halamannya, dikarenakan paman yang membesarkan ajeng ketika masih kecil sakit keras.
Bram melangkah ke lorong akhir dibangsal Rumah Sakit itu untuk mengunjungi bundanya yang sudah hampir sepekan ini dirawat disini. Bram mulai memasuki ruangan rawat inap bunda dan dilihatnya ruang tamu di ruangan itu tidak terlihat Dina disana.
Maka bram pun melangkah masuk ke ruangan dimana bundanya masih terbaring disana. Baru saja bram menampakan wajahnya bunda terlihat sudah duduk bersandar pada tempat tidurnya.
Bram pun tersenyum melihat bundanya yang sudah mulai pulih dari sakitnya.
"Bunda sudah sehat yaa sekarang," ujar bram sambil mencium kedua pipi bundanya.
Dan bundanya pun tersenyum mendengar perkataan bram. Terlihat bunda telah sehat kembali dan hal itu sangat membahagiakan hati Bram. Melihat Bunda bisa tertawa.
Belum sempat Bram bertanya pada bunda mengenai keberadaan Dina, bunda telah memberitahukan Bram, kalau Dina baru saja pulang ke rumah membawa pakaian kotor.
"Dina, baru saja pulang membawa pakaian kotor bunda, dia bilang agak malaman dia akan datang," ujar bunda memberitahukan tentang Dina.
Bunda pun mengatakan pada Bram kalau Dokter telah memperbolehkan bunda pulang esok hari. Bram ditanya perihal tidak hadirnya kemaren petang ke rumah sakit. Bram pun sudah mempunyai alasan perihal pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah.
Mengingat dirinya izin untuk mengurusi bunda, maka pekerjaan yang seharusnya dilakukan di kantor, dia lakukan di rumah. Demikianlah alasan jitu yang diberikan Bram pada bundanya.
Dan bundanya pun sangat mempercayai putra tunggalnya itu dalam setiap perkataannya. Lalu pada kesempatan ini Bram mengatakan kepada bundanya, kalau ia akan keluar kota untuk tugas selama dua hari.
Bram meminta izin pada bundanya akan hal ini. Dikarenakan kondisi bunda sudah pulih dan esok sore pun diperbolehkan pulang ke rumah maka bunda pun mengizinkan Bram untuk pergi keluar kota.
"Bunda, nanti Bram akan keluar kota dengan pesawat terakhir, jadi besok ketika pulang dari Rumah Sakit, Dina yang akan urus semua."
Dalam hati bram ini adalah sebuah keberuntungan karena Bram bisa lebih tenang meninggalkan bunda ke kampung halaman Ajeng ketika kondisi bunda telah pulih.
"Yaaa Bram, jangan kuatir, Dina bisa di handakan," jawab bunda dengan tersenyum.
Pada saat bersamaan beberapa perawat masuk untuk melakukan pengecekan atas kondisi bunda, dan perawat kepala disana mengatakan kondisi bunda telah stabil dan besok setelah menyelesaikan administrasi bisa pulang.
"Pak Bram, melihat kondisi bunda yang semakin baik, besok bunda sudah bisa pulang," ucap perawat itu, sambil memeriksa kondisi tensi bunsa.
Bram pun mengatakan Terimakasih pada beberapa perawat yang baru saja mengecek kondisi bunda. Selang beberapa lama kemudian petugas Rumah sakit bagian dapur membawakan makanan sore untuk bunda, lalu Bram pun menyuapi bunda dengan kasih sayang, sebagai seorang putra tunggalnya.
Selesai menyuapi bunda dengan makan sorenya Bram memberikan beberapa obat yang harus di minum oleh bunda agar kondisinya bertambah baik.
"Bunda Minum obat dulu yaa," ujar Bram.
Selesai bram melakukan tugasnya sebagai seorang anak, dia meminta bundanya untuk beristirahat, karena Bram akan menemui Dina di rumah dan menyiapkan pakaian yang harus dibawanya ketika bertugas di luar kota.
Bram pun beranjak ke tempat tidur bundanya untuk berpamitan mohon izin, untuk keberangkatannya ke luar kota malam ini dengan mencium kedua tangan dan mencium kedua pipi bundanya.
