Share

Penderitaan Belum Berakhir

"Nin, tolong antarkan ke meja nomor lima, ya. Aku mau ke toilet sebentar."

Tita menyerahkan nampan berisi makanan pesanan salah satu pelanggan. Gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu memegangi perutnya yang terasa melilit.

Hanin mengambil nampan itu sambil tersenyum kecil melihat tingkah sahabatnya. Tadi pagi ia sudah memperingati Tita agar tidak menambahkan sambal yang terlalu banyak dalam bubur yang dimakan gadis itu. Akan tetapi Tita tetap memaksa dengan alasan kurang mantap kalau sambalnya hanya sedikit.

Hanin menghela napas kasar. Beruntung masih ada Tita yang bersedia memberinya tumpangan untuk sementara di rumah gadis itu. Hanin berjanji akan segera mencari kontrakan baru setelah ia mendapat gaji bulan ini.

Teringat pesanan yang harus ia bawa ke meja pelanggan, Hanin bergegas menuju meja nomor lima seperti yang disebutkan Tita.

Namun, wajah Hanin langsung pias saat melihat orang yang kini tengah menunggu pesanannya. Wanita itu tidak mengerti kenapa Bu Resti bisa berada di sini. Apa karena belum puas menuduhnya hingga berujung pengusiran?

Dengan memantapkan hati, Hanin menghampiri Bu Resti yang tengah berbincang dengan wanita yang seumuran dengannya.

"Ini pesanannya, Bu."

Wanita dengan tubuh tambun itu berbalik, lalu menatap Hanin dengan sinis.

"Ini, nih orangnya, Bu Dewi. Dia yang sudah menggoda suami saya semalam. Dia ini janda gatel yang dulu ngontrak di rumah milik Pak Suwitro. Dia memang sudah terkenal sering menggoda Bapak-Bapak di komplek kami," tutur Bu Resti dengam berapi-api. Suaranya yang cukup nyaring, tak ayal membuat pengunjung yang lain menoleh ke arah mereka.

"Lumayan cantik, sih. Tapi kalau jadi penggoda suami orang, rasanya jijik banget ya, Bu. Jangan-jangan dia dulu cerai sama suaminya karena ketahuan selingkuh," timpal Bi Dewi tak kalah nyaring. Kasak kusuk mulai terdengar di sekitar mereka. Hanin yang tidak ingin memperpanjang masalah, gegas menyimpan pesanan mereka ke atas meja, tetapi tangan Bu Resti sengaja menyenggolnya sampai minuman yang sedang Hanin pegang, tumpah mengenai baju Bu Dewi.

"Hei, pelayan k*rang ajar! Lihat baju mahal saya jadi kotor!" teriak Bu Dewi dengan lantang.

"Maaf, Ibu, saya tidak sengaja. Tadi tangan Bu Resti yang menyenggol minuman itu," jelas Hanin dengan gugup. Ia mengambil selembar tisu berniat membersihkan pakaian Bu Dewi yang terkena noda. Akan tetapi dengan cepat tangan Hanin ditepisnya.

"Jangan pegang-pegang baju saya dengan tangan kotor kamu itu!" pekik Bu Dewi.

"Saya hanya bermaksud membantu membersihkan nodanya, Bu."

"Tidak perlu! Hei, di mana atasanmu? Saya harus melaporkan pelayan tidak becus seperti kamu!" teriaknya.

"Bu, saya minta maaf atas keteledoran saya. Jangan melaporkan saya ke atasan, saya mohon." Hanin menangkupan kedua tangannya di depan dada. Ia berharap Bu Dewi mau mengurungkan niat agar tidak melaporkan kejadian itu pada atasannya.

"Enak saja minta maaf! Memangnya kalau saya suruh ganti, kamu bisa? Ini baju mahal lho, gaji kamu sebulan tidak akan cukup untuk menggantinya!"

