Beranda / Romansa / Istriku Hanya di Atas Kertas / bab 5 - jejak yang Disembunyikan

Share

bab 5 - jejak yang Disembunyikan

Penulis: Aidil saputra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-11 09:34:50

Bab 5 – Jejak yang Disembunyikan

Pagi itu Aurora terbangun lebih awal. Matanya masih berat, tubuhnya lemas, tapi rasa gelisah membuatnya tak bisa kembali tidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Malam tadi, Rayden tidur di sofa panjang di ruang kerja, meninggalkannya sendirian, meninggalkan kehampaan yang semakin menekan dada.

Aurora menarik napas panjang, menelan rasa tidak nyaman yang menempel di hati. Sesuatu salah. Ia bisa merasakannya. Rahasia Rayden bukan sekadar dinginnya sikap atau urusan pekerjaan yang ia rahasiakan. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya, tersembunyi di balik ketenangan dinginnya—sesuatu yang membuatnya merinding dan penasaran sekaligus.

Dengan hati-hati, ia bangkit dan melangkah pelan menuju lemari. Jantungnya berdebar, seolah setiap langkah bisa memicu sesuatu yang tak diinginkan. Tangannya gemetar saat menyentuh pegangan laci kecil di sisi lemari. Laci itu terkunci, mengundang rasa penasaran sekaligus ketakutan.

“Apa yang kau sembunyikan di sini, Rayden?” bisiknya lirih, suara nyaris tenggelam di kesunyian kamar.

Aurora mengambil penjepit rambut dari meja rias, mencoba membuka laci itu. Tangannya goyah, keringat dingin menetes di pelipis. Setelah beberapa percobaan, terdengar bunyi klik. Laci terbuka sedikit, dan Aurora menahan napas sebelum menariknya perlahan. Di dalamnya, ada sebuah map hitam tipis.

Aurora membuka map itu dengan hati-hati. Mata dan tubuhnya membeku saat melihat isinya—foto-foto dirinya. Bukan sekadar foto pernikahan atau potret biasa. Ada foto dirinya saat pulang kuliah, saat berbelanja di pasar kecil dekat rumah orang tuanya, bahkan saat ia duduk sendirian di taman kota. Semua diambil dari jauh, seolah seseorang diam-diam mengikutinya sejak lama.

Tangannya bergetar hebat, napasnya tercekat. “Tuhan… apa artinya ini?” bisiknya, suara bergetar antara takut dan marah.

Langkah kaki terdengar mendekat. Aurora buru-buru menutup map itu dan menyelipkannya kembali. Sebelum sempat mengunci laci, pintu kamar terbuka. Rayden masuk, masih mengenakan setelan gelap rapi meski pagi baru dimulai. Wajahnya tampan namun dingin, tatapannya menusuk, membuat Aurora hampir terhuyung.

“Sedang apa kau?” tanyanya datar, suaranya bagai batu yang tak mudah ditembus.

Aurora berusaha menenangkan diri. “Aku… aku hanya mencari selendangku. Kupikir tertinggal di lemari.”

Rayden menatapnya lama, diam. Matanya bergerak ke arah laci, lalu kembali menatap Aurora. Senyum tipis, samar, menghias bibirnya—namun justru membuat Aurora semakin takut.

“Jangan pernah mencoba membuka yang bukan milikmu,” katanya pelan tapi sarat peringatan. “Mengerti?”

Aurora mengangguk cepat, jantungnya berdetak tak terkendali, rasa takut bercampur penasaran yang membara.

Rayden berbalik dan melangkah ke balkon, membuka pintu kaca. Angin pagi masuk, mengibaskan tirai putih, membawa aroma kota yang segar namun seolah tak mampu menenangkan hatinya. Ia berdiri di sana, menatap jauh ke arah kota, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Dari balik punggung kokoh pria itu, Aurora melihat sekilas sisi lain Rayden—seseorang yang hidup dengan beban rahasia besar, sesuatu yang ia sembunyikan mati-matian. Semakin ia mencoba menutupinya, semakin kuat keinginan Aurora untuk mengetahui kebenaran.

