Share

Tamu Malam

Part3

"Ibu benar- benar bingung sama kamu, Nu. Masa kamu lemah begini sama Hesti, dia ini kurang ajar, Nu."

"Bu, sudahlah, biarkan aku Hesti bicara lagi nanti, tolong jangan membesar- besarkannya."

Ibu mendengkus, melihatku dengan kesal.

"Danu, kamu terlalu lembek, Nak. Jangan mau kamu diatur- atur dia, dan cuma dijadikan mesin pencetak uang. Kamu itu anak Ibu yang berharga, Ibu nggak mau kamu di peralat dia."

"Bu, jangan seperti itu, setahun rumah tangga kami, tidak pernah sedikitpun Hesti meminta uang lebih. Danu selalu memberikan uang bulanan, yang tidak pernah Hesti hambur-hamburkan. Bahkan, untuk membeli barang kesukaannya saja, ia selalu meminta izinku."

Ibu melirik sinis ke arah Hesti.

"Pandai sekali kamu lawan ucapan Ibu, dan selalu membela wanita ini, entah ilmu pelet semacam apa, yang membuat kamu bodoh begini," gumam Ibu.

 

Aku hanya menarik napas berat, beginilah wanita, sulit untuk diberi pengertian. Apalagi ibuku, dia mana mau tahu tentang pemikiran orang lain.

 "Hesti, sayang! Duduklah dahulu, kita bicarakan baik-baik, Mas tahu ini berat. Tapi, bisakah kita semua, bicara dengan tenang? Tidak perlu membawa sertakan emosi!" pintaku pada mereka semua.

 Akhirnya, Hesti pun mau duduk, ia terlihat lebih tenang, Ibu dan Naomi pun duduk.

"Begini, Bu. Danu bisa menuruti mau Ibu, menikahi Naomi. Tapi itu atas izin Hesti.

Dan tolong sekali, jangan Ibu minta, sesuatu yang lebih memberatkan dia lagi," pintaku berusaha tegas pada Ibu.

"Baiklah, Ibu nggak akan maksa Hesti, untuk tanda tangan. Tapi sebelum kamu menikah, dengan Naomi, biarkan Naomi tinggal sebelah rumah kalian. Agar kamu dan Naomi saling mengenal" jawab Ibu. Tanpa membawa emosi apapun.

"Bagaimana Hesti, kamu gak keberatankan, sayang?" tanyaku. 

"Emm, terserah Mas saja" jawabnya pelan. Hesti memang istri penurut, sebab itulah aku begitu menyayanginya.

"Mas, janji pada Hesti, kalau perasaan mas Danu, tidak akan pernah berubah!" pintanya lembut, seraya menatap lekat kepadaku.

"Hesti, perasaan suamimu jelas sudah berubah! Tidak ada cinta tulus yang menyakiti" timpal Naomi, seakan sedang mengejek ucapan Hesti.

Hesti hanya diam, dan tidak memperdulikan ejekkan Naomi.

"Sudahlah Danu, pulanglah, Nak. Bawa Naomi juga, karna rumah sebelah sudah Ibu sewakan selama 6 bulan untuk Naomi. Tolong kamu urus segala keperluannya!"

 "Baik Bu, ayo sayang!" aku meraih tangan Hesti.

Naomi berdiri dari duduknya, kemudian ia langsung memeluk lenganku.

"Naomi," tegurku.

"Apa?"

"Jangan begini, kita belum menikah," jelasku.

"Kan cuma pegang lengan gini, masa nggak boleh?"

Aku menarik napas berat.

Hesti hanya terdiam, dan melepaskab pegangan tangaku.

Aku dan Naomi bergantian mencium tangan Ibu. Tapi saat Hesti, ingin bersalam juga, Ibu mengabaikannya, bahkan berkata yang cukup kasar padanya.