Wanita yang memakai banyak perhiasan itu menunjuk Hanin tepat di depan wajahnya. Matanya berkeliling mencari pelayan lain yang bisa ia perintah.

"Hei, kamu! Kemarilah"

Salah satu pelayan yang kebetulan tengah menyaksikan kejadian itu, bergegas menghampiri Bu Dewi.

"Cepat panggil atasan kamu, saya ingin bicara dengan dia!"

Pelayan itu mengangguk, kemudian setengah berlari menuju ke ruangan atasannya.

Tak berselang lama, seorang pria yang masih cukup muda menghampiri meja tempat terjadinya keributan.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ucapnya begitu sampai di depan Bu Dewi.

"Saya ingin melaporkan salah satu pekerja Anda yang tidak becus! Dia sengaja menumpahkan minuman ke baju saya. Pokoknya saya tidak mau tahu, pelayan ini harus diberi hukuman kalau perlu dipecat saja!"

"Pak, Demi Allah, saya tidak melakukannya dengan sengaja," ujar Hanin dengan memelas. Air matanya sudah mengalir deras.

"Bu, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Saya minta maaf atas kecerobohan pekerja saya," ujar pria yang menjadi atasan Hanin.

Bu Dewi mendengus kasar seraya menggelengkan kepala. "Tidak bisa. Pokoknya dia harus diberi hukuman atau dipecat. Kalau tidak, saya akan menyebarkan kejadian ini agar orang-orang berpikir dua kali untuk makan di sini. Bapak juga tidak mau, 'kan, hanya karena mempertahankan pelayan ini, Restoran Bapak jadi sepi?" ancam Bu Dewi. Ia yakin pria ini tidak akan mengambil resiko dengan tetap mempertahankan Hanin.

Pria itu terlihat berpikir sejenak, lalu menatap Hanin yang juga tengah menatapnya penuh harap.

Bahu Hanin terkulai lemas saat melihat pria yang menjadi atasannya menggelengkan kepala.

"Maaf, Hanin. Saya harus mengambil keputusan ini. Saya tidak ingin mengambil resiko, apa lagi kamu tahu, Restoran kita mulai sepi pengunjung sejak pandemi. Dengan berat hati saya harus memberhentikan kamu," tutur pria itu.

Hanin memejamkan mata. Ia sudah menduga keputusan ini yang akan diambil oleh atasannya. Namun, dia bisa apa? Hanin sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri.

"Baik, Pak, saya terima keputusan Bapak," ucap Hanin dengan pasrah.

"Sebelum pergi, kamu ke ruangan saya dulu. Ambil gaji kamu bulan ini." Pria itu beralih pada Bu Dewi yang sejak tadi memasang senyum kemenangan.

"Sekali lagi maaf atas keteledoran pegawai saya, Bu. Silakan dilanjutkan menikmati hidangannya."

Pria itu pun kembali ke ruangannya, diikuti Hanin yang berjalan dengan lesu.

Bu Dewi melirik Bu Resti yang sedari tadi diam aja. Kedua perempuan itu saling melempar senyum penuh arti. Mereka merasa puas karena rencana keduanya berjalan dengan lancar.

🌺🌺🌺🌺

Hanin melangkah gontai keluar dari ruangan atasannya. Ia menghampiri Tita yang sudah menunggu dengan cemas. Gadis itu merasa prihatin dengan nasib Hanin yang selalu ditimpa kesialan. Tita berjalan mendekat, lalu memeluk tubuh Hanin yang kini terisak dalam rengkuhannya.

"Yang sabar ya, Nin. Aku yakin kamu wanita kuat," ujarnya seraya mengelus punggung sang sahabat.

"Makasih, Ta. Cuma kamu satu-satunya orang yang masih percaya sama aku."

Tita mengurai pelukan, kemudian mengusap air mata yang mengalir di pipi sahabatnya.

"Pulanglah ke rumahku dan istirahatlah di sana."

Hanin mengangguk. "Aku pulang duluan, ya."

