Share

Bab 5: Hamil Dan Pamit

Keheranan pun terjadi pada Sumi. Melihat anaknya terus-terusan muntah di pagi hari itu, membuatnya tak tega.

“Kamu makan apa sih nduk, kenapa sampai muntah-muntah begini?”

Ibunya itu memijat punggung mulus anaknya ini dengan lembut, mengantarkan kenyamanan yang Rachel rasakan. 

“Kayaknya Rachel masuk angin, Bu,” jawab Rachel asal, lagi-lagi mengulang alasan yang sama.

Pikirnya, saat ini memang sedang masuk musim penghujan. Ditambah lagi, beberapa hari terakhir dia selalu kehujanan ketika pulang dari kampus.

Rachel merasa lebih baik usai dipijat ibunya. Wangi aroma minyak urut yang digunakan sang ibu agaknya manjur mengusir mualnya. Tak lama, hasrat ingin makannya pun muncul, membuat dia langsung menuju ke dapur.

Mata Rachel berbinar begitu melihat buah mangga yang masih muda, yang ada di atas meja makan. Air liurnya bahkan terus-terusan melonjak, seolah tubuhnya begitu menginginkan buah yang asam itu. 

Tanpa pikir panjang, alih-alih menyendok makan, Rachel mengupas mangga muda itu. Hanya dengan kecap manis yang ditambahi potongan cabai, mangga muda yang sebenarnya asam luar biasa itu terasa bagai surga untuknya. 

Tubuhnya yang sebelumnya terasa lemah pun kini terasa lebih bertenaga. Tak jauh dari posisi Rachel yang tengah menikmati rujak kecap mangga mudanya, Sumi berdiri kaget. Padahal seingatnya, Rachel paling tak suka yang asam-asam.

Namun, dua wanita itu masih belum menyadari apa yang terjadi pada tubuh Rachel. Sumi hanya mengira anaknya butuh makanan yang segar-segar dan kaya vitamin C. Hingga suatu ketika … si pemilik tubuh mengerutkan dahi ketika melihat perubahan signifikan pada tubuhnya.

Payudara yang membesar–semakin mekar, tubuhnya yang semakin terlihat bersinar … juga rasa mual yang hanya dirasakan pada pagi hari membuat Rachel mulai menyadari ada yang berbeda darinya.

“Ya Tuhan, tidak mungkin!” Seketika, tubuhnya gemetar. Kakinya terasa lemas. 

Tak ingin berasumsi, Rachel pun bergegas membawa motor maticnya ke apotik di depan gang rumahnya. Dia membeli sebuah alat tes kehamilan.

Dunia terasa berputar bagi Rachel saat menunggu hasil alat itu usai dia melakukan tes sesuai petunjuk pemakaian. Dada gadis itu bergemuruh. Jantungnya terasa seakan berhenti kala garis pada alat tersebut menunjukkan arti jika….

“A-aku … hamil?!” katanya dengan mata berkaca-kaca. Andai saja dia tak berpegangan pada handle pintu, tubuhnya mungkin sudah luruh ke lantai kamar mandi. 

Kemudian, pertanyaan-pertanyaan buruk mulai menghantui pikirannya.

Bagaimana dia menjelaskannya pada sang ibu?

Bagaimana dengan kuliahnya, juga masa depannya?

Ditambah lagi … mungkinkah Tommy Harnady mau mengakui jika anak yang dia kandung ini adalah anak pria itu?

Belum lagi, bayangan hubungan pertemanannya dengan Gita yang mungkin akan merenggang jika sahabatnya itu tahu dia mengandung anak dari ayahnya.

“Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya dengan lelehan air mata. Dia begitu ketakutan sekarang.

Dia tak siap menghadapi risikonya. Namun, dia juga tak siap jika harus melakukan dosa lain kalau harus menggugurkan janin tak berdosa ini. 

**

“Rachel?”

Akhirnya, setelah berperang sengit dengan pikirannya sendiri, Rachel memutuskan untuk mendatangi Tommy. Berbekal kartu nama Tommy tempo hari, wanita itu mendatangi kantor pria yang telah mendapatkan keperawanannya.

