Share

Tak Diberi Baju Seragam

ISTRIKU TAK PERNAH MEMBANTU MEMASAK DI ACARA HAJATAN KELUARGAKU (2)

"Kalau kamu pulang, bagaimana kata Ibu dan Mbak-mbakku, Aidah? Apa yang akan mereka pikirkan nanti?" ucapku sambil menatapnya yang sibuk mengemasi baju ke dalam koper kecil.

"Aidah!" Terpaksa aku meninggikan suara, sampai Rizki yang tengah anteng memainkan robot kecil di atas ranjang mendongak melihat ayahnya sendiri.

Aidah sendiri berhenti memasukkan barang ke dalam koper, tangannya mengusap air mata yang trus mengalir.

Kuhela napas dalam, merasa bersalah sebenarnya sudah beberapa kali membentak Aidah.

"Aidah, Mas mohon. Jangan begini, ya? Mas malu sama Ibu dan kakak-kakak Mas kalau kamu begini."

"Kenapa kamu hanya memikirkan perasaan Ibu dan kakak-kakakmu, Mas?" tanyanya lirih, membuat dadaku mundur secara refleks.

"Dari awal aku sudah bilang, aku akan ke sini saat hari H. Bukan beberapa hari sebelumnya. Tapi Mas nggak mau dengerin aku dan memaksa kami untuk hadir sebelum acaranya digelar," lanjutnya sambil terisak.

"Iya tapi kenapa, Aidah? Kenapa begitu? Apa karena kamu nggak mau bantu keluarga Mas memasak?" tanyaku benar-benar bingung.

"Apa Mas akan percaya kalau aku kasih tahu alasannya?" Dia menatapku sekarang, tersirat kesedihan di kedua netranya yang masih basah.

"Kenapa? Kenapa Aidah? Apa kamu tak nyaman? Ibu 'kan sangat baik sama kita Aidah, begitu pun ketiga Mbakku. Apa yang salah?"

Aidah malah menutup wajahnya, tubuhnya bergetar. Dia kembali menangis, tapi kali ini lebih hebat walau suaranya tak terdengar.

"Mas tak akan percaya," ujarnya lagi sambil menjauhkan kedua tangannya dari wajah.

Aku menghela napas lagi, kuraih kedua bahunya, kutatap dalam wajah manisnya.

"Maafin Mas, kalau ada perkataan Mas yang buat kamu sakit. Maafin keluarga Mas juga kalau ada salah sama kamu." Dia terdiam, walau isakannya masih terdengar, halus.

"Tapi kamu jangan begini, ya? Jangan pulang. Sudah telanjur ke sini 'kan? Nggak enak sama yang lain. Ya udah, kalau emang nggak mau masak nggak apa. Jagain Rizki aja, tapi sesekali ke dapur, berbaur gitu, nggak usah bantuin juga nggak apa. Biar orang nggak berpikiran buruk sama kamu. Ya?"

Tangis Aidah mereda. Tak lama dia pun mengangguk.

"Maaf, ya?" kataku sekali lagi sambil membawanya ke dalam pelukan.

***

Aku tersenyum saat melihat Aidah dari kejauhan, nampak dia tengah berada di dekat pintu dapur, duduk sambil memangku Rizki.

"Man, kayaknya istrimu orangnya pemalu, ya?" celetuk Bang Lukman tiba-tiba. Aku langsung menoleh.

"Iya, Bang." Aku menyahuti lagi sambil kembali menguliti kambing yang baru dipotong.

Ya, ada tambahan daging untuk sate di acara besok. Mau tidak mau aku yang sudah mandi harus kembali bau hewan berkaki empat itu.

"Pantesan sering diam. Mbak Ida juga bilang katanya istrimu nggak pernah bantuin masak di dapur." Aku termenung, benar kah Mbak Ida sampai membicarakan persoalan itu ke suaminya? Apa harus?

"Iya, Bang. Maaf. Soalnya Aidah sibuk jagain Rizki. Anak kita tipikal nggak mau jauh sama Ibunya." Bang Lukman hanya mengangguk-angguk saja. Tapi entah kenapa perasaanku jadi tak enak.

Kembali mata ini menatap ke seberang sana. Nampak Aidah masih duduk di ambang pintu dapur bersama Rizki, dan sekarang aku baru sadar, kalau beberapa ibu yang ikut memasak tengah memunggungi istri juga anakku.

Sebenarnya, apa yang terjadi?

***

"Sayang, kok belum siap-siap? Belum mandi?" Saat masuk kamar, Aidah masih mengenakan pakaian tidur. Bahkan dia nampak sedang memakan roti yang sudah habis setengah.

"Nanti saja, Mas. Mandinya terakhir."

"Mumpung Rizki masih tidur lho. Itu, kamu makan roti? Belum makan juga?" tanyaku lagi.

"Ini lagi makan, Mas."

"Maksud Mas ya makan nasi."

Aidah menggeleng. Aku sendiri baru sadar, belum melihat istri dan anakku makan dari kemarin.

