Home / Romansa / Istriku Hanya di Atas Kertas / bab 6- bayangan dalam gelap

Share

bab 6- bayangan dalam gelap

Author: Aidil saputra
last update Last Updated: 2025-09-11 12:35:12

Bab 6 – Bayangan dalam Gelap

Aurora duduk kaku di tepi ranjang, ponsel di tangan. Pesan itu terus menari-nari di matanya, meski layar sudah gelap:

"Berhenti mencari tahu, atau kau akan berakhir seperti mereka."

Kata-kata itu menempel di kepalanya seperti paku berkarat. Aurora menatap layar kosong, seakan pesan itu bisa muncul lagi kapan saja, kapan pun, tanpa bisa ia kendalikan.

Siapa mereka? Apakah orang-orang yang pernah mengenal Rayden? Atau korban dari sesuatu yang bahkan ia belum mengerti? Pikirannya melompat ke foto-foto di laci terkunci kemarin—foto dirinya. Sejak lama, ia ternyata diawasi. Dan sekarang, pesan itu seperti ancaman yang menempel di kulitnya, memaksa Aurora berhenti mencari jawaban.

Aurora menelan ludah, jantungnya berdetak tak beraturan. “Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” bisiknya nyaris tanpa suara. Ia merasa seperti ditarik masuk ke labirin gelap tanpa jalan keluar, di mana setiap sudut penuh bayangan yang menunggu untuk menelan dirinya.

Suara engsel berdecit membuat tubuhnya menegang. Pintu kamar terbuka perlahan. Rayden masuk dengan langkah tenang, wajahnya sempurna dalam balutan jas hitam. Sorot matanya menusuk di bawah cahaya lampu kamar yang redup, dingin dan tak bisa ditembus. Aurora buru-buru menyembunyikan ponselnya di bawah bantal, gerakannya canggung, tetapi Rayden hanya mengamati, diam, seperti seekor predator yang sabar menunggu reaksi mangsanya.

Ia melepas jasnya, meletakkannya di sandaran kursi, lalu menatap Aurora. “Kau tidak tidur?” tanyanya singkat.

Aurora memaksakan senyum tipis. “Aku… hanya susah memejamkan mata,” jawabnya, meskipun suaranya gemetar.

Rayden duduk di kursi dekat ranjang, menyilangkan kaki, menyalakan sebatang rokok. Asap tipis membentuk lingkaran samar sebelum lenyap, meninggalkan aroma pahit yang membuat udara terasa lebih tegang. Aurora menunduk, menahan detak jantungnya yang tak terkendali. Ia ingin menanyakan pesan itu, ingin berteriak karena ketakutan, ingin tahu siapa yang mengancamnya. Tapi bibirnya seolah terkunci.

Rayden menarik napas panjang, mengembuskan asap perlahan. “Aurora.”

Aurora menoleh cepat, tubuhnya kaku, seluruh sarafnya menegang.

“Aku tidak suka ditatap dengan rasa curiga.”

Aurora tergagap. “Aku… aku tidak—”

Tatapan Rayden lurus, tajam, menusuk hingga menembus hati. Keheningan panjang menyelimuti kamar. Aurora menunduk, menggenggam ujung selimut seolah itu bisa menahannya tetap di dunia nyata. Ribuan pertanyaan berputar di kepalanya. Apakah Rayden tahu ia membuka laci kemarin? Apakah ia tahu tentang pesan itu? Apakah semua yang terjadi adalah bagian dari rahasia gelap yang selama ini ia sembunyikan?

Rayden bersuara lagi, nada datar tapi menusuk, membuat udara di kamar seolah membeku: “Kalau suatu hari kau merasa tidak aman… jangan percaya siapa pun. Bahkan orang yang paling dekat sekalipun.”

Aurora menahan napas. Kata-kata itu seperti belati yang menembus dada. Peringatan… atau pengakuan?

“Kenapa kau selalu bicara seolah semua orang berbahaya? Apa maksudmu, Rayden?” suara Aurora gemetar, nyaris pecah.

