Share

Kena Batunya

Author: Galuh Arum
last update Huling Na-update: 2025-07-10 16:43:00

Aku terpaku di tempat, jantungku berdentum keras saat melihat Soraya berdiri di depan pintu rumah sakit dengan Adel dalam gendongannya. Napasku tersendat. Kenapa dia ada di sini?

Tatapannya t@jam, menvsuk ke arahku, sementara Adel tampak mengantuk, kepalanya bersandar di bahu ibunya. Aku menelan ludah, tapi tak tahu harus berkata apa.

"Mas, kamu tega!" suara Soraya bergetar, tapi bukan karena menangis—lebih karena menahan amarah. "Kamu bilang ada meeting, tapi ternyata kamu di rumah sakit sama Mbak Maya. Dan kamu masih enggak punya hati nyuruh aku ke puskesmas waktu aku bilang Adel demam?"

Dadaku terasa sesak. Aku baru saja ingin menjawab ketika Mbak Maya tiba-tiba menarik lenganku.

"Ay, jangan berdebat sekarang! Anak aku ketabrak motor dan masih di IGD!" serunya, suaranya tajam, penuh kepanikan.

Aku menoleh ke Soraya, matanya masih menatapku penuh kecewa. Tapi aku tak punya waktu untuk menjelaskan. Dengan cepat, aku melepaskan diri dari tatapannya dan mengikuti Mbak Maya ke ruangan administrasi.

Tapi entah kenapa, langkahku terasa berat. Seakan ada sesuatu yang pecah di belakangku, sesuatu yang mungkin tak akan bisa diperbaiki lagi.

"Mba, bentar. Aku bicara sama Aya dulu," ucapku.

"Kamu pikir masalah kamu dengan Aya lebih penting?" Mba Maya mencoba mengingtkan aku tentang Adinda yang sedang berjuang di IGD.

Terpaksa aku mengikuti apa maunya Mbak Maya, setelah ini aku akan mencari Soraya dan sudah pasti dia ke dokter anak. Tapi, dia punya uang dari mana? Oh apa mungkin dia sudah dapat rujukan dari puskesmas.

Bisa jadi seperti itu, lebih baik aku urus dulu Adinda. Nanti jika sudah selesai aku akan menemui Soraya. Adinda tidak bisa menunggu lama untuk tindakan lainnya.

"Mba, kartu BPJS nya Adinda di bawa enggak?" tanyaku. Lebih baik memang Adinda pakai BPJS kalau tidak, aku bisa keluar uang banyak.

"Eh, itu ehm... "

Aku menghela napas, berusaha menahan kesal. "Mbak, kartu BPJS-nya Adinda dibawa nggak?" tanyaku, mencoba tetap tenang.

Mbak Maya terlihat ragu, tangannya meremas tas kecil yang dibawanya. "Eh… itu, ehm…"

Aku mengernyit. "Ketinggalan?"

Dia menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. "Iya."

Aku menekan pelipis, mencoba menahan frustrasi. Kalau tidak pakai BPJS, aku bisa keluar uang banyak untuk biaya rumah sakit. Dengan cepat, aku membuka galeri ponsel, mencari foto BPJS Adinda yang pernah kukirim ke Mbak Maya dulu.

"Nah, ketemu." Aku mengembuskan napas lega. "Untung aja aku masih simpan ini. Kalau nggak, bisa habis uangku."

Saat aku menoleh ke Mbak Maya, wajahnya tampak semakin pucat. Dahi dan telapak tangannya berkeringat. Aku sempat berpikir mungkin dia masih syok karena kecelakaan Adinda.

Tapi aku tak punya waktu untuk bertanya. Lebih baik segera mengurus administrasi ini sebelum terlambat. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung menuju bagian pendaftaran.

Aku melangkah cepat menuju loket administrasi rumah sakit. Dengan napas sedikit tersengal, aku menyerahkan ponselku yang menampilkan foto kartu BPJS Adinda kepada petugas di balik meja.

"Pasien di IGD atas nama Adinda. Ini BPJS-nya," ujarku.

Petugas itu mengambil ponselku, mengetik sesuatu di komputernya, lalu mengernyit. Matanya berpindah dari layar ke aku, ragu-ragu.

