"Kamu serius ingin kembali ke Australia?" tanya Anita untuk memastikan kalau dia memang tidak salah dengar. Diam- diam Jena juga ingin melayangkan pertanyaan yang sama seperti Anita untuk Elrangga. Dia ingin tahu apakah Elrangga serius ingin kembali ke Australia."Iya, Rangga serius. Lagi pula Rangga juga sudah mengurus semuanya. Kalau tidak ada halangan lusa Rangga berangkat. ""Kenapa tiba-tiba sekali, Rangga? Memangnya kamu tidak betah tinggal di rumah?"Bukan masalah betah atau tidak betah. Hanya saja Elrangga takut perasaannya pada Jena akan tumbuh semakin dalam kalau dia terus berada di dekat gadis itu."Cuti Rangga sudah hampir habis, Bu. Lagi pula Rangga ingin memperlajari resep baru."Anita menghela napas panjang, dia benar-benar terkejut karena Elrangga tiba-tiba ingin kembali ke Australia untuk melanjutkan pendidikannya. Putra keduanya itu bahkan sudah mengurus paspor dan memesan tiket pesawat.Rasanya Anita ingin sekali menahan Elrangga agar tidak pergi ke Australia. Namu
"Kamu tidak punya salah sama aku, Jena. Jangan minta maaf.""Kalau Jena nggak punya salah, kenapa Mas El kembali bersikap dingin sama Jena?" tanya gadis itu menuntut penjelasan.Elrangga menghela napas panjang melihat air mata yang membasahi pipi Jena. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Jena alasan yang membuatnya kembali bersikap dingin pada gadis itu."Aku akhir-akhir ini stres mikirin masalah di kafe, Jena. Makanya aku jarang bicara sama kamu.""Sungguh?" Jena menatap sepasang mata abu-abu milik Elrangga dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Iya," jawab Elrangga."Berarti Mas El nggak marah sama Jena?""Tidak." Elrangga menggeleng pelan sambil mengusap air mata yang membasahi pipi Jena.Elrangga berani bersumpah, dia sangat benci melihat perempuan menangis. Apa lagi perempuan itu berarti bagi dirinya seperti Jena."Kalau nggak marah, Mas El nggak jadi pergi ke Australia, kan?" Elrangga tertegun melihat harapan yang terpancar jelas dari kedua sorot mat
Ungaran merupakan sebuah kota kecil di kabupaten Semarang. Tidak banyak yang tahu jika kota kecil tersebut menyimpan berbagai keragaman wisata yang sangat unik dan menarik. Karena alasan itulah Abi tertarik membangun resort di sana. Panas matahari yang begitu menyengat tidak menghalangi semangat Abi untuk meninjau resort yang sedang dibangun oleh perusahaannya. Dia harus memastikan pembangunan resort tersebut berjalan lancar dan selesai tepat waktu."Sudah sejauh mana proses pembangunannya?" tanya Abi pada orang yang dia percaya untuk mengelola dan mengawasi proses pembangunan Dewangga Spa And Resort."Kira-kira sudah delapan puluh persen, Pak.""Saya tidak butuh kata kira-kira. Saya ingin jumlah yang pas."Lelaki yang memakai helm kuning itu terenyak mendengar ucapan Abi berusan. "Tu-tujuh puluh delapan persen, Pak.""Hanya tujuh puluh delapan persen?" Abi menatap lelaki yang lebih tua di sampingnya itu dengan alis terangkat sebelah."I-iya, Pak." Lelaki itu menjawab pertanyaan Abi
Dea tersentak, jantungnya sontak berdetak dua kali lebih cepat menatap lelaki berkaca mata yang berdiri tepat di hadapan. Aroma parfum mahal yang menguar dari tubuh lelaki itu seketika menyeruak di indra penciumannya.Aromanya tidak berubah, masih sama seperti saat terakhir kali dia mencium parfum lelaki itu. Tepatnya lima tahun yang lalu. Benarkah lelaki yang berdiri di hadapannya sekarang adalah Abi?Sedikit pun Dea tidak pernah menyangka Tuhan akan mempertemukan dirinya dengan Abi. Lelaki yang pernah mengisi hatinya bertahun-tahun lalu.Dea terpaksa mengakhiri hubungan dengan Abi karena kedua orang tuanya menjodohkan dirinya dengan lelaki lain. Sebagai seorang anak yang berbakti pada orang tua membuatnya memutuskan untuk meninggalkan Abi walaupun sulit."Mas Abi?"Abi terhenyak. Ada debaran halus yang menggelitik jantungnya ketika mendengar Dea menyebut namanya. Suara wanita berambut hitam itu terdengar sangat lembut mampu menggetarkan hatinya. Apa rasa itu masih ada?Abi tanpa sad
