Home / Romansa / Istriku, Kekasih Abangku / 3. Melamar Gadis yang Dicintai Abangku

Share

3. Melamar Gadis yang Dicintai Abangku

Author: Setiga
last update Huling Na-update: 2021-11-02 19:14:11

"Bu Ana! Ibu ikut main?"

 

Ana yang sedang duduk di meja guru, menggeleng sambil tersenyum ke arah muridnya yang baru keluar kelas dengan karet-karet di tangan.

 

Muridnya itu pun mengangguk ceria, lalu keluar dari kelas bersama teman-temannya. Jika sudah jam istirahat seperti ini, Ana hanya akan beristirahat di dalam kelas. Ia tidak tertarik sama sekali berlama-lama di kantor. Bukan, bukan karena memiliki masalah dengan sepuluh guru lain, hanya saja mereka semua telah menikah termasuk guru yang satu tahun lebih muda darinya. Sehingga, obrolan mereka seputar suami, anak, dan hal-hal intim yang dihindari Ana.

 

"Woi! Zeana!" seru seorang gadis yang baru masuk ke kelas, menghampiri Ana yang terlihat terkejut. Gadis itu langsung duduk di atas meja, di dekat Ana.

 

"Mending kamu ikut main sama murid-muridmu. Tingkahmu itu kan sama kayak mereka, bocah kelas lima Sekolah Dasar," ejeknya.

 

Ana menyipitkan mata menatap sahabat bobroknya yang satu ini, dan juga sahabat dekat satu-satunya. "Kamu ngapain ke sini? Tokomu bangkrut?"

 

Gadis itu melemparkan buku di atas meja hingga mengenai kepala Ana. "Astaghfirulloh, amit-amit!" serunya tak terima. "Kamu kalau ngomong sembarangan!"

 

Ana mengambil buku itu dengan kesal, lalu meletakkannya baik-baik di atas mejanya yang besar. "Eh, Inka! Ini buku murid, main lempar aja. Untung gak rusak!"

 

Gadis yang dipanggil Inka itu, tertawa kencang. Ia terlihat semberono sekali, tidak cocok dengan tampilan rapi dan parasnya yang terlihat cantik dan kalem.

 

"Ibumu tadi mampir ke toko, ingin membeli baju sambil menggerutu. Jadi, setelah itu, aku langsung ke sini."

 

 "Ibu kenapa?" tanyanya takut-takut karena sudah tahu perkara apa yang akan dikatakan Inka.

 

Inka mengulum senyum. Ia menatap sahabatnya itu, turut prihatin. "Kamu, sih, harusnya jelasin ke ibu baik-baik, supaya beliau juga paham."

 

"Percuma," ungkapnya pasrah. "Bagi ibu, wanita itu setelah wisuda, ya, bekerja, dan setelah itu harus menikah. Padahal, aku ingin melanjutkan kuliah S2."

 

 "Terus kenapa, kamu menolak semua pria yang ingin bertemu denganmu? Ibu menggerutu tentang itu tadi." Inka tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. "Apa kamu masih teringat cinta pertamamu itu?"

 

Ana terdiam sebentar, ia sedikit tersentak. "Ravi? Kami tidak pernah berkomunikasi sedari enam tahun yang lalu. Jadi, semua tidak ada hubungan dengannya. Aku menolak, karena ingin mengejar karier."

 

"Setidaknya berteman saja dengan lelaki ...," Inka turun dari meja, mendekat pada Ana lalu berbisik, "supaya ibu tak menuduhmu tidak normal lagi."

 

Ana memukul kepala sahabatnya dengan kesal, hingga membuatnya meringis. "Kalau sampai hal itu masih berlangsung, kamu tersangka utamanya, karena aku hanya dekat denganmu!"

 

Inka mendecih. "Cih! Aku punya calon suami. Jadi, kamu bakal sendirian kesulitan di sini," katanya merdeka sambil memeletkan lidah. "Makanya, jangan terlalu menutup diri."

 

Ana mengambil rol kayu panjang di atas mejanya, lalu memukul Inka dengan itu. Ia sangat kesal sekali, karena sahabatnya ini hanya menambah beban pikirannya. Inka berlari keluar kelas, Ana masih setia mengejar sambil mengangkat rolnya. 

 

Ia pun terdiam ketika murid-muridnya yang berseragam putih-merah itu, menghentikan aktivitas bermainnya sejenak untuk memandangnya. Ana tidak bisa berbuat apa-apa, karena ia seorang guru sekarang. Lihat saja ketika ia telah melepas seragam di luar sekolah nanti, ia akan membalas Inka.