"Bram pergi dulu yaa bunda, ingat bunda harus banyak istirahat."
Bram kembali menyusuri lorong-lorong bangsal Rumah Sakit menuju tempat parkir. Dalam perjalanan menuju tempat parkir dia berharap ini adalah kala terakhir dia harus berbohong pada bundanya mengenai kepergiaan nya keluar kota.
Semoga saja demikian doa dalam hati kecil Bram, ketika dia sudah sampai di tempat parkir mobil nya. Setelah masuk kedalam mobil dan mulai keluar dari area Rumah Sakit, Bram pun berpikir untuk mampir ke toko buah dan ke supermarket guna membeli beberapa keperluan yang akan dia bawa ke rumah.
Mengingat besok bundanya sudah pulang maka, dia ingin membelikan beberapa buah kesukaan bundanya dan beberapa makanan yang disukai bundanya.
Sesampai di toko buah Bram pun membeli beberapa kilo buah-buahan kesukaan bunda. Setelah itu Bram pun mulai ke Supermarket untuk membelikan beberapa bahan pokok makanan kesukaan bundanya.
Selesai semua yang dibutuhkannya dibeli Bram pun pergi ke kasir membayar semua belanjaannya dan kembali ke tempat parkir mobilnya. Setelah dirinya memasukan belanjaan kedalam bagasi, Bram bergegas ke mobil untuk bisa sampai ke rumah, agar dirinya bisa mengatakan ke Dina kalau dia akan pergi ke kampung halaman ajeng.
Dalam perjalanan menuju rumah pikiran Bram kembali berkecamuk. Perihal Dina yang sudah begitu tulus mengurusi bundanya, serta tidak adanya perhatiannya sedikitpun pada Dina selama ini.
Bahkan Bram pun tidak mengetahui makanan yang disukai Dina atau yang tidak disukainya. Dalam hati Bram, ia sangat iba padanya. Tetapi dalam logikannya, itu adalah suatu hal yang wajar mengingat segala perjanjian yang sudah mereka lakukan selama ini.
Lagi pula Bram tidak pernah sekalipun melarang Dina, ketika harus melakukan kegiatan, seperti bertemu teman-temannya untuk sekedar hangout minum kopi atau yang sejenisnya.
Walau disadari Bram setiaap Dina meminta izin untuk bertemu dengan teman-temannya ,Dina tidak pernah melewati batas. Dan sudah dipastikan jam lima sore dirinya selalu sudah ada di rumah.
Dan dina pun ketika ingin keluar rumah selalu meminta izin pada bunda dan bram Akhirnya Bram pun sampai ke rumah. Dilihatnya asisten rumah tangga membukakan pintu pagar.
Bram pun menanyakan apakah Dina masih ada di rumah dan menurut asisten rumah tangga, kalau Dina masih ada di rumah. Bram melangkah masuk ke rumah, tidak di dapatinya Dina di ruang baca.
"Mbok, apa Dina ada di dalam?" tanya Bram pada asisten rumah tangga.
"Ada pak Bram," jawab asisten rumah tangganya...
Bram beranjak ke ruang keluarga dan ke dapur, tapi tidak di dapatinya Dina disana. Pikir bram kala itu, Dina pasti masih tertidur di kamar mereka, karena sudah beberapa hari, menjaga bunda di Rumah Sakit.
Bram pun beranjak ke kamar mereka, tetapi tidak melihat Dina disana. Bram mencoba berjalan mendekati kamar mandi yang ada di kamar mereka, karena ada kemungkinan Dina sedang berada di kamar mandi.
walaupun tidak terdengar air shower yang bergemericik disana. Bram mencoba melihat apa ada Dina di dalam kamar mandi tempat bath-up yang yang hanya ditutupi oleh tirai yang tebal dan berat disamping bath-up.
Di kamar mandi itu juga di lengkapi dengan air panas, dan shower. Pintu kaca pada Kamar mandi tidak terlalu transparan tapi ketika ada orang yang mandi disana kita akan melihat dengan jelas.
Belum sampai Bram mendekati kamar mandi, sayup-sayup Bram mendengar suara rintihan dan desahan kenikmatan didalam balik tirai yang menutupi kamar mandi yang berisikan bath-up untuk berendam.
