Share

6. Dua Wanita yang Berbeda

"Berhenti Ravi!" teriak Risa marah dengan napas naik-turun. Ia menatap nyalang kekasihnya itu, lalu mendorong tubuhnya untuk menyingkir dari si bos. "Maaf, Mas," katanya cemas sambil membantunya berdiri, dan membawanya duduk di sofa.

 

"Dia siapa!? Orang gila mana yang kamu sembunyikan di apartemenmu!?" bentaknya kepada Risa. "Aku akan melaporkannya kepada polisi!"

 

"Lapor saja!" seru Ravi yang masih dikuasai amarah. "Apa Anda tidak punya istri!? Biar keluarga Anda tahu perbuatan Anda!" ancamnya.

 

Risa berdiri. "Ravi! Itu sama saja kamu menyeretku!" serunya tak percaya. Ia menatap bosnya. "Aku benar-benar minta—"

 

"Sudah! Biar aku menghubungi asisten untuk menjemput!" Ia lalu berdiri dengan kesal, dan berlalu pergi. Risa segera mengikuti langkahnya, sambil memohon-mohon untuk dimaafkan.

 

Sinar mata Ravi meredup melihat Risa. Apa dia seperti itu demi kariernya? Namun, haruskah dengan mengorbankan harga dirinya? Hati Ravi hancur sebagai seorang pria yang mencintai dan dicintai olehnya.

 

Suara langkah kaki Risa terdengar dihentak-hentakan dengan kesal. Ia berjalan ke arah Ravi. "Kamu gila! Bukankah sudah kukatakan jangan keluar?" Ia melipat kedua tangan di depan dada. "Apa susahnya bersembunyi!?"

 

"Apa susahnya?" tanya Ravi tak percaya. "Apa kamu bisa sabar, jika seandainya aku bermesraan dengan gadis lain? Bahkan, diluar batas wajar seperti itu!?" Ia menatap gadis di depannya dengan lekat, menuntut jawaban. Namun, gadis itu hanya terdiam.

 

Tangan Ravi memegang kedua bahu Risa, ia berkata tulus, "Aku mencintaimu, Sa. Aku memang terluka, tetapi aku akan mendengar semua penjelasanmu," ungkapnya lembut.

 

Risa menurunkan tangan Ravi dari bahunya. Pikirannya berat. "Jangan menghalangiku lagi, Vi, jika kamu memang mencintaiku."

 

"Menghalangi?"

 

Mata Risa menatap kesal pria di depannya. Ia juga mengernyit dengan tangan menggenggam. "Ajakan dadakan untuk menikah, dan sekarang ... kamu hampir membunuh bosku!?" Ia benar-benar dalam keadaan yang emosional. "Aku hanya ingin karierku bagus! Apa salahnya kamu tidak mengganggu kalau tidak bisa membantu!" sergahnya.

 

Ravi tersentak mendengarnya. "Sayang ... aku minta maaf soal nikah dadakan itu." Ia menatap teduh. "Tetapi perbuatan kamu sama pria tua itu tidak bisa dibenarkan," nasihatnya hati-hati.

 

"Aku tekankan sekali lagi, jangan mengganggu jika tidak bisa membantu," ujarnya penuh penekanan. Ia menatap Ravi dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku semakin tua, sedangkan orang-orang semakin banyak menjadi model dengan usia relatif muda." Ia maju selangkah, lebih mendekat pada kekasihnya itu, lalu menatapnya dengan ekspresi menantang walau menahan tangis. "Apa kamu bisa bantu, mewujudkan impianku? Apa yang bisa kamu lakukan, sebagai kekasihku!?"

 

Ravi tertunduk, ia tidak sanggup melihat gadis yang dicintainya harus seperti itu. Ia pun merutuki diri sendiri karena tidak bisa membantu banyak dalam mewujudkan impian gadis itu. "Aku akan lakukan apa pun, Sa," ungkapnya penuh penyesalan. "Tolong kasih tahu, apa yang bisa aku lakukan?"

 

"Cukup jangan halangi aku!" serunya tegas. Ia kemudian menunjuk ke arah pintu. "Sekarang kamu pergi."

