Share

Perjanjian Pernikahan

2. Perjanjian Pernikahan

-Meski sedikit menyakitkan, setidaknya aku tahu kalau ada hal yang bisa aku lakukan untukmu, dan itu sedikit melegakan.- Ailuna Cintia Permadi

"Aku ini menikah untuk jadi istri atau jadi penjaga rumah mewah sih?" Gumamku sembari melihat keluar jendela.

Tiga hari sudah aku berdiam diri di sebuah rumah dengan dua orang asisten yang selalu menemaniku, mereka adalah Sendi dan Tika. Ada juga asisten lainnya, namun hanya dia itu yang paling sering aku temui.

Tiga hari juga aku tak berjumpa dengan Adhitama yang notabene adalah suami sahku. Dia meninggalkanku sendiri di depan rumah setelah acara pemberkatan selesai.

"Aku harus pergi, silahkan kamu beristirahat di dalam! Anggap saja rumahmu sendiri." Ucapnya saat itu.

Tanganku mencekal lengannya. "Kakak mau kemana, kenapa kita nggak pergi ber.."

Dia menghempaskan cekalan tanganku. "Kamu tak perlu tau, ini bukan urusanmu!" Ucapnya bahkan sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku.

Kemana perginya dia? Tak ada satupun orang yang tahu. Aku terus terdiam dan menunggu, namun sayangnya aku seolah menunggu sesuatu yang tak mungkin kembali. Siapa aku? Mungkin laki-laki bermata coklat itupun tak mengingat namaku di otaknya, apalagi hatinya.

Aku menghela napasku yang terasa sesak. “Hm, sepertinya aku terlalu berharap lebih, seperti kata ibu, aku ini memang terlalu nekat.”

Seharusnya hari-hari ini menjadi hari paling membahagiakan bagiku, masa-masa bulan madu yang harusnya aku lewati dengan suka cita seperti cerita teman-temanku yang telah berkeluarga, kini berlalu dengan kesendirian yang menggerogoti tubuhku secara perlahan.

“Aku bosan.”

Aku bukan tipe yang bisa berdiam diri begitu lama, aku memutuskan kembali melakukan aktivitasku seperti biasanya.

Dengan cekatan aku menyiapkan baju yang akan aku gunakan untuk kembali bekerja, sebuah kemeja berwarna peace dipadu dengan celana putih. Aku sangat menyukai gaya casual karena nyaman dan anti ribet.

“Tika!” seruku.

Suara ketukan sepatu terdengar mendekat ke arahku. Sosok gadis muda berambut coklat itu telah berdiri tepat dihadapanku sembari membungkuk.

"Ya nyonya, ada yang bisa saya bantu?"

Awalnya aku sedikit heran, gadis muda yang cantik dengan balutan dress maid yang sangat cocok dengan tubuhnya itu adalah seorang sarjana managemen. Namun setelah aku tahu berapa gaji para maid disini, aku menjadi tak heran karenanya. Sultan memang beda.

“Aku akan pergi, kalau Mommy mencariku, tolong katakan padanya bahwa aku pergi bekerja.” Ucapku.

Mommy adalah sebutanku pada Rosa Wijaya, ibu dari Adhitama, atau bisa disebut sebagai ibu mertuaku. Berbanding terbalik dengan anaknya yang bahkan tak memperdulikan keberadaanku, mommy Rosa justru memperlakukanku dengan sangat baik, dia sangat memperhatikanku hingga membuatku merasa seperti seorang menantu yang paling beruntung di dunia ini.

Ada yang menanyakan keberadaan ayah Adhitama? Dia sudah tiada. Frans Wijaya telah meninggal satu tahun yang lalu akibat penyakit komplikasi yang sudah menyerangnya puluhan tahun.

“Tapi nyonya, bukankah ini masih masa cuti nyonya?” tanya gadis itu terlihat sedikit kebingungan.

“Tenang saja, Mommy pasti memakluminya, bilang saja aku hanya merasa bosan berada di rumah.” Jawabku menenangkan.

Tika mengangguk. “Baik Nyonya.”

Ah, aku masih merasa tidak suka dengan panggilan itu, biasanya orang-orang yang bekerja dirumahku memanggilku ‘nona’, sebutan ‘nyonya’ membuatku terlihat lebih tua. Hey ayolah, aku hanyalah seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, namun sayangnya mereka terus memanggilku dengan sebutan tersebut jika tidak ingin dipecat oleh mommy Rosa.

Brakk!

Suara gebrakan pintu menggema ke seisi ruangan, membuat aku dan Tika mengalihkan perhatian pada sumber suara.