Mulanya, dia takut diusir. Lihatlah, penampilannya jauh dari kata pantas untuk menginjakkan kaki di perusahaan megah ini. Namun, berdalih dia adalah teman dari anaknya Tommy, langkahnya pun mulus hingga kini telah bertemu dengan pria itu.

“O-om.” Lidah Rachel kelu. Matanya seketika basah kala melihat Tommy menatapnya dengan alis yang menukik, heran.

Pria itu duduk di hadapan Rachel, mata gadis itu terus menatapnya lekat. Setelah gestur Tommy terlihat siap, dia pun berujar, “Om, Rachel hamil.”

Sepersekian detik, Rachel bisa melihat pria itu terkejut. Namun, tak lama Tommy berubah jadi tenang. 

“Kamu ingin aku bertanggung jawab?”

Aura Tommy yang kuat benar-benar membuat Rachel takut. Belum lagi tatapan pria itu yang dalam … membuat Rachel memilin-milin ujung gaun yang dipakainya sembari menunduk. 

“A-aku tidak minta Om bertanggung jawab. A-aku hanya ingin mengambil sisa uang yang Om janjikan.”

Akhirnya, keluar juga apa yang seharusnya dia katakan. Inilah rencana dia sebenarnya sejak berangkat dari rumah. Bukan untuk meminta pertanggungjawaban pria itu.

Rachel sadar siapa dirinya. Dia juga tidak ingin Gita tahu kalau ayah dari anak yang di kandungnya adalah ayah sahabatnya itu. Wanita itu hanya ingin uang, sebagai modal untuk membesarkan anaknya nanti.

Inilah tekadnya, untuk menjadi ibu tunggal.

Di hadapan Rachel, Tommy kembali terlihat terkejut. Kali ini, ekspresi itu bertahan sedikit lebih lama.

“Jadi, kamu hanya mau menagih uang itu?” Tommy berujar, ada nada kecewa yang bercampur sinis di dalamnya. “Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang?”

Rachel mengangguk yakin. “Aku hanya butuh uang itu. Setelahnya, aku janji tidak akan ganggu Om Tommy lagi.”

Wanita itu tak peduli lagi bagaimana Tommy menilainya karena ini. Bila pria itu menilainya buruk, materealistis atau oportunis … justru bagus. Sebab, dia bisa dengan mudah pergi dan memulai hidup baru hanya berdua dengan anaknya nanti, tanpa ada gangguan siapa pun, termasuk ayah kandung si jabang bayi.

Beberapa detik mencerna, Tommy kemudian menghela napas panjang kemudian berdiri dan mengambil sesuatu di laci meja kerjanya. Pria itu mengeluarkan selembar kertas yang Rachel duga sebagai cek dan kembali duduk di tempatnya.

“Ini, tulis berapa pun yang kamu inginkan.” Dia mengulurkan cek tersebut ke arah Rachel. “Kamu bisa cairkan itu kapan pun.”

Rachel memandang cek itu, lalu mengambilnya dan menuliskan nominal yang dia kehendaki. 200 juta, sesuai yang dijanjikan pria itu saat mereguk madunya. Setelahnya, wanita itu langsung berdiri sambil membawa cek tersebut.

“Terima kasih. Permisi, Om.”

Setelahnya, Rachel langsung pergi dengan langkah cepat tanpa mau menoleh lagi ke belakang.

Sesampainya di rumah, wanita itu langsung bergegas merapikan pakaian. Tak lupa, dia juga berpamitan dengan ibunya. 

“Kenapa mendadak, Nak?” Jelas, Sumi bingung dengan rencana dadakan anaknya itu. “Apa ada yang kamu sembunyikan?”

Rachel tidak menjawab dengan gamblang. Dia hanya berujar ingin memulai langkah baru, mencoba hidup mandiri dengan suasana baru. Dia juga berjanji akan meneruskan kuliahnya.

Akhirnya, karena Rachel terlihat telah mantap dengan rencananya itu, Sumi pun memberikan izin meski dengan berat hati.

‘Maafkan Rachel, Bu. Rachel cuma nggak mau nyusahin Ibu.’

mrd_bb

Bersambung....

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status