Jam terus bergulir Kevin kembali melakukan pekerjaannya sebagai koki, ia juga menyapa dan menegur staff yang dia berikan penjelasan. Tiba akhirnya pukul 18.00 seperti biasa Kevin memerintahkan anak buahnya untuk seperti biasa melayani pelanggan.
Sementara Kevin bersiap-siap untuk pergi meninggalkan restaurant tersebut. “Kalau ada apa-apa kalian bisa panggil aku,” seru Kevin kepada salah satu anak buahnya itu.
“Baik, Pak,” jawab staff Kevin.
Suara pintu terbuka Kevin keluar dari restaurant miliknya sendiri, ia menstarter motor kesayangannya tersebut. Dia pergi meninggalkan restaurant tersebut menuju tempat pertemuan yang telah di tentukan.
Anita yang baru saja pulang melihat banyak sekali makanan di atas mejanya. “Kau membeli ini semuanya?” tanyanya yang berusaha mencari tahu.
“Ya, kenapa memangnya?” telisiknya, “Tak perlu memasak, tadi siang aku bertemu dengan teman-temanku lalu aku membelinya karena enak,” ucapnya yang memberitahu.
“Sejak kapan kau---.” Anita terhenti ketika mencium babi hong yang menjadi kesukaannya. “Wangi sekali,” celetuknya.
“Hahahah, sudah aku bilang, aku saja ketagihan,” celotehnya.
“Kau beli dimana?” tanyanya yang mencari tahu.
“Tak jauh dari rumah kita hanya sekitar empat puluh menit dari sini,” ucapnya memberitahu.
Anita berusaha menebak restaurant yang di maksud oleh suaminya itu. “Oohh, restaurant china itu?” terkanya.
“Benar, aku beli di sana,” katanya yang membenarkan, “Jangan lupa bangunkan Sandra sepertinya dia baru saja melamar pekerjaan,” imbuhnya.
Mendengar nama Sandra di sebutkan Anita memonyongkan bibirnya sendiri. “Anak itu lagi, kenapa sih kau selalu membelanya? Terlalu dimanja,” katanya sirik.
“Begitu-begitu keponakanmu juga,” tukasnya. “Anggaplah dia anakmu, jangan keras kepala,” usulnya.
Anita yang mendengarnya seakan harus menerima kenyataan bahwa Sandra sendiri harus ia tamping. “Entahlah,” sungut Anita seraya merapihkan tempat makanan yang di bawa suaminya sendiri.
Heru tahu bahwa Anita masih belum bias menerima Sandra di rumahnya walau sudah hamper satu tahun mereka menampungnya. “Kita bahas nanti, aku mau keluar dulu,” katanya memberitahu.
“Kau mau kemana?” desaknya yang seakan mengecek aktifitas suaminya sendiri.
“Aku hanya menemui teman Sandra waktu itu,” jawabnya yang memberitahu.
“Jangan lama-lama,” pintanya.
Heru keluar dari rumah, ia turun untuk segera menemui Kevin di salah satu café dekat rumahnya itu. Beberapa petugas apartemen yang mengenal Heru turun, menyapanya ketika ia lewat di sekitar mereka .
Heru berjalan dengan santai menuju lokasi pertemuan mereka, sesampainya Heru sudah bisa melihat Kevin yang duduk sembari menikmati minumannya tersebut. “Kau sudah datang,” sapanya.
Kevin terkejut melihat Heru yang sudah menyapanya. “Ya aku sengaja datang lebih awal,” ucapnya yang memberitahu kepada Heru.
Heru tak bisa membayangkan bagaimana akhirnya Sandra bisa bertemu kembali dengan Kevin, ia menepuk pundak Kevin. “Tunggulah,” sahutnya yang memberitahu.
Kevin menganggukan kepalanya setuju, ia menunggu Heru yang memesan minumannya tersebut. Heru kembali dengan membawa secangkir kopi hitam favoritnya, ia menyesap kopi itu.
Kevin sendiri bingung mau memulai segalanya dari mana, ia sudah tidak pernah bertemu dengan Sandra namun ketika bertemunya seakan Sandra memiliki segudang masalah. “Se…sebenarnya apa yang terjadi, paman?” tanya Kevin tanpa berusaha melukai perasannya.
Heru menatap mata Kevin. “Kau benar-benar mencintainya?” tanya Heru yang meragukan Kevin.
Kevin sedikit salah tingkah, ia mengaruk tengkuknya sendiri. “Aku harus memulainya terlebih dahulu, baru aku bisa menentukannya, paman,” sergah Kevin.
