Share

Istriku menghilang

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2025-07-11 09:35:50

Aku bersandar di dinding koridor rumah sakit, mencoba mengatur napas. Lemas. Seluruh tubuhku seperti kehilangan tenaga setelah mendonorkan darah. Aku pikir aku cukup kuat untuk ini, tapi kenyataannya tidak. Rasanya seperti tak bertulang, setiap langkah terasa berat.

Di tengah rasa pusing yang masih menggantung, pikiranku kembali ke rumah. Soraya dan Adel.

Aku harus menghubungi Ayu. Bagaimanapun juga, aku harus tahu kondisi Adel. Dia anakku, apa dia sudah pulang atau ah.... Lebih baik aku telepon saja.

Dengan tangan gemetar, aku merogoh saku dan mengambil ponsel. Soraya harus tahu kenapa aku belum pulang nanti dia semakin marah. Dia juga harus tahu kalau aku baru saja memberikan sebagian darahku untuk Adinda.

Kutekan nomor Soraya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat.

Aku menghela napas berat, menatap layar ponsel yang masih menunjukkan panggilan tak terjawab. Apa dia masih marah?

Mungkin, sudahkah tidak usah aku pikirkan terlalu dalam. Tapi, aku tetap harus tahu bagaimana keadaan Adel.

Aku menekan panggilan lagi, berharap kali ini dia akan menjawab. Ay, tolong angkat. Sial! Kemana dia?

Aku baru saja hendak melangkah ketika suara Ibu mengagetkanku.

"Loh, kamu mau ke mana, Dan?" tanyanya sambil mendekat, membawa segelas minuman.

Aku menerima minuman itu tanpa berpikir. "Aku mau cari Soraya. Tadi sempat lihat dia, mungkin di administrasi. Tapi dihubungi nggak bisa."

Ibu mendecak pelan. "Haduh, nyusahin aja istri kamu itu."

Aku mengerutkan kening. "Maksud Ibu?"

Ibu melipat tangan di dada. "Sudah kasih tahu dia belum kalau kamu di sini buat ngurus Adinda?"

"Sudah," jawabku, berusaha tetap sabar. "Tadi aku sudah bilang ke dia."

Ibu mengembuskan napas, ekspresinya jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya. "Ya sudah, paling dia sudah di rumah. Mungkin juga sudah tidur. Nggak usah kamu pusingin."

Aku terdiam. Seperti biasa. Ibu selalu bersikap seperti ini terhadap Aya. Seolah keberadaannya tidak penting. Seolah perasaannya tidak perlu dipikirkan.

Aku meneguk minuman itu perlahan, tapi pikiranku masih berputar. Apa benar Aya sudah pulang? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres?

"Tapi Adel sedang sakit. Aku pulang dulu Bu, mau lihat kondisi Adel." Lagi-lagi baru mau melangkah, lenganku sudah tertahan oleh ibu.

"Ada apa bu?" tanyaku.

"Jangan pulang dulu. Adinda belum sadar," ujar ibu.

"Nanti Dani balik lagi. Kan ada Mbak Maya," Ucapku.

"Adel paling sakit demam biasa. Sudah sembuh mungkin. Jangan terlalu cemas, sudah kasiahan Maya. Kamu temani nanti ibu mau ke rumah ambil baju Maya dan Adinda. Murni katanya mau ke sini, tadi ibu suruh beli makanan buat kamu sama Maya."

"Tapi Bu--"

"Dan, cukup ya kamu membantah ibu sekali. Jangan kamu bantah ibu lagi, wanita seperti Soraya masih saja kamu pertahankan. Kenapa si kamu enggak menikah dengan pilihan ibu. Malah si Soraya itu," ucap Ibu. Ibu menekan kata-kata seolah-olah dia mengingatkan aku pada pilihannya.

"Tapi, aku enggak suka dengan pilihan Ibu." Aku menjambak rambut yang tidak gatal.

"Walau sudah ada pengikat di antara kalian?" Tatapan ibu begitu tajam, pengikat? Hah, hal itu yang selalu membuat aku kalah dari mereka. Dan, harus mengikuti semua kemauan mereka.

