Home / Romansa / Istriku, Kekasih Abangku / 4. Kami Saling Mencintai

Share

4. Kami Saling Mencintai

Author: Setiga
last update Huling Na-update: 2021-11-03 16:31:52

"Aku mohon, menikahlah denganku."

 

Mata Ana mengerjap beberapa kali. Ia tidak paham dengan situasinya sekarang. Apakah ia sedang dikerjai? Pria itu bahkan tidak mengubah ekspresi dan nada bicaranya sama sekali meskipun sedang memohon.

 

Ia pun menoleh sekitar, terlihat sepi. Tidak ada kamera, tidak ada tanda-tanda orang bersembunyi untuk menyorakinya nanti jika seandainya ia termakan dengan keadaan ini.

 

Lantas, ini apa?

 

Namun, jujur, jauh di dalam hati Ana, ada perasaan bahagia yang muncul. Bagaimana tidak? Pria yang tiba-tiba muncul di hadapannya saat ini, dan melamarnya, adalah cinta pertama yang selalu ia cintai dan jaga--ia menjaga perasaannya untuk terus mencintai pria itu sedari dulu walau tak berbalas. 

 

Mungkin terdengar konyol, karena Ana bertahan dengan perasaannya seperti itu, layaknya anak kecil yang percaya pada dongeng favorit mereka bahwa itu nyata.

 

Ya, orang lain tidak akan mengerti. Hanya Ana yang tahu. 

 

"Mengapa tiba-tiba?" tanya Ana, berusaha tetap tenang.

 

Ravi tersenyum kecil. Ia masih menatap Ana. "Aku membutuhkanmu."

 

Senyuman kecil refleks terukir di wajah Ana, tetapi berusaha ia hilangkan kembali senyuman itu. Lagian, ini tetap tak masuk akal. Dilamar tiba-tiba padahal sudah lama sekali tidak berkomunikasi? Mustahil. Namun, hal mustahil itu menjadi nyata sekarang.

 

"Butuh? Vi, bukannya--"

 

"Apa yang salah?" tanya Ravi. Sebelah alisnya terangkat, ia berkata dengan hati-hati kemudian, "Kamu sudah bekerja, usia cukup matang, dan belum menikah." Ia mendekatkan badan, menautkan jari-jari di atas meja. "Kamu juga sudah lama tidak dekat dengan siapa pun."

 

Ana mengernyit heran. "Kamu memata-mataiku?"

 

Ravi memutar bola matanya malas. Ia merasa muak, gadis ini lama sekali memberikan jawaban, padahal ia hanya ingin melamar. Ia butuh segera mendapatkan calon istri. Meski hanya gadis ini satu-satunya harapan yang dimiliki. Kalau begitu, ia akan berjuang dengan baik.

 

Ia menunjuk ke jari Ana. "Tidak ada cincin pernikahan di jari, sosial mediamu terlihat hampa dan jauh dari foto-foto pria bahkan jarang ada interaksi di sana." Ia kembali menatap serius. "Tidak perlu memata-matai, itu mudah sekali ditebak."

 

Ana terdiam sejenak, ia akhirnya menjawab, "Beri aku waktu."

 

"Berapa lama?" desaknya. "Oke, dua puluh empat jam," putus Ravi mutlak. Ia segera berdiri, lalu berlalu pergi menuju mobilnya yang terparkir di depan gerbang sekolah.

 

"A ...." Ana menutup mulutnya kembali. Ia terkejut karena pria itu pergi begitu saja, dan yang lebih parahnya, ia yang mengatur dan terkesan terburu-buru.

 

"Inka pasti tidak percaya ini." Senyuman Ana mengembang. Walaupun di satu sisi ia kebingungan dengan kejadian dadakan ini, tetapi ia cukup bahagia bisa melihat pria itu lagi.

 

Ternyata, perasaannya kepada pria itu belum berubah.

