Alleya tersenyum-senyum sendiri di depan cermin, mengingat kejadian empat hari yang lalu, saat dirinya salah memakai topeng yang ia beli kedua kalinya, topeng penuh dengan bekas luka bakar. Betapa bodoh dan cerobohnya dirinya, hingga tidak memeriksa dulu topeng yang ia pakai. Untung saja si Balok Es tidak menyadari perbedaan yang sebenarnya tampak begitu mencolok. Mengompres dengan air hangat, menggelembung seperti ada cairan di dalamnya. Alleya mengingat-ingat pesan terakhir Aditya malam itu. Balok es yang polos, Alleya terkekeh.
Gadis itu kembali mengenakan topeng buruknya yang pertama. Drama alerginya sudah berakhir sejak empat hari yang lalu, dan topeng pemberian Ryan sudah ia simpan rapat dalam kotak khusus, yang ia letakkan di atas lemari.
Hari ini, Alleya berangkat lebih pagi dari kemarin karena telpon Aditya yang mendadak, memintanya menemani pengacara muda itu untuk sarapan p
Alleya mengutak-atik ponselnya. Mencari aplikasi yang sekiranya bisa menunjang rencananya. Rencana? Ya. Mulai hari ini, Alleya akan mempraktekkan sekian banyak jurus yang ia peroleh dari Nia, asistennya. Jurus untuk mematahkan pertahanan Aditya, hingga akhirnya ia menyerah dan mundur dari perjodohan ini. Senyum jahil tersungging di sudut bibir Alleya. Kamu memang tampan, Aditya Reksa Wardana. Tapi sayang seribu sayang, kepribadianmu belum cukup menunjang untuk menjadi pasangan sejatiku, Alleya Riska Mentari. Aku akan memaksamu membuat sebuah keputusan sulit dalam hidupmu, karena ini menyangkut hidup dan matimu. Tsk, decih Alleya dalam hati. Memprotes dialog yang ia rancang sendiri. Terlalu drama. Mari dibuat mudah saja. Membuatmu mundur dari perjodohan ini. Mungkin itu lebih tepat dan ringkas. Sebuah skenario terancang sempurna di dalam benak Alleya, dan gadis itu tampak sangat bersemangat untuk mem
"Apa maksudmu?" Aditya balik bertanya, seolah ia lupa dengan apa yang baru saja ia bisikkan pada Alleya. Alleya mendengus kesal. Betapa bodoh dirinya, yang begitu mudah percaya dengan ucapan si Balok Es. "Lupakan," jawab Alleya ketus. Kurang ajar, gerutunya dalam hati. Aku belum melakukan trik apa pun untuk membuat dirinya terjebak, justru aku lebih dulu termakan umpan si Balok Es. "Hei..!" Seru Aditya berusaha menghentikan langkah Alleya yang sudah berjalan lebih dulu, dan kini mengacuhkannya. Tidak juga berhenti melangkah, Aditya melangkahkan kakinya lebih lebar agar bisa mengejar Alleya. "Ada apa denganmu?" Aditya menarik tangan Alleya, menghentikan dengan paksa langkah gadis itu. Badan Alleya berputar hingga kini dirinya berdiri saling berhadapan dengan Aditya. Aditya dapat menangkap kegugupan di wajah Alleya. Gadis ini mara
"Apakah kau keberatan?" Alleya mengulang pertanyaannya, tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Aditya. Kau mengajakku bermain-mainkan, maka terimalah akibatnya. I am a drama queen. Kau sudah sangat salah memilih korban. Alleya menggumam dalam hati dengan penuh rasa amarah. Lisa menatap Aditya, menanti jawaban apa yang diberikan oleh putranya itu. "Dit? Mama dan Alleya menunggu jawabanmu." Aditya menatap Lisa dengan seribu satu perasaan. Menimbang, kalimat yang tepat untuk menyelamatkan dirinya untuk saat ini. Jangan sampai dirinya jatuh dalam perangkap yang ia buat sendiri. "Aditya tidak keberatan, Ma." "Bagus!" Alleya langsung merespon jawaban Aditya, membuat pria itu terkejut. "Sepulang dari kerja nanti, Alleya akan langsung memberitahu papa tentang ini, Tante. Tante juga bisa memberitahu
Aditya menjatuhkan tubuhnya ke atas pembaringan dengan kasar. Ia melepas dasi yang sejak pagi mengikat lehernya, dan membuang ke sembarang arah. Alleya, desisnya menahan geram. Ternyata, kamu juga sedang merencanakan sesuatu. Jika itu memang kemauanmu, maka aku tidak akan segan lagi. Mari kita lihat, siapa yang akan menyerah lebih dulu. Aditya mengambil ponselnya lalu mengirim pesan kepada gadis itu. Beberapa menit kemudian, ia menyeringai. Aku sungguh tidak sabar menunggu hari itu tiba, Alleya. Begitu kalimat yang ia kirim kepada Alleya. Aku benar-benar penasaran seperti apa wajah gadis itu sekarang, gumamnya bangkit dari pembaringan. Alleya yang saat itu sedang asyik membalas pesan Nia, langsung membuka pesan dari Aditya. Apa!!!. Dasar pria narsis! Sok tampan, sok menawan, sok laku. Alleya mendelik kesal, membaca berulang kali pesan yang dikirim Aditya. Tok.Tok.Tok. Kepala Abraham suda
