Bab 15 - Tewasnya Bang RamonPOV BelaMataku masih menatap tak percaya pada gundukan tanah di depanku. Air mata terus menetes tak bisa kubendung. Bang Ramon, bos sekaligus sahabat serta sudah kuanggap sebagai Abang sendiri, kini telah terbaring didalam kuburan yang kini sedang ditangisi oleh dua orang wanita.Kak Asih masih terisak di sampingku, aku tahu pasti kalau kak Asih sangat terpukul dengan kepergian suaminya yang tiba-tiba itu. "Sudah kak, jangan ditangisi terus. Kasihan bang Ramon, dia juga gak mau seperti ini," bujukku.Kak Asih memelukku, tangisnya kembali tumpah membasahi pakaian yang kukenakan. "Kakak gak kuat, Dek. Lebih baik kakak ikut saja dengan bang Ramon, hiks!" "Ya, Allah. Istighfar kak, jangan seperti itu. Kasihan Laras, dia masih kecil, masih butuh kasih sayang dari kakak!" Kak Asih masih terus menangis, aku mengusap pelan pundaknya mencoba memberikan semangat. Aku menoleh pada mas Leon yang masih tetap berdiri pada posisinya seperti tadi. Dia berdiri menatap
Bab 16 - TerlukaHanya tinggal seorang lagi yang hanya diam saja sejak tadi. Aku bisa merasakan aura jahat dari dalam tubuhnya. Dia menyeringai menatapku dengan pandangan penuh nafsu. Karena dia tak menyerang juga, aku memilih meninggalkannya. Namun, dia menahan langkahku. Tanganku dicengkeramnya dengan kuat, semakin kucoba melepaskan diri maka semakin kuat dia mencengkeram nya. "Kau mau apa?" tanyaku akhirnya."Ikut aku!" katanya dengan nada dingin. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia menarik tanganku membuat aku harus sedikit berlari mengikuti langkahnya yang panjang. Kami berjalan melewati toko-toko yang kebanyakan pedagangnya sudah mengenalku. Mereka kaget melihat tanganku yang ditarik oleh preman pasar yang mereka benci.Namun, untuk menolong kurasa mereka tak mempunyai keberanian untuk itu. Aku mencoba tersenyum pada mereka, walau aku belum tahu akan dibawa kemana. Rupanya aku dibawa ke belakang pasar dimana sekarang telah disulap menjadi markas mereka. Tubuhku didorong dengan
Bab 17 - Pulang ke mana?POV BELA"Bagaimana keadaannya , Dok?" "Sejauh ini masih stabil, lukanya juga sudah dijahit hanya tinggal penyembuhan saja.""Alhamdulillah, saya merasa lega, Dok." "Iya, Mas. Kalau begitu saya permisi!" "Silakan, Dok!" Suara yang saling bersahutan masuk ke indera pendengaranku. Sepertinya itu suara Mas Leon, sedangkan yang satu lagi, mungkin suara dokter. Karena Mas Leon memanggilnya dengan sebutan itu. Rasa nyeri kurasakan di lengan kiriku, luka ini aku ingat karena tembakan bang Jalu yang meleset. Perlahan kubuka mata, warna putih langsung merajai pandanganku. Mas Leon sedang menutup pintu, dia berbalik dan matanya langsung terbelalak melihat aku sudah bangun. Bergegas dia mendekatiku dengan senyum lebar.. "Bela, syukurlah kamu sudah sadar." Mas Leon menatapku dengan lembut. Rasa hangat menjalar di hatiku melihat tatapan dan senyumnya. "Sakit, Mas," keluhku saat ingin bergerak. Lengan kiriku terasa nyeri saat digerakkan "Hati-hati, jangan terlalu
Bab 18 - Leon Sudah Gila Akhirnya, di sini lah aku. Berdiri dengan canggung di depan rumah Mas Leon yang ternyata sangat megah dan mewah."Ayo, masuk!" ajak Mas Leon. Dia baru saja keluar dari mobilnya. Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah."Kamu bawa pembantu baru dari mana, Leon?" Suara wanita yang sepertinya pernah kudengar. WTF, aku dianggap pembantu. Apa penampilanku seburuk itu?"Jaga ucapan, Mama! Dia bukan pembantu, tapi tamu aku. Dia akan tinggal sementara di rumah ini.""Tunggu sebentar, sepertinya kita pernah bertemu. Tapi di mana, ya?" Wanita itu yang ternyata mama tirinya Mas Leon menatapku dengan tajam.Dia benar aku pun rasanya pernah bertemu dengan dia. Oh, iya, aku ingat. Dia wanita tempo hari yang mobilnya mogok di lampu merah, ingatku."Ah, Mama ingat. Kamu wanita preman itu, 'kan?" Ternyata dia ingat juga. Mas Leon menoleh padaku, kemudian menggenggam tanganku dengan erat."Siapapun dia, itu bukan urusan Mama. Yang pasti dia akan tinggal disini dan kali