"Sebentar, Pak. Saya cek dulu."

Aku mengangguk, melipat tangan di dada sambil menunggu. Dalam hati, aku hanya ingin semua ini cepat selesai. Setelah beberapa menit, namaku akhirnya dipanggil kembali.

"Pak Dani?"

Aku mendekat. "Iya, bagaimana?"

Petugas itu tampak ragu sebelum akhirnya berkata, "BPJS atas nama Adinda sudah tidak aktif, Pak. Terblokir karena menunggak pembayaran cukup lama."

Aku terdiam sejenak. "Apa?"

"BPJS-nya sudah tidak aktif," ulangnya. "Iurannya tidak dibayarkan dalam beberapa bulan, jadi otomatis diblokir."

D@r4hku berdesir. Aku menoleh ke belakang, mencari Mbak Maya, yang masih berdiri agak jauh dengan wajah cemas.

Astaga… jadi selama ini dia nggak bayar?

Aku mengepalkan tangan, berusaha meredam emosi. "Kalau begitu, biaya perawatannya pakai umum dulu saja," kataku dengan suara yang lebih dingin dari biasanya.

Petugas mengangguk, mencatat sesuatu. Sementara itu, aku menatap lurus ke arah Mbak Maya, yang tampak semakin pucat.

Kita harus bicara.

Aku berjalan cepat mendekati Mbak Maya, dadaku masih sesak menahan marah. Wajahnya semakin pucat, matanya menghindari tatapanku.

"Mbak bisa jelaskan semua?" tanyaku, berusaha menahan nada suaraku agar tidak meledak di tengah rumah sakit.

Dia menggigit bibir, tangannya meremas tali tasnya erat. "Aku… aku bisa jelaskan, Dan."

Aku menghela napas kasar. "Setiap bulan aku transfer buat sekolah dan buat BPJS Adinda! Kenapa bisa terblokir? Uang itu kamu pakai buat apa Mba?"

Mbak Maya menunduk, tidak langsung menjawab. Semakin melihat reaksinya, semakin dadaku bergemuruh.

"Astaga, Mbak! Aku bukan mesin ATM? Aku sudah cukup pusing sama urusan di rumah, sekarang ditambah ini! Sama saja kayak punya istri dua!"

Mbak Maya terhenyak, matanya membelalak sejenak mendengar kata-kataku. Aku tidak peduli. Aku benar-benar kesal.

"Dan aku…" suaranya tercekat, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku butuh uang buat…"

"Buat apa, Mbak?" potongku tajam. "Buat apa sampai kamu lebih memilih berhenti bayar BPJS anak sendiri?"

Dia menunduk lebih dalam. Aku menunggu jawabannya, tapi dia hanya diam. Dan saat itu, aku sadar—mungkin aku tidak akan suka dengan apa pun jawaban yang keluar dari mulutnya.

"Mba hanya lupa sebenarnya, niat bayar tapi lupa. Terus ingat eh dah dua bulan dan terus menerus jadi menunggak. Aku tidak enak meminta sama kamu, selama ini kalau Adinda sakit kan di kasih obat sembuh. Dan mana tahu ada kejadian kaya gini."

"Mba, harusnya enggak kaya gini. Harusnya pakai BPJS dan bukan pribadi. Mbak tahu enggak berapa nanti yang akan aku keluarkan untuk biaya Adinda?"

Aku menarik napas panjang dan mencoba untuk memenangkan diri. Sungguh sangat membuat emosi. Bagaimana ini, biaya rumah sakit dan tinggalkan BPJS. Bisa terkuras habis TabunganKu. Kenapa bisa si aku terlibat terlalu panjang dengan urusan Mbak Maya! Sial, karena malam itu harusnya tidak terjadi dan membuat aku sial seumur hidup.

"Perhitungan sekali kamu Dan. Aku kan khilaf, tinggal bayar aja yang keblokir terus besok kamu aja yang langsung transfer ke BPJS. Aku tahu aku salah, tapi jangan berlebihan lah. Gaji kamu juga besar kok, cukup lah kalau benar juga punya istri dua."