Murni baru saja datang, dan itu memberiku kesempatan untuk pulang sebentar. Setidaknya, dengan dia di sini, Mbak Maya tidak sendirian.

Tapi lebih baik aku tidak bilang ke Ibu dulu. Aku akan menunggunya pergi sebelum benar-benar keluar dari rumah sakit.

"Yang penting kamu datang," ujar Ibu sambil mengulurkan tangan. "Mana makanan buat Ibu?"

Murni buru-buru menyerahkan kantong makanan. "Ini, Bu. Dua buat Mas Dani dan Mbak Maya."

Ibu menerima makanan itu, lalu berdiri. "Kalau gitu, Ibu pulang dulu. Mesti ambil baju buat Maya dan Adinda," katanya sebelum melangkah pergi.

Aku menghela napas, lalu duduk kembali, mencoba menghubungi Soraya. Namun, layar ponsel masih menunjukkan hal yang sama—panggilan tidak terjawab.

Aku menggeram pelan. Kenapa Aya masih tidak mau mengangkat telepon?

"Mur, kamu lama di sini?" tanyaku, mencoba mengalihkan pikiran.

Murni menggeleng. "Mungkin sampai sore. Mas Ardi pulang sore, dan aku harus ada di rumah sebelum itu."

Aku mengangguk, lalu berdiri. "Aku mau pulang dulu. Kamu temani Mbak Maya, ya. Nanti aku datang lagi. Aku coba telepon Aya, tapi dia nggak jawab."

Murni menatapku sekilas, lalu mengangguk. "Iya, Mas. Hati-hati."

"Oh, ya jangan bilang ibu aku pulang kalau di tanya Ibu sama Mba Maya bilang saja aku di telepon kantor dan harus kembali ke kantor." Aku mewanti-wanti Murni, walau aku tahu dia tidak akan mengadu pada ibu atau Mba Maya.

"Tenang aja. Kalian bertengkar lagi karena Mba Maya dan Ibu?" tanya Murni.

"Belum, tapi ---"

Aku menceritakan yang terjadi pada Murni. Murni bisa lebih di andalkan dari pada ibu atau Mbak Maya. Bahkan, terkadang dia main ke rumah karena memang akur dengan Aya.

"Lama-lama akan kebongkar. Kaya bangkai saja, di tutupi kalau sudah bau yang kecium juga, sebelum Mba Aya tahu dari orang lain, setidaknya Mas Jujur."

Bola mataku hampir saja keluar, Murni bicara tentang kejujuran? Mana bisa bangkai tikus di samakan dengan masalah aku Mur. Jangan mengada-ngada," ucapku.

"Hati-hati saja Mas."

Aku paham apa yang dimaksud oleh Murni. Tapi, aku belum siap dengan apa yang akan Aya ketahui. Tanpa menunggu lama, aku memasukkan ponsel ke saku dan melangkah cepat keluar rumah sakit. Ada sesuatu yang mengganjal di dadaku. Sesuatu yang membuatku tidak tenang.

Aku harus pulang. Aku harus bicara dengan Soraya.

**

Perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Macet. Klakson kendaraan bersahut-sahutan, seolah menambah kekesalanku yang sudah menumpuk sejak tadi.

Begitu sampai di rumah, aku langsung turun dari motor dan buru-buru menuju pintu. Aku mencoba memutar gagang pintu, tapi terkunci.

Soraya tidak di rumah? Atau masih di rumah sakit? Tapi, tadi aku sudah berkeliling di dokter anak tapi tidak ada Soraya.

Aku mengetuk beberapa kali, lalu berteriak, "Aya! Aya, kamu di dalam?" Tak ada jawaban. "Del, Papa pulang. Kamu di mana?"

Hening.

Tidak ada jawaban. Aku mengerutkan kening, rasa tidak enak mulai merayapi dada.

"Kemana dia?" gumamku pelan.

Aku mengambil kunci cadangan dari dompet, lalu membuka pintu. Begitu masuk, aku langsung menuju kamar.

Lemari masih rapi. Baju Soraya masih ada.

Aku berkeliling, memeriksa sudut rumah, bahkan dapur. Tapi tidak ada tanda-tanda Soraya.

Mana mungkin dia pergi jauh? Apalagi dalam kondisi Adel sedang sakit.

