Share

Bab 4: Ternyata Dia Adalah....

Dua minggu kemudian.

Rachel duduk termangu usai menerima telepon dari temannya. Sejak peristiwa yang tak pernah dia impikan berturut-turut menimpanya, gadis itu jadi sering melamun.

Otaknya mumet penuh dengan rasa bersalah, kemarahan dan kejengkelan pada Doni, hingga bayangan Tuan Tommy. Meski tak pernah bertemu lagi dengan pria setengah tua itu, otaknya masih menyimpan dengan baik perilaku pria itu, juga ketampanannya. 

Pikiran yang tidak-tidak pun mulai dia rasakan. Rasa ketertarikan pada Tommy, juga perasaannya yang begitu nyaman ketika bersama pria itu membuat angan-angan Rachel meliar, berharap dan memimpikan jika dia bisa menjadi pasangan pria gagah itu.

“Gila kamu Rachel!” Gadis itu memarahi dirinya sendiri. “Bagaimana pun, dia lebih cocok jadi papamu, ketimbang kekasihmu! Lagian, orang sepertinya tidak mungkin ingat aku, kan?”

Rachel mengempaskan pikiran tidak-tidaknya itu dengan membandingkan kondisi mereka berdua. Dia yang hanya anak ingusan–mungkin, di hadapan Tommy, jelas tidak akan berarti apa-apa bagi pria dewasa nan kaya itu.

Pria mapan dan rupawan seperti Tommy pasti dikelilingi wanita menawan, yang jauh dari penampilan Rachel sekarang. Pria itu juga pasti dengan mudah menggantikan dirinya dengan wanita lain yang suka rela menghabiskan malam dengannya.

“Apa aku sudah gila?” keluar juga suara hati dari mulut mungilnya.

“Siapa yang gila, Rachel!” sekonyong-konyong, ibunya muncul di kamar, mengagetkannya.

“T-tidak ada, Bu. Rachel hanya sedang melepaskan rasa kesal saja.”

Sumi memandang anaknya dengan wajah penuh selidik. “Ibu lihat kamu sudah dua mingguan ini sering melamun. Apakah karena putus cinta dengan Doni?” 

Mata Rachel memutar, jengah ketika nama pria berengsek itu diucap ibunya. “Nggak kok bu, Rachel malah senang putus dengan pria brengsek itu!”

Ekspresi kekagetan Sumi tak bisa disembunyikan saat mendengar Rachel memaki pria yang diketahui sempat menjadi pacarnya itu. “Brengsek? Apa yang sudah dia lakukan padamu sampai kamu menyebutnya berengsek?” 

Rachel jelas gelagapan. Namun, dia tidak mungkin berkata jujur pada ibunya, karena bisa-bisa wanita itu akan jantungan. “Tidak usah dipikirkan lagi, Bu. Pokoknya, yang jelas Rachel mau fokus kuliah dulu untuk saat ini.”

Setelahnya, dia pun keluar dari kamarnya tanpa mengacuhkan ibunya yang masih terheran-heran.

**

Tiga hari kemudian….

Rachel sampai di sebuah rumah mewah bertingkat dua. Penjaga rumah ini sudah tahu siapa Rachel, sehingga gadis cantik ini dipersilahkan masuk dengan mudah.

Inilah rumah Gita, sahabat karibnya yang beberapa hari lalu menelepon.

Awal bersahabat, Rachel sempat minder datang ke rumah ini. Dia sadar dirinya bukan anak orang mampu. Sungguh jauh sekali dengan kondisi sahabatnya yang serba berkecukupan.

Namun, karena Gita terus-terusan meyakinkannya jika perbedaan kasta mereka bukanlah masalah, Rachel lama kelaman menjadi nyaman berteman dengannya.

“Wow, tumben bawa motor?!” Gita langsung menyambut Rachel usai dia mematikan motornya. “Motor baru, ya? Habis dapat rejeki, nih?” goda gadis itu lagi. 

Rachel tersenyum malu-malu. Malu mengakui dia dapat membeli motor ini dari uang haram, lebih tepatnya.