"Mbak... ! "

"Kalian lama sekali, Dokter bilang kalau Adinda harus transfusi darah. Ayo cepat Dan, donor darah buat anak itu," ucap Ibu.

Aku masih sangat emosi dan jengkel pada Mba Maya. Rasanya menoleh dan bicara padanya pun masih membuat aku muak. Baru kali ini aku benar-benar dibuat tidak berdaya dengan pengeluaran yang tidak terduga. Untung saja ibu datang kalau tidak habis kamu Mbak!

Nanti saja sepertinya aku katakan pada ibu. Gegas aku meninggalkan Mba Maya dan ibu ke ruangan dokter untuk meminta di periksa Syarat pendonoran. Tapi, aku kembali ingat Soraya. Dia sama Adel di mana ya?

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istriku Ternyata Pewaris   keholangan sesuatu yang berharga

    Seno hanya tersenyum tipis, sorot matanya penuh arti. "Tunggu saja, Aya. Dani akan tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga."*"Apa semua sengaja du atur Mas Seno supaya aku bertemu Dani lagi?" tanya Aya pada Satya. "Bisa jadi, Seno itu tidak akan berhenti membuat kejutan untuk calon mantan suami kamu. Walau, aku rasa kamu sudah muak bertemu dengan dia lagi. Tuh, lihat mukanya sudah asem. Bisa bayangin kan dia enggak akan fokus nanti," ucap Satya. Yang di katakan Satya benar, baru saja kemarin bertemu dengan Soraya bersama Bara saja Dani sudah kacau. Apalagi sekarang dirinya bersama dengan Satya yang di kenal adalah adik dari Seno. Gebrakan apa lagi ini, pikir Dani dengan menelan ludah. Kali ini dirinya tidak begitu sulit bergerak karena tidak ada Vira. Jadi, dia memutuskan untuk berbicara dengan Soraya sebelum masuk ke dalam ruangan meeting. "Masih ada waktu 30 menit."Dani menghampiri Aya yang sedang sendiri, Satya izin untuk ke WC. "Nomor aku kamu blokir, sekar

  • Istriku Ternyata Pewaris   Penyesalan

    Setelah mengirim pesan pada Aya, Dani pun merebahkan tubuh di kasur. Hatinya nya galau, kecemasan muncul saat itu apalagi mengingat Pandangan Soraya pada Bara. Tatapan mata itu yang selama ini hanya melirik dirinya, kini beralih menatap intes pria lain."Apa selama ini aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya mencari uang untuk menutup mulut Mba Maya juga ibu tentang kekhilafan aku malam itu sampai lupa dengan Soraya juga kewajiban aku? Apa benar aku Ayah yang tak bertanggung jawab?" Dani menjambak rambutnya sendiri. Lalu bangkit berjalan bolak balik dengan tangang yang gementar cemas. "Ini tidak bisa terjadi. Kenapa sebaliknya malah Aya yang menggugat perceraian?" Dani menghela napas berat. Dulu, dia pikir bisa mengendalikan segalanya. Dia pikir Soraya akan selalu ada, menunggunya, bertahan meski dia mengabaikannya. Tapi sekarang? Soraya bahkan tidak menoleh lagi ke arahnya. Tatapan yang dulu hanya miliknya kini beralih ke pria lain—Bara."Apa selama ini aku yang terlalu bodo

  • Istriku Ternyata Pewaris   Rencana

    Soraya tersenyum tipis, menuangkan teh ke cangkirnya. "Sudah kuduga Mas akan bertanya seperti itu. Dani memang memilih jalan yang lebih menguntungkan untuknya. Aku? Aku hanya kesalahan dalam perjalanan hidupnya."Satya mendecakkan lidah. "Brengsek juga laki-laki itu. Kalau saja aku tahu lebih awal, sudah kuhabisi dia dari dulu!"Seno mengangkat tangan, memberi isyarat agar Satya menenangkan diri. "Tenang. Tidak perlu pakai emosi. Kita bisa menghancurkannya dengan cara yang lebih cerdas."Soraya menatap kakaknya dengan penasaran. "Maksud Mas?"Seno tersenyum miring. "Kita lihat saja nanti. Aku sudah punya rencana."Soraya menghela napas, menatap kedua kakaknya dengan penuh kepercayaan. Apapun yang akan terjadi, dia tahu satu hal pasti—kali ini, dia tidak akan menghadapi semuanya sendirian."Apa rencana dari Mas Seno untuk membalas Dani?" tanya Soraya. Seno menyesap tehnya dengan tenang, tatapannya tajam ke arah Soraya dan Satya. "Aku tidak akan gegabah. Dani itu serakah, tapi bodoh. D