Sesaat jantung Bram berdetak kencang dan aliran darahnya terasa mengalir lebih kencang. Bram sangat yakin yang berada dalam tirai itu adalah Dina. Penasaran Bram atas apa yang terjadi didalam, membuat dirinya menyibak sedikit tirai yang menutupi kamar mandi itu.
Bram melihat bagian punggung Dina, dan dalam keadaan tanpa busana dengan posisi kaki ditaruh pada sisi kiri dan kanan bagian atas bath-up tersebut.
Bram melihat dengan jelas Dina dengan tubuh yang putih bersih dan seksi tanpa busana sedang menikmati sensasi pada dirinya sendiri.
Bram melihat bentuk tubuh itu sedang melakukan kenikmatannya sendiri.
Terlihat jelas buah dada besar dan kenyal, diremas-remas sendiri oleh Dina dan tangan bagian lain memegang area sensitifnya.Itulah yang membuat Dina merintih dan berdesah menikmatinya. Sungguh pemandangan yang tidak pernah Bram lihat selama sepuluh tahun, padahal ia hidup bersama Dina, dalam satu kamar pula.
Kelelakian Bram pada saat itupun naik apalagi ketika desahan Dina semakin kencang dan rintihan kenikmatan itu semakin menjadi-jadi.
"Ooouuhhh....nikmatnya," terdengar jelas rintihan Dina.
Bram dengan jelas melihat Dina mengoyangkan pinggulnya sehingga terlihat bokongnya naik dan turun dibarengi dengan rintihan-rintihannya.
Dan terakhir, Bram melihat Dina menjerit kenikmatan, ketika goyangan memutar pinggulnya semakin keras. Karena rasa penasaran, Bram masuk kedalam tirai itu. Ia melihat mata Dina tertutup rapat menikmati sensasi dirinya sendiri.
Bram pun melihat bagian sensitif Dina yang berwarna kemerahan, tepat berada ditengah daerah sensitif itu menonjol keluar dan agak lebih membesar, dikarenakan jemari Dina terus memainkan area tersebut.
Hingga akhirnya Bram melihat Dina mencapai klimaksnya dengan jeritan dan desahan yang lebih keras.
"Aarrhhh....Ooouuhhhh....nikmat," jerit Dina.
Pada saat bersamaan Bram keluar dari tirai itu, yang terasa pada Bram saat itu adalah daerah kelelakiannya telah basah setelah melihat sensasi yang Dina lakukan.
Perasaan bersalah Bram semakin besar dan Bram sangat terpukul atas kejadian yang dilakukan Dina. Dirinya tidak pernah menyangka kalau selama ini untuk melampiaskan hasrat batinnya Dina melakukan hal itu pada dirinya sendiri.Bram berpikir, mungkin saja Dina telah melakukan selama masa pernikahaannya. Hal itu yang membuat Bram merasa kasihan yang teramat sangat dan rasa bersalahnya pada Dina, semakin bertambah atas kejadian yang tidak diduganya.
Bram keluar dari kamar itu dengan kondisi tubuhnya masih terasa menggigil melihat hal itu. Tapi bram berusaha mengontrol emosi dirinya dengan mengambil segelas air dingin di dalam kulkas, duduk di dapur untuk menenangkan batinnya.
Setelah minum beberapa tegukan air dingin, batin dan tubuh Bram terasa agak santai, dan saat ini bram sedang menunggu Dina keluar dari kamarnya.
Sekitar sepuluh menit kemudian terlihat Dina keluar dari kamar dan menuju ke dapur tempat Bram berada. Tidak terlihat hal yang aneh pada wajah Dina saat itu, malah Dina terlihat lebih segar bisik batin.
Bram sekilas melihat Dina berjalan menghampirinya. Tetapi Bram tidak langsung berani menatap Dina, karena kejadian yang baru saja dilihatnya.
Setelah beberapa menit berlalu Bram pun, mampu mengendalikan dirinya. Lalu dia pun mengatakan perihal kepergiannya ke kampung halaman Ajeng dan tidak lupa Bram pun mengatakan, terima kasih pada Dina karena sudah mengurus bunda dengan baik.
