Aku bersandar di dinding koridor rumah sakit, mencoba mengatur napas. Lemas. Seluruh tubuhku seperti kehilangan tenaga setelah mendonorkan darah. Aku pikir aku cukup kuat untuk ini, tapi kenyataannya tidak. Rasanya seperti tak bertulang, setiap langkah terasa berat.
Di tengah rasa pusing yang masih menggantung, pikiranku kembali ke rumah. Soraya dan Adel. Aku harus menghubungi Ayu. Bagaimanapun juga, aku harus tahu kondisi Adel. Dia anakku, apa dia sudah pulang atau ah.... Lebih baik aku telepon saja. Dengan tangan gemetar, aku merogoh saku dan mengambil ponsel. Soraya harus tahu kenapa aku belum pulang nanti dia semakin marah. Dia juga harus tahu kalau aku baru saja memberikan sebagian darahku untuk Adinda. Kutekan nomor Soraya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat. Aku menghela napas berat, menatap layar ponsel yang masih menunjukkan panggilan tak terjawab. Apa dia masih marah? Mungkin, sudahkah tidak usah aku pikirkan terlalu dalam. Tapi, aku tetap harus tahu bagaimana keadaan Adel. Aku menekan panggilan lagi, berharap kali ini dia akan menjawab. Ay, tolong angkat. Sial! Kemana dia? Aku baru saja hendak melangkah ketika suara Ibu mengagetkanku. "Loh, kamu mau ke mana, Dan?" tanyanya sambil mendekat, membawa segelas minuman. Aku menerima minuman itu tanpa berpikir. "Aku mau cari Soraya. Tadi sempat lihat dia, mungkin di administrasi. Tapi dihubungi nggak bisa." Ibu mendecak pelan. "Haduh, nyusahin aja istri kamu itu." Aku mengerutkan kening. "Maksud Ibu?" Ibu melipat tangan di dada. "Sudah kasih tahu dia belum kalau kamu di sini buat ngurus Adinda?" "Sudah," jawabku, berusaha tetap sabar. "Tadi aku sudah bilang ke dia." Ibu mengembuskan napas, ekspresinya jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya. "Ya sudah, paling dia sudah di rumah. Mungkin juga sudah tidur. Nggak usah kamu pusingin." Aku terdiam. Seperti biasa. Ibu selalu bersikap seperti ini terhadap Aya. Seolah keberadaannya tidak penting. Seolah perasaannya tidak perlu dipikirkan. Aku meneguk minuman itu perlahan, tapi pikiranku masih berputar. Apa benar Aya sudah pulang? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres? "Tapi Adel sedang sakit. Aku pulang dulu Bu, mau lihat kondisi Adel." Lagi-lagi baru mau melangkah, lenganku sudah tertahan oleh ibu. "Ada apa bu?" tanyaku. "Jangan pulang dulu. Adinda belum sadar," ujar ibu. "Nanti Dani balik lagi. Kan ada Mbak Maya," Ucapku. "Adel paling sakit demam biasa. Sudah sembuh mungkin. Jangan terlalu cemas, sudah kasiahan Maya. Kamu temani nanti ibu mau ke rumah ambil baju Maya dan Adinda. Murni katanya mau ke sini, tadi ibu suruh beli makanan buat kamu sama Maya." "Tapi Bu--" "Dan, cukup ya kamu membantah ibu sekali. Jangan kamu bantah ibu lagi, wanita seperti Soraya masih saja kamu pertahankan. Kenapa si kamu enggak menikah dengan pilihan ibu. Malah si Soraya itu," ucap Ibu. Ibu menekan kata-kata seolah-olah dia mengingatkan aku pada pilihannya. "Tapi, aku enggak suka dengan pilihan Ibu." Aku