Sementara aku sendiri sudah beberapa kali makan, tadi pagi sekali nimbrung bareng kakak ipar lelaki setelah selesai menusuk daging kambing. Kemarin juga sama, selalu makan bareng para lelaki, bukan di dapur Ibu.

"Kamu dan Rizki kemarin makan, nggak? Mas sampai lupa, saking sibuknya."

Aidah terdiam, bahkan aktivitas tangannya nampak melambat.

"Makan, Mas." Aku menghela napas, lalu tersenyum lega.

"Maaf ya, Mas sibuk banget. Jadi nggak perhatiin kamu sama Rizki. Sekarang, mumpung Rizki tidur, kamu makan dulu, terus mandi. Nanti 'kan bakalan banyak pekerjaan, butuh tenaga ekstra. Tubuh harus terisi nutrisi dulu."

Aidah menggeleng lagi, kemudian menghabiskan rotinya dengan cepat.

"Ini sudah kenyang, Mas. Lagian masih pagi."

"Udah, ayo makan. Mas antar, Mas juga mau makan," kataku beralasan. Aidah menatapku, lalu berdiri walau nampak ragu.

Akhirnya kuantar Aidah ke dapur, di sana ibu-ibu yang khusus menjaga makanan terlihat sibuk dengan segala pekerjaannya. Sementara Ibu dan semua kakakku sedang bersiap untuk kelangsungan acara.

"Eh, mau makan ya, Mbak Aidah? Mas Alman?" tanya Bu Hindun, selaku ketua memasak di rumah Ibu.

"Iya nih, Bu. Mau." Aku menjawab, karena Aidah lebih memilih diam saja.

"Ayo, ayo! Ini, mau makan sama apa? Mbak Aidah dari kemarin belum makan. Ayo, Mbak. Pilih sendiri saja, ya?" Aku langsung menoleh pada Aidah, menatapnya lama, tapi dia malah beranjak dari sisiku dan memilih meraih piring lalu mendekati beberapa olahan.

Kenapa Bu Hindun bilang Aidah belum makan dari kemarin? Apa tadi Aidah berbohong padaku?

"Eh, di sini, toh. Mbak cariin. Itu, baju buat kalian, Man. Seragaman. Kamu udah mandi, 'kan?" Mbak Ida yang memakai kebaya dengan riasan tebal di wajahnya menghampiri kami ke dapur.

"Iya, Mbak. Disimpan saja di kamar, maaf. Nanti aku pakai."

"Iya, iya! Eh, itu Aidah lagi apa? Oh makan ...." kata Mbak Ida lagi.

"Makan yang banyak, ya. Yang banyak ... habis juga nggak apa-apa. Hehe. Man, dipakai bajunya, ya! Mbak simpan di kamar," ujarnya sambil berlalu.

Aku tak menyahut, hanya menatap istriku yang nampak bingung dengan apa yang harus dilakukannya kini.

***

Selesai mandi Aidah dan Rizki langsung masuk kamar. Sengaja aku belum memakai baju seragaman biar kita bisa ganti pakaian barengan.

"Lho, kok belum ganti baju, Mas?"

"Nungguin kamu. Pengen ngaca bareng, lihat di cermin kita serasi apa enggak kalau pakai kemeja sama kebaya." Aidah malah terkekeh.

Aku langsung membuka tas kain yang disimpan Mbak Ida.

"Lho, kok cuma ada kemeja?" tanyaku bingung saat melihat isi tas hanya ada satu pakaian.

Aidah ikut melihat.

"Mungkin cuma buat kamu, Mas." Aidah berujar.

"Nggak mungkin, Aidah. Tadi Mbak Ida bilangnya untuk kalian. Berarti buat kita. Mereka sama anak-anaknya juga samaan, kok."

"Udah lah, Mas. Mungkin emang samaannya cuma buat laki-laki. Aku ganti baju dulu sama Rizki, ya."

"Jangan dulu, Mas mau tanyain ke Mbak Ida. Kali aja ketinggalan atau gimana." Aidah melarang, tapi aku penasaran.

Saat membuka pintu kamar, kebetulan Mbak Ida tengah berdiri dan mengobrol bersama Ibu juga kakak-kakakku yang lain.

"Eh, Mbak. Kebetulan. Ini, maaf, kok bajunya cuma ada kemeja, ya?"

Mereka saling tatap saat mendengar pertanyaanku.

"Lho, masa sih, Man? Tapi semua keluarga udah disediain baju seragaman, kok. Mbak udah pesan ke penjahitnya, dan itu tas bagian kamu." Mbak Ida menjelaskan.

"Nggak ada, Mbak. Cuma punya aku. Punya Aidah sama Rizki nggak ada."

"Duh, kalau nggak ada pakai yang ada saja ya, Man. Waktunya udah mepet ini, bentar lagi pengantin pria datang."

Aku menghela napas, entah kenapa mendadak bingung, serba salah.

"Iya, Mas. Aidah sama Rizki pakai baju yang dibawa dari rumah aja," kata Aidah dari belakang. Membuatku menoleh dengan perasaan kasihan.

Apa ini alasan yang membuat Aidah tak pernah mau membantu memasak di acara hajatan keluargaku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status