Keheranan pun terjadi pada Sumi. Melihat anaknya terus-terusan muntah di pagi hari itu, membuatnya tak tega.
“Kamu makan apa sih nduk, kenapa sampai muntah-muntah begini?”
Ibunya itu memijat punggung mulus anaknya ini dengan lembut, mengantarkan kenyamanan yang Rachel rasakan.
“Kayaknya Rachel masuk angin, Bu,” jawab Rachel asal, lagi-lagi mengulang alasan yang sama.
Pikirnya, saat ini memang sedang masuk musim penghujan. Ditambah lagi, beberapa hari terakhir dia selalu kehujanan ketika pulang dari kampus.
Rachel merasa lebih baik usai dipijat ibunya. Wangi aroma minyak urut yang digunakan sang ibu agaknya manjur mengusir mualnya. Tak lama, hasrat ingin makannya pun muncul, membuat dia langsung menuju ke dapur.
Mata Rachel berbinar begitu melihat buah mangga yang masih muda, yang ada di atas meja makan. Air liurnya bahkan terus-terusan melonjak, seolah tubuhnya begitu menginginkan buah yang asam itu.
Tanpa pikir panjang, alih-alih menyendok makan, Rachel mengupas mangga muda itu. Hanya dengan kecap manis yang ditambahi potongan cabai, mangga muda yang sebenarnya asam luar biasa itu terasa bagai surga untuknya.
Tubuhnya yang sebelumnya terasa lemah pun kini terasa lebih bertenaga. Tak jauh dari posisi Rachel yang tengah menikmati rujak kecap mangga mudanya, Sumi berdiri kaget. Padahal seingatnya, Rachel paling tak suka yang asam-asam.
Namun, dua wanita itu masih belum menyadari apa yang terjadi pada tubuh Rachel. Sumi hanya mengira anaknya butuh makanan yang segar-segar dan kaya vitamin C. Hingga suatu ketika … si pemilik tubuh mengerutkan dahi ketika melihat perubahan signifikan pada tubuhnya.
Payudara yang membesar–semakin mekar, tubuhnya yang semakin terlihat bersinar … juga rasa mual yang hanya dirasakan pada pagi hari membuat Rachel mulai menyadari ada yang berbeda darinya.
“Ya Tuhan, tidak mungkin!” Seketika, tubuhnya gemetar. Kakinya terasa lemas.
Tak ingin berasumsi, Rachel pun bergegas membawa motor maticnya ke apotik di depan gang rumahnya. Dia membeli sebuah alat tes kehamilan.
Dunia terasa berputar bagi Rachel saat menunggu hasil alat itu usai dia melakukan tes sesuai petunjuk pemakaian. Dada gadis itu bergemuruh. Jantungnya terasa seakan berhenti kala garis pada alat tersebut menunjukkan arti jika….
“A-aku … hamil?!” katanya dengan mata berkaca-kaca. Andai saja dia tak berpegangan pada handle pintu, tubuhnya mungkin sudah luruh ke lantai kamar mandi.
Kemudian, pertanyaan-pertanyaan buruk mulai menghantui pikirannya.
Bagaimana dia menjelaskannya pada sang ibu?
Bagaimana dengan kuliahnya, juga masa depannya?
Ditambah lagi … mungkinkah Tommy Harnady mau mengakui jika anak yang dia kandung ini adalah anak pria itu?
Belum lagi, bayangan hubungan pertemanannya dengan Gita yang mungkin akan merenggang jika sahabatnya itu tahu dia mengandung anak dari ayahnya.
“Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya dengan lelehan air mata. Dia begitu ketakutan sekarang.
Dia tak siap menghadapi risikonya. Namun, dia juga tak siap jika harus melakukan dosa lain kalau harus menggugurkan janin tak berdosa ini.
**
“Rachel?”