Tita memandang kepergian Hanin seraya menitikkan air mata. Merasa iba akan nasib sang sahabat yang selalu bergelut dengan penderitaan.

Sekali lagi, Hanin menatap sekeliling tempat di mana selama ini ia mengais rezeki. Ia tidak menyangka kejadian buruk akan menimpanya bertubi-tubi. Kadang tersirat tanya dalam benak wanita berusia tiga puluh tahun itu. Apakah ia tidak pantas bahagia? Bahkan saat rumah tangganya dengan Adam yang begitu harmonis, harus kandas karena ....

Cepat ia menggelengkan kepalanya. Tidak ingin mengingat kejadian yang membuatnya diliputi rasa bersalah sampai saat ini.

Hanin menarik napas panjang sebelum keluar dari Restoran itu. Kakinya melangkah cepat keluar dari sana. Tepat di pintu masuk, seorang wanita yang begitu Hanin kenal berjalan cepat diikuti Adam di belakangnya.

"Mbak, tunggu sebentar!" serunya.

Hanin terpaksa berhenti. "Mbak panggil saya?"

"Iya." Anggun bergegas menghampiri Hanin.

"Ada apa ya, Mbak?"

"Saya sengaja datang ke sini untuk menemui, Mbak. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongannya kemarin," ujar Anggun dengan senyuman.

Hanin melirik sekilas ke arah Adam yang masih bergeming memperhatikan keduanya. "Sama-sama, Mbak. Saya hanya kebetulan sedang berada di tempat kejadian," tutur Hanin membalas senyuman Anggun.

"Mbak mau ke mana? Bukannya Mbak kerja di sini?" Anggun melirik ke arah tas yang dislempangkan Hanin di bahunya. Wanita itu merasa heran karena seharusnya Hanin berada di dalam, karena ini sedang jam makan siang.

"Saya mau pulang," lirih Hanin.

"Pulang? Bukannya--"

"Saya sudah diberhentikan, Mbak."

Riak keterkejutan tercetak jelas di wajah Anggun. "Dipecat? Tapi kenapa?"

"Ada sedikit salah paham, tapi tidak apa, mungkin sudah bukan rezeki saya," timpal Hanin.

Anggun menatap wanita di depannya dengan kasihan. Ia yakin Hanin wanita baik meskipun ia baru mengenalnya. Anggun melirik ke arah Adam yang juga tengah menatapnya.

"Mas, bukannya kamu membutuhkan seorang asisten rumah tangga? Bagaimana kalau Mbak ini saja yang menggantikan Mbok Asih," ujar Anggun penuh harap.

Adam sedikit tersentak. Ia tidak menyangka kalau Anggun akan memberinya saran seperti itu. Hanin pun tak kalah terkejut, ia menggelengkan kepala dengan cepat.

"Tapi--"

"Mbak, jaman sekarang mencari pekerjaan itu susah. Sebelum Mbak mendapatkan pekerjaan yang lain, untuk sementara Mbak bisa bekerja di rumah calon suami saya," bujuk Anggun. Wanita itu kembali menatap Adam. "Iya, kan, Mas?"

Adam terdiam sesaat, kemudian menganggukkan kepalanya. Pria itu tidak bisa menolak keinginan Anggun karena tidak ingin calon istrinya curiga.

"Bagaimana, Mbak? Calon suami saya sudah setuju."

Hanin berpikir sejenak. Andai ia menolak, dirinya tidak tahu harus mencari pekerjaan di mana. Akan tetapi jika menerima, akankah ia sanggup kembali tinggal satu atap dengan sang mantan suami?

Namun, Hanin tidak punya pilihan lain. Biarlah, toh dia dengan Adam sudah tidak terikat apa pun lagi. Di sisi lain, Hanin pun merasa senang karena bisa berdekatan dengan Arsilla setiap hari.

"Baiklah, saya setuju."

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
ga seru ah ,jdi aneh cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status