Share

Istriku Polos-polos Biadab
Istriku Polos-polos Biadab
Penulis: Unie Vejvongsa

SATU

"Ma," bisikku mesra. Kuciumi pipi mulus Resty dengan gejolak yang sudah menggebu.

"Apa, sih, Pa? Aku ngantuk banget. Capek," lirih Resty manja. Matanya masih terpejam.

Aku mendengkus kasar. "Ayolah, Ma. Bentar aja. Mumpung Salsa udah tidur." Aku masih berusaha merayu.

"Ah, aku capek banget. Besok pagi udah harus berangkat kerja," tolaknya seraya menepis pelukanku.

Lagi-lagi, Resty menolak ajakanku untuk memadu kasih. Padahal, pasti dia tahu, menolak permintaan suami untuk itu dosanya sangat besar. 

Dia berubah setelah memutuskan untuk bekerja. Alasannya capeklah, malaslah, frekuensi datang bulannya juga jadi semakin sering. Menyebalkan sekali. Inilah yang membuatku menolak keras mengijinkannya untuk bekerja. Lagipula, penghasilanku sebagai bos cilok lebih dari cukup untuk memanjakan anak istri.

Namun, karena dia terus memaksa dengan wajah imutnya yang menggemaskan, apa boleh buat, akhirnya aku luluh juga. Alasannya, Resty merasa bosan di rumah terus. Hingga akhirnya, sekarang aku menyesal dengan keputusan itu. 

"Ma ...."

"Apa, sih, Pah, ih!" Resty dengan cepat berbalik membelakangiku. Saat itulah, kancing piyama bagian dadanya terbuka. Aku terbelalak, sekilas melihat tanda merah di kulit putih mulus itu.

Dadaku seketika berdesir. Nafsu yang sejak tadi sudah di ubun-ubun, musnah seketika. Perlahan, kusingkap sedikit piyamanya, memastikan apa yang pertama tadi kulihat. Benar. Siapa yang membuat tanda itu, sementara sudah dua minggu aku tak menyentuhnya.

"Ma, bangun kamu!" pekikku seraya mengguncang cepat tubuhnya.

"P-papa kenapa, sih?" sahutnya terlihat ketakutan.

"Ada maen apa, kamu di belakangku, hah?!" hardikku dengan tatapan melotot tajam padanya.

"P-papa ngomong apa, sih?" tanyanya seperti orang linglung.

"Ini apa, ini?" Kutarik kasar piyamanya hingga seluruh kancingnya terlepas. "Itu apa? Jawab!" 

"Mama gak ngerti maksud Papa? Apa yang Papa maksud?" tanyanya seperti kebingungan. Wajah polosnya memerah seketika.

"Ini! Siapa yang sudah meniduri kamu?" Kutunjuk dengan kasar bagian memerah di dadanya.

"Ini? Ini cuma bekas gigitan nyamuk yang digaruk terus sampe merah. Kok, Papa mikirnya gitu, sih, sama Mama?" teriaknya sambil menangis.

"Jangan ngeles, kamu!" 

"Emang kamu pikir, aku perempuan macam apa?! Jahat banget, kamu, Pa, nuduh aku kaya gitu." Sekarang suaranya lebih kencang dariku.

Melihatnya menangis tersedu-sedu, sontak aku merasa kasihan, dan menyesal langsung memarahinya tanpa bertanya baik-baik dulu. 

Gegabahnya aku. Harusnya berpikir, mana mungkin, wanita sepolos Resty bertindak tidak terpuji seperti itu.

Kurengkuh ia dalam dekapan, dan menepuk-nepuk punggungnya pelan. "Maaf, Sayang, papa hilang kendali. Udah, ya, jangan nangis lagi."

Resty mengangguk pelan dalam dekapanku.

____

"Istrimu itu nyeleweng!" ucap Junaedi. Teman yang memasukan Resty kerja ke pabrik. Kebetulan Edi adalah security di sana.

"Lah, jangan ngarang kamu, Di!" Aku mengelak. 

"Dih, ngapain aku mengada-ngada? Awalnya, aku gak niat ngasih tau kamu. Gak pengen ikut campur. Tapi, lama-lama ya kasian sama kamu, Fan. Sudah kukasih tau dia tapi, gak digubris. Sekarang, cari tau dan urus aja gimana baiknya."

Emosiku seketika memuncak. Dada sesak menahan amarah. Apa benar kecurigaanku selama ini?

Akhirnya, atas saran Irfan, aku memutuskan untuk membuntuti Resty saat ia berangkat kerja. Karena menurut Irfan, laki-laki muda selingkuhannya setiap hari Resty antar jemput untuk berangkat dan pulang kerja bareng. Jika benar, alangkah bodohnya istriku itu. Mau-maunya dimanfaatkan laki-laki.

Setelah motor Resty sudah terdengar keluar dari halaman rumah, segera kupakai jaket dan helm yang dipinjam dari tetangga. Termasuk motor. Supaya Resty tidak mengenali.

"Mau ke mana, Kang?" tanya salah satu karyawan yang bekerja membuat cilok di rumahku.

"Keluar sebentar. Titip Salsa, ya. Dia anteng sama kamu, 'kan?"

"Lah, kok, gak bawa motor?" tanyanya lagi. Aku memang tidak membatasi diri antara aku dan karyawan. Sehingga mereka tidak canggung.

"Ah, sudah, pokoknya titip Salsa."

Setengah berlari aku ke rumah tetangga, mengambil motor. Takut keburu kehilangan jejak Resty. Untungnya, berhasil juga menyusul dan membuntutinya dengan jarak lima meteran di belakangnya.

Jantungku berdegup sangat kencang saat motor Resty berbelok ke daerah Sambong jaya. Keputusan untuk menunggu di seberang jalan. Terlalu mencurigakan kalau ikut masuk. 

Mudah-mudahan saja semuanya tidak seperti yang Edi ceritakan, juga seperti yang kutakutkan.

Hingga beberapa saat kemudian, motor yang kubelikan untuk Resty sebagai kado ulang tahun setahun lalu itu kembali dikendarai seorang laki-laki muda. Resty membonceng di belakang seraya memeluk sangat erat laki-laki itu. Mereka melewatiku yang tertegun di sini. Mengobrol hangat seraya sesekali tertawa cekikikan. Tawa yang akhir-akhir ini tak pernah Resty tunjukan saat tengah bersamaku.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status