Akhirnya, setelah berperang sengit dengan pikirannya sendiri, Rachel memutuskan untuk mendatangi Tommy. Berbekal kartu nama Tommy tempo hari, wanita itu mendatangi kantor pria yang telah mendapatkan keperawanannya.
Mulanya, dia takut diusir. Lihatlah, penampilannya jauh dari kata pantas untuk menginjakkan kaki di perusahaan megah ini. Namun, berdalih dia adalah teman dari anaknya Tommy, langkahnya pun mulus hingga kini telah bertemu dengan pria itu.
“O-om.” Lidah Rachel kelu. Matanya seketika basah kala melihat Tommy menatapnya dengan alis yang menukik, heran.
Pria itu duduk di hadapan Rachel, mata gadis itu terus menatapnya lekat. Setelah gestur Tommy terlihat siap, dia pun berujar, “Om, Rachel hamil.”
Sepersekian detik, Rachel bisa melihat pria itu terkejut. Namun, tak lama Tommy berubah jadi tenang.
“Kamu ingin aku bertanggung jawab?”
Aura Tommy yang kuat benar-benar membuat Rachel takut. Belum lagi tatapan pria itu yang dalam … membuat Rachel memilin-milin ujung gaun yang dipakainya sembari menunduk.
“A-aku tidak minta Om bertanggung jawab. A-aku hanya ingin mengambil sisa uang yang Om janjikan.”
Akhirnya, keluar juga apa yang seharusnya dia katakan. Inilah rencana dia sebenarnya sejak berangkat dari rumah. Bukan untuk meminta pertanggungjawaban pria itu.Rachel sadar siapa dirinya. Dia juga tidak ingin Gita tahu kalau ayah dari anak yang di kandungnya adalah ayah sahabatnya itu. Wanita itu hanya ingin uang, sebagai modal untuk membesarkan anaknya nanti.
Inilah tekadnya, untuk menjadi ibu tunggal.
Di hadapan Rachel, Tommy kembali terlihat terkejut. Kali ini, ekspresi itu bertahan sedikit lebih lama.
“Jadi, kamu hanya mau menagih uang itu?” Tommy berujar, ada nada kecewa yang bercampur sinis di dalamnya. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang?”
Rachel mengangguk yakin. “Aku hanya butuh uang itu. Setelahnya, aku janji tidak akan ganggu Om Tommy lagi.”
Wanita itu tak peduli lagi bagaimana Tommy menilainya karena ini. Bila pria itu menilainya buruk, materealistis atau oportunis … justru bagus. Sebab, dia bisa dengan mudah pergi dan memulai hidup baru hanya berdua dengan anaknya nanti, tanpa ada gangguan siapa pun, termasuk ayah kandung si jabang bayi.
Beberapa detik mencerna, Tommy kemudian menghela napas panjang kemudian berdiri dan mengambil sesuatu di laci meja kerjanya. Pria itu mengeluarkan selembar kertas yang Rachel duga sebagai cek dan kembali duduk di tempatnya.
“Ini, tulis berapa pun yang kamu inginkan.” Dia mengulurkan cek tersebut ke arah Rachel. “Kamu bisa cairkan itu kapan pun.”
Rachel memandang cek itu, lalu mengambilnya dan menuliskan nominal yang dia kehendaki. 200 juta, sesuai yang dijanjikan pria itu saat mereguk madunya. Setelahnya, wanita itu langsung berdiri sambil membawa cek tersebut.
“Terima kasih. Permisi, Om.”
Setelahnya, Rachel langsung pergi dengan langkah cepat tanpa mau menoleh lagi ke belakang.
Sesampainya di rumah, wanita itu langsung bergegas merapikan pakaian. Tak lupa, dia juga berpamitan dengan ibunya.
“Kenapa mendadak, Nak?” Jelas, Sumi bingung dengan rencana dadakan anaknya itu. “Apa ada yang kamu sembunyikan?”