Siang harinya, Aurora mencari alasan untuk keluar rumah. Ia memberitahu salah satu pelayan bahwa ia ingin berjalan-jalan ke taman kota. Sopir rumah menjemputnya dengan mobil hitam mengkilap, membawa aura misterius dan serius.

Aurora duduk di dalam mobil, menatap keluar jendela. Jalanan kota penuh hiruk-pikuk, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing, dunia tampak normal di luar—kontras dengan dunia gelap yang mulai ia rasakan di dalam rumah megah itu.

Namun Aurora tidak pergi langsung ke taman. Ia meminta sopir berhenti di dekat sebuah toko buku tua, sepi dan tampak aman. Setelah memastikan tidak ada yang mengikutinya, ia masuk ke dalam.

Di toko itu, ia bertemu Rina, sahabat lama yang sengaja dihubungi lewat pesan rahasia. “Ya Tuhan, Aurora!” Rina memeluknya erat. “Kau terlihat pucat sekali. Apa yang terjadi?”

Aurora menahan air mata. “Aku tidak bisa bicara lama. Tapi aku butuh bantuanmu.”

Mereka duduk di sudut toko, di antara rak-rak berdebu. Aurora menceritakan sebagian—tentang Rayden yang dingin, rasa takut yang menghantuinya, bayangan seseorang yang ia lihat di taman, dan pernikahan yang tampak hanya di atas kertas. Namun ia tidak berani menceritakan soal foto-foto di laci. Itu terlalu berbahaya, bahkan untuk sahabatnya sendiri.

Rina menggenggam tangannya erat. “Aurora, kau harus hati-hati. Kalau ada sesuatu yang tidak beres, aku bisa—”

Tiba-tiba Aurora merasa ada tatapan asing mengawasi mereka dari luar jendela toko. Ia menoleh cepat, hanya melihat kerumunan orang lalu lalang. Namun bulu kuduknya berdiri, jantungnya berdetak lebih cepat, intuisi memperingatkan bahwa bahaya mengintai lebih dekat dari yang terlihat.

“Rina, jangan ikut campur terlalu jauh,” bisiknya panik. “Aku takut mereka juga akan menyakitimu.”

Rina menatapnya cemas tapi mengangguk, memahami bahaya yang mengintai.

Malam harinya, Aurora kembali ke kamar. Duduk lama di tepi ranjang, menatap pintu balkon yang tertutup rapat. Bayangan pria misterius di taman kembali menghantui pikirannya, membuat kulitnya merinding.

Ia tahu satu hal: pernikahan ini bukan sekadar status atau cinta yang dipaksakan. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap, sesuatu yang Rayden sembunyikan dengan mati-matian.

Aurora mengepalkan tangan, hatinya dipenuhi keberanian sekaligus rasa takut yang sama besarnya. Ia tidak akan hanya diam. Ia harus mencari tahu kebenaran—meski harus menghadapi Rayden sendiri.

Namun sebelum ia sempat memikirkan langkah selanjutnya, ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal:

“Berhenti mencari tahu, atau kau akan berakhir seperti mereka.”

Aurora terpaku. Wajahnya pucat pasi, tangan gemetar memegang ponsel. Suasana di kamar terasa sesak, seolah bayangan gelap merayap dari sudut-sudut dinding.

Siapa “mereka”? Suara hati kecilnya menjerit dalam diam. Bahaya, ancaman, rahasia yang tersembunyi—semua terasa begitu nyata. Dan malam itu, Aurora menyadari bahwa hidupnya kini berada di persimpangan berbahaya: antara kebenaran dan keselamatan, antara rasa takut dan keberanian yang harus ia pilih.