Namun, jelaslah dia tak bisa memberitahukan aibnya pada sang sahabat. “E-emak menguras tabungan buat belikan aku motor ini!” Rachel terpaksa berbohong. Suaranya terbata sesaat. Untung saja Gita tak mencecar lagi.

“Ya bagus dong. Daripada kamu naik angkutan umum atau ojek daring terus? Lebih hemat kalau pakai motor.” 

Setelahnya, mereka langsung masuk ke rumah megah itu dan mengerjakan tugas mereka. 

Keduanya pun fokus belajar bersama, hingga kemudian pukul 17.00 terdengar suara deru mobil memasuki garasi rumah Gita.

Sahabatnya yang cantik itu menoleh disertai kerutan di dahi. “Papa? Tumben papahku pulang sore?” Gadis itu bergumam, lalu bangkit dari posisinya, “Sebentar ya Rachel, aku lihat Papa dulu.”

Rachel awalnya tetap fokus pada buku yang sedang dia pegang. Namun lamat-lamat telinganya mendengar suara yang tak pernah dia lupakan sampai detik ini.

“Ada temanmu di dalam?”

Kepalanya terangkat, matanya yang jeli menatap lurus ke depan.

Deg!

Jantung Rachel bak berhenti berdetak, saat melihat seorang pria setengah tua yang tetap prima terlihat sedang merangkul dengan sayang bahu Gita.

Tangannya gemetaran, hingga tak terasa buku yang dia pegang terlepas dari pegangannya. 

“Rachel, kenapa wajahmu pucat? Kamu sakit?” Gita menatap heran wajah sang sahabati.

Gita pun langsung berlari ke arahnya, meninggalkan pria yang Rachel duga sebagai papanya di belakang. Beruntung, saat Gita menghampirinya, pria tersebut tak ikut mendekat.

Mata gadis itu mengerjap. “Ah, I-iya … badanku mendadak nggak enak.”

“Terus gimana? Apa kamu mau kuantar ke dokter untuk berobat?” 

“J-jangan Git, a-aku pulang saja.” Rachel menolak, “Kayaknya aku cuma butuh istirahat. Mungkin juga masuk angin, maklum … nggak biasa kena angin motor.”

Dengan buru-buru dan tanpa menunggu jawaban temannya, Rachel merapikan buku-bukunya ke dalam tas. 

“Kamu beneran bisa bawa motor?” Gelagat Rachel yang terburu-buru justru dianggap sebagai sinyal jika gadis itu tengah merasa kesakitan luar biasa bagi Gita. “Kalau kalau nggak bisa, motor kamu biar di sini saja dulu. Kamu diantar sopir papaku saja, ya?”

Lagi, Rachel menolak. Dia bergegas menuju motornya, diikuti Gita yang memandangnya dengan kekhawatiran. “Aku pamit ya.. Sampai ketemu di kampus lusa!”

Setelahnya, dia memacu motornya dengan cepat. Pikiran, juga hatinya kembali terusik. Dia tidak menyangka, jika pria yang telah membeli keperawanannya adalah ayah dari sahabatnya.

Bodohnya, dia tak menyadari kemiripan antara sahabat dan pria yang sempat mengguncang ketenangan hatinya. Semakin bodoh lagi, sebab Rachel melupakan nama keluarga mereka yang sama.

“Bagaimana mungkin aku lupa mereka sama-sama bernama Harnady?” 

Setelah hari itu dia berpura-pura sakit, Rachel jadi terus-terusan menghindari Gita ketika di kampus. Rasanya, dia tak lagi punya muka, apalagi jika sampai sahabatnya itu tahu kalau dia dan papanya memiliki skandal satu malam.

Kefrustrasian Rachel pun berdampak langsung pada tubuhnya. Dia yang semula terlihat bugar, kini berubah agak pucat. Tubuhnya mengurus, dengan mata yang tak lagi segar–cenderung terlihat sendu.

Dan yang paling parah adalah … dia yang selalu mual, terlebih ketika pagi. 

Melihat keadaan Rachel yang dinilai semakin parah itu, Gita pun tak tega. Dia terus-terusan mendesak gadis itu untuk berobat.

“Kamu sakit apa sih sebenarnya, Rachel? Kenapa kamu jadi sering mual-mual??”

mrd_bb

Bersambung....

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status