“Kau punya sopan santun apa tidak?” ejek Bram kepadanya. Bram mengambil dokumen yang sudah di dapatkan oleh Mike. “Sudah tahu aku sedang berbincang, kau bisa sabar atau tidak,” geram Bram kepada Mike.“Laporan ini bukan?” ejek Mike.Bram membuka laporan tahun 2009 tersebut, ia membacanya sekilas. “Ini dia,” kata Bram yang akhirnya mengetahui Kevin. “Garry, ini coba kau perhatikan. Dia ini laki-laki yang sama yang pernah datang 13 tahun yang lalu,” katanya yang menyerahkan dokumen itu.Garry membaca hasil penyidikan tersebut, ia membolak balik dokumen yang sudah menguning tersrebut. “Bagaimana ia bisa melakukan hal yang sama?” Wajahnya menunjukkan bahwa ia juga mengetahui bahwa ada yang ganjal.“Aku tak tahu tapi ini harus di selidiki lebih jauh,” ucap Bram.Mike hanya bisa mendengar ucapan mereka. “Apa yang harus aku lakukan, Capt?” tanya Mike yang terbengong dengan ucapan mereka berdua.Bram menendang tulang kering milik Mike. “Kau ini polisi! Jika kau melihat situasi yang seperti in
Mike meninggalkan rumah sakit dengan segera mungkin, ia tidak percaya apa yang di dengarnya sendiri tanpa berbasa basi lagi Mike menuju lokasi dimana terjadinya pemerkosaan berlangsung pada waktu tersebut.Mike menyusul bersama dengan temannya, Edi yang ia pinta untuk ke studio tersebut. Sedangkan satu petugas lagi mengurus bagian dokumentasi di lokasi kejadian. Mobil Mike menderu di jalanan yang penuh dengan lalu lalang mobil.Mike segera sampai di studio tersebut. Di ambang pintu Studio, Edi berdiri dengan tatapan iba kepada Mike. “Terlambat,” ucapnya yang memberitahu.“Apanya yang terlambat? Aku tahu kau yang paling bisa menemukan hal yang tak terduga, pasti ada yang aneh bukan,” celetuk Mike yang sudah menduga bahwa hal itu memang di sengaja.“Ya aku menyadari sesuatu. Itu murni bukan hanya pemerkosaan saja, ada kekerasan pula.” Hati Mike mencelos mendengar ucapan temannya sendiri. “Apa yang akan kau lakukan, Mike?”“Aku akan memberitahu temanku.” Mike masuk ke dalam studio terse
“Kau ini benar-benar memalukan! Kalau mau makan jangan pakai uang suamiku, pakai uangmu!” teriak kesal Anita.“Dia belum bekerja, apa salahnya jika kita yang melakukannya untuk dirinya,” balas Heru.Napas Anita berburu melihat Sandra yang asyik menikmati makanan yang di belikan oleh Heru, ia menampar Sandra di depan Heru. “Jika kau mau makan bekerja, jangan seenaknya saja kau hanya menumpang tinggal di sini,” oceh Anita.Sandra sudah berusaha untuk menahannya, ia sudah menganggap bibinya sendiri keterlaluan. Sandra mendongak menghadapi ancaman bibinya sendiri. “Apakah bibi pernah berada di posisiku?” balas Sandra.Anita melihat dengan kesal kepada keponakannya tersebut. “Sejak kapan kau berani seperti ini?” oceh Anita.“Kalau bibi bisa menjadi seperti diriku, aku ajak supaya kita bisa bertukar posisi,” geram marah Sandra.Wajah Anita mengeras, ia mengepalkan kedua tangannya namun ia sendiri juga tidak bisa berkutik, ketika kata-kata tersebut menghantam kepada dirinya, Anita sadar bahw
Melihat kehadiran tamu di rumahnya membuat Diana, Ibu dari Tania terkejut. “Siapa mereka?” tanya Diana dengan ketus.Tania sudah tak bisa berkutik lagi, ia tahu bahwa setidaknya dengan membawa orang kerumah sudah menjadi ranah Ibunya. “Mereka temanku, mereka hanya akan bermain,” jawab Tania dengan tertunduk.“Yakin hanya dengan bermain?” tanya Diana dengan tampang galak.“Pasti.” Mendengar jawaban Tania membuat raut wajah Kevin dan Sandra berubah pupus sudah harapan mereka bisa membuat Tania untuk menampung Sandra sementara waktu. Tania memandang kepada mereka berdua yang seakan bukan jawaban itu.“Ibu, akan masuk dulu, jika sudah selesai kalian bisa pulang,” cetus dengan nada kesal. Diana melenggang masuk ke dalam rumahnya, sementara supirnya membunyikan klakson beberapa kali.Kevin, Sandra dan Tania mau tidak mau harus mundur terlebih dahulu untuk membiarkan mobil bermeres Alphard tersebut masuk ke dalam rumah bergaya klasik tersebut. Tania menyikut Sandra. “Kenapa ke sini?” sergah