Aku buru-buru merogoh ponsel, mencoba meneleponnya lagi. Beberapa kali panggilan masuk, tapi tidak dijawab.

Tiba-tiba, aku mendengar suara samar getaran ponsel dari dalam rumah.

Aku terdiam.

Loh, kok suara ponselnya ada di sini?

Dengan cepat, aku mencari sumber suara, melangkah ke kamar, membuka laci, memeriksa meja. Aku terus menelepon sambil mencari.

Akhirnya, aku menemukannya—ponsel Soraya tergeletak di meja nakas.

Jantungku berdetak lebih cepat. Dia tidak membawa ponselnya?

Tanganku mengepal. Kemana dia?

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Ternyata Pewaris   keholangan sesuatu yang berharga

    Seno hanya tersenyum tipis, sorot matanya penuh arti. "Tunggu saja, Aya. Dani akan tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga."*"Apa semua sengaja du atur Mas Seno supaya aku bertemu Dani lagi?" tanya Aya pada Satya. "Bisa jadi, Seno itu tidak akan berhenti membuat kejutan untuk calon mantan suami kamu. Walau, aku rasa kamu sudah muak bertemu dengan dia lagi. Tuh, lihat mukanya sudah asem. Bisa bayangin kan dia enggak akan fokus nanti," ucap Satya. Yang di katakan Satya benar, baru saja kemarin bertemu dengan Soraya bersama Bara saja Dani sudah kacau. Apalagi sekarang dirinya bersama dengan Satya yang di kenal adalah adik dari Seno. Gebrakan apa lagi ini, pikir Dani dengan menelan ludah. Kali ini dirinya tidak begitu sulit bergerak karena tidak ada Vira. Jadi, dia memutuskan untuk berbicara dengan Soraya sebelum masuk ke dalam ruangan meeting. "Masih ada waktu 30 menit."Dani menghampiri Aya yang sedang sendiri, Satya izin untuk ke WC. "Nomor aku kamu blokir, sekar

  • Istriku Ternyata Pewaris   Penyesalan

    Setelah mengirim pesan pada Aya, Dani pun merebahkan tubuh di kasur. Hatinya nya galau, kecemasan muncul saat itu apalagi mengingat Pandangan Soraya pada Bara. Tatapan mata itu yang selama ini hanya melirik dirinya, kini beralih menatap intes pria lain."Apa selama ini aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya mencari uang untuk menutup mulut Mba Maya juga ibu tentang kekhilafan aku malam itu sampai lupa dengan Soraya juga kewajiban aku? Apa benar aku Ayah yang tak bertanggung jawab?" Dani menjambak rambutnya sendiri. Lalu bangkit berjalan bolak balik dengan tangang yang gementar cemas. "Ini tidak bisa terjadi. Kenapa sebaliknya malah Aya yang menggugat perceraian?" Dani menghela napas berat. Dulu, dia pikir bisa mengendalikan segalanya. Dia pikir Soraya akan selalu ada, menunggunya, bertahan meski dia mengabaikannya. Tapi sekarang? Soraya bahkan tidak menoleh lagi ke arahnya. Tatapan yang dulu hanya miliknya kini beralih ke pria lain—Bara."Apa selama ini aku yang terlalu bodo

  • Istriku Ternyata Pewaris   Rencana

    Soraya tersenyum tipis, menuangkan teh ke cangkirnya. "Sudah kuduga Mas akan bertanya seperti itu. Dani memang memilih jalan yang lebih menguntungkan untuknya. Aku? Aku hanya kesalahan dalam perjalanan hidupnya."Satya mendecakkan lidah. "Brengsek juga laki-laki itu. Kalau saja aku tahu lebih awal, sudah kuhabisi dia dari dulu!"Seno mengangkat tangan, memberi isyarat agar Satya menenangkan diri. "Tenang. Tidak perlu pakai emosi. Kita bisa menghancurkannya dengan cara yang lebih cerdas."Soraya menatap kakaknya dengan penasaran. "Maksud Mas?"Seno tersenyum miring. "Kita lihat saja nanti. Aku sudah punya rencana."Soraya menghela napas, menatap kedua kakaknya dengan penuh kepercayaan. Apapun yang akan terjadi, dia tahu satu hal pasti—kali ini, dia tidak akan menghadapi semuanya sendirian."Apa rencana dari Mas Seno untuk membalas Dani?" tanya Soraya. Seno menyesap tehnya dengan tenang, tatapannya tajam ke arah Soraya dan Satya. "Aku tidak akan gegabah. Dani itu serakah, tapi bodoh. D

