Share

Dia Seperti Bukan Dia

Via sedang menyusun pakaian ke lemari saat Andy memasuki kamar dengan wajah segar.

"Mandi dulu, Dek."

"Hm." Tangan Via tetap bergerak memindahkan pakaian dari kopor. Andy duduk di kasur sambil memperhatikan kegiatan Via. Terbit rasa ingin membantu perempuan bermata lebar itu. Namun saat mengingat ulahnya tadi, Andy mengurungkan niatnya.

Tiba-tiba saja Via berdecih dengan ucapan yang mengejek. "Cis, pantesan."

"Kenapa, Dek?" Andy bergerak mendekati Via dengan penasaran.

Via mengangkat benda keramat berbentuk segitiga yang diambilnya dari dalam kopor. "Dalamannya saja sudah merk Crocodille. Apalagi yang memakai."

Sejenak Andy tertegun, mencoba mencerna ucapan Via. Setelah dia mengerti dan sadar, tangannya dengan cepat menyambar benda tersebut dari Via.

Via tertawa terbahak-bahak.

Andy kembali tertegun. Untuk sesaat dia terpana melihat wajah Via yang berbinar ceria dan lepas. Tanpa wajah harimau ataupun suara gorila yang biasa dia lihat.

Via yang masih tertawa, melanjutkan kembali kegiatannya. Andy bergerak menjauh dan kembali duduk di kasur. Matanya masih memperhatikan Via.

Sesaat kemudian dia menggelengkan kepala dengan cepat. Bayangan Sari melintas. Rasa yang memang masih ada untuk gadis itu semakin mencuat saat mengingat kembali kalau gadis itu hanya berjarak lima meter dari pintu rumahnya.

Sari.

Nama itu yang selalu terngiang di pikirannya bahkan hingga detik ini. Detik dimana dirinya bukanlah pria lajang yang layak untuk meletakkan cinta lain selain kepada isterinya.

Saat teringat kata isteri, matanya melirik sosok Via yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Besok saja dilanjutkan, Dek. Nanti adek kelelahan." Andy menegur dengan suara lembut.

Via yang sedang memasukkan celana panjang ke lemari itu menoleh sejenak dengan wajah sayu dan berkata, "Kalau memang benar-benar peduli sama kelelahanku, bantuin dong. Jangan mulut doang yang bekerja."

Mendengar ucapan Via yang tidak menggunakan nada seperti biasa, Andy bergerak pelan mendekati dan menarik kopor yang ada di hadapan isterinya.

"Ya, sudah. Adek mandi dulu. Biar abang yang lanjutin."

Via mengangguk dan segera meninggalkan Andy tanpa berkata apapun.

Andy lalu melanjutkan pekerjaan yang ditinggalkan isterinya. Lima belas menit kemudian, terdengar suara Via yang berteriak dari belakang. Tepatnya dari arah kamar mandi.

"Bang ...!"

Andy bergerak cepat ke arah belakang dengan penasaran. Ada raut khawatir pada wajahnya.

"Ada apa, Dek?" tanya Andy saat tiba di depan pintu kamar mandi.

Lalu sebuah kepala menyembul dari pintu yang dibuka sedikit. Rambut dan wajah basah Via membuat darah pejantan yang sedang berdiri di hadapannya berdesir.

"Tolong ambilkan handuk, he he he." Via menunjukkan gingsul di sebelah kanan giginya sambil nyengir kambing.

Andy yang terpaku pada hasrat yang dia tahu ke mana arahnya menjadi gagal dan bingung harus menjawab apa.

"Bisa dimintai tolong, nggak?!"

Suara gorila yang sempat terpendam kembali terkuak. Andy mengangguk cepat dan berbalik menjauh.

"Sekalian sama pakaianku ya, Bang."

Andy tidak menghiraukan ucapan Via. Langkahnya lurus menuju kamar mereka dan segera mengambil handuk yang tadi dipakainya. Karena dia tidak tahu dimana Via meletakkan handuk miliknya.

Lalu dia membuka lemari dan memilih sepasang baju tidur berwarna hijau tua. Saat dia memegang handle pintu hendak keluar, dia teringat sesuatu.

Dalaman.

Andy gelisah. Haruskah dia menyentuh benda keramat itu? Digelengkan kepalanya dengan cepat dan melemparkan pakaian yang tadi dipegangnya.

"Biarkan dia mengambil pakaiannya sendiri. Memangnya aku babunya," gerutu lelaki itu lalu keluar dengan hanya membawa handuk.

"Dek, ini handuknya."

Sebuah tangan terulur dan menyambar handuk yang dipegang Andy.