"Din, besok aku akan ke kampung halaman Ajeng, karena pamannya sakit keras, jadi aku titip bunda, dan terima kasih sudah mengurus bunda dengan baik."
Bram pun meminta maaf, karena besok tidak bisa menjemput bunda ketika pulang ke rumah. Dina pun hanya menjawab singkat dan seperti biasa Dina menyatakan, kalau itu berupakan tugasnya sebagai seorang menantu.
"Yaaa... mas Bram, aku mengerti, dan santai saja...ini sudah tugasku menjadi menantu bunda."
Pada saat mendengar kata tugas seorang menantu, Bram merasa ada sumbatan dalam kerongkongannya, hingga dirinya tidak bisa mengatakan apapun pada Dina. Hanya rasa bersalahnya saja yang semakin menjadi.
Bram baru menyadari, selama ini, perjanjian yang di lakukan dengan Dina, membuat wanita itu melakoni dirinya sebagai menantu. Memang itu adalah kewajiban Dina sebagai mantu keluarga ini, tapi hak atas dirinya sebagai seorang istri, tidak pernah sekalipun diberikan pada Dina.
Dalam keadaan sedih atas batinnya sendiri, Bram pun pamit pada Dina, dan tidak seperti biasanya kali ini, ketika berpamitan Bram mencium pipi dina. Hal itu membuat Dina agak bingung, melihat perubahan diri Bram yang spontan mencium pipinya.
"Baiklah...aku pergi dulu yaa," ujar Bram pamitan pada Dina dengan mencium pipinya.
Dina saat itu hanya termanggu, seperti mimpi baginya. Dina pun masih bingung menyikapi perubahan ini. Bram pun lalu pergi meninggalkan Dina, yang masih tidak mempercayai, dengan apa yang sudah di alaminya, sambil terus melihat mobil Bram yang telah tidak terlihat lagi.
*AJENG POV* Pagi hari ini aku terbangun lebih awal karena aku akan melakukan pengecekan pada beberapa barang bawaan kami yang telah kami cek semalam, hanya saja aku ingin memastikan semuanya telah masuk dalam cek list ku. keberangkatan kami ke kota dengan menggunakan pesawat pada keberangkatan pertama membuat aku sangat sibuk di pagi ini. Saat ini kehamilanku telah memasuki usia lima bulan, dan itu dapat terlihat dari perut buncitku. Begitu pun dengan putri kami Angel telah mulai bisa memanggil kami dengan sebutan mama dan papa. Oleh karena itu, sekarang aku memanggil Teguh dengan sebutan papa begitu pun dengan Teguh memanggilku dengan sebutan mama. Semua itu atas nasehat dari bibiku, yang biasanya aku memanggil dengan sebutan namanya pada Teguh, kini kami membiasakan diri dengan sebutan mama, papa, agar Angel biasa lebih mengetahui keberadaan kami sebagai orang tuanya. Dan syukurnya setelah kehamilan kedua sejak pertama kali aku hamil dulu, membuat d
*BRAM POV* Kondisi Dina yang telah melakukan pengobatan selama tiga bulan ini tidak membuahkan hasil seperti yang di harapkan. Dan hal ini semakin membuat keputusasaanku berakhir dengan sikapku yang mudah emosional. Seperti pagi ini ketika aku mendapatkan hubungan telepon dari suami Ajeng, yang menanyakan kepindahanku dari rumahnya, semakin membuat suasanya tidak menyenangkan bagi seluruh pihak. Aku seharusnya tidak berkata kasar padanya, karena mereka memang tidak mengetahui kondisiku saat ini. Saat ini aku sedang menunggu Dina yang sedang menjalani kemoterapi untuk ke sekian kalinya. Dina kini bukanlah seperti yang dulu, ia kini kurus kering, tidak ada lagi keseksian dalam tubuhnya. Pada bagian rambutnya pun telah habis berjatuhan, sehingga ia sudah tidak ingin melihat wajahnya. Cermin di dalam kamar, telah aku singkirkan. Aku sangat terharu ketika ia mengatakan dirinya telah berubah menjadi seorang yang sangat jelek dan menakutkan, dan ia mer
