Elrangga baru saja menerima telepon dari salah satu temannya yang sama-sama menempuh pendidikan memasak di Le Corden Blue. Temannya itu bertanya kapan dirinya akan kembali ke Sydney untuk melanjutkan kembali pendidikannya karena dia sudah izin lumayan lama.Namun, dia sendiri tidak tahu kapan akan kembali karena masih ada urusan yang harus dia selesaikan. Untung saja dosen pembimbingnya sudah memberinya izin untuk tinggal di rumah lebih lama.Ponsel Elrangga yang berada di dalam genggaman kembali berdering padahal semenit yang lalu dia baru saja bertelepon dengan temannya.Kening Elrangga berkerut dalam melihat nama yang terpampang jelas di layar ponselnya.Kak Abi.Untuk apa kakaknya itu menelepon padahal mereka bisa berbicara langsung? Aneh.Elrangga pun menggeser ikon hijau di layar ponselnya. "Iya, Kak?" 'Kamu sudah menyiapkan semua yang kakak minta, kan?'Elrangga sontak melirik dua tiket pesawat ke Thailand dan paspor yang berada di atas meja kecil samping tempat tidurnya. "Iy
Jena berulang kali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipinya sambil mengemas pakaiannya ke dalam koper. Padahal dia selama ini sudah berusaha keras menahan diri agar tidak terbawa emosi setiap kali mendengar kalimat yang keluar dari mulut Elrangga. Namun, ucapan adik iparnya kali ini sangat keterlaluan dan begitu melukai hatinya.Kesabaran Jena sudah habis. Gadis itu sudah tidak mampu lagi menahan emosinya, dia bahkan sampai menampar pipi Elrangga dengan cukup keras karena lelaki itu memintanya untuk membatalkan pernikahannya dengan Abi.Jena amat sangat menyadari kalau dia berasal dari kampung, tidak bisa membaca, dan tidak berpendidikan. Namun, Abi sudah memilihnya sebagai istri dan dia akan berusaha menjadi istri yang baik bagi lelaki itu.Apakah gadis yang memiliki banyak kekurangan sepertinya tidak pantas bersanding dengan Abi?Jena cepat-cepat mengusap air mata yang membasahi pipinya karena Abi masuk ke dalam kamar mereka. Dia harus terlihat baik-baik saja di depan Abi."Mas
"Aduh, Mbak, pelan-pelan. Sakit ...." Elrangga meringis kesakitan karena salah satu pelayan di rumahnya tanpa sengaja menekan pipinya yang terlihat sedikit memerah.Elrangga tidak pernah menyangka tamparan Jena sangat keras hingga membuat pipinya lebam. Padahal postur tubuh gadis itu kecil, tapi tenaganya mirip badak."Mau saya ambilkan salep, Tuan?""Ya, boleh," jawab Elrangga sambil memegangi pipi kanannya yang masih terasa nyeri.Pelayan itu pun segera meninggalkan kamar Elrangga untuk mengambil salep pereda nyeri yang berada di lantai bawah. Dia sontak menundukkan kepala ketika berpapasan dengan Abi di depan pintu.Abi berjalan menghampiri Elrangga sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Rasanya dia ingin sekali memberi adik laki-lakinya itu pelajaran karena sudah menghina Jena. Namun, dia sudah berjanji pada Jena agar tidak bertengkar dengan Elrangga."Pipimu kenapa?"Elrangga tergagap mendengar pertanyaan Abi barusan. "Tidak kenapa-napa," jawabnya tanpa berani menatap Abi.