Terlihat sosok Adhitama dengan kemeja putih yang terlihat berantakan berdiri tepat diambang pintu dengan ekspresi yang sangat sulit untuk diartikan, antara lelah dan marah yang bercampur menjadi satu, tapi sungguh itu membuatnya terlihat sexy.

“Kamu! Tinggalkan kami berdua.” Titahnya pada Tika.

Tiga hari tak mengubah apapun dalam diriku, dimataku dia masih terlalu sempurna untuk ukuran seorang manusia. Sial, jantungku berdegup kencang saat perlahan dia berjalan mendekatiku. Tatapannya padaku sangat tajam, seolah dapat menusuk kepalaku hingga berlubang.

“Mari kita bertransaksi!” Ucapnya dingin.

Dia menggandengku menuju sofa yang berada di dekat jendela kamar. Dia mulai mengeluarkan kertas dan pulpen, tangannya mulai menulis sesuatu disana. Beberapa menit kemudian dia menyodorkan kertas tersebut dihadapanku, aku kesulitan membacanya. Aku beranjak menuju tas kerjaku dan mengambil kacamata minus disana.

Semuanya terlihat jelas, tulisan tangan dengan dua point yang tertulis rapi diatasnya.

“Waktu kita tak begitu banyak saat itu, jam pernikahan yang sudah ditentukan membuat kita tak bisa berkomunikasi dengan baik. Dan sejujurnya aku sendiri masih belum mengerti dengan situasi kita saat ini. Mari kita perjelas, hubungan kita memang suami-istri. Namun sadar atau tidak kalau hubungan ini tak akan berjalan seperti pada umumnya. Dan ini adalah hal yang harus aku tegaskan sebelum kita menjalani hubungan ini.”

Aku tahu sekarang, dia sedang berusaha me-loby-ku, ck, kemampuannya sebagai seorang pengusaha memang tak bisa diragukan lagi.

“Mari kita jalani pernikahan ini sebaik mungkin, dimata orang lain. Kamu bisa lihat disitu aku mengajukan dua point, yang pertama adalah kita tak boleh mencampuri urusan pribadi kita masing-masing.”

Aku tahu, akulah yang menjatuhkan diriku sendiri padanya, tapi aku tak menyangka jika dia benar-benar menolakku secara terang-terangan, sungguh menyakitkan.

“Lalu apa ini?” aku menunjuk point kedua dalam perjanjian tersebut.

“Ibuku sangat menyukaimu, menurutnya kamu adalah gadis yang layak mendampingiku sebagai seorang pewaris Wijaya. Keluargamu yang terpandang dan berpendidikan sangat cocok dengan image keluarga kami. Maka dari itu, aku menginginkan seorang keturunan yang lahir dari rahimmu. Karena aku butuh seorang penerus.”

Hatiku semakin sakit, namun dengan tak pedulinya aku hanya mengangguk seolah setuju.

“Apakah ada lagi?” tanyaku lirih, aku masih berusaha menyetabilkan sakit yang bersarang di hatiku.

“Oh, ada satu lagi tapi sepertinya tak perlu dituliskan diatas perjanjian.”

“Apa itu?” tanyaku penasaran.

“Kamu tak boleh jatuh cinta padaku, jika hal itu sampai terjadi semua perjanjian kita ini akan berakhir, begitu pula hubungan palsu kita ini.” Ucapnya begitu dingin, sangat dingin hingga membuatku membeku ditempat.

Bukankah artinya aku harus memendam perasaanku sendiri selama-lamanya jika ingin tetap bersamanya?

“Aku memang tak bisa memberikan apapun sebagai seorang suami, namun sebagai gantinya, kamu boleh menerima sepuluh persen dari total kekayaan yang aku miliki.”

Begitu ternyata, dia memandangku tak lebih dari seorang gadis matrealistis yang ingin memanfaatkan keadaan. Namun jika itu membuatku tetap berada disampingnya aku tak masalah, karena apapun yang berhubungan dengannya membuatku bahagia.

“Baiklah, aku menyetujuinya.” Tanganku bergerak untuk menandatanginya.

Aku melihatnya tersenyum penuh kemenangan. Ah, yang terpenting bagiku saat ini adalah kebahagiaannya.

“Baiklah, malam ini sepertinya aku akan meminta perjanjian nomer dua terlebih dahulu. Aku akan menunggumu dikamar sebelah jam sembilan malam. Jangan sampai membuatku menunggu.” Ungkapnya dengan ekspresi datar. Dia beranjak dari sofa dengan membawa lembaran kertas digenggamannya.

Aku memandang kepergiannya dalam diam, ya aku benar, aku telah melakukan sesuatu yang benar, bukankah membuat dia bahagia adalah tujuan utamaku?

“Baiklah Adhitama Wijaya, aku akan menjadi milikmu malam ini.”

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status