Alleya berteriak panik. "Mau apa kau?" Tubuh Alleya gemetar. Tiba-tiba udara di sekitarnya terasa begitu aneh. Ia melihat ke wajah Aditya dengan gusar. Mau apa pria ini? Jarak antara mereka berdua semakin tipis. Perlahan namun pasti, Alleya mulai bisa merasakan hembusan nafas hangat Aditya, yang beraroma peppermint, di ujung hidungnya. "Jang-jangan mencoba berbuat asusila di sini!" Suara Alleya bergetar karena gugup, merasa nafasnya tersengal-sengal. Detak jantung yang berdegup cepat, membuatnya mulai berkeringat dingin. Oh, Tuhan. Tolong selamatkan hamba, rapal Alleya dalam hati. Aditya terkekeh dalam hati, melihat wajah gusar Alleya yang menatapnya dengan pandangan nano-nano. Si Buruk Rupa yang polos. Alleya berulang kali menggigit bibirnya, berharap rasa takutnya teralihkan. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Rasa cemasnya semakin menjadi ketika ia menda
Mobil Abraham perlahan merangkak masuk ke halaman rumah Rudy. Aditya akan datang sedikit terlambat, karena ia harus bertemu klien yang sudah membuat janji dengannya sejak beberapa hari yang lalu. Rudy dan Rita menyambut di teras dan mengajak pasangan calon besannya itu masuk ke dalam rumah. "Aditya nanti menyusul. Masih ada urusan dengan kliennya." Abraham memberi alasan mengapa Aditya tidak tampak bersama mereka malam ini. "Tante..." Alleya yang baru saja selesai menapaki anak tangga terakhir, langsung datang menyongsong calon mertuanya. Senyum Lisa mengembang sempurna, begitu melihat kedatangan Alleya yang saat itu begitu anggun. Dengan wajah seperti ini saja, menantunya sudah terlihat begitu berkelas dan anggun, bagaimana lagi jika wajah Alleya semulus dan seputih artis-artis sinetron, yang sering ia lihat di televisi setiap malam. "Tidak menanyakan Aditya?" tanya Abra
Aditya membawa mobilnya di pagi buta. Seorang klien menyewa jasanya sebagai pengacara untuk pengajuan cerai sang istri, sedangkan kliennya masih bersikukuh untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Otaknya menolak kasus ini, tapi entah mengapa sudut hatinya justru menuntunnya untuk menerima kasus itu. Dia benci jika dalam menangani kasus harus melibatkan perasaan, karena itu bisa membuatnya mengambil keputusan yang cenderung tidak obyektif. Ponsel yang ia letakkan di depannya berdering. Alleya. Aditya menyipitkan matanya. Mengulang membaca nama pemanggil. Benar Alleya. Ada apa gadis itu menelponnya sepagi ini? Ia menepikan mobilnya sebelum menjawab panggilan Alleya. "Halo, Sayang." Aditya mencoba menggoda Alleya. "Isssh, apaan sih?!" Terdengar nada protes di ujung sana, yang justru membuat Aditya tersenyum samar. "Ada apa?" tanyanya kembali ke sua
Aditya mengikuti mobil Alleya yang melaju di depannya, dengan kecepatan sedang. Ia sudah menghubungi sekretarisnya, untuk mengosongkan jadwalnya tiga hari ke depan. Ia harus bisa memastikan keamanan Alleya dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimanapun, Alleya adalah wanita dewasa, yang bisa saja khilaf atau membuat khilaf orang lain. Mobil Alleya perlahan memasuki halaman rumahnya, sedangkan Aditya memilih memarkirkan mobilnya di luar kediaman Rudy dan Rita. Ia melangkah melewati jalan setapak yang di kanannya terdapat kebun bunga kecil lengkap dengan sebuah kolam ikan koi di tengahnya, hingga akhirnya mereka bertemu di teras. "Bersiaplah. Aku akan menjemputmu dua jam dari sekarang. Bawalah barang-barang yang berfungsi dengan baik, jangan yang aneh-aneh. Jika sampai aku menemukan barang yang aneh-aneh, aku akan langsung membuangnya ke kotak sampah." Aditya membalikkan bad