Jena menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu kayu yang ada di hadapannya. Tidak lama kemudian terdengar sahutan dari dalam."Siapa?""Ini, Jena. Apa Jena boleh masuk?""Nggak!" sahut Elrangga ketus.Jena mengerucutkan bibir kesal. Padahal dia ingin meminta maaf tapi Elrangga malah melarangnya masuk.Menyebalkan!"Mas El, Jena boleh masuk, ya ...?" tanya Jena terdengar lembut agar Elrangga mengizinkannya masuk.Elrangga berdecak kesal karena suara Jena membuat pipinya semakin berdenyut. "Aku bilang enggak ya, enggak!"Jena menggeram kesal karena Elrangga sangat keras kepala. Dia akhirnya memutar kenop pintu yang ada di hadapannya tanpa izin Elrangga.Brak!Elrangga berjingkat karena Jena tiba-tiba membuka pintu kamarnya dengan kasar. Kedua mata Jena sontak membulat karena Elrangga hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Memperlihatkan dada bidang dan perutnya yang kotak-kotak.Elrangga terlihat err ... sangat seksi. Apa lagi dengan rambut yang sedikit basah."Ai
Jena cepat-cepat berdiri sambil menahan pantanya yang masih terasa sedikit nyeri. Kedua sudut bibirnya sontak naik ke atas karena melihat Elrangga yang berjalan menghampiri Allecia. Meskipun Elrangga tadi mengatakan tidak, adik iparnya itu ternyata mau menemui Allecia."Minuman apa ini? Rasanya asam sekali. Buatkan aku minuman yang lain!"Pelayan itu mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat untuk menahan emosinya agar tidak meledak karena Allecia sejak tadi menyuruhnya untuk membuat minuman ini dan itu. Padahal Allecia tadi minta dibuatkan air lemon tanpa gula, tapi wanita itu malah minta dibuatkan minuman yang lain.Menyebalkan!Rasanya pelayan itu ingin sekali melempar nampan yang ada di tangannya ke kepala Allecia untuk melampiaskan kekesalannya."Baik, Nona." Pelayan tersebut membawa segelas air lemon itu kembali ke dapur lantas membuat minuman yang baru untuk Allecia.Kening Elrangga berkerut dalam menatap wanita berambut pirang yang duduk membelakanginya karena dia merasa tidak ken
Abi membetulkan letak kaca mata hitamnya yang sedikit melorot. Di hadapannya terhampar jelas laut biru yang sangat luas, seolah-olah tidak memiliki ujung. Pantai Nui namanya. Abi memang ingin mengajak istrinya pergi ke Thailand untuk berbulan madu jika dia sudah menikah. Abi pikir dia akan pergi bersama Dea—mantan kekasih yang masih memiliki ruang khusus di dalam hatinya. Namun, siapa yang akan menyangka kalau dia akan pergi ke Thailand bersama Jena. Gadis yang perlahan-lahan mencuri hatinya "Lautnya indah sekali kan, Jena?"Jena mengangguk. Sepasang mata bulat miliknya sibuk memperhatikan sekitar—takut jika tiba-tiba ada orang yang melihatnya."Kenapa kamu bersembunyi di balik tubuh mas, Jena?""Jena malu, Mas.""Malu kenapa?"Jena memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Saat ini dia memakai bikini berwarna merah yang kontras dengan warna kulitnya putih. Jena sebenarnya merasa risih memakai bikini, tapi Abi memaksanya agar memakai baju renang tersebut.Jena tergagap kar
"Sebenarnya bukan tawuran, sih—" Ardilla melirik Elrangga yang berdiri tepat di hadapannya dengan takut-takut karena kakak kandungnya itu sedang menatapnya tajam sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Amarah tergambar jelas di wajahnya yang tampan."Ardilla cuma berantem di sekolah," lanjutnya."Apa?" Elrangga terenyak mendengar ucapan Ardilla barusan. Adik perempuannya itu memang agak berbeda dengan perempuan kebanyakan.Anak remaja seusia Ardilla biasanya lebih senang menghabiskan waktu dengan jalan-jalan di mall atau nongkrong di kafe. Namun, Ardilla malah suka pergi ke warnet atau nongkrong di warung kopi pinggir jalan. Adik perempuannya itu bahkan pernah beberapa kali ikut tawuran. Entah ibunya mengidam apa saat hamil Ardilla."Astaga, Ardilla!" Elrangga mendesah panjang. "Kenapa kamu suka sekali membuat masalah?""Kak Rangga jangan marah dulu karena Ardilla punya alasan kenapa sampai berantem di sekolah.""Alasan apa?""Jadi gini, Ardilla tiba-tiba dilabrak sama kakak k
Elrangga tidak bisa bernapas dengan tenang karena terus dihantui perasaan bersalah pada Jena. Semua pekerjaannya tidak ada yang selesai karena dia terus saja memikirkan gadis itu. Elrangga merasa sangat menyesal sudah bersikap kasar pada Jena. Dia bahkan memperlakukan gadis itu seperti pembantu. Andai saja sejak awal dia tahu kalau Jena mengalami kejadian buruk ketika masih kecil hingga membuatnya tidak bisa membaca. Dia pasti akan bersikap baik pada gadis itu.Namun, dia malah mengetahui pengalaman buruk yang dialami Jena dua hari yang lalu. Itu pun harus memaksa Ardilla lebih dulu. Rasanya Elrangga ingin sekali kembali ke masa lalu untuk menghapus kesalahannya pada Jena. Namun, dia tidak mungkin bisa melakukannya.Elrangga masih asyik dengan pikirannya sendiri hingga tidak menyadari kalau Jerry masuk ke ruangannya. "Stok Croissant di kafe tinggal sedikit, apa kau sudah membuatnya, Ga?"Elrangga tergagap mendengar pertanyaan Jerry barusan. "Kau bilang apa?"Jerry menghela napas panj