Share

Kekhawatiran Seorang Ibu

"Jadi kamu yang menolong calon istri saya?"

"I-iya, Mas. Tadi aku kebetulan lewat dan melihat Mbak-nya terjatuh karena diserempet motor," terang Hanin berusaha bersikap sebiasa mungkin. Pria di depannya selalu menunjukkan wajah tidak suka, membuat Hanin sangat tidak nyaman.

"Terima kasih. Sekarang pergilah, kamu sudah tidak dibutuhkan di sini."

"Oh, iya. Kalau begitu, aku permisi."

Hanin menganggukkan kepala pada Adam, tetapi pria itu tidak menanggapinya sedikit pun. Dengan langkah tergesa, Hanin keluar dari rumah sakit menuju ke tempat kerja. Ia sudah bisa membayangkan kalau hari ini akan mendapat teguran karena keterlambatannya.

Benar saja, baru sampai ia langsung dipanggil ke ruang atasannya dan mendapat peringatan. Hanin masih bisa bernapas lega karena ia masih diizinkan untuk bekerja di sana, tidak sampai dipecat seperti apa yang ia takutkan.

Hanin kembali menekuni pekerjaannya dengan semangat. Meskipun sempat terpikir bagaimana kondisi Anggun sekarang, tetapi Hanin mencoba untuk tidak ambil pusing. Sudah ada Adam dan juga keluarga wanita itu yang pasti menjaganya.

šŸŒŗ

"Ada lagi yang sakit?"

"Enggak, Mas. Sekarang sudah mendingan."

"Kalau begitu istirahat lah." Adam membenahi selimut yang menutupi kaki Anggun.

"Mas .... "

"Ya?" Alis Adam bertaut.

"Wanita yang menolongku tadi, dia masih ada di luar, 'kan? Aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya."

Adam terdiam sebentar, kemudian kepalanya menggeleng perlahan.

"Dia sudah pergi."

"Kok bisa? Aku ingin mengucapkan terima kasih sama dia, Mas. Kalau tidak ada wanita itu, mungkin aku enggak akan bisa sampai ke sini." sesal Anggun. Ia mengingat bagaimana Hanin yang sekuat tenaga membantunya dan meminta pertolongan pada yang lain.

"Pokoknya, kalau aku sudah bisa pulang, kita cari dia," imbuhnya.

"Iya, sekarang kamu jangan banyak berpikir dulu. Beruntung luka kamu hanya luka ringan, jadi tidak ada yang harus dikhawatirkan," timpal Adam. Ia kembali memeriksa tangan Anggun yang terdapat banyak luka gores akibat jatuh di atas aspal.

"Terus bagaimana dengan Silla? Siapa yang jemput dia?"

"Nanti Mas yang jemput. Kebetulan hari ini Mas praktek sore."

"Syukurlah. Kalau nanti dia tanya, jangan bilang aku di sini ya, Mas. Aku enggak mau dia nangis."

"Iya, kamu tenang saja. Mas tinggal dulu, ya, mau ngurus admisnistrasi. Papa sama Mama kamu sedang dalam perjalanan ke sini. Sebentar lagi mereka sampai."

"Terima kasih, Mas sudah perhatian sama aku."

"Ckk, tidak usah seperti itu. Kamu calon istriku, sudah seharusnya aku memperhatikan kamu."

Pipi Anggun memerah, hatinya membuncah bahagia karena pria yang sudah lama ia impikan untuk menjadi pendampingnya, kini berdiri nyata di hadapannya.

Adam keluar dari ruangan Anggun. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Masih ada waktu satu jam untuk menjemput Silla di sekolahnya.

šŸŒŗ

Hanin meminta izin sebentar pada Tita untuk melihat ke sekolah Silla. Sejak tadi matanya tak henti melirik ke seberang sana tempat sang putri menuntut ilmu. Andai Anggun tidak mengalami kecelakaan, mungkin Hanin tidak akan gelisah karena biasanya, wanita itu yang menjemput Arsilla.

Namun saat ini, entah siapa yang akan menjemput putrinya karena Hanin belum melihat mobil yang terparkir di depan gerbang sekolah.

Dengan perasaan was-was, Hanin menyeberangi jalan menuju sekolah Arsilla. Ternyata dugaannya benar, ia melihat putrinya berdiri di depan gerbang ditemani satpam yang berjaga di sana.

Bergegas Hanin menghampiri sang putri yang wajahnya ditekuk dengan tangan yang saling bertaut. Kakinya digesek-gesekkan ke tanah pertanda sang putri sedang kesal.

"Hai anak manis, belum dijemput?"

Arsilla yang tadinya menunduk, kini mendongak hingga matanya beradu tatap dengan mata Hanin.

"Tante siapa?"

"Tante kerja di Restoran sana. Tadi lihat kamu berdiri di sini ditemani Pak Satpam. Kok belum pulang?" Hanin menunjuk Restoran tempatnya bekerja, kemudian kembali memandang sang putri yang masih terlihat murung.

"Mama Anggun belum jemput, biasanya kalau Silla pulang dia sudah ada di sini nungguin Silla," jawabnya dengan bibir yang bergetar.

"Terus Papa kamu?"

"Papa di rumah sakit, Tante."

"Ya sudah, Tante temani di sini, ya. Sampai ada yang jemput kamu."

"Makasih, Tante. Tapi ... enggak ngerepotin?"

"Enggak dong, Sayang. Malah Tante senang bisa ngobrol sama Silla."

Keduanya tersenyum lebar. Hanin mengajak Silla untuk duduk di bangku yang tersedia di dekat Pos Satpam. Mereka berbincang hangat sambil sesekali tertawa riang.

Tanpa Hanin sadari, seseorang tengah memperhatikan keduanya dari dalam mobil dengan pandangan yang sulit diartikan. Tangannya mencengkram stir kemudi dengan kuat saat melihat keakraban yang tercipta di antara ibu dan anak itu.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status