Bab 6 – Bayangan dalam Gelap
Aurora duduk kaku di tepi ranjang, ponsel di tangan. Pesan itu terus menari-nari di matanya, meski layar sudah gelap: "Berhenti mencari tahu, atau kau akan berakhir seperti mereka." Kata-kata itu menempel di kepalanya seperti paku berkarat. Aurora menatap layar kosong, seakan pesan itu bisa muncul lagi kapan saja, kapan pun, tanpa bisa ia kendalikan. Siapa mereka? Apakah orang-orang yang pernah mengenal Rayden? Atau korban dari sesuatu yang bahkan ia belum mengerti? Pikirannya melompat ke foto-foto di laci terkunci kemarin—foto dirinya. Sejak lama, ia ternyata diawasi. Dan sekarang, pesan itu seperti ancaman yang menempel di kulitnya, memaksa Aurora berhenti mencari jawaban. Aurora menelan ludah, jantungnya berdetak tak beraturan. “Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” bisiknya nyaris tanpa suara. Ia merasa seperti ditarik masuk ke labirin gelap tanpa jalan keluar, di mana setiap sudut penuh bayangan yang menunggu untuk menelan dirinya. Suara engsel berdecit membuat tubuhnya menegang. Pintu kamar terbuka perlahan. Rayden masuk dengan langkah tenang, wajahnya sempurna dalam balutan jas hitam. Sorot matanya menusuk di bawah cahaya lampu kamar yang redup, dingin dan tak bisa ditembus. Aurora buru-buru menyembunyikan ponselnya di bawah bantal, gerakannya canggung, tetapi Rayden hanya mengamati, diam, seperti seekor predator yang sabar menunggu reaksi mangsanya. Ia melepas jasnya, meletakkannya di sandaran kursi, lalu menatap Aurora. “Kau tidak tidur?” tanyanya singkat. Aurora memaksakan senyum tipis. “Aku… hanya susah memejamkan mata,” jawabnya, meskipun suaranya gemetar. Rayden duduk di kursi dekat ranjang, menyilangkan kaki, menyalakan sebatang rokok. Asap tipis membentuk lingkaran samar sebelum lenyap, meninggalkan aroma pahit yang membuat udara terasa lebih tegang. Aurora menunduk, menahan detak jantungnya yang tak terkendali. Ia ingin menanyakan pesan itu, ingin berteriak karena ketakutan, ingin tahu siapa yang mengancamnya. Tapi bibirnya seolah terkunci. Rayden menarik napas panjang, mengembuskan asap perlahan. “Aurora.” Aurora menoleh cepat, tubuhnya kaku, seluruh sarafnya menegang. “Aku tidak suka ditatap dengan rasa curiga.” Aurora tergagap. “Aku… aku tidak—” Tatapan Rayden lurus, tajam, menusuk hingga menembus hati. Keheningan panjang menyelimuti kamar. Aurora menunduk, menggenggam ujung selimut seolah itu bisa menahannya tetap di dunia nyata. Ribuan pertanyaan berputar di kepalanya. Apakah Rayden tahu ia membuka laci kemarin? Apakah ia tahu tentang pesan itu? Apakah semua yang terjadi adalah bagian dari rahasia gelap yang selama ini ia sembunyikan? Rayden bersuara lagi, nada datar tapi menusuk, membuat udara di kamar seolah membeku: “Kalau suatu hari kau merasa tidak aman… jangan percaya siapa pun. Bahkan orang yang paling dekat sekalipun.” Aurora menahan napas. Kata-kata itu seperti belati yang menembus dada. Peringatan… atau pengakuan? “Kenapa kau selalu bicara seolah semua orang berbahaya? Apa maksudmu, Rayden?” suara Aurora gemetar, nyaris pecah. Rayden mengangkat alis tipis, menatapnya dingin. “Kau tidak akan sanggup menanggung jawabannya.” Aurora ingin memaksa jawaban, menjerit, menuntut, tapi tatapan itu membuatnya membisu. Ia merasa seperti seorang anak kecil di hadapan orang asing, terperangkap, tak mampu melawan, tapi tetap ingin tahu. Rayden berdiri, mematikan rokok di asbak kristal. Ia menatap Aurora sekali lagi sebelum keluar kamar. Pintu menutup pelan, meninggalkan Aurora sendirian, terengah, tubuhnya lemas, dan jantung terasa seperti ingin melompat keluar dari dada. Tubuhnya jatuh ke ranjang, menatap langit-langit. Air matanya mengalir tanpa disadari. “Kenapa aku merasa hidupku bukan milikku lagi?” bisiknya lirih. Di luar jendela, ranting pohon bergesekan karena angin. Suara itu terdengar seperti bisikan halus, menambah tekanan di kamar. Aurora menarik selimut hingga ke dagu, mencoba menenangkan diri. Namun matanya tetap terbuka, dipenuhi ketakutan, setiap bayangan di kamar seolah bergerak, menatap, menunggu. Tiba-tiba terdengar suara samar: tap… tap… tap… Seperti langkah kaki yang diperlambat, hati-hati, nyaris tanpa suara. Aurora menegakkan tubuh, jantungnya