  • Istriku Ternyata Pewaris   Teka Teki

    Sepanjang pertemuan Dani tidak bisa fokus. Pandangannya terus tertuju pada Soraya. Bagaimana bisa, wanita itu yang belum resmi menjadi mantan istrinya sudah datang bersama dengan pria lain. Dan sejak kapan Soraya pintar berbicara juga tentang per bisnisan? Selama ini Dani hanya tahu Soraya hanya bisa di dapur dan sama sekali buta tentang pekerjaan yang digelutinya. Soraya tersenyum tipis, dia mentertawakan Dani dalam hati. Baru permulaan saja dia sudah masuk dalam permainan. Apalagi jika dia tahu dirinya adalah salah satu dari anggota keluarga Seno. Bisa mati berdiri bukan?Soraya melirik sekilas ke arah Dani, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. Dia bisa melihat bagaimana ekspresi pria itu berubah-ubah—antara kesal, bingung, dan mungkin sedikit terkejut.Bara yang duduk di sebelahnya ikut memperhatikan Dani yang tampak gelisah. Dia mendekat sedikit dan berbisik, "Sepertinya ada yang tidak bisa menerima kenyataan kalau istrinya bukan ibu rumah tangga biasa."Soraya tertawa pe

  • Istriku Ternyata Pewaris   Rencana Maya

    Dani menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia harus profesional. Ini adalah kesempatan besar baginya.Seno bangkit dari tempat duduknya, menyambut Pak Darmawan dengan jabatan tangan hangat. "Pak Darmawan, silakan duduk."Pak Darmawan tersenyum. "Terima kasih, Pak Seno. Saya sudah mendengar banyak tentang perusahaan Anda."Seno melirik sekilas ke arah Dani, lalu kembali tersenyum tipis. "Semoga semuanya berjalan lancar."Dani mengambil tempat duduk di samping Vira, tetapi pikirannya masih saja terganggu. Matanya sesekali melirik ke arah Soraya dan Bara, yang terlihat begitu akrab. Bara bersandar santai, berbicara dengan tenang, sementara Soraya tertawa kecil menanggapi.Dani mengepalkan tangan di bawah meja. Bara… siapa pria itu baginya? Sejak kapan mereka dekat?Soraya menyadari tatapan Dani, tetapi dia pura-pura tak peduli. Dia justru semakin menampilkan sikap santainya, berbicara dengan Bara tanpa beban."Apa kita mulai?" suara Seno menarik perhatian semua orang di rua

  • Istriku Ternyata Pewaris   Bertemu Mantan

    Dani yang sedang berbincang dengan Pak Darmawan tiba-tiba menghentikan ucapannya begitu matanya menangkap sosok Soraya di lobi kantor Seno. Langkahnya refleks melambat, napasnya terasa sedikit lebih berat.Soraya, dengan senyum tipis dan wajah tenang, berjalan berdampingan dengan Bara. Tidak ada raut kesedihan atau kemarahan seperti terakhir kali mereka bertemu. Dia tampak anggun, lebih berkelas, dan lebih… bebas.Vira yang berdiri di samping Dani ikut menoleh, mengikuti arah pandangan Dani. Begitu melihat Soraya, rahangnya langsung mengatup."Kenapa dia ada di sini?" gumam Vira pelan, cukup untuk didengar Dani.Pak Darmawan, yang menyadari perubahan suasana, mengernyit. "Kalian kenal wanita itu?" tanyanya.Dani mengalihkan tatapannya dengan cepat. "Bukan urusan penting, Pak."Sementara itu, Bara menoleh ke arah Soraya yang masih berdiri tegak. "Kamu mau lanjut atau ingin pergi?" tanyanya dengan nada tenang, meskipun dia bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara.Soraya meng

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status