Perlahan-lahan Heru terus menyesap kopi pahitnya itu, ia seakan berusaha menemukan kata yang tepat untuk di lontarkan mengenai kondisi Sandra yang terjadi. “Sandra sudah terlalu banyak mengalami hal buruk,” jelas Heru dengan perlahan.
“Tania pernah memberitahuku,” celetuk Kevin yang ingat akan perkataan Tania.
Heru menghela nafasnya, seakan hal berat itu bisa ia bagi dengan Kevin. Heru akhirnya mulai menjelaskan kondisi Sandra yang sebenarnya di mulai dari ketika ayahnya meninggal hingga percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan Sandra di dalam kamar jika Heru tidak memergokinya. “Lebih tepatnya dia shock,” jelas Heru.
“Apa yang harus aku lakukan? Jika, seperti itu terus, dia bisa gila,” tebaknya.
“Betul dia bisa gila jika aku tidak menemukannya waktu itu. Psikis dan psikologinya terganggu, aku pernah membawanya ke rumah sakit untuk memeriksanya, aku berusaha untuk memulihkannya namun sepertinya tak bisa,” paparnya.
“Lalu, apa yang terjadi paman?” cecar Kevin.
Mata mereka kembali bertemu, Heru membasahi bibirnya. “Dokter sempat mengorek mengenai masa sekolahnya, namun Sandra tidak menjawab, ia malah histeris, entah apa yang terjadi, ia seperti menutupinya dari kami semuanya di tambah dengan Istriku, Anita, yang tidak menyukainya, ia semakin stress,” jelas Heru sekali lagi.
Kevin mulai paham dengan kondisi Sandra yang tiba-tiba berubah menjadi pemurung, ia ingat sekali bahwa Sandra adalah anak yang riang bahkan ia tidak akan memikirkan apa yang terjadi kepadanya. “Aku paham, paman, aku mencobanya,” jawab Kevin.
“Aku harap kau bisa benar-benar mencintainya, jangan sakiti dia lagi,” ucap Heru dengan tegas.
“Aku akan mencoba mencari tahu apa yang terjadi ketika di sekolahnya,” jelas Kevin.
Mendengar ucapan itu, Heru ragu Sandra akan memberitahunya. “Jangan dulu. Hal itu sangat sensitif bagi dirinya, aku takutnya kau tidak bisa mengatasi apa yang terjadi dengannya jika kau menyinggung hal itu,” larang Heru.
Kevin mendongakkan kepalanya ia ingat pertemuan mereka kacau akibat lontaran kasar dirinya kepada Sandra, ia sendiri juga tidak mengatasinya seorang diri. “Akan aku urungkan,” kata Kevin yang menyinggungkan senyumnya.
“Aku harap, lakukan pendekatan dengan cara aman, jika kau sudah mengetahui yang terjadi.” Heru berhenti seakan Kevin dapat memahaminya. “Apa kau siap untuk mencintai Sandra seutuhnya?” sambung Heru.
Kevin terdiam mendengar lontarakn Heru kepadanya, Heru menunggu jawaban Kevin. “Psikis dan psikologi hancur, aku tak tahu apa yang terjadi, ia perlu memulihkan dirinya,” imbuh Heru.
Kevin merapatkan kedua bibirnya. “Aku siap, paman,” jawab Kevin dengan mantap.
Heru memberikan senyum kecil kepadanya. “Berjuanglah.” Heru bangkit dan meninggalkan Kevin.
Penjelasan Heru yang singkat itu cukup membuat Kevin menjadi lebih sadar akan masa muda Sandra yang sedikit hancur, ia sudah siap dengan segala resikonya, ia akan maju apapun yang terjadi. - Bersambung -
Di tunggu terus kelanjutannya.