menjambak rambut yang tidak gatal. "Walau sudah ada pengikat di antara kalian?" Tatapan ibu begitu tajam, pengikat? Hah, hal itu yang selalu membuat aku kalah dari mereka. Dan, harus mengikuti semua kemauan mereka. Murni baru saja datang, dan itu memberiku kesempatan untuk pulang sebentar. Setidaknya, dengan dia di sini, Mbak Maya tidak sendirian. Tapi lebih baik aku tidak bilang ke Ibu dulu. Aku akan menunggunya pergi sebelum benar-benar keluar dari rumah sakit. "Yang penting kamu datang," ujar Ibu sambil mengulurkan tangan. "Mana makanan buat Ibu?" Murni buru-buru menyerahkan kantong makanan. "Ini, Bu. Dua buat Mas Dani dan Mbak Maya." Ibu menerima makanan itu, lalu berdiri. "Kalau gitu, Ibu pulang dulu. Mesti ambil baju buat Maya dan Adinda," katanya sebelum melangkah pergi. Aku menghela napas, lalu duduk kembali, mencoba menghubungi Soraya. Namun, layar ponsel masih menunjukkan hal yang sama—panggilan tidak terjawab. Aku menggeram pelan. Kenapa Aya masih tidak mau mengangkat telepon? "Mur, kamu lama di sini?" tanyaku, mencoba mengalihkan pikiran. Murni menggeleng. "Mungkin sampai sore. Mas Ardi pulang sore, dan aku harus ada di rumah sebelum itu." Aku mengangguk, lalu berdiri. "Aku mau pulang dulu. Kamu temani Mbak Maya, ya. Nanti aku datang lagi. Aku coba telepon Aya, tapi dia nggak jawab." Murni menatapku sekilas, lalu mengangguk. "Iya, Mas. Hati-hati." "Oh, ya jangan bilang ibu aku pulang kalau di tanya Ibu sama Mba Maya bilang saja aku di telepon kantor dan harus kembali ke kantor." Aku mewanti-wanti Murni, walau aku tahu dia tidak akan mengadu pada ibu atau Mba Maya. "Tenang aja. Kalian bertengkar lagi karena Mba Maya dan Ibu?" tanya Murni. "Belum, tapi ---" Aku menceritakan yang terjadi pada Murni. Murni bisa lebih di andalkan dari pada ibu atau Mbak Maya. Bahkan, terkadang dia main ke rumah karena memang akur dengan Aya. "Lama-lama akan kebongkar. Kaya bangkai saja, di tutupi kalau sudah bau yang kecium juga, sebelum Mba Aya tahu dari orang lain, setidaknya Mas Jujur." Bola mataku hampir saja keluar, Murni bicara tentang kejujuran? Mana bisa bangkai tikus di samakan dengan masalah aku Mur. Jangan mengada-ngada," ucapku. "Hati-hati saja Mas." Aku paham apa yang dimaksud oleh Murni. Tapi, aku belum siap dengan apa yang akan Aya ketahui. Tanpa menunggu lama, aku memasukkan ponsel ke saku dan melangkah cepat keluar rumah sakit. Ada sesuatu yang mengganjal di dadaku. Sesuatu yang membuatku tidak tenang. Aku harus pulang. Aku harus bicara dengan Soraya. ** Perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Macet. Klakson kendaraan bersahut-sahutan, seolah menambah kekesalanku yang sudah menumpuk sejak tadi. Begitu sampai di rumah, aku langsung turun dari motor dan buru-buru menuju pintu. Aku mencoba memutar gagang pintu, tapi terkunci. Soraya tidak di rumah? Atau masih di rumah sakit? Tapi, tadi aku sudah berkeliling di dokter anak tapi tidak ada Soraya. Aku mengetuk beberapa kali, lalu berteriak, "Aya! Aya, kamu di dalam?" Tak