 

Inka tertawa, lalu berjalan cepat ke arah Ana. "Aku harap kamu segera dilamar pangeran berkuda putih," ungkapnya, sambil tetap waspada dengan rol di tangan Ana. "Aku pergi dulu, sampai jumpa sahabatku yang mengenaskan," ujarnya. Ia kemudian berlari pergi karena Ana kembali mengangkat rolnya.

 

Melihat Inka yang memelesat pergi seperti itu, membuat Ana tertawa sambil menggeleng. Sahabatnya itu padahal lebih bocah darinya, tetapi selalu mengejeknya seperti anak-anak. Ya, walau sebenarnya mereka berdua sama saja.

 

"Anak-anak ibu, lanjut saja mainnya," suruh Ana ramah dengan senyuman mengembang. 

 

Murid-muridnya mengangguk senang, dan lanjut bermain dengan semangat.

 

 

***

 

Bel pulang telah berbunyi dari setengah jam yang lalu. Namun, Ana masih sibuk mengoreksi kertas ulangan murid-muridnya, dan menuliskannya ke dalam buku nilai. Ia menarik tangan tinggi-tinggi ke atas, untuk merenggangkan badan.

 

Ia pun tersenyum senang ketika pekerjaannya hari ini sudah selesai. Dengan cepat, ia mengambil tas, lalu berjalan keluar menuju kantor guru. Saat tiba di kantor, ia langsung disambut tatapan dan senyuman penuh arti dari guru-guru lain yang bersemangat menghampirinya.

 

"Ana ...," kata Bu Novi si kepala sekolah dengan antusias. "Pantes Ana betah menunggu, yang ditunggu pangeran tampan," godanya.

 

Ana mengernyit, tidak mengerti dengan maksud ucapan ibu ini. Oya, jangan heran, karena guru-guru di sini memegang teguh prinsip kekeluargaan yang erat, sehingga mereka terbiasa berbagi suka-duka dan akrab sekali.

 

"Kalau aku, Bu, gak apa-apa menunggu seribu tahun," tambah Bu Heni--guru olahraga--yang melebih-lebihkan.

 

 "Maksudnya, Bu?" tanya Ana mengernyit heran.

 

 "Akhirnya, adikku si Ana," ucap Kak Tata--guru kelas tiga yang sudah dianggap Ana seperti kakak sendiri--senang. "Jangan ditolak, ya, Na!"

 

Ana benar-benar tidak mengerti. Ia hanya kebingungan berdiri di ambang pintu seperti orang bodoh. Melihat Ana yang seperti itu, Bu Novi pun menjelaskan, "Tadi si ... eh, siapa namanya, Bu?"

 

 "Ravi, Bu," jawab guru-guru yang lain serentak.

 

 "Nah, iya. Pangerannya Ana datang, katanya ada perlu."

 

Ana terdiam dengan mulut menganga. Apakah Ravi yang mereka maksud sama dengan Ravi yang ada dalam pikirannya saat ini? Karena seumur hidupnya, ia hanya mengenal satu orang Ravi.

 

 "Udah, mending Ana sekarang temui dia di taman, tuh!" Bu Heni menunjuk ke arah taman di depan sekolah. Terlihat seorang pria sedang duduk di sana. "Dia sudah menunggu selama dua jam."

 

Ana terdiam, ia menelan ludah. Dari belakang, sepertinya pria itu adalah Ravi yang ada di pikirannya saat ini. Walau dari belakang, ia masih mengingat detil pria itu, bahkan, jantungnya masih berdegup kencang sekarang. Rambut pirang dan kulit putih pucatnya yang berbeda dari orang kebanyakan, masih teringat jelas dalam otaknya.

 

Ia pun memberanikan diri untuk melangkah mendekati pria itu, sebelum guru-guru di kantor berteriak lebih heboh dan mendorongnya hingga ke taman. Ana melangkah pelan, sedikit takut-takut. Ia belum siap jika harus melihat pria itu lagi.

 

 "Maaf," kata Ana pelan.

 

Pria yang sedang menunduk sambil melukis di sebuah buku itu, lalu mendongak, menatap Ana.

 

Tatapan mereka bertemu, Ana refleks menahan napas seakan-akan dunia berhenti berputar sebentar. Ternyata benar, pria itu adalah Ravi, cinta pertamanya yang kandas dulu. Ia ingat, bagaimana Ravi selalu berusaha menghindarinya tanpa alasan yang ia ketahui.

 

 "Ravi?" Ana berusaha terlihat biasa saja. Ia bahkan tersenyum kecil, bersikap seakan sedang menyapa teman lama.