 

***

 

Sepanjang jalan, Ravi merutuki dirinya sendiri. Ia terus menyetir, dan mengeluarkan umpatan kecil karena kesal. Mengapa ia harus berada di situasi seperti ini? Namun, ia tetap tidak tega untuk menolak dan mengecewakan ibunya.

 

"Setidaknya dia yang paling aman untuk dinikahi sekarang, karena dia bukan tipe gadis yang macam-macam."

 

Ravi semakin merutuki dirinya ketika mobil yang dikendarai membawanya ke halaman studio foto, tempat Risa bekerja hari ini. Semenjak kejadian dua hari yang lalu, ia dan kekasihnya itu belum bertukar kabar. Namun, ia tahu jika kekasihnya ada di studio sekarang, karena dia sangat aktif di media sosial untuk merekam kegiatannya sehari-hari.

 

Ia memarkirkan mobil. Bagaimanapun, mereka harus bicara. Hubungan yang selama ini telah dibangun, tidak mungkin sia-sia begitu saja. 

 

Sepuluh menit berlalu, ia melihat Risa keluar dari studio. Sepertinya gadis itu hendak pindah lokasi pemotretan. Ravi pun segera keluar dari mobil untuk mengejarnya.

 

"Sa ...," panggilnya. 

 

Risa berbalik, kedua alisnya terangkat--cukup terkejut karena pria itu muncul di hadapannya. Ia menyuruh rekan kerjanya untuk pergi dahulu, dan mengatakan akan menyusul saja. Karena semua rekan kerjanya tahu jika ia memiliki hubungan spesial dengan Ravi, mereka setuju untuk pergi. Sebelum pergi, mereka menyapa Ravi dengan ramah.

 

"Ada apa, Vi?" tanya Risa cuek.

 

Ravi memangkas jaraknya dengan gadis itu. Ia menatap lembut, lalu berkata pelan, "Kita butuh bicara, Sa, tapi jangan di sini, ya ...," pintanya.

 

"Di sini saja!" Risa melipat kedua tangan di depan dada. "Kamu lihat, 'kan, kalau aku sedang bekerja?"

 

Ravi mengangguk. "Iya, maaf, Sa."

 

"Lantas?" Kedua alis Risa bertaut, ia memandang Ravi kesal. "Kalau kamu ke sini hanya untuk membujukku, maka semuanya hanya sia-sia." Ia berbalik, hendak melangkah pergi. 

 

Sebelah tangan Ravi menarik tangan Risa, untuk mencegah gadis itu agar tak meninggalkannya. Ia maju selangkah, dan menyambut tubuh kekasihnya dengan sebuah pelukan. "Maaf, aku egois," ungkap Ravi.

 

Risa tak membalas pelukannya, membuat Ravi melepaskannya, dan menatapnya teduh.

 

"Sa ... apa kamu bolehin aku nikah sama gadis lain?" Ravi menggenggam kedua tangan Risa. Pandangannya tak lepas dari gadis itu, sekan-akan tak mau melewatkan sedetik pun reaksinya. "Bantu aku ...."

 

Risa terdiam. Ia mencintai Ravi, tetapi ayo, lah! Ini kesempatan terbaiknya untuk karier yang lebih bagus. Bukankah kekasihnya ini juga sangat egois? Mengapa memaksa untuk menikah di saat seperti ini? Padahal, mereka berjanji akan menikah setelah Risa mencapai puncak kariernya.

 

"Aku berangkat tiga minggu lagi," ungkap Risa tanpa menjawab pertanyaan Ravi. "Ternyata, masih butuh sedikit waktu lagi untuk mengurus visa."

 

"Kamu ... tidak bisa menunggu?"

 

Risa mengembuskan napas berat. Emosinya tampak terpancing. Ia memandang kesal pria di hadapannya. "Harusnya pertanyaan itu untukmu, Vi! Tidak bisakah kamu atau ibumu itu menunggu!" serunya marah. "Mengapa harus aku? Kamu menyuruhku berkorban sebesar ini!?" tanyanya tak terima. "Mengapa bukan kamu yang berkorban! Padahal kamu dan ibumu hanya perlu bersabar beberapa tahun lagi!" teriaknya. Ia sudah kehilangan kesabaran.