Rayden mengangkat alis tipis, menatapnya dingin. “Kau tidak akan sanggup menanggung jawabannya.”

Aurora ingin memaksa jawaban, menjerit, menuntut, tapi tatapan itu membuatnya membisu. Ia merasa seperti seorang anak kecil di hadapan orang asing, terperangkap, tak mampu melawan, tapi tetap ingin tahu.

Rayden berdiri, mematikan rokok di asbak kristal. Ia menatap Aurora sekali lagi sebelum keluar kamar. Pintu menutup pelan, meninggalkan Aurora sendirian, terengah, tubuhnya lemas, dan jantung terasa seperti ingin melompat keluar dari dada.

Tubuhnya jatuh ke ranjang, menatap langit-langit. Air matanya mengalir tanpa disadari. “Kenapa aku merasa hidupku bukan milikku lagi?” bisiknya lirih.

Di luar jendela, ranting pohon bergesekan karena angin. Suara itu terdengar seperti bisikan halus, menambah tekanan di kamar. Aurora menarik selimut hingga ke dagu, mencoba menenangkan diri. Namun matanya tetap terbuka, dipenuhi ketakutan, setiap bayangan di kamar seolah bergerak, menatap, menunggu.

Tiba-tiba terdengar suara samar: tap… tap… tap…

Seperti langkah kaki yang diperlambat, hati-hati, nyaris tanpa suara.

Aurora menegakkan tubuh, jantungnya berdegup kencang. Suara itu berasal dari lorong, semakin dekat. Semakin nyata.

Aurora bangkit perlahan, menahan napas, mendekati pintu. Dengan tangan gemetar, membuka celah kecil untuk mengintip. Lorong panjang gelap, hanya diterangi cahaya temaram lampu dinding. Bayangan gelap menempel di setiap sudut, membuat jantungnya seakan berhenti.

Aurora melangkah keluar, langkahnya pelan dan hati-hati. Ujung gaunnya menyapu lantai, menambah rasa ngeri. Lorong itu panjang, dengan pintu-pintu kamar lain yang tertutup rapat. Udara dingin merayap, menusuk kulitnya, membuat bulu kuduk berdiri.

Tiba-tiba, dari ujung lorong, sebuah bayangan bergerak cepat. Tinggi, besar, bergerak tanpa suara. Aurora menahan teriakan, jantungnya seperti ingin meloncat keluar. Ia mundur beberapa langkah, lalu berlari kembali ke kamar, menutup pintu rapat-rapat. Tubuhnya menempel di pintu, napas tersengal, jantung nyaris berhenti.

Sunyi. Tidak ada suara langkah lagi. Aurora menutup wajah dengan kedua tangan, air mata jatuh. “Aku tidak aman… aku benar-benar tidak aman di sini.”

Ponselnya bergetar. Aurora meraih dengan tangan gemetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Hanya sebuah foto.

Aurora membeku. Foto itu adalah dirinya… barusan, berdiri di lorong dengan pintu kamar terbuka.

Aurora hampir menjatuhkan ponselnya. Seseorang cukup dekat untuk memotretnya. Darahnya membeku. Ia mendongak, menatap sekeliling kamar. Lampu masih menyala, pintu terkunci. Tapi hawa dingin semakin pekat, seolah ada mata-mata yang terus mengawasinya dari balik dinding.

Aurora menutup mulut dengan tangan, napas tersengal, tubuh gemetar hebat. Ia tahu satu hal pasti: ancaman ini nyata, dan tidak seorang pun bisa dipercaya. Tidak Rayden, tidak rumah ini, bahkan tidak teman lama yang ia percayai.

Rasa takut yang membeku di hati Aurora kini berpadu dengan tekad. Ia sadar bahwa rahasia yang mengintai Rayden lebih besar dari yang ia bayangkan. Dan dirinya telah terjerat terlalu dalam.

