Share

Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku
Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku
Author: Azu Ra

Tak Hadir di Dapur

Author: Azu Ra
last update Last Updated: 2022-07-05 21:36:58

"Lho, Aidah mana, Bu?" tanyaku bingung, melihat istriku tak ada di dapur bersama para wanita yang memasak, termasuk ibu juga ketiga kakak perempuanku.

"Di kamar aja tuh!" Mbak Ida menyahut, aku hanya menghela napas sambil menyimpan sayuran yang baru saja kubeli.

Kebiasaan memang, kalau keluargaku sedang ada acara atau hajatan, Aidah pasti tak pernah mau membantu urusan dapur. Entah kenapa. Padahal, di rumah dia sangat hobi masak.

"Alman samperin dulu ya, Bu."

"Nggak usah, Man. Mungkin istrimu capek." Ibu menjawab sambil mengupas kentang, tak tega aku melihatnya. Sedari tadi beliau belum berhenti bekerja.

Tanpa basa-basi lagi aku ke luar dapur dan menuju kamar depan, tempat kami beristirahat jika berkunjung ke rumah ini.

Benar saja, rupanya Aidah ada di sana.

"Aidah, lagi apa? Kok nggak bantu-bantu?"

Aidah yang tengah tidur menyamping menoleh.

"Lagi nyusuin Rizki, Mas." Tadinya, aku ingin marah. Tapi mendengar alasannya seperti itu, niatku untuk menasihatinya urung seketika.

"Ya sudah, kalau nyusuin Rizkinya selesai, bantuin Ibu sama yang lainnya ya di dapur. Nggak enak kalau kamu di sini cuma numpang tiduran aja," ujarku. Aidah tak menyahut, dia lebih memilih kembali dengan aktivitasnya.

Akhirnya aku pun kembali ke luar kamar, hendak membantu kaum adam yang tengah berjibaku memotong daging kambing di belakang rumah.

Semoga saja, Aidah mau membantu para wanita di dapur. Aku malu jika harus ditegur ketiga kakakku lagi karena istriku yang tak pernah mau membantu pekerjaan untuk acara besar keluargaku.

***

Sebuah mobil pick up dengan muatan nampak beberapa kali pulang pergi. Setelah sibuk dengan daging kambing, aku kembali berkutat membantu tukang dekorasi yang hendak menghias rumah Mbak Ida.

Si empunya acara memang dia, kakak ketigaku. Anak bungsunya, Zainab akan dinikahkan hari esok. Sepertinya acara akan berlangsung meriah dan cukup mewah.

Saking banyaknya makanan yang akan diolah, rumah Ibu sampai menjadi tempat untuk memasak, dikarenakan rumah Mbak Ida memiliki dapur agak sempit, dibanding dapur Ibu yang luas, hingga bisa dimasuki lebih dari sepuluh orang. Apa lagi, masih ada tungku juga, jadi nggak akan rebutan kompor.

"Man, dipanggil Ibu, tuh!" Kakak ipar tertuaku berujar, aku langsung buru-buru menuju rumah Ibu yang berada di samping rumah si pemilik acara.

"Bu, ada apa?" tanyaku sesampai di dapur.

"Ini, Man. Maaf. Tolong buatin tusukan sate, ya?" pinta Ibu, aku langsung menurut.

Sebelum duduk dan membuat tusukan sate, mata ini lebih dulu mencari sosok seseorang di antara ibu-ibu yang berada di dapur.

Rupanya, Aidah masih belum membantu juga. Aku jadi geleng-geleng sendiri. Dengan perasaan dongkol akhirnya aku mulai membelah sebilah bambu untuk kujadikan tusuk sate.

***

"Alman, sini!" Mbak Ida memanggil saat aku sedang membantu beberapa orang memasang sound sistem.

"Iya, Mbak. Ada apa?"

"Istrimu ke mana? Kok dari tadi nggak kelihatan?"

"Aidah nggak ke dapur juga, Mbak?" Malah aku bertanya balik sekarang.

Mbak Ida menggeleng. "Enggak, Man. Nggak ada. Istri kamu tuh kenapa, sih? Maaf-maaf nih ya, Man. Kamu harusnya nasihatin dia, supaya mau bantu-bantu di dapur, ya cuci piring dua buah juga tak apa. Dari pada ndekem terus di kamar, malu sama orang-orang." Aku terdiam sejenak, benar-benar tak mengerti kenapa Aidah selalu bersikap seperti ini.

"Iya, Mbak. Nanti aku nasihatin."

"Iya. Jangan dimanja, ah! Apa nggak malu dia sama mertua?" ucap Mbak Ida lagi. Aku hanya mengulang jawaban yang sama.

Setelah diperingati Mbak Ida, aku langsung menuju rumah Ibu lagi, menghampiri Aidah kembali. Tapi, istri dan anakku tak ada di kamar.