*AJENG POV* Sesampai di rumah kami langsung beristirahat karena terlalu lelah liburan yang kami lakukan dua hari ini. Aku lihat Teguh telah tertidur sangat nyenyak. Kulihat dirinya yang begitu menyayangiku, membuat diriku merasa, dialah seseorang lelaki pilihan yang memang dipersiapkan untuk diriku. Setelah segala kehancuran yang telah aku jalani, dalam berumah tangga bersama Bram. Tuhan menggantikannya dengan seorang lelaki yang membahagiakan diriku lahir dan batin. Suara ketukan pintu membuat rasa kantukku hilang, aku lalu beranjak ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. “Permisi ibu Teguh, perkenalkan saya bapak Paimin, yang mengurusi tambak bapak,” sapa bapak itu dengan memperkenalkan dirinya. “Silakan masuk pak, bisa saya bantu ya pak, karena pak Teguh baru saja beristirahat,” jawabku untuk memberitahukannya kalau suamiku sedang tidur. “Ibu, kapan hari bapak berbicara pada saya, kalau dirinya mau mengambil cucu saya yang tidak memp
*BRAM POV* Hari ini aku ke Rumah Sakit bersama Dina, untuk mengambil hasil dari biopsi. Kami menunggu dengan cemas begitu pun dengan Dina. Ia sangat gelisah sekali atas hasil yang akan diterimanya. Sekitar setengah jam kemudian nama Dina di panggil oleh perawat. Aku menggandeng tangan Dina yang terasa Dingin. Aku mengusapnya agar ia merasa tenang. Sesampai di meja, Dokter membuka hasilnya lalu mengatakan pada kami, “Ibu Dina, hasil yang didapat dari hasil biopsi, “menyatakan kalau ibu positif kanker serviks.” Seketika aku melihat Dina yang lunglai seperti tak berdaya, langsung menangis dengan pilu, ia menutupi mulutnya untuk menahan ledakan tangisnya. Melihat hal itu, hatiku serasa hancur, dan tidak ada kata yang bisa aku ucapkan. Aku hanya memeluk bahunya. “Din, kita pasti bisa melalui ini, kita harus yakin, aku mohon kuatkan diri mu,” ucapku dengan menahan isak tangisku. Aku melihat Dokter memberikan waktu bagi Dina untuk meluapkan seg
*AJENG POV* Kami terbangun pada pukul sepuluh pagi, Aku melihat di sampingku, seorang suami yang penuh tanggung jawab. Bukan hanya tetapi bertanggung jawab pada kehidupanku saja, ia selalu berupaya untuk kebahagiaan ku dalam segala hal. Teguh tidak melihat sedikit pun celah cacat pada dirinya. Pendidikannya, bidang pekerjaannya, jiwa sosialnya, tutur, hubungan sosialnya, dan secara fisik Teguh adalah lelaki dengan postur tubuh yang tinggi, dengan bentuk dada yang, berkulit coklat muda, wajah yang manis, walaupun tidak setampan Bram, dan yang pasti memiliki keistimewaan pada alat vitalnya yang mampu membuat wanita mana p
*AJENG POV* Masa-masa bahagia yang dilalui oleh Aku dan Teguh, membuat kehidupan di lingkungan desa kami terasa lebih bahagia. Aku yang kini telah menjadi seorang istri dari seorang Teguh Pratama, sering ikut membantu suamiku dalam penyuluhan yang dilakukan di desa-desa. Aku juga sangat aktif di dalam pemberdayaan wanita di desa kami. Selain itu karena suamiku seorang ASN maka aku juga aktif dalam kegiatan Dharma wanita, yang biasanya kami lakukan setiap satu bulan sekali mewakili dari dinas pertanian tempat dari Teguh bekerja. Aku sungguh sangat beruntung bertemu dengan Teguh, banyak sekali pembelajaran yang aku dapatkan dari dirinya tentang hidup ini. “Sayang... lihat, aku bawakan bunga anggrek dari kota,” ucap Teguh yang telah dua hari mengikuti seminar kedinasan di kantor pusat. “Aah...cantiknya, tetapi aku kangen sama yang bawa anggreknya,” ucapku bahagia melihat dirinya sudah di rumah dengan memeluk erat tubuhnya. Melihat kerindu