Share

Perjanjian yang di tolak

Bab2

"Bu, tidak perlu sekasar itu," pintaku dengan pelan. Istriku itu hanya diam dan menunduk.

Aku tahu, saat ini dia pasti sangat terluka, atas segala ucapan kasar Ibu.

Ibu menarik napas, dan mengabaikanku.

"Kamu jelas sudah tahukan? Bahwa Danu, akan saya nikahkan lagi." Ibu menarik napas, "Jika kamu tidak ingin sakit hati dan terdzolimi, silahkan ajukan cerai ke anak saya! Tapi jika memilih dimadu, kamu dan Naomi akan tinggal bersama! Kamu melayani segala kebutuhan Naomi disana, karna Ibu nggak mau menantu Ibu Naomi, akan merasa susah tinggal disana."

Hesti masih terdiam, mendengar ucapan Ibu.

"Bagi Ibu, Naomi sangat berharga, karena dari rahimnya,kelak akan lahir keturunan keluarga Bramasta, setelah menikah dengan Danu. Tidak seperti kamu, sudah setahun menikah. Tapi masih tidak mampu memberikan Ibu cucu," tutur Ibu ke Hesti.

Hesti menatap lekat Ibu, kemudian beralih sesaat menatapku.

"Kenapa harus saya yang melayani-nya Bu? jika Naomi merasa memiliki hak yang sama, harusnya dia pun bisa melakukan apa yang Hesti biasa lakukan!"jawab Hesti pada akhirnya.

"Heh, Itu keputusan saya, kamu keberatan? Silahkan bercerai! Tidak ada gunanya juga, Danu memelihara wanita seperti kamu," teriak Ibuku sengit, kepada Hesti.

"Bu, tolong jangan begitu! Masalah gimana-gimananya, biar nanti Danu yang atur," jawabku.

"Mas, Ibu itu benar, bagaimana kita mau punya anak nantinya, kalau Hesti nggak bisa diajak kerjasama?" timpal Naomi.

"Naomi benar Danu, Ibu nggak mau Hesti jadi penghalang, apalagi mengganggu kebahagiaan kalian nantinya" ucap Ibu lagi, tanpa memikirkan perasaan Hesti, istriku.

Hesti, wanitaku itu hanya menangis sesenggukan, memang karakternya banyak diam, dan enggan berdebat. Ya Allah tegakah aku membiarkan bidadari halalku itu menderita batin, hanya demi memuaskan mau Ibu?

"Bagaimana Hesti? jika kamu sanggup, tanda tangani perjanjian ini! Karena saya tidak mau, lain di mulut lain di perbuatan nantinya," terang Ibu lagi, sambil menyodorkan kertas putih, yang berisikan surat perjanjian.

Apakah aku lelaki pengecut? Lelaki tidak bertanggung jawab? Ya, sepertinya kata-kata itu cocok untukku sandang. Bahkan, saat Ibu berkali-kali menghinanya, aku tidak kuasa menolong harga dirinya.

Apakah aku selemah ini? Apakah aku sebodoh ini? Aku hanya tidak ingin, menyakiti Ibuku. Tapi, bukan berarti aku rela melihat wanitaku menanggung sakit hati. Aku yang memilihnya, untuk menjadi pendampingku, tega kah aku menyia-nyiakannya.

Hesti meraih kertas putih itu. Matanya berair, ia terdiam sejenak. 

"Emm ..., kenapa di sini tertera, Hesti harus rela di madu dan rela menyerahkan sertifikat rumah, yang mas Danu berikan ke Hesti? Bukankah itu mas kawin? Itu hak Hesti sepenuhnya. Ibu merencanakan apa?" tanya Hesti dengan wajah datar, tak pernah kulihat ia bersikap begini.

"Jelaskan sudah! saya mau menantu dan cucu saya kelak punya masa depan. Saya nggak mau mereka kamu perlakukan semau kamu, karena mereka tinggal satu atap denganmu,"tegas Ibu.

Aku mencoba tenang, sambil menyimak obrolan mereka lagi.

"Hesti nggak mau! Mas. Mari kita bercerai saja! Ibumu sudah seenaknya seperti ini, selama ini Hesti selalu diam dan ngalah, apapun yang Ibu lakukan. Tapi, tidak untuk hal ini, Hesti nggak akan menuruti kemauan Ibu!" tegas Hesti kepadaku. 

Hesti terlihat begitu marah, kentara dari wajahnya yang memerah, seolah ia sedang menahan amarahnya.

"Ceraikan saja wanita ini Danu! Dia tidak pantas ada di keluarga Bramasta" titah Ibu padaku.

"Hesti, cobalah mengalah ke Ibu, mas tidak pernah mengajari kamu berani menentang Ibu!" bentakku ke Hesti. Aku hilang akal, aku bingung harus seperti apa? Menghadapi dua wanita, yang sama-sama penting di hidupku ini.

"Tidak ..., Ibumu sudah keterlaluan. Ia yang mengajari si penurut ini jadi pemberontak! Selama ini, Hesti selalu menurut apapun mau kalian, balasan kalian apa ke Hesti? Hanya cacian dan air mata," jawabnya berapi-api, wanitaku ini, mengapa dia jadi begini. Aku tercengang, seakan tidak percaya, Hesti bisa semarah ini.

"Kau pantas di ceraikan, wanita mandul tidak berguna! Kerjamu hanya ongkang-ongkang kaki saja di rumah, belagu sekali" teriak Naomi ke Hesti.

"Hahaa ...." Hesti tertawa sumbang. 

"Begini rupanya adab dan akhlak, perempuan yang ingin menggeser posisiku, Mas? Segeralah Mas nikahi Naomi, kasian sekali aku melihatnya," ucap Hesti, sambil tersenyum sinis ke arah Naomi.

"Bu, dia menghinaku," adu Naomi pada Ibu. Mendadak kepalaku sakit seketika, dihadapkan keadaan seperti ini.

"Bu, bisa nggak sih tidak usah ribut begini?"

"Biarkan saja Danu, wanita ini pantas di beri pelajaran, menantu pembangkang. Asal-usulnya tidak jelas, orang tuanya pun entah dimana. Inilah Danu, kamu memilih istri asal-asalan, tidak lihat bibit-bebet-bobotnya."

Ibu berkata, sambil berteriak kasar kepadaku.

"Hesti capek dengar drama ini, mas Danu, ayo kita pulang!" pinta Hesti padaku.

"Pulang sana ke asalmu, jangan bawa-bawa anak saya, dia akan segera saya nikahkan." 

Lagi-lagi ibu berteriak dengan kasar, bahkan ia terlihat begitu emosi kepadaku dan Hesti.

"Lama- lama aku gila kalau begini, Bu ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status