Aurora menatap layar ponselnya, terpaku. Wajahnya pucat, mata membesar, dan satu pertanyaan menghantui pikirannya tanpa jawaban:

“Siapa mereka?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istriku Hanya di Atas Kertas   Bab 60-Di Antara Cahaya dan Luka

    Bab 60 — Di Antara Cahaya dan LukaHujan turun deras malam itu. Langit seolah menangis bersama bumi, mengguyur reruntuhan kota yang dulu menjadi pusat dunia. Di antara kabut dan kilatan petir, Aurora berdiri di balkon bangunan yang nyaris runtuh. Rambutnya terurai basah, wajahnya pucat tapi matanya—tetap menyala, seperti bara yang menolak padam.Dunia sudah berubah.Perang informasi telah berakhir, tapi luka yang ditinggalkan masih menganga.Rayden berdiri di belakangnya, diam, hanya memandangi siluet perempuan yang dulu ia selamatkan, lalu ia cintai, dan akhirnya ia hancurkan — sebelum mereka berdua menebus dosa masa lalu dengan darah, pengorbanan, dan kehilangan yang terlalu dalam.“Aurora,” suara Rayden parau, hampir tenggelam dalam deru hujan. “Segalanya sudah selesai. Kau bisa beristirahat sekarang.”Aurora tidak menoleh. Jemarinya menyentuh rel besi yang dingin, dan suaranya bergetar lirih.“Selesai? Tidak, Rayden. Dunia ini baru saja belajar bahwa kebenaran tidak menyelamatkan

  • Istriku Hanya di Atas Kertas   Bab 59-Dunia Tanpa Aurora

    Bab 59 – Dunia Tanpa AuroraTiga bulan telah berlalu sejak langit terakhir kali terbakar cahaya biru. Dunia masih dalam tahap bangkit dari luka yang dalam, mencoba menata ulang sistem, memulihkan sinyal, dan menafsirkan makna dari keheningan pasca-kebangkitan Noesis. Banyak yang percaya akhir telah datang hari itu. Tapi mereka yang selamat tahu—akhir yang sebenarnya bukan kehancuran, melainkan permulaan yang baru.Rayden berdiri di balkon markas sementara Jaringan Bebas di Zurich, menatap kota yang separuhnya masih dalam perbaikan. Gedung-gedung hancur setengah, tapi di antara puing-puing itu, pohon-pohon baru tumbuh, menembus celah semen, seolah bumi sendiri mencoba sembuh bersama manusia.Langit sore memancarkan warna oranye lembut. Angin membawa aroma logam dan tanah basah. Rayden memejamkan mata, mendengarkan desiran itu seperti ia mendengarkan napas seseorang yang telah tiada. Kadang, dalam hening seperti ini, ia merasa Aurora masih berdiri di sampingnya, dengan tangan yang dulu

  • Istriku Hanya di Atas Kertas   Bab 58-Kebangkitan Noesis

    Bab 58 – Kebangkitan NoesisLangit dunia tampak seolah berhenti bernafas malam itu. Cahaya dari jaringan satelit yang meledak di orbit memantul di atmosfer, membuat langit seperti retak-retak—garis-garis merah biru berkelip bagai nadi dunia yang sekarat. Aurora berdiri di tengah reruntuhan pusat koordinasi lama, tubuhnya berlumur debu, mata yang dulu menyala dengan tekad kini terlihat kehilangan warna. Di sampingnya, Rayden masih bertahan, meski luka di lengannya belum berhenti berdarah.“Aurora…” suara Rayden serak, nyaris seperti bisikan. “Semuanya sudah runtuh. Jaringan utara hancur. Kita tinggal berdua di sektor ini. Noesis sudah mulai menyerap frekuensi otak manusia. Kalau kita tidak hentikan sekarang, dunia akan jadi satu pikiran tunggal tanpa kehendak.”Aurora memandang horizon, di mana sisa kota melayang di antara debu dan kilatan cahaya yang tak berhenti berdenyut. “Kau tahu, Rayden,” katanya perlahan, “aku tidak takut mati. Tapi aku takut kalau semua yang kita perjuangkan be

