Share

Pertemuan Kedua

Hanin mengambil dompet usang dari dalam tasnya. Ia menghela napas kasar saat melihat satu lembar uang berwarna merah yang terdapat di dalamnya . Gajian masih dua minggu lagi, sedangkan uang yang ia miliki tidak akan cukup untuk biaya hidup selama itu. Hanin sempat berpikir untuk mencari pekerjaan sampingan, tapi ke mana? Sedangkan mencari pekerjaan saat ini begitu susah.

Akhirnya Hanin putuskan untuk membeli mie instan di warung Bu Parmi. Mungkin cukup untuk mengganjal perutnya hingga besok pagi.

Hanin keluar dari kontrakan menuju warung yang letaknya selang tiga rumah saja. Sampai di sana, ternyata banyak pria yang tengah menikmati kopi dan ada juga yang sambil bermain catur. Hanin berusaha abai saat sebagian pria di sana memandangnya dengan tatapan mesum.

"Bu, mie instannya satu," ucapnya pada pemilik warung yang tengah menonton acara televisi.

"Mie goreng atau mie kuah, Neng?"

"Mie kuah saja."

Setelah membayar satu bungkus mie instan, Hanin berpamitan pada Bapak-Bapak di sana. Namun, saat kakinya telah menginjak teras kontrakan, suara seseorang yang rupanya mengikuti Hanin, membuat wanita itu spontan membalikkan badan.

"Astaghfirullah, Pak Yudi, saya kira siapa!"

"Maaf Neng Hanin, bapak tidak sengaja," ujarnya dengan cengiran. Matanya sibuk mengamati sekitar, takut ada yang melihat dirinya berada di kontrakan Hanin.

"Ada apa, Pak Yudi? Ini sudah malam, tidak baik Bapak berada di sini, takut jadi fitnah."

"Saya hanya ingin mengajak Neng Hanin makan nasi goreng di ujung gang sana. Kalau hanya makan mie instan, mana bisa kenyang." Pak Yudi bicara sepelan mungkin.

"Terima kasih atas ajakannya, tapi tidak usah, Pak. Bagi saya satu bungkus mie instan sudah membuat perut kenyang."

"Ayolah Neng Hanin, sekalian ada yang ingin Bapak bicarakan," bujuk Pak Yudi tak ingin menyerah. Sudah lama ia menantikan untuk bisa jalan berdua dengan Hanin. Kebetulan malam ini istrinya memberi izin untuk nongkrong di warung Bu Parmi. Begitu melihat Hanin, pria itu langsung mengikuti wanita itu.

"Sebaiknya bicara besok saja, Pak. Saya tidak ingin istri bapak melihat kita mengobrol berdua."

"Istri bapak jam segini sudah tidur, Neng. Ayolah, cuma sebentar."

"Maaf tidak bi--"

"Bapak! Ternyata kamu di sini!"

Hanin dan Pak Yudi refleks melihat ke sumber suara. Keduanya sama-sama terbelalak kaget melihat Bu Resti yang sudah berkacak pinggang.

"I-ibu, bukannya sudah tidur?" Pak Yudi begitu gugup. Ia kira istrinya tidak akan menyusul mencarinya.

"Bagus ya, Pak. Bilangnya mau ngopi di warung Bu Parmi, ternyata malah mojok di rumah janda!"

"Anu, Bu. I-itu Bapak lagi tanya sama Neng Hanin, siapa tahu ada lowongan di Restoran tempat dia kerja buat anak kita," ujar Pak Yudi beralasan. Jangan sampai istrinya tahu kalau dia sempat mengajak Hanin makan nasi goreng bersama.

"Alah, alasan! Kamu juga Hanin, jangan sok cantik pake godain suami orang segala! Kalau sekali lagi ketahuan kamu ngobrol sama suami saya, jangan harap kamu masih bisa tinggal di kompleks ini!"

"Saya tidak menggoda Pak Yudi, Bu. Justru tadi--"

"Sudah-sudah, Hanin tidak perlu banyak bicara. Ibu, ayok kita pulang, urusan Bapak sudah selesai. Sepertinya Hanin memang tidak bisa membantu anak kita." Pak Yudi memotong pembicaraan sebelum Hanin menceritakan yang sebenarnya. Pria itu lantas menghampiri sang istri yang masih berkacak pinggang.