 

Sesak menjalar memenuhi dada Risa. Gadis itu memegang kepalanya, dan langsung berjongkok. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu menangis. 

 

Melihat itu, Ravi menjadi sangat hancur. Ia tidak tega melihat gadis yang dicintainya menangis karenanya seperti ini. Ia segera memeluk gadisnya itu, mengusap pelan rambutnya, dan berusaha menenangkan.

 

Risa menghapus air mata. Ia mendorong tubuh Ravi agar menjauh darinya. Ia berdiri kembali, begitu pula dengan Ravi karena takut jika gadis itu akan pergi lagi.

 

"Kamu pasti tidak bisa menolak ibumu," kata Risa, ia berusaha mengatur napas, agar tetap tenang. "Aku juga mustahil mengabaikan kesempatan emas untuk karierku." Ia mendekat, menatap Ravi serius. 

 

Ravi yang selalu dicintainya, pria baik dan memesona, dan yang paling penting adalah pria itu sangat-sangat mencintainya. Di mana lagi Risa akan menemui pria sepertinya?

 

Tangan Risa terulur untuk mengusap pipi tirus Ravi. Ia menatap lekat, mengunci rapat tatapan pria itu. Wajah yang selalu menjadi candunya--iris mata cokelat, rahang tegas, hidung mancung, dan senyuman yang selalu memikatnya--, akan menjadi hal yang paling ia rindukan ketika jauh dari pria ini nanti.

 

"Jika kamu menikahi gadis lain, apa kamu akan melupakanku?" tanyanya mengiba. "Vi ... aku memilih karier, bukan berarti aku tak mencintaimu, dan kamu harus selalu ingat itu." Ia menatap yakin kemudian. "Gadis yang akan kamu nikahi pun, tidak akan memiliki rasa cinta sebesar cintaku untukmu, Vi," ungkapnya tulus.

 

Ravi menggenggam tangan Risa yang menyentuh pipinya. Ia berpikir sejenak, sambil tetap terus menatap gadis itu. Ide gila mulai bermunculan di pikirannya. "Aku tidak akan pernah melupakanmu, Sa." Ia bertanya, "Apa nanti ketika kamu kembali, kamu akan mencariku?"

 

"Di saat kamu telah berstatus suami wanita lain?" Risa menurunkan tangannya. Ia terlihat berpikir. "Tergantung bagaimana sikapmu nanti, Vi. Aku tidak bisa memastikannya. Aku juga belajar etika."

 

Tawa kecil terdengar dari bibir Ravi, lebih terdengar seperti tawa paksa. "Berarti, kamu benar-benar mempersilakanku untuk menikahi gadis lain?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tadi hanya mengujimu, Sa." Ia mengulum bibir, kepalanya tiba-tiba pusing. "Ternyata ... ambisimu lebih besar dari pada rasa cintamu untukku, Sa." Sebelum Risa berbicara, ia terlebih dahulu berkata, "Tetapi tak apa, karena ternyata mungkin keegoisanku juga lebih besar dari pada cinta."

 

"Ini hanya masalah waktu, Vi."

 

***

 

Dering dari sebuah ponsel terdengar, hingga membangunkan Ravi yang tertidur. Pria itu mengambil ponselnya, dan melihat jika jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

 

Ternyata, bukan ponselnya yang berdering. Ia pun segera bangun dari sofa menuju pintu--arah suara dari ponsel tersebut. Sepertinya Risa baru pulang, karena ia sudah menunggu gadis itu di apartemennya sedari tadi.

 

"Sa ... ya, ampun." Ravi bergegas menyambut badan Risa yang terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan. "Kamu mabuk?" tanyanya tak percaya.

 

Risa berusaha membuka matanya yang hampir tertutup. "Ravi ...." Ia tampak bingung sesaat, kemudian tersenyum lebar. "Sayang!" serunya, lalu memeluk Ravi.