 

Diusir seperti ini menambah hancur perasaannya. Namun, apalah daya saat rasa cintanya lebih besar dari kekecewaannya. Ia sudah telanjur jatuh cinta sangat dalam pada gadis ini. "Kamu usir aku?"

 

Risa memalingkan wajah, bahkan memunggunginya. "Pergi, tenangkan pikiranmu. Setelah itu putuskan apakah kamu masih tetap mau mencintaiku atau tidak."

 

"Sa ...," panggil Ravi lembut. Ia terdiam ketika gadis itu beranjak pergi memasuki kamarnya, dan menutup pintu.

 

Ravi mematung sebentar sambil memandang sedih pintu itu. Ia pun memutuskan untuk pergi. Sementara itu, Risa menangis sejadi-jadinya di balik pintu. Ia menyesali jalan hidupnya yang tak pernah beruntung sedari kecil. Ditinggal kedua orang tua sedari bangku Sekolah Dasar karena sakit, lalu hidup sebatang kara dan ditampung oleh tante yang menjadikannya pembantu di rumahnya selama masa sekolah. Ketika sudah dewasa pun, ia juga harus mengalami banyak kesulitan. 

 

Memang, Ravi menjadi satu-satunya hal terbaik yang ia dapatkan, dan ia sangat mencintai pria itu. Namun, ambisinya untuk menjadi orang sukses dan terkenal agar tak direndahkan lagi oleh tante dan sanak saudara orang tuanya, membuatnya menginginkan lebih. 

 

"Maaf, Vi ...," lirihnya.

 

***

Ravi keluar dari gedung itu dengan perasaan yang sudah tak berbentuk. Ia tak hanya kecewa pada Risa, tetapi juga pada dirinya sendiri. Mengapa ia tidak mampu membantu gadis yang dicintainya?

 

Langkah kakinya berhenti ketika melihat Ana sedang menjinjing keranjang yang cukup besar. Gadis itu tampak terkejut saat mata mereka tak sengaja saling bertatapan.

 

"Kamu ngapain? Gak sekolah?" tanya Ravi—walau gadis itu sudah terlihat mengenakan seragam gurunya. "Roti?" Ia mengernyit melihat banyaknya roti di dalam keranjang itu. 

 

Ana berdeham, jantungnya mulai berdegup kencang. "Aku baru memasarkan secara daring roti-roti ini, dan ada pelanggan yang memesan di apartemen lantai dua." Ia tersenyum malu-malu. "Alhamdulillah dia memesan banyak. Rencanaku setelah ini baru ke sekolah."

 

"Ya, udah, aku temani," tawarnya, lalu kembali masuk ke gedung tersebut.

 

Langkah kaki Ana bergegas mengejarnya. "Eh, gak usah repot-repot." Ia terus mengikuti langkah Ravi, yang hanya terdiam tak membalas ucapannya.

 

Mereka memasuki lift. Terjadi sedikit kecanggungan. Ana grogi setengah mati karena saat ini pria yang selama ini ia cintai berdiri di sebelahnya, berbeda dengan Ravi yang berwajah datar ditambah harinya yang sudah suram sebelumnya. 

 

"Kamu membuat roti?" tanyanya datar.

 

"Enggak. Aku beli dari tempat produksi untuk dijual kembali," jawab Ana seadanya.

 

"Kenapa pakai keranjang?" Ravi melirik keranjang tua dari anyaman itu, yang bahkan sudah ada beberapa anyaman yang terlepas. "Perasaan sudah banyak kotak roti zaman sekarang."

 

Perkataan pria itu membuat Ana tertunduk. Mereka keluar dari lift ketika pintunya terbuka.

 

"Aku ada rencana membelinya, ketika punya uang yang berlebih nanti." Ia tertawa kecil ke arah pria itu, dan terus berjalan hingga berhenti di depan pintu sebuah kamar. Ia mengambil kertas dari dalam saku, mengecek alamat. "Benar di sini."

 

Ravi turut berhenti, dan berdiri di sebelahnya. Ia menoleh ke samping ketika gadis itu belum melakukan apa pun. Ia melihat Ana tersenyum senang, dan bersemangat.