ada jawaban. "Del, Papa pulang. Kamu di mana?" Hening. Tidak ada jawaban. Aku mengerutkan kening, rasa tidak enak mulai merayapi dada. "Kemana dia?" gumamku pelan. Aku mengambil kunci cadangan dari dompet, lalu membuka pintu. Begitu masuk, aku langsung menuju kamar. Lemari masih rapi. Baju Soraya masih ada. Aku berkeliling, memeriksa sudut rumah, bahkan dapur. Tapi tidak ada tanda-tanda Soraya. Mana mungkin dia pergi jauh? Apalagi dalam kondisi Adel sedang sakit. Aku buru-buru merogoh ponsel, mencoba meneleponnya lagi. Beberapa kali panggilan masuk, tapi tidak dijawab. Tiba-tiba, aku mendengar suara samar getaran ponsel dari dalam rumah. Aku terdiam. Loh, kok suara ponselnya ada di sini? Dengan cepat, aku mencari sumber suara, melangkah ke kamar, membuka laci, memeriksa meja. Aku terus menelepon sambil mencari. Akhirnya, aku menemukannya—ponsel Soraya tergeletak di meja nakas. Jantungku berdetak lebih cepat. Dia tidak membawa ponselnya? Tanganku mengepal. Kemana dia? **Bara menatap Soraya sejenak sebelum memfokuskan diri pada jalan. "Kamu sudah melangkah jauh, Ay. Aku bangga sama kamu."Soraya tersenyum tipis, hatinya terasa lebih ringan. Beban yang dulu menghimpit perlahan mulai menghilang. Bersama Bara, dia merasa bisa menjalani hidup yang baru dengan lebih bahagia."Terima kasih, Bara, untuk selalu ada," ucapnya pelan.Bara menggenggam tangan Soraya lembut. "Selalu, Ay. Sekarang fokus kita adalah masa depan—kamu, aku, dan Adel."Soraya mengangguk, yakin bahwa apa yang dia pilih saat ini adalah yang terbaik. Masa lalu sudah tertinggal, dan kini saatnya melangkah maju."Jadi, kita bulan madu ke mana?" Bara mengedipkan mata. Soraya pun tersipu malu saat di goda suaminya. "Bulan madu? Memangnya kita masih perlu bulan madu?" goda Soraya sambil tertawa kecil."Ya perlu dong, Bu Bara. Hitung-hitung refreshing. Lagipula, Adel pasti senang kalau kita liburan bareng," jawab Bara sambil menyeringai.Soraya berpikir sejenak. "Hmm, kalau gitu, ke tempat yan
Bu Rasyid mengurus Dani, dia berharap sang anak akan memafkan dirinya. Di satu sisi, Dani masih belum bisa percaya dengan sang ibu.Namun, Murni terus mengingatkan Dani. Ada Adinda yang juga masih harus dia urus. Terlepas dari kebenciannya pada Maya, mungkin Dani bisa berdamai dengan keadaan. Apalagi Adinda kini sebatang kara.Di kamar yang kini terasa semakin sempit, Dani duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Kepalanya masih terasa berat oleh segala masalah yang menumpuk, sementara Bu Rasyid duduk tak jauh darinya, menatapnya dengan wajah penuh harap."Dan, Ibu cuma mau kamu bahagia. Maafin Ibu, Nak," ucap Bu Rasyid pelan, suaranya bergetar.Dani menghela napas panjang, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya yang sudah lama rapuh. Rasa kecewa, marah, dan lelah bergulat dalam dadanya."Memaafkan itu enggak gampang, Bu. Luka ini masih ada," jawab Dani dengan suara rendah.Bu Rasyid menunduk, merasa kata-kata Dani begitu menusuk. Murni yang berada di sana mencoba menengahi."