 

Ravi langsung menggendong Risa menuju kamar gadis itu, dan merebahkannya di ranjang. Gadis itu setengah sadar, dan terus mengoceh tidak jelas.

 

Dering pun kembali terdengar. Risa segera menjawab teleponnya, ia tampak senang sekali.

 

Iya, Mas, aku sudah sampai.

 

Terima kasih juga untuk malam ini, Mas.

 

Gadis itu menutup telepon, lalu tersenyum ke arah Ravi yang menatapnya penuh tanda tanya. Ia pun duduk, dan menyuruh Ravi untuk duduk di tepi ranjang.

 

"Kamu sedari tadi nungguin aku?" tanyanya sambil berusaha kembali menguasai diri untuk memeroleh kesadaran. Namun, sia-sia. Ia merasa tidak sanggup lagi, dan benar-benar mabuk. "Maaf ...." Matanya mulai terpejam-pejam.

 

"Kamu selingkuh, Sa?" tanya Ravi. Sebenarnya, ia tidak sanggup menanyakan ini.

 

Risa menggeleng. "Aku cinta kamu."

 

"Terus, kamu minum sama siapa? Sudah aku bilang jangan pernah minum lagi, Sa," nasihatnya. Ia menatap gadis itu khawatir. Mengapa gadis itu seperti ini?

 

Risa menampar pipinya sendiri, berharap kesadarannya kembali. Ia menegakkan badan, berusaha membuka lebar kedua matanya. "Ini gak mudah, Vi. Ada harga mahal yang harus dibayar untuk ambisiku."

 

"Karena itu kamu tidak bisa melepaskannya? Apa yang menelepon tadi ...." Ravi tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Hatinya terasa sangat sakit. "Kamu melakukan apa dengannya?" tanyanya pelan, sorot matanya redup.

 

"Bersenang-senang," jawab Risa singkat dengan senyuman yang lebar. Ia tertawa kemudian. 

 

Risa sepertinya sudah mabuk total. Ravi terdiam, ia berpikir berat. 

 

"Kamu meracau, Sa ...." Ravi tersenyum kecil. Ia mengelus pelan kepala Risa. Ia sangat menyayangi gadis ini. "Istirahat dulu, ya." Ia merebahkan tubuh Risa, gadis itu hanya menurut.

 

Saat ini, Ravi tidak mau berpikir macam-macam. Ia percaya sepenuhnya kepada Risa. Ia pun menyelimuti gadis itu. Matanya pun menatap wajah Risa yang selalu menyenangkan hatinya. Gadis itu selalu cantik, bahkan di kondisi seperti ini.

 

Ravi mengernyit, karena terukir senyuman di wajah Risa yang terpejam. Tiba-tiba, tangan Risa menarik tangan Ravi hingga hampir terjatuh menimpanya. Untung saja Ravi refleks menahan tubuhnya. Jika tidak, wajahnya bisa beradu dengan gadis itu.

 

Risa berkata menggoda, "Sekali lagi, Mas."

 

Kedua alis Ravi terangkat. Tidak, tidak mungkin. Ia berusaha menyingkirkan jauh-jauh pikiran buruknya. Dering ponsel Risa lagi-lagi terdengar. Kali ini hanya dering singkat, sepertinya notifikasi dari W*.

 

Ravi bergerak pelan untuk mengambil ponsel Risa yang terletak di dekat kepala gadis itu. Ia membuka kunci ponsel, yang sudah ia ketahui sandinya sedari dulu. Ternyata memang benar, ada pesan masuk. 

 

Ia belum tertarik dengan si pengirim, tetapi tertarik dengan pesan yang dikirim. Ada tiga buah foto, dan sedang ia unduh.

 

Ketika ketiga foto itu telah terunduh, tangan Ravi sontak bergetar. Ia menelan ludah. Perlahan, ia gerakkan kepala untuk menoleh memandang Risa. Sungguh, ia tidak pernah menyangka akan hal ini. 

 

 

***

 

Wah, kira-kira apa, ya?

