Share

Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku
Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku
Penulis: Azu Ra

Tak Hadir di Dapur

"Lho, Aidah mana, Bu?" tanyaku bingung, melihat istriku tak ada di dapur bersama para wanita yang memasak, termasuk ibu juga ketiga kakak perempuanku.

"Di kamar aja tuh!" Mbak Ida menyahut, aku hanya menghela napas sambil menyimpan sayuran yang baru saja kubeli.

Kebiasaan memang, kalau keluargaku sedang ada acara atau hajatan, Aidah pasti tak pernah mau membantu urusan dapur. Entah kenapa. Padahal, di rumah dia sangat hobi masak.

"Alman samperin dulu ya, Bu."

"Nggak usah, Man. Mungkin istrimu capek." Ibu menjawab sambil mengupas kentang, tak tega aku melihatnya. Sedari tadi beliau belum berhenti bekerja.

Tanpa basa-basi lagi aku ke luar dapur dan menuju kamar depan, tempat kami beristirahat jika berkunjung ke rumah ini.

Benar saja, rupanya Aidah ada di sana.

"Aidah, lagi apa? Kok nggak bantu-bantu?"

Aidah yang tengah tidur menyamping menoleh.

"Lagi nyusuin Rizki, Mas." Tadinya, aku ingin marah. Tapi mendengar alasannya seperti itu, niatku untuk menasihatinya urung seketika.

"Ya sudah, kalau nyusuin Rizkinya selesai, bantuin Ibu sama yang lainnya ya di dapur. Nggak enak kalau kamu di sini cuma numpang tiduran aja," ujarku. Aidah tak menyahut, dia lebih memilih kembali dengan aktivitasnya.

Akhirnya aku pun kembali ke luar kamar, hendak membantu kaum adam yang tengah berjibaku memotong daging kambing di belakang rumah.

Semoga saja, Aidah mau membantu para wanita di dapur. Aku malu jika harus ditegur ketiga kakakku lagi karena istriku yang tak pernah mau membantu pekerjaan untuk acara besar keluargaku.

***

Sebuah mobil pick up dengan muatan nampak beberapa kali pulang pergi. Setelah sibuk dengan daging kambing, aku kembali berkutat membantu tukang dekorasi yang hendak menghias rumah Mbak Ida.

Si empunya acara memang dia, kakak ketigaku. Anak bungsunya, Zainab akan dinikahkan hari esok. Sepertinya acara akan berlangsung meriah dan cukup mewah.

Saking banyaknya makanan yang akan diolah, rumah Ibu sampai menjadi tempat untuk memasak, dikarenakan rumah Mbak Ida memiliki dapur agak sempit, dibanding dapur Ibu yang luas, hingga bisa dimasuki lebih dari sepuluh orang. Apa lagi, masih ada tungku juga, jadi nggak akan rebutan kompor.

"Man, dipanggil Ibu, tuh!" Kakak ipar tertuaku berujar, aku langsung buru-buru menuju rumah Ibu yang berada di samping rumah si pemilik acara.

"Bu, ada apa?" tanyaku sesampai di dapur.

"Ini, Man. Maaf. Tolong buatin tusukan sate, ya?" pinta Ibu, aku langsung menurut.

Sebelum duduk dan membuat tusukan sate, mata ini lebih dulu mencari sosok seseorang di antara ibu-ibu yang berada di dapur.

Rupanya, Aidah masih belum membantu juga. Aku jadi geleng-geleng sendiri. Dengan perasaan dongkol akhirnya aku mulai membelah sebilah bambu untuk kujadikan tusuk sate.

***

"Alman, sini!" Mbak Ida memanggil saat aku sedang membantu beberapa orang memasang sound sistem.

"Iya, Mbak. Ada apa?"

"Istrimu ke mana? Kok dari tadi nggak kelihatan?"

"Aidah nggak ke dapur juga, Mbak?" Malah aku bertanya balik sekarang.

Mbak Ida menggeleng. "Enggak, Man. Nggak ada. Istri kamu tuh kenapa, sih? Maaf-maaf nih ya, Man. Kamu harusnya nasihatin dia, supaya mau bantu-bantu di dapur, ya cuci piring dua buah juga tak apa. Dari pada ndekem terus di kamar, malu sama orang-orang." Aku terdiam sejenak, benar-benar tak mengerti kenapa Aidah selalu bersikap seperti ini.

"Iya, Mbak. Nanti aku nasihatin."

"Iya. Jangan dimanja, ah! Apa nggak malu dia sama mertua?" ucap Mbak Ida lagi. Aku hanya mengulang jawaban yang sama.

Setelah diperingati Mbak Ida, aku langsung menuju rumah Ibu lagi, menghampiri Aidah kembali. Tapi, istri dan anakku tak ada di kamar.

Kucari dia ke dapur, juga tak ada. Di sekeliling rumah aku tidak menemukan sosok Aidah. Sampai di mana mata ini melihatnya tengah terududuk di dekat pelaminan yang baru saja selesai.

Dengan kesal aku langsung menghampirinya.

"Lagi apa sih, kamu? Kok malah duduk-duduk di sini?" tanyaku sedikit emosi, Aidah yang sedang tersenyum kini nampak terkejut dengan kedatanganku.

"Itu, Mas. Lagi ngawasin Rizki, katanya mau main di sini. Takut jatuh atau apa."

"Ya ampun, Aidah. Kenapa kamu nggak titipin Rizki sama aku saja? Harusnya kamu itu di dapur, bantuin Ibu, bantuin Mbak-mbakku. Aneh Mas sama kamu, Dah. Kenapa setiap ada acara hajatan di keluarga Mas, kamu nggak pernah mau bantuin masak. Kenapa?" tanyaku dengan nada tinggi, tak ada yang mendengar kecuali dia karena semua orang sibuk dengan sound sistem juga pekerjaannya masing-masing.

"Mas malu, Dah! Apa kata Ibu dan orang-orang kalau kamu seperti ini terus? Ayo, bantuin mereka masak!" Aidah hanya terdiam, tapi tak lama matanya nampak basah. Bahkan, sekarang dia menghampiri Rizki dan menariknya untuk menjauh dari tempat anak itu bermain.

"Loh? Mau ke mana?" tanyaku saat Aidah berlalu sambil memangku Rizki.

"Aidah? Hey?"

"Aku mau pulang, Mas ...." katanya lirih, air matanya semakin deras membanjiri pipi. Membuatku kian tak mengerti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status