Dani tertawa sinis. "Wanita pengganti Soraya? Ibu pikir semudah itu?"Bu Rasyid menghela napas, duduk di samping Dani. "Nak, hidup harus terus berjalan. Kamu nggak bisa selamanya terjebak di masa lalu."Dani menatap ibunya, matanya lelah. "Ibu sadar nggak, kalau semua ini karena keputusan ibu juga?"Bu Rasyid terdiam. Murni yang sejak tadi mendengarkan ikut bicara, "Mas, udah cukup. Berhenti nyalahin ibu. Kalau Mas benar-benar mau bangkit, mulai dari diri sendiri dulu."Dani menunduk. Entah kenapa, kali ini kata-kata Murni lebih mengena daripada biasanya.*"Sah.""Sah."Akhirnya Bara mengucapkan ijab kabul, pernikahan mereka sudah sah. Soeaya sudah menjadi istri dari Bara. Soraya menundukkan kepala, menahan haru. Air matanya hampir jatuh, tapi bukan karena kesedihan—melainkan rasa lega. Setelah bertahun-tahun melewati luka, akhirnya dia menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya dengan tulus.Bara menoleh ke arahnya, tersenyum penuh arti. Soraya balas tersenyum, hatinya mengh
Sebulan cukup untuk mempersiapkan pernikahan untuk Soraya. Dia tidak meminta mewah, tapi baginya sah saja sudah cukup dan dia mau pernikahan keduanya awal dari kebahagiaan yang tertunda. Di satu sisi lain, Dani kini sedang berada di rumah sakit. Pria itu over dosis obat karena beban yang terlalu banyak dia merasa pusing dan akhirnya berlebihan mengkonsumsi obat. "Mas, harus sembuh. Mas masih punya masa depan kok." Murni mencoba menyemangati sang kakak. Dani masih sangat lemas, "Enggak, Mur. Masa depan Mas hanya pada Soraya dan Adel." Tatapannya hampa dan penuh penyesalan. Murni pun sudah mengerti mungkin sang kakak sudah mengetahui kabar tentang pernikahan mantan istrinya yang akan segera di gelar. Murni menghela napas berat. "Mas, hidup nggak berhenti di Soraya dan Adel. Mas harus bangkit. Kalau Mas terus begini, Mas nggak akan pernah bisa memperbaiki hidup."Dani tertawa miris. "Bangkit buat apa? Soraya udah bahagia, Adel juga pasti udah nyaman sama Bara. Aku cuma bayang-bayang
Ruangan tiba-tiba sunyi.Bu Rasyid menelan ludah, hatinya nyeri melihat putranya yang seperti ini. "Dani, Ibu enggak mau lihat kamu terpuruk. Bangkit, Nak. Kalau kamu enggak mau buat dirimu sendiri, setidaknya buat Adinda."Dani terdiam, bibirnya menegang. Hatinya ingin membantah, tapi entah kenapa, rasa lelah yang lebih mendominasi."Stoplah, Bu. Adinda itu enggak buat aku semangat. Yang buat aku semangat itu Adel anak kandungku!""Dan, Adinda anak kandung kamu. Jangan kaya gitu," protes Maya. "Iya, anak haram!"Sebuah tamparan mengenai pipi Dani. "Lagi tampar Mbak. Puas Mba sekarang dah buat hidup aku hancur!" Teriakan Dani membuat Maya takut. Bu Rasyid pun mencoba menenangkan Dani. Sementata itu sepertinya Maya mengurungkan niat awal saat dia datangnya.Soraya mempersiapkan untuk makan malam bersama di rumahnya. . Dia mengundang Bara karena ucapan terimakasih kasih sekaligus ingin membahas sesuatu dengannya. Soraya akan menjawab pertanyaan Bara apa mau menjalanj masa dengan deng
"Kamu lihat kam Dan, siapa yang duluan move on? Lihat, Soraya bersama pria makan malam di restoran."Dani menarik napas saat membaca pesan masuk dan melihat gambar foto Soraya dan Bara yang sedang makam malam. Dadanya kembali terbakar saat melihat keduanya sangat akrab setelah siang tadi dirinya juga merasakan hawa panas yang menjalar keseluruh tubuh.Dani menggenggam ponselnya erat. Matanya menatap foto itu lekat-lekat, seolah mencari celah bahwa ini hanya kebetulan, hanya pertemuan biasa. Tapi nyatanya, senyum Soraya terlalu lepas, terlalu bahagia. Dan Bara… pria itu jelas bukan sekadar teman.Rahangnya mengatup, dadanya terasa sesak. "Cepat banget dia move on," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Pikirannya berkelindan. Siang tadi, melihat Soraya di kantor sudah cukup menyakitkan. Tapi kini, melihatnya makan malam bersama Bara—seakan dunia menamparnya dua kali dalam sehari.Ponselnya kembali bergetar."Kamu diam aja, Dan? Atau masih berharap bisa balikan? Lihat kenyataan, dia u