Terima kasih sudah membaca. :))

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istriku, Kekasih Abangku   27. Pergi dari Rumah Ini!!!

    Ana berdeham kecil, ia merasa ada sesuatu yang mengganggu kerongkongannya. Matanya menyipit saat melihat ke sudut kanan bawah layar laptop yang menunjukkan pukul dua pagi.Ia menarik napas panjang sambil menyandarkan punggung di sandaran sofa. Rasanya sudah cukup untuk hari ini. Tiba-tiba, ia tercenung.Entah berapa lama ia seperti itu, sebuah suara dari arah dapur menyadarkannya. “Kamu, Vi?” tanyanya untuk memastikan.Tidak ada jawaban.Ia berinisiatif untuk melihatnya sambil membawa salah satu buku yang paling tebal di atas meja. Langkah kakinya terkesan pelan dan hati-hati, sebelah tangannya terangkat sambil menggenggam buku tersebut.Walau dari belakang, ia tahu jika seseorang yang saat ini berdiri memunggunginya di dekat kompor adalah sang suami. Ide jail untuk mengganggu pria itu pun muncul, ia berjalan mengendap-ngendap.“Dor!” seru Ana setengah berteriak sambil memukulkan pelan buku itu ke punggung Ravi.Ravi terlihat terkejut, sampai-sampai hampir menyemburkan air yang diminu

  • Istriku, Kekasih Abangku   26. Bertengkar Hebat

    “Tolong sapuan kuasnya … lebih halus lagi. Di bagian ini …,” komentar Ravi yang berhenti di sebelah salah satu muridnya. “Secara keseluruhan harus seimbang dengan paduan warna yang tipis.” Ia menoleh sebentar ke arah remaja perempuan enam belas tahun itu sambil tersenyum ramah. “Ya, kamu bisa.” Muridnya tersebut tersenyum lalu mengangguk. Dia melemparkan tatapan kagum ke arah Ravi yang berjalan meninggalkannya menuju murid lain. “Hm … poin dari teknik aquarel ini adalah sapuan yang tipis, transparan, dan tembus pandang.” Ia membungkuk, menyejajarkan tubuh dengan kanvas yang sedang dilukis oleh murid lelaki tujuh belas tahun. “Ini masih terlihat sebaliknya, bahkan di bagian ini menutup penuh latar belakang objek. Sepertinya kamu masih terpaku dengan teknik plakat yang terakhir kali kita pelajari.” “Ah, iya, Pak.” Remaja lelaki itu cengengesan. “Maaf, Pak. Padahal aku bertekad lulus tes universitas tanpa halangan,” keluhnya. “Aku akan banyak latihan lagi.” “Kamu pasti bisa.” Ravi ter

  • Istriku, Kekasih Abangku   25. Saran 'Kotor' dari Inka

    “Aduh!” Ana melompat-lompat agar mencapai bagian kaca jendela paling atas. Sudah banyak yang dikerjakannya--tentu saja dibantu sang suami--sebelumnya, dan kini tenaganya cukup terkuras. Tubuhnya sedikit tersentak ke belakang karena ada tangan lain yang berhasil mencapai bagian itu. Ia bisa merasakan seseorang berdiri tepat di belakangnya. “Lain kali kalau gak mampu, minta bantuan sama yang lebih mampu.” Suara berat itu membuat Ana merinding, jantungnya juga berdebar sekarang. “Sudah jelas tidak akan sampai, Pendek!” Baiklah, suara itu mulai terdengar menyebalkan. Ana pun berbalik, ia bisa melihat wajah suaminya walau harus mendongak karena ia hanya sebahu sang suami. “Berniat menolong, atau ngata-ngatain?” tanyanya menantang dengan mata menyipit. “Emosimu mudah terpancing,” kata Ravi dengan tawa kecil yang mengejek. “Tidak berubah.” Seketika Ana terdiam. Tidak berubah? Apa artinya Ravi masih mengingat sikapnya sedari masa sekolah dulu? Ia jadi merasa senang. “Kenapa?” Sebela