berdegup kencang. Suara itu berasal dari lorong, semakin dekat. Semakin nyata. Aurora bangkit perlahan, menahan napas, mendekati pintu. Dengan tangan gemetar, membuka celah kecil untuk mengintip. Lorong panjang gelap, hanya diterangi cahaya temaram lampu dinding. Bayangan gelap menempel di setiap sudut, membuat jantungnya seakan berhenti. Aurora melangkah keluar, langkahnya pelan dan hati-hati. Ujung gaunnya menyapu lantai, menambah rasa ngeri. Lorong itu panjang, dengan pintu-pintu kamar lain yang tertutup rapat. Udara dingin merayap, menusuk kulitnya, membuat bulu kuduk berdiri. Tiba-tiba, dari ujung lorong, sebuah bayangan bergerak cepat. Tinggi, besar, bergerak tanpa suara. Aurora menahan teriakan, jantungnya seperti ingin meloncat keluar. Ia mundur beberapa langkah, lalu berlari kembali ke kamar, menutup pintu rapat-rapat. Tubuhnya menempel di pintu, napas tersengal, jantung nyaris berhenti. Sunyi. Tidak ada suara langkah lagi. Aurora menutup wajah dengan kedua tangan, air mata jatuh. “Aku tidak aman… aku benar-benar tidak aman di sini.” Ponselnya bergetar. Aurora meraih dengan tangan gemetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Hanya sebuah foto. Aurora membeku. Foto itu adalah dirinya… barusan, berdiri di lorong dengan pintu kamar terbuka. Aurora hampir menjatuhkan ponselnya. Seseorang cukup dekat untuk memotretnya. Darahnya membeku. Ia mendongak, menatap sekeliling kamar. Lampu masih menyala, pintu terkunci. Tapi hawa dingin semakin pekat, seolah ada mata-mata yang terus mengawasinya dari balik dinding. Aurora menutup mulut dengan tangan, napas tersengal, tubuh gemetar hebat. Ia tahu satu hal pasti: ancaman ini nyata, dan tidak seorang pun bisa dipercaya. Tidak Rayden, tidak rumah ini, bahkan tidak teman lama yang ia percayai. Rasa takut yang membeku di hati Aurora kini berpadu dengan tekad. Ia sadar bahwa rahasia yang mengintai Rayden lebih besar dari yang ia bayangkan. Dan dirinya telah terjerat terlalu dalam. Di luar jendela, bayangan gelap bergerak lagi. Hanya sekilas, cepat, namun cukup untuk membuat Aurora sadar—ia sedang diawasi, setiap saat, dan siapa pun bisa berada lebih dekat daripada yang ia duga. Aurora menelan ludah, wajah pucat pasi, matanya terpaku pada ponsel yang masih menampilkan foto dirinya sendiri. Satu pertanyaan terus berputar di kepala, menusuk lebih dalam daripada ketakutan yang ia rasakan: Siapa mereka?Bab 6 – Bayangan dalam GelapAurora duduk kaku di tepi ranjang, ponsel di tangan. Pesan itu terus menari-nari di matanya, meski layar sudah gelap:"Berhenti mencari tahu, atau kau akan berakhir seperti mereka."Kata-kata itu menempel di kepalanya seperti paku berkarat. Aurora menatap layar kosong, seakan pesan itu bisa muncul lagi kapan saja, kapan pun, tanpa bisa ia kendalikan.Siapa mereka? Apakah orang-orang yang pernah mengenal Rayden? Atau korban dari sesuatu yang bahkan ia belum mengerti? Pikirannya melompat ke foto-foto di laci terkunci kemarin—foto dirinya. Sejak lama, ia ternyata diawasi. Dan sekarang, pesan itu seperti ancaman yang menempel di kulitnya, memaksa Aurora berhenti mencari jawaban.Aurora menelan ludah, jantungnya berdetak tak beraturan. “Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” bisiknya nyaris tanpa suara. Ia merasa seperti ditarik masuk ke labirin gelap tanpa jalan keluar, di mana setiap sudut penuh bayangan yang menunggu untuk menelan dirinya.Suara engsel berdeci
Bab 5 – Jejak yang Disembunyikan Pagi itu Aurora terbangun lebih awal. Matanya masih berat, tubuhnya lemas, tapi rasa gelisah membuatnya tak bisa kembali tidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Malam tadi, Rayden tidur di sofa panjang di ruang kerja, meninggalkannya sendirian, meninggalkan kehampaan yang semakin menekan dada.Aurora menarik napas panjang, menelan rasa tidak nyaman yang menempel di hati. Sesuatu salah. Ia bisa merasakannya. Rahasia Rayden bukan sekadar dinginnya sikap atau urusan pekerjaan yang ia rahasiakan. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya, tersembunyi di balik ketenangan dinginnya—sesuatu yang membuatnya merinding dan penasaran sekaligus.Dengan hati-hati, ia bangkit dan melangkah pelan menuju lemari. Jantungnya berdebar, seolah setiap langkah bisa memicu sesuatu yang tak diinginkan. Tangannya gemetar saat menyentuh pegangan laci kecil di sisi lemari. Laci itu terkunci, mengundang rasa penasaran sekaligus ketakutan.“A