 

"Ini pelanggan pertamaku untuk layanan pesan-antar." Ia menoleh ke arah Ravi. "Biasanya hanya kujajakan di sekolah atau di sekitar sana." 

 

Ia tersenyum lebar, auranya positif sekali sampai-sampai Ravi terpana melihatnya. Bagaimana bisa ada orang dewasa yang masih bisa tersenyum dan bahagia seperti itu, untuk hal-hal yang sesederhana ini? Apakah di hidupnya tidak ada masalah?

 

Mungkin Ravi salah, karena ia membandingkannya dengan hidupnya.

 

"Bismillah," ucap Ana, lalu menekan bel dengan penuh harap.

 

Pintu pun terbuka. Terlihat seorang ibu-ibu dengan anak dua tahun digendongan. Suasana apartemennya cukup ramai dengan banyak balon, dan dekorasi sederhana khas perayaan ulang tahun.

 

"Eh, Ibu sudah datang," katanya ramah. "Masuk dulu, Bu?" tawarnya sambil membuka pintu lebar-lebar.

 

Ana tersenyum sambil menggeleng. "Terima kasih, Bu. Saya harus ke sekolah," tolaknya tak enak.

 

Ibu tersebut mengambil uang dari dompet lalu memberikannya pada Ana. "Oh, iya, maaf lupa." Ia tertawa kecil. "Ibu ini dulu gurunya anak saya sewaktu kelas lima. Ingat tidak?"

 

"Iya, Bu, saya masih ingat." Ia menerima uang tersebut. Tidak menyangka juga kalau ternyata pelanggannya salah satu orang tua siswa yang dulu pernah ia didik. "Terima kasih banyak, Bu. Kami pergi dulu."

 

"Oya, keranjangnya, Bu?"

 

"Gak apa-apa, untuk Ibu saja." Ia pun melihat jika jumlah uang yang diberikan oleh ibu itu berlebih. "Aduh, uangnya berlebih, Bu."

 

Ia hendak mengembalikannya, tetapi ibu itu menolak. "Udah, Bu, sama guru anak saya, saya gak hitung-hitungan."

 

"Wah, terima kasih banyak, Bu," ucapnya senang. "Semoga rezeki Ibu selalu melimpah." Mereka saling bertukar senyum, lalu pamit pergi.

 

Ana dan Ravi pun menuju lift kembali. Sepanjang perjalanan, Ana terlihat sangat bahagia. Ia bahkan masih menggenggam uangnya. Ketika memasuki lift, ia menyimpan uang itu dengan hati-hati.

 

"Baru pertama kali melihat uang?" tanya Ravi tak tahan. Pasalnya, gadis itu adalah manusia yang pertama kali dilihatnya yang memiliki reaksi terlalu berlebihan seperti itu ketika mendapatkan uang. Padahal, uang yang didapatkannya tidak seberapa.

 

"Alhamdulillah, bisa beli makanan enak untuk kucing-kucingku," ungkapnya. 

 

Ravi memandangnya heran, lalu mengangguk paham ketika teringat pekerjaan gadis itu sebagai guru yang mungkin tidak memiliki pendapatan banyak. "Dan bisa membeli kotak kue?"

 

Mereka keluar dari lift menuju halaman. "Ya ... nanti pakai plastik saja," jawabnya enteng. Ia lalu terdiam sebentar, membuat Ravi juga refleks terdiam, dan memandangnya datar. "Oya, Vi, kamu tinggal di sini?" tanyanya pelan, takut jika pria itu tidak suka dengan pertanyaannya.

 

"Enggak," jawab Ravi singkat. Seketika perasaannya kembali rusak dan hancur karena teringat peristiwa di apartemen Risa tadi. "Aku hanya numpang menginap."

 

Ana tidak bisa mengontrol perasaan ingin tahunya. Lagian, pria itu melamarnya, bukan? Harusnya wajar saja jika mereka mencoba saling mengenal sekarang. "Menginap di tempat siapa?"

 

Alis Ravi bertaut. Ia kesal sekali. Apakah gadis ini sudah merasa harus perlu tahu segalanya hanya karena ia melamarnya?

 

"Pacarku," jawabnya tanpa ragu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status