  • Istriku, Kekasih Abangku   24. Untuk Pertama Kalinya

    “Kamu mengejekku?” Mata Ravi menyipit memandangnya.Ana menggeleng. “Mengapa kamu selalu berprasangka buruk seperti itu?” tanyanya menantang. “Aku bersungguh-sungguh mengatakannya … suamiku seperti tokoh di dalam film.” Suaranya terdengar meyakinkan.“Film apa?” tanya Ravi hati-hati, masih memandang curiga.“Azab, enggak, ini … film Korea,” koreksi Ana cepat sebelum pria itu mengamuk. “Film Korea, tentu saja! Tidak perlu dipertanyakan lagi.”“Teruslah mengejekku.”“Aku tidak mengejek.” Ana menggosok telapak tangan dengan cepat, membersihkan permukaannya. Ia lalu menengadahkan tangan ke arah sang suami. “Seorang suami yang tampan dan kaya raya.” Senyumannya pun mengembang. “Bukankah selalu menjadi tokoh utama yang diidamkan semua penonton?”“Aih, selain hobi mengejek, kamu juga pandai menyanjung orang lain.” Ravi pun berdiri, ia telah menyelesaikan makannya. “Karena kemarin aku sudah membersihkan sampah camilan dan mempersiapkan sarapan, jadi kamu yang membersihkan semua ini. Aku mau m

  • Istriku, Kekasih Abangku   23. Tokoh-Tokoh di Dalam Film

    Suara keyboard beradu cepat dengan jari-jari tangan memenuhi ruangan yang sepi ini. Televisi menyala, tetapi tanpa suara. Gelas kosong dan sampah camilan hampir memenuhi meja, berantakan sekali.Ana meraih gelas di dekat laptopnya tanpa menoleh, ia masih fokus bekerja. Di rumah ia memiliki pekerjaan sebagai pekerja lepas, seperti menulis artikel untuk website dan menulis novel online. Memang banyak cara yang dilakukannya untuk mendapatkan uang.“Eh, kosong.” Ana menyadari gelasnya kosong, bahkan air di teko juga sudah habis. Ia pun memandang ke arah jam dinding yang berada di atas televisi. “Sudah pukul dua belas malam?!” Matanya melotot kaget, lantas segera mengecek ponsel. “Ravi tidak ada mengabari sama sekali. Ah, menyebalkan.”Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi untuk merenggangkan badan. Ketika sudah berada di depan laptop, ia bisa menghabiskan banyak waktu tanpa terasa. “Karena sudah malam, lebih baik berhenti. Besok pagi sekolah.”Ia beralih mematikan laptop, kemudian terli

  • Istriku, Kekasih Abangku   22. Senang Berbisnis Dengan Anda, Pak!

    Ana langsung berbalik pergi setelah mengatakan hal itu. Sedangkan Ravi terdiam, ia sedikit terkejut karena sikap dan perkataan istrinya meski ia tahu bahwa istrinya itu bukan tipe orang yang akan menerima saja jika merasa diperlakukan tidak baik. Bagaimanapun dulu mereka satu sekolah dan sempat dekat, sehingga ia cukup mengenalnya. Sama seperti surat perjanjian pra-nikah yang dulu mereka tanda tangani, itu untuk melindungi dirinya. Sekali lagi, dia bukan wanita yang mau tertindas.Baru lima langkah, Ana terdiam. Ia teringat nasihat ibunya--sebelum acara ijab kabul waktu itu--agar menjadi istri yang sholeha. Bukan hanya sang ibu, kakak, bahkan Inka--yang tadi malah menyuruhnya bertindak sebaliknya--juga memiliki nasihat yang sama. Seakan-akan mereka semua khawatir dan memiliki firasat jika ia tidak bisa menjadi istri yang baik. Meski diakui, ya, hal itu memang mungkin.Terdengar embusan napas berat yang cukup kuat dari Ana, hal itu menarik perhatian Ravi untuk memandang ke arahnya.“Ba

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status