Di luar jendela, bayangan gelap bergerak lagi. Hanya sekilas, cepat, namun cukup untuk membuat Aurora sadar—ia sedang diawasi, setiap saat, dan siapa pun bisa berada lebih dekat daripada yang ia duga.

Aurora menelan ludah, wajah pucat pasi, matanya terpaku pada ponsel yang masih menampilkan foto dirinya sendiri. Satu pertanyaan terus berputar di kepala, menusuk lebih dalam daripada ketakutan yang ia rasakan:

Siapa mereka?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 44-Cahaya yang Tak pernah padam

    Bab 44 – Cahaya yang Tak Pernah PadamDunia berhenti dalam satu malam.Langit tak lagi bersinar oleh ribuan satelit, hanya tersisa bayangan hitam dari bumi yang diam. Kota-kota besar berubah menjadi titik-titik gelap di peta dunia. Tak ada siaran, tak ada koneksi, tak ada sistem yang menjawab panggilan. Dunia modern kembali ke masa batu — tapi dengan luka teknologi yang belum sembuh.Aurora berdiri di tebing pasir yang dingin. Angin padang membawa bau logam, debu, dan kesunyian. Di bawah sana, api masih menyala di reruntuhan fasilitas Helios yang kini menjadi kawah besar. Rayden duduk tak jauh darinya, menatap bara itu dengan mata kosong.“Kau tahu?” suara Rayden akhirnya terdengar, pelan tapi getir. “Dunia sekarang mungkin membencimu.”Aurora menatap horizon. “Aku tahu.”“Dan mungkin… mereka juga membenciku, karena aku membiarkanmu melakukan semua ini.”Aurora menghela napas panjang, duduk di sebelahnya. “Kau tidak membiarkan, Rayden. Kau memilih bersamaku. Itu beda.”Rayden memejamk

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 43-Jantung Helios

    Bab 43 – Jantung Helios Langit di atas Gurun Kazakhstan berdenyut seperti nadi logam yang hidup. Kilatan dari ribuan satelit Helios menembus atmosfer, membentuk aurora buatan yang berwarna keemasan dan ungu. Angin padang pasir berhembus kering, membawa aroma ozon dan logam terbakar. Di bawah langit itu, Aurora berjalan perlahan, setapak demi setapak, bersama Rayden di sisinya.Suara gemuruh mesin dari kejauhan mengiringi langkah mereka. Dataran ini dulunya hanyalah tempat uji nuklir yang ditinggalkan, tapi sekarang — menjadi pusat denyut terakhir dunia digital. Tempat di mana semua jaringan, semua kesadaran buatan, dan seluruh algoritma global bertemu. Helios Core.Aurora menatap horizon. “Dunia menatap kita malam ini,” katanya pelan.Rayden menghela napas, memeriksa senjata plasmanya. “Dan setengah dunia berdoa agar kita gagal.”Aurora menoleh, menatap mata pria itu di balik helm transparannya. Ada sedikit kelelahan di sana, juga luka yang belum sembuh. Luka yang sama yang mereka ba

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 42-Dunia Tanpa Cermin

    Bab 42 – Dunia Tanpa CerminAngin musim dingin perlahan kehilangan gigitannya ketika fajar kedua datang di atas Siberia. Salju yang menutupi landasan darurat itu berkilau lembut di bawah cahaya matahari, seolah dunia ingin melupakan malam-malam penuh darah dan api yang baru saja berlalu. Aurora berdiri di tepi pesawat transport lama, tubuhnya masih dibalut mantel tebal yang kotor oleh jelaga. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap menyala. Di belakangnya, Rayden dan Daniel sedang menyiapkan berkas data dari reruntuhan Elbrus yang berhasil mereka bawa keluar—potongan terakhir dari ingatan Leon, mungkin juga potongan terakhir dari harapan manusia.“Apakah kau pikir dunia akan memahami semua ini?” tanya Daniel, suaranya serak karena kelelahan.Aurora menatap cakrawala yang memantulkan cahaya merah samar. “Dunia tidak pernah benar-benar mengerti. Mereka hanya menunggu seseorang untuk disalahkan… atau disembah.”Rayden berjalan mendekat, memasukkan berkas-berkas digital itu ke modul portabel.