 

 "Ada apa?" tanyanya langsung sambil duduk di seberang pria itu.

 

Ravi tak menjawab ucapan Ana. Ia diam dengan ekspresi dingin. Hening tercipta, tak ada lagi dari mereka yang mau berbicara. Ravi pun menutup buku itu, yang berisi lukisan sekolah ini yang ia lukis selama menunggu Ana. Ia menoleh, memandang Ana yang tampak tegang.

 

 "Maukah kamu menikah denganku?" tanyanya datar.

 

Ana tak merespons, otaknya seperti membeku, tak bisa memproses ucapan Ravi dengan cepat. Satu menit kemudian, ia berkata, "Ha?" Ya, hanya itu yang bisa diungkapkannya. Lagian, siapa pun yang sedang berada di posisinya sekarang, pasti akan merespons hal yang sama.

 

Ravi terus memandang Ana, dengan tatapan dingin. "Maukah kamu menikah denganku?" ulangnya dengan nada bicara yang masih datar.

 

Kedua alis Ana terangkat, lalu berubah kernyitan.

 

Apa yang sedang dilakukan oleh pria di hadapannya saat ini? Melamarnya? Bahkan, dengan ekspresi dingin, dan nada ajakan yang terdengar datar seperti itu?

 

 

 

 

***

 

Terima kasih telah membaca. :))

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istriku, Kekasih Abangku   27. Pergi dari Rumah Ini!!!

    Ana berdeham kecil, ia merasa ada sesuatu yang mengganggu kerongkongannya. Matanya menyipit saat melihat ke sudut kanan bawah layar laptop yang menunjukkan pukul dua pagi.Ia menarik napas panjang sambil menyandarkan punggung di sandaran sofa. Rasanya sudah cukup untuk hari ini. Tiba-tiba, ia tercenung.Entah berapa lama ia seperti itu, sebuah suara dari arah dapur menyadarkannya. “Kamu, Vi?” tanyanya untuk memastikan.Tidak ada jawaban.Ia berinisiatif untuk melihatnya sambil membawa salah satu buku yang paling tebal di atas meja. Langkah kakinya terkesan pelan dan hati-hati, sebelah tangannya terangkat sambil menggenggam buku tersebut.Walau dari belakang, ia tahu jika seseorang yang saat ini berdiri memunggunginya di dekat kompor adalah sang suami. Ide jail untuk mengganggu pria itu pun muncul, ia berjalan mengendap-ngendap.“Dor!” seru Ana setengah berteriak sambil memukulkan pelan buku itu ke punggung Ravi.Ravi terlihat terkejut, sampai-sampai hampir menyemburkan air yang diminu

  • Istriku, Kekasih Abangku   26. Bertengkar Hebat

    “Tolong sapuan kuasnya … lebih halus lagi. Di bagian ini …,” komentar Ravi yang berhenti di sebelah salah satu muridnya. “Secara keseluruhan harus seimbang dengan paduan warna yang tipis.” Ia menoleh sebentar ke arah remaja perempuan enam belas tahun itu sambil tersenyum ramah. “Ya, kamu bisa.” Muridnya tersebut tersenyum lalu mengangguk. Dia melemparkan tatapan kagum ke arah Ravi yang berjalan meninggalkannya menuju murid lain. “Hm … poin dari teknik aquarel ini adalah sapuan yang tipis, transparan, dan tembus pandang.” Ia membungkuk, menyejajarkan tubuh dengan kanvas yang sedang dilukis oleh murid lelaki tujuh belas tahun. “Ini masih terlihat sebaliknya, bahkan di bagian ini menutup penuh latar belakang objek. Sepertinya kamu masih terpaku dengan teknik plakat yang terakhir kali kita pelajari.” “Ah, iya, Pak.” Remaja lelaki itu cengengesan. “Maaf, Pak. Padahal aku bertekad lulus tes universitas tanpa halangan,” keluhnya. “Aku akan banyak latihan lagi.” “Kamu pasti bisa.” Ravi ter

  • Istriku, Kekasih Abangku   25. Saran 'Kotor' dari Inka

    “Aduh!” Ana melompat-lompat agar mencapai bagian kaca jendela paling atas. Sudah banyak yang dikerjakannya--tentu saja dibantu sang suami--sebelumnya, dan kini tenaganya cukup terkuras. Tubuhnya sedikit tersentak ke belakang karena ada tangan lain yang berhasil mencapai bagian itu. Ia bisa merasakan seseorang berdiri tepat di belakangnya. “Lain kali kalau gak mampu, minta bantuan sama yang lebih mampu.” Suara berat itu membuat Ana merinding, jantungnya juga berdebar sekarang. “Sudah jelas tidak akan sampai, Pendek!” Baiklah, suara itu mulai terdengar menyebalkan. Ana pun berbalik, ia bisa melihat wajah suaminya walau harus mendongak karena ia hanya sebahu sang suami. “Berniat menolong, atau ngata-ngatain?” tanyanya menantang dengan mata menyipit. “Emosimu mudah terpancing,” kata Ravi dengan tawa kecil yang mengejek. “Tidak berubah.” Seketika Ana terdiam. Tidak berubah? Apa artinya Ravi masih mengingat sikapnya sedari masa sekolah dulu? Ia jadi merasa senang. “Kenapa?” Sebela