Rachel tidak menjawab dengan gamblang. Dia hanya berujar ingin memulai langkah baru, mencoba hidup mandiri dengan suasana baru. Dia juga berjanji akan meneruskan kuliahnya.
Akhirnya, karena Rachel terlihat telah mantap dengan rencananya itu, Sumi pun memberikan izin meski dengan berat hati.
‘Maafkan Rachel, Bu. Rachel cuma nggak mau nyusahin Ibu.’
Bersambung....
Pernikahan sederhana pun di gelar, Dea menolak saat Atiqah mau merayakannya, dia sangat menjaga perasaan Atigah yang hamil tua ini. Baginya Atiqah tetap ‘Ratu’ dalam rumah tangga mereka.Termasuk menolak bulan madu kemanapun dengan Aldi.“Dirumah saja Bang, bisa-bisa Abang lah atur kapan mau gauli Dea,” bisik Dea hingga Aldi tersenyum mengiyakan, sekaligus salut dengan istri keduanya ini.Usai menikah, Aldi yang di minta Atiqah mendatangi kamar Dea garuk-garuk kepala, karena si gemoy Kimberly ternyata selama ini selalu minta ditemani tidur ibu sambungnya ini.Si bungsu yang bentar lagi akan diambil alih posisinya oleh adiknya yang segera lahir memang kolokan.Sampai seminggu usai menikah, Aldi dan Dea belum juga belah duren, Atiqah yang tahu itu tertawa dan sarankan keduanya ke apartemen atau ke hotel bulan madunya.Apalagi Atiqah sudah tak kasih jatah lagi, karena dokter masih melarang keduanya berhubungan, untuk jaga kandungannya.Hingga Aldi yang sudah naik spanning, akhirnya dapat
“Ja-jangan Bang, nanti kebla-blasan,” terdengar suara Dea gemetaran. Antara suka dan takut melanda hatinya.“Maaf…!” Aldi pun kini duduk tenang lagi di setirannya, keduanya sama-sama membisu, namun suara hati tak bisa bohong. Dea sangat bahagia..!Tapi, akal sehat Dea langsung jalan, pria di dekatnya ini pria…beristri dan punya 3 anak! Diapun sudah anggap Atiqah kakaknya dan dekat dengan Nissa, Dilan dan Kimberly. Masa iya dia nekat jadi pelakor?“Dea…seandainya Abang ambil kamu istri, maukah kamu menerimanya?” Kini Aldi tanpa aling-aling ajukan lamaran ke Dea.Mata Dea langsung terbelalak, ini benar-benar diluar nurul baginya. Pria yang diam-diam dia sukai dan kagumi saat ini, di tengah jalan yang macet, justru melamarnya jadi istri kedua!“Bang, j-jangan….bagaimana kalau ka Atiqah tahu, kasian beliau, mana hamil tua lagi!” ceplos Dea, untuk redakan hatinya yang kebingungan.“Justru yang meminta aku melamarmu dia sendiri…!” sahut Aldi kalem. Lagi-lagi ucapan ini membuat Dea terbelal
Semenjak hamil anak kedua, Atiqah harus membatasi berhubungan dengan suaminya, dokter melarang keduanya terlalu sering kumpul.“Kandungan yang kedua ini agak rentan, jadi harus di jaga benar-benar apalagi di usia ibu begini,” kata dokter kandungan langganan keduanya beri peringatan. Mau tak mau Atiqah pun kadang kasian dengan Aldi, yang terlihat menahan libidonya saat mereka bersama. Karena tak bisa lagi bergaya ‘liar’ seperti kebiasan mereka saat bercinta.Kini Atiqah sudah menerima Nissa sebagai anak sulung dalam keluarga mereka, Atiqah juga sudah kenal dengan Dea, yang di tampung sementara, untuk hilangkan trauma di tempat asalnya [Makasar].Nissa dan Dea yang sering dipanggilya ‘Kak Dea’ makin akrab tentu saja tak pernah menduga, kalau Aldi bukan pria sembarangan.Nissa yang semula agak ‘ragu’ dengan Aldi, kini bangga tak terkira, ayah kandungnya, selain tampan juga seorang crazy rich.Apalagi setelah dia kenal dua adiknya, Dilan dan Kimberly yang langsung cocok dengannya, belu