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 41-Bayangan yang Tak Pernah Padam

    Bab 41 – Bayangan yang Tak Pernah PadamUdara malam di atas reruntuhan Moskow terasa pekat dan dingin. Asap tipis naik dari puing-puing, melukis langit hitam yang tertutup awan kelabu. Aurora berdiri di tepi bangunan setengah roboh, menatap jauh ke arah timur di mana Gunung Elbrus pernah menyala seperti bintang merah sebelum meledak dan menelan segalanya. Ia tak tahu berapa lama sudah berdiri di sana. Waktu terasa tak punya arti lagi sejak Leon lenyap bersama cahaya itu.Rayden datang dari belakang, langkahnya pelan, seolah takut menghancurkan keheningan yang tersisa. Jaket hitamnya kotor oleh debu dan darah yang sudah mengering. Ia menatap Aurora dari jauh, tapi tak segera bicara. Ia tahu, kadang diam adalah satu-satunya cara untuk menemani seseorang yang sedang patah di dalam.“Aurora,” katanya pelan akhirnya, suaranya nyaris kalah oleh angin.Aurora tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju ke langit. “Aku pikir semuanya akan berakhir setelah Elbrus. Tapi dunia tidak berhenti. Tidak

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 40-Protokol Kedua: Dunia yang terulang

    Bab 40 – Protokol Kedua: Dunia yang TerulangTiga minggu setelah cahaya terakhir itu padam, dunia kembali pada kesunyian yang menipu. Langit biru, laut tenang, gedung-gedung berdiri tegak seolah tak pernah diguncang perang sistemik. Tapi di bawah ketenangan itu, sesuatu yang tak kasatmata mulai tumbuh—perlahan, seperti virus yang bernafas di antara sinyal-sinyal udara.Aurora duduk di depan meja kayu di rumah kecil mereka di Islandia, menatap layar holografik yang berkedip samar. Di sana, pesan aneh muncul berulang-ulang:> PROTOKOL_02 – INISIASIE.C.H.O STATUS: AKTIF.HOST DETECTED: AURORA.Napasnya tertahan. Ia tahu kode itu—itu bukan sinyal acak. Itu panggilan langsung ke dalam sistem jiwanya sendiri. Sesuatu… atau seseorang… mencoba terhubung.Rayden masuk ke ruangan dengan ekspresi tegang. “Kau juga mendengarnya?”Aurora mengangguk pelan. “Ya. Dan mereka memanggilku sebagai host.”Daniel, yang sudah duduk di sudut dengan laptopnya, menggeram. “Itu artinya hanya satu. E.C.H.O tida

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 39-Dunia Setelah Cahaya

    Bab 39 – Dunia Setelah CahayaSatu bulan telah berlalu sejak malam di mana langit Norwegia memantulkan cahaya putih terakhir dari laboratorium rahasia itu. Dunia perlahan-lahan kembali berputar, seolah mencoba melupakan bencana yang hampir menghapus peradaban. Namun bagi mereka yang menyaksikan langsung, tak ada yang benar-benar kembali seperti semula.Aurora terbangun setiap pagi dengan mimpi yang sama—mimpi tentang Leon yang berjalan di antara kabut, memanggil namanya, lalu menghilang di balik cahaya. Dan setiap kali ia membuka mata, ia sadar bahwa dunia di luar sana sudah tidak lagi mengenal batas antara “dunia nyata” dan “dunia digital.”Sistem-sistem lama sudah mati, tapi jejaknya... masih tertinggal di setiap piksel udara.Ia kini tinggal di kota kecil pesisir Islandia, bersama Rayden dan beberapa anggota tim lama yang tersisa. Kota itu sunyi, hanya suara ombak yang memecah batu dan angin utara yang membawa aroma dingin laut beku. Dari luar, semua tampak damai—tapi di balik itu,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status