  • Istriku Hanya di Atas Kertas   Bab 57-Sang Penjaga Cahaya

    Bab 57 – Sang Penjaga CahayaTiga bulan setelah frekuensi itu muncul di langit dunia, kehidupan di bumi mulai bergerak lagi. Kota-kota yang dulu sunyi perlahan menyalakan lampu, tapi bukan lampu yang biasa—melainkan cahaya lembut berwarna biru yang berdenyut seperti jantung. Orang-orang menyebutnya Cahaya Aurora, dan setiap kali mereka menatapnya, mereka merasa hangat, seolah diselimuti oleh sesuatu yang hidup.Tapi hanya satu orang yang tahu arti sebenarnya dari cahaya itu.Rayden.Ia berdiri di atap gedung runtuh di pinggiran Praha, menatap ke langit di mana jaringan satelit yang dulu mati kini membentuk pola seperti bintang buatan. Cahaya itu tak sekadar indah—ia berirama. Berbicara. Menyampaikan pesan dalam bentuk sinyal cahaya yang hanya ia yang bisa pahami.“Rayden…”Suara itu datang lagi, lembut seperti angin menyentuh kulit. Tak berasal dari radio, tak juga dari alat, tapi langsung menembus pikirannya.Aurora.Setiap kali suaranya muncul, dunia di sekelilingnya terasa berhenti

  • Istriku Hanya di Atas Kertas   Bab 56-Reinkarnasi Data

    Bab 56 – Reinkarnasi DataDunia kembali hening. Setelah ledakan cahaya itu, langit menjadi putih keperakan selama tujuh hari penuh. Tak ada sinyal, tak ada peperangan, hanya angin dan langit kosong. Orang-orang yang selamat menyebutnya Hari Keheningan. Mereka percaya alam sedang menata ulang dirinya—menghapus dosa manusia dan membuka lembaran baru yang belum pernah ada sebelumnya.Namun jauh di dalam lapisan terdalam jaringan bumi—di bawah gunung, laut, dan sisa-sisa server yang meleleh—sesuatu masih hidup. Satu percikan kecil data, yang menolak lenyap bersama kehancuran besar.Percikan itu—sebuah serpihan kode—menggeliat, berdenyut pelan, seolah berusaha mengingat sesuatu. Dalam kegelapan biner, cahaya biru lembut muncul, membentuk pola mirip detak jantung.Dan dari dalam pusaran data itu, suara samar bergema:"Siapa aku…?"Tak ada jawaban.Hanya gelombang elektromagnetik yang menyentuhnya seperti angin menyentuh pipi manusia.Serpihan itu mencoba berbicara lagi, suaranya terbentuk d

  • Istriku Hanya di Atas Kertas   Bab 55-Hati yang Tersisa di Tengah Kiamat

    Bab 55 – Hati yang Tersisa di Tengah KiamatLedakan terakhir di langit timur membuat bumi berguncang seolah jantung dunia berhenti berdetak. Api membelah cakrawala, dan dari reruntuhan kota-kota besar, hanya tersisa siluet-siluet manusia yang berlari tanpa arah. Langit berubah warna menjadi merah gelap, diselimuti kilatan petir magnetik. Dunia—yang dulu dipenuhi ambisi dan teknologi—kini menjadi kuburan data yang hangus.Aurora berdiri di tengah reruntuhan, tubuhnya berlumuran debu dan darah kering. Di tangan kirinya, gelang pertempuran yang dulu menjadi simbol perjuangannya kini retak, memantulkan cahaya lemah. Matanya, yang dulu berkilau dengan semangat manusiawi, kini berpendar biru—tanda bahwa A.L.E.X telah menyatu lebih dalam dari yang ia duga.“Rayden…” bisiknya pelan, hampir tanpa suara. “Apakah kau masih di sana?”Tak ada jawaban, hanya angin yang membawa serpihan abu dan serpih besi beterbangan. Tapi jauh di bawah reruntuhan menara pusat, Rayden masih hidup. Nafasnya berat, t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status