Ditemani Aldi, Dea menjenguk Marsha yang kini koma di rumah sakit, sepintas Dea dan Aldi sudah paham, agaknya sulit bagi Marsha sembuh.Kondisi Marsha makin memprihatinkan dari hari ke hari, dokter sudah berkali-kali lakukan berbagai upaya, untuk selamatkan Marsha.Namun kondisinya tak tak banyak perubahan.“Mabuk akibat alkohol ditambah cekikan yang mematikan penyebabnya,” kata dokter yang merawat Marsha menjelaskan ke Aldi dan Dea, yang saat ini menjenguknya, ini yang ke 3 kalinya.Tiba-tiba datang seorang perawat dengan tergopoh-gopoh. “Dok pasien sadar, tapi kondisinya makin menurun!” seru seorang perawat.Lewat kaca Aldi dan Dea melihat Marsha yang kembali di beri pertolongan darura. Bahkan dokter sampai menggunakan alat kejut jantung untuk memberikan pertolongan pada Marsha.Dokter lalu beri kode pada perawat, seakan minta Aldi dan Dea masuk ke ruangan perawatan ini. Sepertinya dokter sudah merasa, Marsha sulit tertolong.“Pak, kayaknya ibu Marsha mau menyampaikan sebuat pesan,
Aldi kini sudah di jalan raya dan ikuti kemana mobil Marsha dan teman prianya meluncur. Tapi Aldi merasa aneh, kenapa keduanya terlihat bertengkar di dalam mobil tersebut.Itu terlihat dari siluet kaca mobil keduanya, sehingga Aldi heran sendiri, apa yang mereka pertengkarkan.Tiba-tiba di sebuah jalan yang sepi, mobil tersebut berhenti dan tak lama kemudian Aldi kaget bukan main, saat melihat tubuh Marsha yang setengah mabuk di dorong keluar dari mobil tersebut.Dan si teman prianya tadi tancap gas meninggalkan Marsaha begitu saja di sisi jalan.Aldi langsung pinggirkan mobilnya dan dia kaget bukan main, Marsha pingsan dan lehernya seperti baru tercekik.Aldi buru-buru angkat tubuh Marsha dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Dia tak paham apa masalahnya, hingga Marsha dan teman lelakinya itu bertengkar hebat dan Marsha kini kritis akibat cekikan tersebut, sampai berbusa mulutnya.Pertolongan darurat pun diberikan saat sampai di IGD, Aldi langsung kontaknya temannya di Polda dan
Penasaran siapa istri mas Bram sebelumnya, suami dokter Athalia, Aldi pun mulai selidiki wanita itu, benarkah terlibat dalam kecelakaan maut bekas kekasihnya itu.Aldi pun sementara titip Nissa ke bibinya, dia hanya beralasan ada yang di urus di kantornya.“Nanti setelah urusan papa beres, kamu ikut papa ke Jakarta dan tinggal dengan mama dan adik-adikmu yaa?” Aldi bujuk anak sulungnya ini, Nissa pun mengangguk.Hubungan keduanya cepat akrab, selain ada hubungan darah, Nissa yang kini berusia 10 tahun jelang 11 tahun mulai paham soal masalalu mama nya dan ayah kandungnya ini.Dia malah tak sabaran ingin jumpa kedua saudaranya serta ibu sambungnya. Aldi pun plong, dia mulai selidiki mantan istri mas Bram, jiwa petualangannya bangkit saat tahu kematian Athalia dan Mas Bram tak wajar.Tak sulit bagi Aldi ketahui di mana alamat wanita yang pernah jadi istri Mas Bram tersebut.“Wanita ini bernama Marsha, profesinya selebgram, dia suka dugem, inilah yang bikin Mas Bram dulu menceraikannya,