Kucari dia ke dapur, juga tak ada. Di sekeliling rumah aku tidak menemukan sosok Aidah. Sampai di mana mata ini melihatnya tengah terududuk di dekat pelaminan yang baru saja selesai.

Dengan kesal aku langsung menghampirinya.

"Lagi apa sih, kamu? Kok malah duduk-duduk di sini?" tanyaku sedikit emosi, Aidah yang sedang tersenyum kini nampak terkejut dengan kedatanganku.

"Itu, Mas. Lagi ngawasin Rizki, katanya mau main di sini. Takut jatuh atau apa."

"Ya ampun, Aidah. Kenapa kamu nggak titipin Rizki sama aku saja? Harusnya kamu itu di dapur, bantuin Ibu, bantuin Mbak-mbakku. Aneh Mas sama kamu, Dah. Kenapa setiap ada acara hajatan di keluarga Mas, kamu nggak pernah mau bantuin masak. Kenapa?" tanyaku dengan nada tinggi, tak ada yang mendengar kecuali dia karena semua orang sibuk dengan sound sistem juga pekerjaannya masing-masing.

"Mas malu, Dah! Apa kata Ibu dan orang-orang kalau kamu seperti ini terus? Ayo, bantuin mereka masak!" Aidah hanya terdiam, tapi tak lama matanya nampak basah. Bahkan, sekarang dia menghampiri Rizki dan menariknya untuk menjauh dari tempat anak itu bermain.

"Loh? Mau ke mana?" tanyaku saat Aidah berlalu sambil memangku Rizki.

"Aidah? Hey?"

"Aku mau pulang, Mas ...." katanya lirih, air matanya semakin deras membanjiri pipi. Membuatku kian tak mengerti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Penyesalan Terdalam

    "Alman?" Mata Bu Nani nampak berbinar kedatangan anak bungsunya itu.Alman tak menjawab, dengan kuyu dia langsung terduduk di sofa ruang televisi. Diambilnya botol besar air mineral yang berembun, menandakan jika minuman itu sangat dingin."Alman, untung kamu ke sini. Kebetulan Ibu lagi ada perlu sama kamu," ucap Bu Nani. Kedatangan Alman membuatnya lupa pada acara infotainment di televisi yang tengah dia tonton."Ibu lagi butuh uang, Man. Sekitar satu juta, buat bayar hutang Mbakmu ke tetangga, sama buat kebutuhan Ibu juga," lanjutnya tanpa bertanya keadaan si bungsu. Padahal, terlihat jelas sekali jika Alman sedang tidak baik-baik saja."Laksmi, Mbakmu nggak bisa bantu Ibu, Man. Dua hari lalu dia baru dicerai si Sopyan.""Hah? Cerai?" Ini pertama kalinya Alman bersuara karena benar-benar terkejut."Iya, Man. Si Sopyan ternyata selingkuh, punya istri lagi dia, bahkan udah punya anak seumuran Rizki sama selingkuhannya. Tanpa sepengetahuan Laksmi, rumahnya dijual dan uangnya dibawa per

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Pengkhianatan

    "Memangnya harus, ya?" tanya Arkan, ragu hendak memberikan roti buatan Aidah yang akan dijadikan menu baru di outlet mereka."Kalau Mas nggak ngizinin, nggak apa-apa." Aidah menjawab lembut."Ya sudah lah, dari pada mubazir. Mereka 'kan tetangga kita juga." Arkan mengunggingkan senyum.Kedua makhluk itu lantas kembali berjalan setelah membagikan roti buatan Aidah, mereka hendak menuju ke rumah Alman juga Indri. Gara-gara kejadian semalam, Arkan jadi izin tak masuk sekolah. Lelaki itu ingin menghabiskan waktu bersama sang pujaan, walau lisannya tak mengutarakan demikian."Assalamu'alaikum." Arkan mengetuk pintu, sementara Aidah terdiam di sampingnya sembari membawa bingkisan roti.Tak menunggu lama, si empunya rumah terdengar menjawab salam kemudian membuka pintu bercat putih itu dengan segera."P-Pak Arkan? Aidah?" Indri nampak terkesima."Ganggu ya, In?" tanya Arkan terdengar bersahabat. Karena memang mereka pernah satu sekolah dulu, jadi Arkan merasa tak sungkan pada wanita itu."O

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Aidah Bahagia, Alman Menderita