"Awas kamu kalau saya lihat sekali lagi menggoda Bapak-Bapak di sini! Saya pastikan kamu diusir sama istri-istri mereka!"

Bu Resti memberi ancaman sebelum tangannya dicekal oleh Pak Yudi dan menyeretnya pulang. Masih terdengar gerutuan wanita itu yang masih kesal akan tingkah suaminya yang berani menemui Hanin di kontrakannya.

Hanin sendiri hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah suami istri itu. Baginya sudah biasa mengalami hal seperti ini, terlebih hampir semua warga kompleks tahu kalau dia seorang janda.

Hanin membuka pintu, lalu masuk dan menguncinya. Berjaga-jaga takut ada orang iseng yang kembali menyambangi kediamannya.

🌺

Hanin baru saja turun dari angkutan umum tepat di depan Restoran tempatnya bekerja. Ia mencari uang pecahan lima ribu, kemudian memberikannya pada sopir angkot. Setelah memastikan dompetnya aman, Hanin menyebrangi jalan menuju sekolah tempat putrinya menuntut ilmu. Hampir setiap hari ia melakukan itu. Mengamati putrinya diam-diam dari kejauhan, hingga rasa rindunya pada sang putri bisa terobati.

Hanin melihat sebuah mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Anggun keluar dari sana lalu membukakan pintu untuk Arsilla.

Setelah memastikan Arsilla masuk, Anggun kembali menghampiri mobilnya, tetapi ia kurang waspada. Di saat Anggun membuka pintu mobil, seorang pengendara motor menarik tas yang ia slempangkan di bahunya, sehingga Anggun ikut tertarik ke belakang.

Hanin yang melihat itu refkeks berlari untuk menahan tubuh Anggun agar tidak terjatuh, tetapi sayang ia terlambat. Anggun ikut terseret beberapa meter karena berusaha mempertahankan tasnya, hingga akhirnya wanita itu jatuh tersungkur di aspal.

"Astaghfirullah, Mbak!"

Hanin gegas menghampiri Anggun yang berusaha bangun sambil meringis menahan sakit. Tak lupa ia meminta pertolongan pada orang sekitar agar mau membantunya membopong Anggun.

Beberapa orang berdatangan menghampiri dua wanita itu untuk membantu.

"Pak, tolong antar ke rumah sakit segera!" seru Hanin pada salah satu orang di sana.

"Pakai apa, Mbak?"

"Pakai mobil saya saja. Bapak bisa menyetir, 'kan?" Kali ini Anggun yang berbicara. Ia menunjuk mobilnya yang terparkir di depan gerbang sekolah.

"Bisa, Bu. Mari saya antar."

Beberapa orang membantu membawa Anggun ke mobilnya, termasuk Hanin yang masih mengkhawatirkan keadaan wanita itu.

Setengah jam perjalanan, mereka sampai di rumah sakit, dan langsung memanggil perawat agar membawa brankar untuk Anggun. Wanita itu digiring ke arah IGD oleh dua orang perawat dan Hanin yang masih mengekor di belakang.

"Mbak saudaranya?" tanya salah satu perawat.

"Bukan, Sus. Saya hanya kebetulan berada di tempat kejadian dan membawa Mbak itu ke sini."

"Silakan tunggu di luar dulu ya, Mbak. Kami akan melakukan penanganan pada pasien."

Hanin mengangguk, lalu duduk di kursi tunggu yang tidak jauh dari ruang IGD. Ia membuka tasnya untuk mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Tita bahwa kemungkinan dia akan telat masuk kerja.

Hanin masih fokus mengetik pesan saat tiba-tiba saja suara yang begitu ia hafal menegurnya.

"Mbak."

Hanin mendongak. Mata mereka kembali beradu tatap dengan riak keterkejutan yang sama kentara di antara keduanya.

Pria berstelan jas Dokter itu seketika memasang tampang tidak suka saat melihat siapa yang tengah duduk di hadapannya.

"Jadi, kamu yang menolong calon istri saya?"

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status