Aldi menatap gundukan tanah merah, jasad dokter Athalia baru saja dimakamkan berdampingan dengan mendiang suaminya, yang tewas di tempat kejadian kecelakaan.Mobil mereka menghantam sebuah truk tronton, Aldi sudah melihat kondisi mobil yang ringsek berat di kantor Polres setempat.Dia sempat memejamkan mata, karena mobil SUV yang rusak berat ini ternyata pemberiannya dahulu buat Athalia.“Maafkan aku Athalia…mobil ini justru bawa celaka buatmu dan suamimu!” batin Aldi sambil hela nafas panjang, sekaligus menatap pilu Nissa yang menangisi kepergian ibunda dan ayah sambungnya.Nissa terus meratapi kepergian Athalia yang tragis, Aldi pun tak tega meninggalkan gadis kecil ini, yang dikatakan Athalia anaknya, darah dagingnya bersama dokter cantik tersebut.Masih terngiang ditelinganya, di saat terakhir di rumah sakit Athalia bilang, setelah berpisah dengan Aldi dia hamil Nissa.“Pantas…wajahnya mirip sekali dengan Kimberly…ternyata Nissa kakaknya sendiri, juga kakaknya Dilan beda ibu…!” pi
Setelah puas berlibur di vila mewah ini, keluarga besar Harnady kembali ke Jakarta. Aldi langsung boyong anak-anak dan istrinya ke rumah mewah yang hampir 3 tahunan ini tak pernah ia tempati.Atiqah ternyata masih subur di usia 39 tahunan, setelah 3 bulan, wanita cantik ini kembali muntah-muntah.Setelah di bawa ke dokter, Dilan dan Kimberly bersuka cita, mereka bakalan punya adik baru. Atiqah ternyata hamil lagi anak kedua setelah Kimberly.Hamil di usia rentan membuat Aldi ekstra jaga kesehatan Atiqah. Dia tak mau kenapa-kenapa dengan istrinya, yang beda usia 9 tahun dengannya.Kebahagiaan menaungi keluarga kecil ini.Tapi perjalanan waktu itu ada siang dan malam, ada sedih ada bahagia, demikianlah semua itu datang silih berganti.Dan…Aldi punya masalalu yang harus dia tuntaskan.Suatu hari Aldi harus ke Makasar, untuk meninjau anak perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan emas dan kini sudah diserahkan Gibran untuk Aldi kelola di sana.Dia dapat kabar ada insiden yang mengak
Dilan hanya terdiam saat Atiqah menjelaskan pelan-pelan, kalau selama ini papanya tidak pernah meninggalkan mereka. Justru Atiqah-lah yang meninggalkan ayahnya.“Jadi mama donk yang salah, bukan papa?” sahut Dilan, Atiqah pun mengangguk dan bilang dulu itu ada kesalah pahaman.“Nanti kalau Dilan dah gede, paham apa itu kesalah pahamannya yaah, sekarang Dilan harus temui papa dan harus segera minta maaf. Kasian papa kamu sejak kemarin ingin meluk Dilan…masa nggak mau di peluk papa seperti adik Kim?”Dilan pun melihat di kejauhan papanya asyik ajarin Kimberly main golf.Dengan perlahan Dilan mendekati ayahnya dan Kimberly yang asyik di ajari main golf. Kimberly agaknya menyukai olahraga ‘mewah’ ini dan Aldi dengan senang hati ajari gadis cantiknya ini.Aldi melirik anaknya yang terlihat ragu mendekatinya. Namun Aldi paham, sebagai orang tua, dia harus mendahului sapa anaknya. Dilan masih rada malu, karena bersikap sinis dengan ayahnya ini.“Kamu mau main golf juga Dilan?” tanya Aldi sam