Sandra pernah ingat bahwa ayahnya memiliki teman masa kecil hingga sekarang. “Sa…Sandra? Kau anak Sandra anaknya Thoni?” celetuk Agus yang menahan rasa rindunya.“Paman!” teriak Sandra senang, air matanya membuncah membasahi pipi Sandra. Sandra berlari masuk ke dalam, ia memeluknya di depan para karyawan perusahaan tersebut. “Aku merindukan paman,” ucap Sandra.Agus memeluk Sandra, anak sahabatnya sendiri. “Kau kemana saja selama ini? Aku mencarimu, bagaimana keadaanmu setelah ayahmu tiada?” rasa rindu membuncah Agus.Beberapa petinggi lainnya juga terkejut bahwa selama ini Agus berusaha mencari Sandra yang berada di depan mereka. Terutama Kevin tidak percaya, bahwa Sandra merupakan anak sahabat dari Agus sendiri.Bibir Sandra bergetar ia tak menyangka bahwa ia akhirnya bertemu kembali dengan teman ayahnya yang merupakan ayah baptisnya sendiri. “Nanti saja aku ceritakan.” Sandra menghapus air matanya sendiri.“Duduklah,” pinta Agus. Sandra duduk atas permintaan pamannya sendiri, ia b
Mobil Agus perlahan sudah hendak sampai di daerah kawasan, ia sendiri juga sebenarnya tidak tahu dimana Kevin tinggal namun ia berharap Kevin bisa memberikan alamat rumahnya. “Rumahmu dimana?” Agus mempertanyakan rumah Kevin.“Tak jauh dari sini nanti belok ke kiri,” ucap Kevin yang mengarahkan jalan kepada supir Agus.Supir Agus yang mendengarnya melajukan mobilnya kearah kawasan rumah elite, melihat kawasan tersebut Agus sudah bisa menduga bahwa setidaknya Kevin merupakan anak yang bisa di percaya. “Kau mau turun dimana?” tanya Agus kepada Kevin.“Di depan saja, aku akan jalan kaki,” jawab Kevin.Agus merasa tak enak akan jawaban dari permintaannya tersebut, di dalam hatinya jelas ia ingin menolongnya lagi. “Kau tak masalah?” tanya ulang Agus. “Ya aku tak masalah, aku sudah biasa,” sahut Kevin.“Maaf merepotkan dirimu,” kata Agus meminta maaf.Kevin terdiam sejenak, ia juga ingin mengetahui keberadaan motornya sendiri. “Maaf, tapi bagaimana dengan motorku? Apa Pak Tan tahu rumahk
Malam itu Sandra memutuskan untuk segera tidur, ia sendiri berusaha untuk tidak memikirkan telepon yang baru saja membuatnya hampir pupus harapan. Dengan segera dirinya membaringkan tubuhnya di kasur yang empuk untuk bisa melupakan hal tersebut.Sandra yang sudah merasa tenang terbangun dengan suasana hati yang bagus, ia berusaha untuk melihat jam yang tertera di telepon pintarnya sendiri. Hari itu jelas-jelas ia tersenyum senang, seperti sehangat matahari yang menyambutnya.Sandra bangun menatap langit di atasnya, ia bersiap-siap untuk menuju kantor yang akan menerimanya dalam bekerja, ia paham bahwa setidaknya hari ini ia bisa membuka lembaran baru kehidupannya.Dengan langkah mantap Sandra menyiapkan apa yang akan dia perlukan, ia keluar dari dalam rumah susun kecilnya tersebut untuk bisa melakukan interview tersebut. Dengan langkah gontai Sandra turun, ia melihat sekitar jalanan yang tak jauh dari rumahnya tersebut.Kaki Sandra melangkah berjalan menuju perusahaan yang sudah membu
Belum lama ia keluar dari gedung tinggi tersebut, ia teringat bahwa setidaknya membutuhkan tambahan kartu yang hanya ada pada Tania. Dengan segera Sandra mengeluarkan telepon pintarnya dari dalam tas miliknya sendiri.Saking paniknya, Sandra dengan segera menelepon Tania. Beruntung jika Tania menerima panggilannya tersebut. “Ada apa?” pekik Tania.“Kau dimana?” tanya balik Sandra.“Aku sudah pasti ada di kantor, memangnya ada apa?”“Boleh aku pinjam kartu kreditmu? Ada yang harus aku urus!” pekik Sandra yang sedang berlari.Mendengar permintaan Sandra membuat Tania ingat jika dia memerlukan kartu kredit artinya ia akan ke Rumah Sakit. “Kau mau ke rumah sakit lagi?” sergah Tania dengan segera mungkin.“Iya, makanya aku butuh bantuanmu,” kata Sandra dengan mata nyalang melihat kendaraan silih berganti. Bunyi lalu lintas membuat pembicaraan mereka jelas tersamarkan sehingga ia harus sedikit berteriak.“Baiklah. Kau datang saja ke kantorku,” timpal Tania yang menjawabnya dengan segera mun