"Nggak usah pegang tangan saya!" Ibu menepis kasar tangan Hesti. Wanitaku itu langsung terdiam, hatiku mendadak sakit melihatnya. Aku segera melepaskan pelukan tangan Naomi di lenganku, dan kuraih tangan Istri sahku itu.

"Kalau Ibu terus begini pada Hesti, jangan pernah berharap apapun dari Danu, tidak ada pernikahan kedua ...."

Ibu nampak terkejut, mendengar ucapanku.

 

"Sudah berani membentak Ibu? Kamu pikir Ibu akan diam saja, silahkan kamu menolak. Akan segera Ibu coret nama kamu dari daftar ahli waris, keluarga Bramasta," ancam Ibu.

Aku pun segera membawa Hesti keluar, tanpa mengucapkan apapun lagi. Malas rasanya mendebat Ibu.

Tidak kuperdulikan panggilan Naomi. Rasanya sakit sekali hati ini, melihat Hesti selalu diperlakukan Ibu seperti tadi.

Kami masuk ke dalam mobil tanpa Naomi.

Sesampainya di rumah kami. Aku langsung memeluk Hesti, dan meminta maaf kepadanya.

 "Maafkan perlakuan Ibuku," pintaku pada Hesti.

Wanitaku tidak menjawab, hanya isakkan tangis, juga pelukan erat, yang seakan menjadi jawaban atas luka di dalam hatinya.

"Aku sayang sama kamu, sayang sekali," bisikku, sambil mencium keningnya berkali- kali.

"Maafkan wanita miskin yang penuh kekurangan ini, Mas. Jujur, rasanya sakit sekali menghadapi kebencian Ibu kepadaku. Aku merasa kerdil, Mas."

 Bukan amarahnya yang aku dapatkan, malah permintaan maafnya.

Aku merasakan perih dihati. Tegakah aku menyakiti wanitaku ini. Kulihat air matanya membasahi wajah cantiknya. Jahatkah aku, haruskah aku melawan kemauan Ibu. 

Ini benar-benar pilihan yang sulit bagiku.

Aku mengurai pelukannya, kemudian memandang lekat wajah teduhnya. Kutempelkan kedua telapak tangan di kedua pipi mulusnya.

"Kamu istri terbaik, sayang. Aku beruntung memiliki kamu ...."

Hesti tersenyum, seraya memelukku lagi. Kemudian kami berdua menaiki anak tangga, untuk tidur siang di dalam kamar.

******

Cukup lama kami terlelap, sambil berpelukkan.

Tiba- tiba suara ketukan pintu mengalihkan, juga bel yang terus berbunyi, mengejutkan kami berdua.

 

Kami saling pandang, kemudian melirik ke jam dinding.

"Sudah malam, Mas. Sudah jam 6, kita melewatkan waktu magrib. Lama sekali kita tertidur," gumam Hesti, sambil mengikat rambutnya.

"Iya. Tapi siapa yang datang jam segini? Berisik sekali lagi," ujarku sedikit kesal, pada orang yang terus memainkan bel.

"Kurang tau, Mas. Mas saja yang liat ya, Hesti mau mandi dulu, biar keburu solat magribnya."

"Iya sayang." Kami berdua sama- sama turun dari ranjang. Aku berjalan menuruni tangga, sedangkan Hesti masuk ke dalam kamar mandi.

Aku membuka pintu rumah, dan mendapati Naomi sedang berdiri di depanku.

"Ahh Naomi, ada apa?" tanyaku padanya.

"Mas, Naomi laper" rengeknya, kemudian ia lingkarkan tangannya ke pergelanganku sambil bergelayut manja.

"Di rumah yang Ibu sewa, tidak ada bahan makanan," lanjutnya.

"Naomi jangan begini, tidak enak diliat tetangga," tegurku, sambil melepaskan pelukan tangan Naomi.

"Kenapa sih, kan bentar lagi, kita juga bakal menikah, Mas."

"Kan sekarang belum."

"Yaudah deh." Naomi memasang wajah cemberut.

"Aku lapar," ungkapnya lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status