"Loh? Pakaiannya mana, Bang?" tanya Via dari dalam kamar mandi.

"Males. Ogah abang menyentuh kacamata dan segitiga pengaman adek. Ambil saja sendiri."

Setelah berkata begitu Andy ngeloyor pergi. Jadilah Via keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk.

Saat tiba di kamar, Via menutup pintu dan berbalik. Di hadapannya berdiri sang suami yang melongo ke arahnya.

Handuk yang dipakai Via yang pada dasarnya adalah handuk untuk pria, hanya bisa menutupi bagian atas tubuhnya sampai di tengah paha.

Pundaknya yang putih terbuka dan menantang. Ditambah paha mungilnya yang terlihat sebagian.

Andy menelan ludah. Ini benar-benar cobaan untuknya. Berada di dalam sebuah kamar tertutup dengan seorang wanita yang dia ketahui hanya dilindungi oleh sehelai handuk. Parahnya, wanita itu sangat halal untuk dia sentuh.

"Kenapa, Bang? Mau?"

Pertanyaan Via membuat pertahanan Andy runtuh seketika. Kakinya membawa pria itu mendekati Via yang tersenyum simpul. Kemudian tangannya terulur menyentuh pundak yang masih menyisakan air saat wanita itu mandi tadi.

Tubuh keduanya merapat. Via memejamkan matanya. Mencoba menikmati tangan yang mengelus lembut pundaknya dengan gerakan kaku.

Tergoda? Tentu saja Via tergoda. Ini hari ketiga pernikahan mereka dan Andy belum pernah menyentuhnya lebih dari yang terjadi hari ini.

Mengumpulkan segenap keberanian, Via mengulurkan tangan dan memeluk Andy dengan erat. Mengecap hangat tubuh pria yang kini menjadi suaminya.

Begitu juga Andy yang seolah terbius dengan keadaan membalas pelukan isterinya. Keduanya berpelukan dengan hangat.

Via tersenyum. Ini adalah sebuah kemajuan, pikirnya. Setidaknya dia sedekat ini dengan Andy tanpa ada bayang-bayang Sari yang sepertinya selalu menempeli pikiran suaminya.

Bukannya dia tidak merasa sakit saat pria yang harusnya memperhatikannya malah memikirkan orang lain. Namun apa daya. Kini Via berada pada posisi di mana hanya dialah yang mencintai. Tanpa sepengetahuan Andy.

Semua sikap acuh dan usilnya semata-mata hanya untuk menutupi kenyataan kalau dia tersakiti dengan situasi ini. Itu sebabnya dia tidak mau menunjukkan kalau dia sebenarnya lemah dan rapuh.

Saat pelukan semakin erat, bisikan lirih Andy membuyarkan rasa damai di hati Via.

"Sari ...," bisik Andy pelan tapi cukup untuk didengar seorang Via.

Dengan cepat Via mendorong tubuh Andy. Sesaat matanya berkabut, tapi dia bisa cepat mengubahnya dan segera mengoceh.

"Yaelah, Bang. Bisa-bisanya abang menyamakan aku sama Sari. Ini Via. Ingat. V-I-A."

Setelah berkata begitu, Via menjauhi Andy sambil menahan sesuatu yang ingin melesak keluar. Tangannya mengambil pakaian dalam miliknya dan berbalik menghadap Andy.

"Maaf," ucap Andy dengan gugup dan salah tingkah.

Via mengibaskan tangan dan berkata, "Gak apa-apa, kok. Asalkan jangan diulangi. Gak level lah kalau mau dibandingkan sama Sari.."

"Memangnya kenapa kalau dibandingkan sama Sari? Mendingan dia lagi. Punya bodi bahenol. Nah, kalau adek malah kerempeng."

"Biarin," tukas Via dengan nada sedikit kesal. "Pokoknya aku lebih nulus daripada dia. Abang sendiri juga gak sadar kalau badan abang kerempeng. Bikin aku takut saja."

"Abang yang kerempeng, kok adek yang takut?"

"Ya iyalah. Nanti abang keluar rumah dikejar-kejar anjing pula. Dikiranya ada tulang yang lagi jalan-jalan."

Jawaban fantastik dari Via membuat dunia menunduk takut. Andy berdecak kesal dan hendak berlalu dari kamar. Sebelum dia menutup pintu dia menoleh dan berkata, "Kalau sudah selesai, buatkan abang kopi, ya."

"Ogah!"

"Males banget sih disuruh."

"Abang juga tahan banget menyuruh."

Andy mendengkus. Isterinya seolah ensiklopedia berjalan yang memiliki semua jawaban atas setiap pertanyaan dan pernyataan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status