  • Istriku Ternyata Pewaris   Teka Teki

    Sepanjang pertemuan Dani tidak bisa fokus. Pandangannya terus tertuju pada Soraya. Bagaimana bisa, wanita itu yang belum resmi menjadi mantan istrinya sudah datang bersama dengan pria lain. Dan sejak kapan Soraya pintar berbicara juga tentang per bisnisan? Selama ini Dani hanya tahu Soraya hanya bisa di dapur dan sama sekali buta tentang pekerjaan yang digelutinya. Soraya tersenyum tipis, dia mentertawakan Dani dalam hati. Baru permulaan saja dia sudah masuk dalam permainan. Apalagi jika dia tahu dirinya adalah salah satu dari anggota keluarga Seno. Bisa mati berdiri bukan?Soraya melirik sekilas ke arah Dani, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. Dia bisa melihat bagaimana ekspresi pria itu berubah-ubah—antara kesal, bingung, dan mungkin sedikit terkejut.Bara yang duduk di sebelahnya ikut memperhatikan Dani yang tampak gelisah. Dia mendekat sedikit dan berbisik, "Sepertinya ada yang tidak bisa menerima kenyataan kalau istrinya bukan ibu rumah tangga biasa."Soraya tertawa pe

  • Istriku Ternyata Pewaris   Rencana Maya

    Dani menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia harus profesional. Ini adalah kesempatan besar baginya.Seno bangkit dari tempat duduknya, menyambut Pak Darmawan dengan jabatan tangan hangat. "Pak Darmawan, silakan duduk."Pak Darmawan tersenyum. "Terima kasih, Pak Seno. Saya sudah mendengar banyak tentang perusahaan Anda."Seno melirik sekilas ke arah Dani, lalu kembali tersenyum tipis. "Semoga semuanya berjalan lancar."Dani mengambil tempat duduk di samping Vira, tetapi pikirannya masih saja terganggu. Matanya sesekali melirik ke arah Soraya dan Bara, yang terlihat begitu akrab. Bara bersandar santai, berbicara dengan tenang, sementara Soraya tertawa kecil menanggapi.Dani mengepalkan tangan di bawah meja. Bara… siapa pria itu baginya? Sejak kapan mereka dekat?Soraya menyadari tatapan Dani, tetapi dia pura-pura tak peduli. Dia justru semakin menampilkan sikap santainya, berbicara dengan Bara tanpa beban."Apa kita mulai?" suara Seno menarik perhatian semua orang di rua

  • Istriku Ternyata Pewaris   Bertemu Mantan

    Dani yang sedang berbincang dengan Pak Darmawan tiba-tiba menghentikan ucapannya begitu matanya menangkap sosok Soraya di lobi kantor Seno. Langkahnya refleks melambat, napasnya terasa sedikit lebih berat.Soraya, dengan senyum tipis dan wajah tenang, berjalan berdampingan dengan Bara. Tidak ada raut kesedihan atau kemarahan seperti terakhir kali mereka bertemu. Dia tampak anggun, lebih berkelas, dan lebih… bebas.Vira yang berdiri di samping Dani ikut menoleh, mengikuti arah pandangan Dani. Begitu melihat Soraya, rahangnya langsung mengatup."Kenapa dia ada di sini?" gumam Vira pelan, cukup untuk didengar Dani.Pak Darmawan, yang menyadari perubahan suasana, mengernyit. "Kalian kenal wanita itu?" tanyanya.Dani mengalihkan tatapannya dengan cepat. "Bukan urusan penting, Pak."Sementara itu, Bara menoleh ke arah Soraya yang masih berdiri tegak. "Kamu mau lanjut atau ingin pergi?" tanyanya dengan nada tenang, meskipun dia bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara.Soraya meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status