Abi menyesap sedikit secangkir teh panas yang ada di tangannya. Rasa teh tersebut tidak seenak teh buatan Jena, tapi hal itu tidak menjadi masalah karena di hadapannya sekarang ada Dea. Abi ingin bicara sebentar dengan Dea karena mereka sudah lama tidak bertemu. Dia pun memilih kantin rumah sakit sebagai tempat karena mantan kekasihnya itu tidak bisa jauh dari sang anak."Aku turut sedih melihat keadaan putramu. Semoga dia lekas sembuh."Dea menyedot segelas Iced Americano-nya sebelum menjawab pertanyaan Abi. "Terima kasih banyak, Mas. By the way, aku tadi belum sempat tanya kabar Mas Abi. Bagaimana kabar, Mas? Apa Mas sudah—?"Dea tidak melanjutkan kalimatnya. Ada kekecewaan yang terpancar dari kedua sorot matanya ketika melihat cincin yang melingkari jari manis Abi."Kamu mau tanya apa, Dea?" tanya Abi karena Dea tidak kunjung melanjutkan kalimatnya.Dea menggeleng pelan. "Sepertinya aku tidak perlu bertanya karena aku sudah tahu jawabannya."Abi menatap Dea dengan alis terangkat s
"Mas Abi mau pakai kemeja warna apa? Biru atau cokelat muda?" Jena menunjukkan dua buah kemeja yang ada di tangannya ke Abi. Namun, suaminya itu malah asyik memperhatikan layar ponselnya sambil tersenyum."Mas!"Abi sontak mengalihkan pandang dari layar ponselnya karena mendengar suara Jena. "Iya, Sayang. Kamu tanya apa?"Jena menghela napas panjang karena Abi terus mengabaikannya. Suaminya itu sering sekali melihat ponselnya sejak kembali dari Semarang seminggu yang lalu. Entah apa yang Abi lakukan. Jena tidak tahu."Mas Abi mau pakai kemeja yang mana? Biru atau cokelat muda?""Em ...." Abi menatap kemeja yang Jena tunjukkan lantas memilih warna cokelat muda karena Dea menyukai warna tersebut. "Mas pilih yang ini.""Tumben sekali Mas pilih warna ini." Jena merasa heran karena Abi biasanya selalu memakai kemeja berwarna biru setiap hari Selasa untuk pergi ke kantor."Karena mas akan terlihat semakin tampan kalau memakai kemeja ini, Jena." Abi mengedipkan sebelah matanya lalu mengambil
"Iya, Bu," jawab Dea malu-malu. Percuma saja dia berbohong karena sang ibu pasti tahu."Ibu lihat akhir-akhir ini kamu dekat lagi sama Abi." Rahayu—ibu Dea mencuci seikat kangkung yang sudah selesai dipetik sebelum ditumis."Dea cuma kebetulan ketemu sama mas Abi kok, Bu.""Di dunia ini tidak ada yang kebetulan, Dea. Buktinya Tuhan mempertemukan kamu dengan Abi setelah berpisah dengan Firman."Kening Dea berkerut dalam. "Maksud, Ibu?"Rahayu menghela napas panjang lantas menaruh kangkung yang sudah selesai dia cuci ke sebuah wadah yang memiliki lubang-lubang kecil agar airnya sedikit berkurang."Apa kamu tidak ingin kembali lagi dengan Abi?"Tubuh Dea menegang mendengar pertanyaan ibunya barusan. Andai boleh jujur, Dea sebenarnya ingin sekali kembali dengan Abi karena dia masih menyimpan perasaan pada lelaki itu hingga sekarang. Namun, mereka tidak mungkin bersama karena Abi sudah menikah dengan Jena."Dea dan mas Abi tidak mungkin bisa kembali seperti dulu, Bu." Dea mematikan kompor
"Makasih banyak ya, Mas. Udah bela-belain datang jauh-jauh dari Jakarta ke Semarang buat nemenin Kenzie kontrol. Maaf kalau aku ngrepotin.""Sama-sama, Dea. Jangan minta maaf karena aku tidak merasa direpotkan sama sekali." Beberapa jam yang lalu Dea menelepon, mengatakan kalau Kenzie tidak mau pergi ke dokter jika tidak ditemani Abi. Abi pun langsung meninggalkan pekerjaannya dan terbang ke Semarang untuk mengantar Kenzie memeriksakan kakinya ke dokter."Ayo, Sayang. Kita pulang." Dea ingin menggendong Kenzie, tapi putra semata wayangnya itu malah menolak."Kenzie mau digendong Papa Abi.""Kenzie!" sengit Dea dengan mata melotot agar Kenzie tidak memanggil Abi dengan sebutan papa. "Jangan panggil om Abi papa karena dia bukan papa kamu."Wajah Kenzie seketika berubah sendu. Anak itu merasa begitu sedih karena Dea melarangnya memanggil Abi dengan sebutan papa."Sudahlah, Dea. Jangan marah karena Kenzie masih kecil.""Tapi, Mas ....""Lagi pula aku tidak masalah dipanggil papa oleh, Ke