  • Istriku, Kekasih Abangku   24. Untuk Pertama Kalinya

    “Kamu mengejekku?” Mata Ravi menyipit memandangnya.Ana menggeleng. “Mengapa kamu selalu berprasangka buruk seperti itu?” tanyanya menantang. “Aku bersungguh-sungguh mengatakannya … suamiku seperti tokoh di dalam film.” Suaranya terdengar meyakinkan.“Film apa?” tanya Ravi hati-hati, masih memandang curiga.“Azab, enggak, ini … film Korea,” koreksi Ana cepat sebelum pria itu mengamuk. “Film Korea, tentu saja! Tidak perlu dipertanyakan lagi.”“Teruslah mengejekku.”“Aku tidak mengejek.” Ana menggosok telapak tangan dengan cepat, membersihkan permukaannya. Ia lalu menengadahkan tangan ke arah sang suami. “Seorang suami yang tampan dan kaya raya.” Senyumannya pun mengembang. “Bukankah selalu menjadi tokoh utama yang diidamkan semua penonton?”“Aih, selain hobi mengejek, kamu juga pandai menyanjung orang lain.” Ravi pun berdiri, ia telah menyelesaikan makannya. “Karena kemarin aku sudah membersihkan sampah camilan dan mempersiapkan sarapan, jadi kamu yang membersihkan semua ini. Aku mau m

  • Istriku, Kekasih Abangku   23. Tokoh-Tokoh di Dalam Film

    Suara keyboard beradu cepat dengan jari-jari tangan memenuhi ruangan yang sepi ini. Televisi menyala, tetapi tanpa suara. Gelas kosong dan sampah camilan hampir memenuhi meja, berantakan sekali.Ana meraih gelas di dekat laptopnya tanpa menoleh, ia masih fokus bekerja. Di rumah ia memiliki pekerjaan sebagai pekerja lepas, seperti menulis artikel untuk website dan menulis novel online. Memang banyak cara yang dilakukannya untuk mendapatkan uang.“Eh, kosong.” Ana menyadari gelasnya kosong, bahkan air di teko juga sudah habis. Ia pun memandang ke arah jam dinding yang berada di atas televisi. “Sudah pukul dua belas malam?!” Matanya melotot kaget, lantas segera mengecek ponsel. “Ravi tidak ada mengabari sama sekali. Ah, menyebalkan.”Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi untuk merenggangkan badan. Ketika sudah berada di depan laptop, ia bisa menghabiskan banyak waktu tanpa terasa. “Karena sudah malam, lebih baik berhenti. Besok pagi sekolah.”Ia beralih mematikan laptop, kemudian terli

  • Istriku, Kekasih Abangku   22. Senang Berbisnis Dengan Anda, Pak!

    Ana langsung berbalik pergi setelah mengatakan hal itu. Sedangkan Ravi terdiam, ia sedikit terkejut karena sikap dan perkataan istrinya meski ia tahu bahwa istrinya itu bukan tipe orang yang akan menerima saja jika merasa diperlakukan tidak baik. Bagaimanapun dulu mereka satu sekolah dan sempat dekat, sehingga ia cukup mengenalnya. Sama seperti surat perjanjian pra-nikah yang dulu mereka tanda tangani, itu untuk melindungi dirinya. Sekali lagi, dia bukan wanita yang mau tertindas.Baru lima langkah, Ana terdiam. Ia teringat nasihat ibunya--sebelum acara ijab kabul waktu itu--agar menjadi istri yang sholeha. Bukan hanya sang ibu, kakak, bahkan Inka--yang tadi malah menyuruhnya bertindak sebaliknya--juga memiliki nasihat yang sama. Seakan-akan mereka semua khawatir dan memiliki firasat jika ia tidak bisa menjadi istri yang baik. Meski diakui, ya, hal itu memang mungkin.Terdengar embusan napas berat yang cukup kuat dari Ana, hal itu menarik perhatian Ravi untuk memandang ke arahnya.“Ba

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status