Bab 19 - Kamu Mabuk?POV LEON"Apa? Kamu gak sedang mabuk kan, Leon?" tanya mama dengan gusar. Dia melirik kepada Bela yang tampak santai seolah tidak terjadi apa-apa."Tidak, aku sadar sepenuhnya. Kenapa? Apa ada masalah?" Kutatap mama dan adik tiri ku dengan senyum puas.'Rasakan kalian! Pasti kalian kaget setengah mati 'kan?' kataku dalam hati.Padahal sebenarnya, maksud aku membawa Bela ke rumah untuk melindunginya dari kejaran orang suruhan bang Jalu. Mereka masih saja terus mengejar Bela, jadi akhirnya aku memutuskan membawa Bela tinggal di rumahku untuk sementara waktu. Namun, rupanya Allah berkehendak lain. Baru juga sampai, mama dan Yola sudah menabuh genderang perang pada Bela. Syukurnya kulihat Bela tak terpengaruh malah bisa membalikkan kata-kata hingga membuat mama dan Yola melotot tak percaya.Oke, kurasa sebaiknya Bela kunikahi secepatnya. Agar kedua orang tersebut tak betah dan secepatnya angkat kaki dari rumah ini dengan sukarela. Itu sebenarnya tujuanku mengajak Be
Bab 20"Kenapa, sih, Bel. Kenapa aku dicubit begini?" tanyaku hingjh sembari mengelus bekas cubitannya. Lumayan terasa sakit juga."Malah nanya kenapa. Itu tadi maksudnya apa. Tiba-tiba bilang aku calon istri, Mas. Kamu meledek aku, ya, Mas?" protesnya."Gak, aku serius. Setelah kupikir, kita lanjutkan saja rencana kita semula. Kamu membantu menyingkirkan mama tiriku. Sekalian kamu sembunyi dari kejaran preman-preman itu untuk sementara waktu. Bagaimana?" jawabku sembari menguraikan rencanaku dulu. Rencana yang sempat kutunda karena masih bimbang memilih di antara Bela dan Nadine. Bela tampak sedang berpikir keras. Mudah-mudahan dia mau, harapku."Jadi, kita menikah hanya pura-pura?" Aku mengangguk tanpa ragu. "Berapa lama?" tanya Bela lagi."Sampai mereka pergi dari rumah ini!" janjiku."Okelah, aku setuju," balas Bela. Kami saling bersalaman sebagai tanda persetujuan telah dicapai.Keesokan harinya, setelah salat subuh aku tidur kembali. Rasa nya baru saja aku terlelap, sudah ter
Bab 21 - Siapa yang Mama Bicarakan?Kami melangkah bersisian menuju ke warung yang menjual bubur ayam. Pagi itu, entah kenapa terasa sangat indah bagiku. Mungkin karena aku telah yakin kalau aku sudah menemukan orang yang tepat untuk menghadapi mama tiri ku.Selesai menghabiskan semangkok bubur ayam, kami pun kembali ke rumah. Namun, aku sedikit kaget ketika sebuah mobil berhenti di sampingku. "Kenapa dia bisa ada di sini?" tanyaku di dalam hati. Wajah cantik Nadine muncul dari balik kemudi mobil, senyumnya terlihat sangat terpaksa. Nadine menyapaku tanpa turun dari mobilnya."Selamat pagi, Mas Leon. Dari mana nih?" tanyanya sambil melirik Bela yang berdiri di sampingku."Habis makan bubur ayam, kamu mau kemana?" "Tadinya mau ke rumah, tapi sepertinya batal aja, deh. Aku pamit, ya!" Nadine segera memacu mobilnya meninggalkan kami berdua. "Kasihan," gumam Bela. Kami kembali melanjutkan langkah yang terhenti tadi."Kasihan, siapa?" tanyaku tak mengerti."Itu, pacarnya, Mas. Mbak Nad
Bab 22 - SahPOV BelaSeminggu kemudian, aku tengah duduk terpekur di tepi tempat tidur. Di luar kamar masih terdengar suara Mas Leon tengah mengucapkan ijab kabul di hadapan tuan Kadi yang sekaligus menjadi wali hakimku. Saat terdengar suara sah yang bergema sampai ke hatiku, aku hanya bisa tertunduk sedih. Apa yang sudah aku lakukan sekarang. Aku menikah bukan karena cinta akan tetapi karena perjanjian. Walau jauh disudut hatiku mulai ada rasa yang perlahan mulai tumbuh karena perhatian mas Leon saat aku sedang sakit atau kesulitan kemarin. Namun, aku tahu kalau kami tak se-level. Benar kata mama mas Leon, kalau aku ini gadis gembel. Namun, aku tidak mengincar harta mas Leon seperti tuduhannya. Kami memutuskan menikah karena keadaan.Mas Leon butuh orang yang bisa menghadapi Maman tirinya sedangkan aku butuh tempat untuk menghindar dari kejaran anak buah bang Jalu. "Bela, kok malah bengong. Ayo keluar, suami kamu sudah menunggu di depan!" Suara lembut kak Asih membuat aku kemba