Share

Tragedi Prasmanan

Akhirnya, aku sendiri memilih memakai baju yang dibawa Aidah. Kasihan juga istriku kalau dia pakai baju beda sendiri kalau aku harus ikut seragaman bareng keluarga.

"Kamu udah nyiapin ini sebelum pergi ke sini?" tanyaku saat Aidah mengancingkan kemeja batikku yang terakhir. Dia mengangguk.

"Kamu 'kan tahu kalau Mbak Ida jahitin seragam buat kita. Kenapa kamu bawa baju seragaman juga?" tanyaku lagi, merasa kalau Aidah sudah mengetahui cerita yang akan terjadi.

"Jaga-jaga, Mas. Untung 'kan aku bawa baju ganti lain? Hehe." Aku menghela napas, pasti Aidah sedih dengan kejadian ini. Tapi mau bagaimana lagi? Biarlah tak seragaman dengan ibu juga ketiga kakakku, yang penting masih bisa samaan dengan keluarga kecilku.

Setelah selesai berganti baju, aku, Aidah juga Rizki keluar kamar. Semua orang di luar nampak sudah berias, para wanita terlihat pangling karena riasan di wajah.

"Mbak Ida, udah selesai, nih. Silakan kalau Aidah mau didandanin," kataku. Tak sabar rasanya melihat wajah istriku dirias seperti yang lain.

Pasti pikiranku akan bernostalgia ke waktu pernikahan kami dulu kalau wajah Aidah dipakaikan make up.

"Sini, Aidah. Rizki sama Mas dulu," ujarku sambil mengambil Rizki dari pangkuan Aidah.

"Kok malah diem. Ayo, Sayang. Duduk di sana," perintahku sambil menunjuk kursi yang dipakai Mbak Ida juga yang lain saat dirias.

Semua orang malah terdiam, yang lain juga saling tatap.

"Maaf, Mas. Kuotanya sudah penuh," kata seorang wanita, yang kutahu dia perias untuk keluarga mempelai wanita.

"Kuota? Maksudnya?"

"Iya, Mas. Kuota make up untuk keluarga mempelai wanita cuma untuk tujuh orang. Semuanya sudah dimake up." Keningku terasa mengkerut, masih tak mengerti rasanya.

"Iya, Man. Udah tujuh orang yang dimake up. Ibu, Mbak Ida, Mbak Laksmi, Mbak Nuri, Uci, Dian sama Mbak Ratih." Mbak Ida menjelaskan.

"Mbak Ratih?" ulangku. Setahuku Mbak Ratih bukan bagian dari keluarga kita, dia hanya tetangga. Sedangkan Uci dan Dian jelas mereka anak kedua kakakku, Mbak Ida dan Mbak Laksmi. Karena Mbak Nuri tak memiliki anak perempuan.

"Iya, itu sudah di depan, beresin prasmanan." Mbak Ida menunjuk ke luar rumah. Benar saja, Mbak Ratih nampak memakai kebaya yang seragam dengan ketiga kakakku juga Ibu.

"Makanya, kalau mau didandanin harus gesit, jangan lelet," celetuk Mbak Laksmi. Mataku langsung tertuju pada Aidah.

Raut wajah wanitaku nampak begitu lara.

"Nggak apa, Mbak. Saya sudah dandan, kok." Aidah bersuara. Tapi entah kenapa hatiku kian nyeri.

"Eh! Suara petasan! Ayo buruan! Mempelai prianya sudah dekat!" kata Mbak Nuri antusias.

"Kok malah pada kumpul di sini? Ayo, ke luar! Sebagian ke rumah mempelai, dong. Itu masa nanti si wanitanya keluar sendiri nggak digandeng? Ayo, ayo!" ajak Mas Lukman.

Semua orang antusias ke luar rumah, sebelum mengekor, kembali kutatap Aidah. Dia malah tersenyum. Tapi senyumannya itu seolah menyiratkan sesuatu.

***

Acara berlangsung dengan baik nan lancar, ijab qobul telah selesai. Zainab, keponakanku terlihat begitu bahagia duduk di atas pelaminan sambil menikmati alunan lagu di panggung sana.

Sambil memangku Rizki, aku menoleh menuju Aidah. Istriku nampak sibuk membantu para penjaga prasmanan, walau hati kecilku agak sedih melihat dia berbeda seorang diri.