    "Aidah, aku mohon. Aku ingin kembali denganmu." Dengan wajah memelas Alman meminta, Aidah terdiam sejenak. Hatinya begitu iba melihat Alman hidup dengan derita.Sejatinya Alman tak bersalah, karena memang semua kehancuran itu berawal dari hasutan keluarganya."Kalau boleh jujur, aku juga masih cinta sama kamu, Mas." Aidah berkata lirih, kini giliran Alman yang terpaku."Aku tak pernah mau menikah dua kali dalam seumur hidup. Aku juga kasihan pada Rizki, kalau kita bercerai berai seperti ini.""Jadi, kamu mau rujuk denganku, Aidah?" tanya Alman cepat seraya meraih kedua tangan Aidah, dan wanita itu tak menolak."Iya, Mas. Asal kamu janji, takkan menyakitiku lagi.""Janji, Aidah. Janji! Tapi, bagaimana dengan suamimu, Arkan?""Aku tak mencintainya, Mas. Dia tak memperlakukanku dengan laik selama ini. Dia tak pernah memberikanku nafkah batin, aku lebih tersiksa karena harus berpura-pura bahagia padahal sebenarnya tidak.""Ya Tuhan, Aidahku. Tapi tidak apa, yang penting, sekarang semuanya

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Ada yang Tumbuh, Ada yang Hilang

    “Indri, kamu lihat jam tangan Mas yang satu lagi, nggak?” tanya Alman saat hendak memakai benda tersebut. Lelaki itu memang memiliki dua buah jam tangan, yang satu biasa dipakai sehari-hari karena tergolong murah, dan satunya lagi jarang dia pakai karena harganya memang mahal.“Jam tangan yang di laci?” Indri balik bertanya seraya memainkan ponsel.“Iya.”“Lho, ‘kan aku jual, Mas.” Alman langsung menoleh dengan mata membulat mendengar jawaban Indri.“Kamu jual?” ulangnya sambil mendekat. Indri mengangguk dengan ringan.“Kenapa kamu jual, Indri? Ya ampun ....”“Lho, lho. Kemarin ‘kan aku sudah izin, mau jual jam tanganmu itu buat belanja baju sama Ibu. Biar Ibu seneng dan nggak terlalu sedih mikirin kakak sulungmu itu.”“Kapan, Indri? Kapan kamu meminta izin? Kapan juga aku mengizinkannya?” “Ya sebelum aku belanja sama Ibu, lah. Makanya, Mas. Jangan banyak ngelamun, jadi orang ngomong itu kamu nggak dengerin, otak kamu nggak fokus.”Alman tak menjawab, dia hanya bisa menghela napas ya

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Kenapa Berubah?

    Perkataan Bu Nani dan Indri terus menghantui pikiran Aidah. Bagaimana kalau Arkan terus tak menyentuhnya? Bagaimana kalau dia tak memiliki keturunan lagi karena Arkan belum bisa menerimanya sebagai istri? Aidah merasa depresi sendiri, hingga menjadikannya selalu murung akhir-akhir ini.“Aidah, aku mau mandi,” kata Arkan setelah bakda Isya. Berkutat dengan pekerjaan seharian membuat tubuhnya terasa lengket dan tak nyaman.“Ya.” Aidah menyahut singkat, dia sibuk bersama ponselnya sambil duduk di atas ranjang. Sendirian. Karena Rizki tengah bersama Bu Heni di kamar sebelah.“Handuknya?” tanya Arkan merasa heran. Biasanya, Aidah selalu menyiapkan keperluan suaminya itu sebelum sang lelaki mandi. Dari mulai handuk sampai baju. Tapi sekarang, Aidah diam saja dan bertingkah sedingin batu.Aidah tak menyahut, dia meninggalkan ponsel sementara untuk mengambil handuk baru di lemari. Kemudian tanpa kata dia menyodorkan begitu saja pada Arkan.Bukannya langsung masuk kamar mandi, Arkan malah tert

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Balasan Sebuah Kejahatan

    Tak hanya Aidah, Arkan juga mendengarnya dan langsung bangkit dari pembaringan."Kamu tunggu di sini, ya?" titah Arkan lembut, lalu menyelimuti Rizki yang tidur di tengah mereka.Lelaki jangkung itu langsung mengambil kacamata di atas nakas, kemudian menghidupkan lampu. Ida yang merasa sial hanya bisa memejamkan mata sambil berharap agar si empunya rumah tak memergokinya.Sedangkan Aidah, di atas ranjang dia terduduk sambil membelai rambut Rizki, anak itu masih terlelap, tapi Aidah tak lagi biss memejamkan mata.Sebelum keluar kamar, Arkan memicingkan mata, sadar ada yang janggal dengan kolong ranjangnya.Rupanya, kaki Ida yang tak beralas itu sedikit terlihat hingga membuat Arkan mendekat. Sedangkan Ida tak sadar si pemilik kamar berjalan ke arah persembunyiannya karena dia sibuk memejamkan mata dan berdoa."Kamu?" Darah Ida terasa membeku saat mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Dengan perlahan dan penuh rasa takut dia membuka mata."Ke luar sekarang!" perintahnya."Kenapa,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status