Bab 4 – Dinding Dingin di Antara KitaAurora terbangun dengan mata sembab dan dada sesak. Ranjang megah di sampingnya kosong; Rayden tidak pernah kembali sejak meninggalkan kamar tadi malam, meninggalkannya sendiri di malam pertama yang seharusnya istimewa.Ia duduk di tepi ranjang, menarik selimut putih yang masih beraroma wangi lavender, meremas ujung kain hingga kusut. Malam pertama yang diimpikan banyak perempuan kini berubah menjadi kesunyian yang mencekam, seolah dinding kamar memantulkan rasa hampa yang sama seperti hatinya. Setiap detik terasa lambat, dan setiap bayangan di kamar seakan menertawakannya.Aurora menatap jam di dinding. Hampir jam delapan pagi. Ia menunggu sepanjang malam, memandangi pintu yang tak kunjung terbuka, hingga akhirnya tertidur dengan air mata membasahi pipinya. Rasanya waktu seakan berjalan lebih lambat dari biasanya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Seorang pelayan masuk membawa nampan sarapan—roti panggang, buah segar, segelas jus jeruk, bahkan se
Bab 3 – Malam Pertama yang DinginAurora berdiri kaku di depan pintu kamar megah itu, tangan gemetar memegang gaun putih sederhana yang sejak sore menempel di tubuhnya. Seharusnya ini adalah malam yang paling ditunggu setiap pengantin baru—malam di mana cinta disatukan. Namun, bagi Aurora, malam ini terasa seperti pintu menuju neraka yang tak bisa ia hindari.Suara derit halus terdengar saat pintu dibuka dari dalam. Rayden sudah berada di sana, berdiri dengan kemeja hitam lengan panjang digulung hingga siku. Tatapannya tajam, auranya dingin, dan penampilannya begitu rapi sehingga setiap gerakannya tampak sempurna namun mengintimidasi. Lampu temaram menerangi ruangan dengan cahaya kekuningan, menciptakan bayangan yang jatuh di wajah pria itu, menambah kesan misterius dan menakutkan.Aurora menelan ludah, mencoba mencari napas. “Aku… aku sudah di sini.” Suaranya bergetar, terdengar seperti bisikan yang hampir tertelan udara.Rayden mengamati Aurora dari ujung kepala hingga kaki. Tatapan
Bab 2 – Malam Pertama Tanpa KehangatanMalam telah larut. Hujan yang sejak siang mengguyur kota kini tinggal rintik-rintik tipis yang menetes di kaca jendela kamar pengantin. Suara tetesannya terdengar seperti irama yang menghantui, menembus dinding, menyusup ke dalam setiap celah pikirannya. Aroma bunga mawar putih memenuhi udara, begitu pekat hingga terasa mencekik, bercampur dengan aroma lilin aromaterapi yang redup, menciptakan suasana yang seharusnya romantis. Tapi bagi Aurora, itu justru menambah kesunyian, menambah rasa terjebak yang semakin menekan.Aurora duduk di tepi ranjang besar berhias sprei sutra yang lembut di kulitnya. Gaun pengantin yang tadi menempel sempurna di tubuhnya sudah ia lepaskan, diganti piyama sederhana warna pastel. Bahunya merosot lemah, kedua tangannya memeluk tubuh sendiri seolah mencoba menahan kehampaan yang menggerogoti hatinya. Matanya menatap kosong ke jendela, namun pikirannya terbang jauh ke masa depan yang tidak ia pilih.Seharusnya malam ini
Bab 1 – Pernikahan Tanpa HatiHujan deras mengguyur kota sejak pagi, menimbulkan genangan di jalanan dan aroma tanah basah yang menusuk hidung Aurora. Setiap tetes yang jatuh di genting seakan meniru denyut jantungnya sendiri—tak beraturan, tegang, penuh kecemasan. Di luar jendela kamar pengantin, langit kelabu seolah ikut meratapi nasibnya. Kota tampak indah dari balik kaca, lampu-lampu jalan memantulkan diri di genangan air, menciptakan kilau yang seharusnya romantis. Tapi bagi Aurora, itu semua hanyalah ilusi.Di dalam gedung pernikahan yang megah, lampu kristal berkilau, memantulkan cahaya lembut ke dinding marmer. Hiasan bunga bertebaran, aroma segar memenuhi ruangan, musik lembut dari orkestra mengalun menenangkan. Semua terlihat sempurna. Semua orang akan berpikir ini adalah pernikahan impian. Namun Aurora merasa seperti terperangkap di dalam mimpi buruk yang tak bisa ia hindari.Aurora berdiri di depan cermin besar di ruang pengantin. Gaun putih panjang menempel sempurna di tu