Tanpa seragam yang sama, tanpa riasan yang sama.

"Ayah, es krim." Suara Rizki terdengar lembut, aku langsung menurunkan pandangan, lalu mengecup ubun-ubunnya dan kubawa dia pada si tukang eskrim.

"Cokelat, Yah." Rizki memesan. Aku menurut saja.

Usia Rizki baru dua puluh bulan. Sebenarnya Aidah suka melarang Rizki memakan es krim, aku juga sama. Tapi untuk kali ini tak apa lah, hitung-hitung buat dia senang.

Setelahnya, aku kembali duduk ke tempat semula. Sambil menjaga Rizki aku ikut melihat hiburan di panggung. Penyanyi wanita berkerudung merah itu terdengar menyanyikan lagu berjudul Pengantin Baru.

"Man, di sini rupanya." Aku langsung menoleh.

"Ibu? Kok ke sini?"

"Iya, Man. Di sana gerah, ah." Maksud di sana adalah di prasamanan. Sedari tadi memang beliau duduk di sana, berjejer dengan beberapa penjaga termasuk istriku.

"Man, inget nggak, itu siapa?" Ibu menunjuk ke suatu arah, aku menyipitkan mata.

"Siapa, Bu?"

"Coba deh, lihat lagi."

Aku semakin menyipitkan mata, lalu netra ini melebar seketika.

"Indri ya, Bu?" tebakku.

"Betul! Samperin, gih! Kalian udah lama nggak ketemu 'kan?"

Aku terdiam, kemudian menggeleng.

"Nggak enak ah, Bu."

"Hm, sama siapa? Aidah?"

"Sama orang-orang," kataku, menjawab pertanyaan Ibu agak lama.

"Aidah nggak ada kok, lagi bantuin di belakang. Sini, Rizki sama Eyang, ya?" kata Ibu merebut Rizki begitu saja.

"Ayo! Keburu pulang, lho!" Ibu memaksa. Aku yang awalnya ragu akhirnya menghampiri Indri yang tengah menikmati makan.

"Alman? Hey, apa kabar?" Wah, ternyata dia yang memulai percakapan.

Sebelum menjawab, aku menoleh ke arah prasmanan, memastikan Aidah belum kembali. Aku tak mau dia salah paham.

"Baik. Kamu apa kabar?"

"Baik banget, sini duduk!" Dia mengetuk kursi kosong di samping.

Dengan ragu aku duduk, kami kembali memulai percakapan.

"Anak istrimu mana, Man?"

"Aidah lagi bantu-bantu, Ndri. Kalau Rizki sama Ibu. Tuh!" Aku menunjuk keberadaan mereka.

Indri mengangguk-angguk.

"Kamu udah lulus kuliahnya?" tanyaku.

"Hehe, udah. Sekarang aku kerja di kantor Kecamatan, Man."

"Wah, selamat, ya. Semoga makin sukses, Ndri."

"Aamiin. Kamu nggak makan?" Aku menggeleng dan berkata sudah selesai makan sejak tadi.

Tak disangka, pertemuan ini membuat kami semakin larut dalam pembicaraan. Indri bilang dia sering berkunjung ke rumah Ibu, bahkan pernah menginap dengan alasan ingin menemani Ibu yang sudah tak bersuami itu.

Aku sedikit kagum, Indri sosok yang begitu mudah berbaur, apa lagi dengan Ibu. Padahal, kami hanya tetangga biasa, tak ada ikatan keluarga atau kerabat.

"Aaaa!"

Prang!

Aku langsung menoleh terkejut mendengar suara teriakan orang dan benda yang jatuh.

Mata ini seketika membulat tatkala melihat alat-alat prasmanan berjatuhan ke tanah, dan yang paling membuatku semakin kaget, penyebabnya itu adalah Rizki. Anakku sendiri.

Nampak tubuh kecilnya terduduk di atas tanah, kakinya terlilit kain yang menjuntai dari meja prasmanan.

Aku bergegas menghampiri, tapi yang lebih dulu sampai adalah Aidah.

'Ke mana Ibu?' batinku.

"Ya Allah, Rizki. Kamu nggak apa-apa, Nak?" kataku hendak menyentuh tubuhnya, tapi ditepis oleh Aidah.

"Urus saja tamumu, Mas," katanya lirih, lalu memangku Rizki dan membawanya menjauh dariku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status