Mendengar perkataan Bram membuat hati Kevin bergetar, ia akhirnya juga menguatkan hatinya untuk bisa tegar dalam menghadapi masalahnya satu per satu. Kevin akhirnya bergegas untuk melakukan hal yang bisa ia lakukan pada saat itu juga.Kaki Kevin berlari meninggalkan kantor kepolisian dan menuju rumah sakit. Kevin mencegah taksi yang lewat tengah malam tersebut dan memintanya untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit.Kring..Kring…Handphone yang ia bawa selama kurang lebih dua jam tidak berbunyi pada akhirnya berbunyi juga. Kevin mengambil handphonenya dan melihat layar LCD, di tangkapan layar ia bisa melihat bahwa Lia menghubunginya. “Halo,” sapa Kevin.“Hei, dimana?”“Aku dalam perjalanan,” ucapnya.Lia melihat kepada ayahnya yang meminta untuk menelepon Kevin. Lia sendiri mengigit bibirnya ragu untuk memberitahu kepada kakaknya sendiri sementara Aditya berusaha membujuk Lia untuk memintanya datang.Lia sendiri tidak bisa berkata-kata lagi. Sementara di ujung telepon Kevin sudah hen
Johana yang sedikit lega dengan pemberitahuan mereka berdua dengan mantap masuk bersama ke dalam kantor kepolisian. Erick yang di tugaskan kembali ke TKP, akhirnya memberanikan diri untuk menyerahkan bukti.Erick yang baru pertama kali bertemu dengan Johana, tergagap bahkan ia sendiri salah tingkah. “Aku baru dari TKP. Kami meminta salinan sebagai bukti,” cakapnya berbasa-basi. “Kau bisa melihatnya di atas,” senyum Erick.Johana yang mendengarnya melongo. “Woah. Kerja bagus. Mana?” tanya Johana sembari memuji tindakan Erick.“Akan aku berikan diatas, jika disini bisa saja nantinya dikira hal apa,” cetusnya.“Baiklah.”Johana, Erick dan Kevin masuk ke dalam ruangan yang dapat mereka akses masuk ke dalam ruangan secara leluasa. Erick sendiri bahkan memberikan jalan terlebih dahulu kepada Johana.Kevin merasa aneh dengan sikap Erick yang seolah-olah baru saja jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan Erick juga mengarahkan jalan kepada Johana. “Lewat sini,” cakapnya. Johana dan Kevin me
Heru yang sudah tahu kebiasaan Sandra akhirnya menerobos masuk di ikuti dengan Anita dan Agus bahkan di susul Tania. “Kau ini! Kenapa sih tidak pernah memberitahu aku? Sudah aku bilang, anggap aku ayahmu,” ceramahnya.Heru membuka selimut Sandra yang menutupi dirinya tersebut. “Bagaimana, Paman, menemukanku?” cakapnya yang memberengut kesal kepada pamannya sendiri.Tak!Heru saking kesalnya akhirnya menjitak kepala keponakannya sendiri. “Argh, sakit,” erang Sandra. Lia yang melihatnya tertawa kecil, ia tahu bahwa perbuatan Sandra barusan di balas oleh pamannya sendiri.Lia perlahan keluar bersama dengan ayahnya membiarkan mereka untuk ikut ambil bagian. Dari luar pintu Lia menutup pintu tersebut secara perlahan. Aditya yang sudah berumur memandang putrinya yang masih memegang di sampingnya.Dari kejauhan mulai terdengar derap langkah kaki yang berlarian di selasar ruangan menuju ruangan Sandra di rawat. “Pak Ketua, Anda kemana saja?” tanya suster kepala yang memegang kening kepalanya
Mereka yang memandangi tidak tahu lagi suasan jelas menengangkan. “Ada apa?” tanya Kevin yang mencairkan suasana di ruangan.Dokter tersebut enggan untuk memberitahunya, ia juga tidak tega harus mengatakannya. Dokter tersebut menatap lama kepada Kevin dan bergantian ke sekeliling ruangan. “Katakan saja,” desak Kevin yang tidak sabaran.Bram sendiri mengernyitkan dahinya, ia juga belum memahami situasi yang terjadi. Dirinya baru mendengar dari Kevin. “Sebenarnya apa yang terjadi?” ucap Bram yang membutuhkan klarifikasi kepada Kevin.Kevin menelan salivnya. “Pak Bram, kami sebenarnya sedang menyelidiki suntikan apa yang di berikan oleh ibuku. Dan, aku tidak tahu bahwa hasilnya akan secepat yang tidak aku pikirkan,” oceh Kevin dengan sendirinya.“Jadi kau berusaha menyelidikinya?” tanya balik Bram.“Ya.”Bram menatap kepada dokter tersebut. “Katakan saja apa isi dari suntikan yang di berikan si ‘viper’,” ejek Bram yang melirik kepada Indy.“Kalian tidak apa-apa jika aku memberitahunya?”
Dengan tegap dan mantap Kevin akhirnya menuju pos keamanan bersama dengan Felix,. Baik Kevin dan Felix berjalan hingga langkah kaki tersebut sampai di depan pos keamanan. Beberapa kali Felix mengetuk pintu untuk mengunjungi penjahat yang akhirnya tertangkap basah.Clek!Petugas keamanan membukakan pintu, ia memberi salam kepada Felix. “Permisi, Pak,” balas sapa Felix. “Boleh masuk?” tanyanya dengan sopan.“Silakan,” sahutnya yang memberikan jawaban kepada Felix.Felix dan Kevin masuk melangkah ke dalam kantor keamanan rumah sakit. Dari kejauhan Kevin sudah bisa melihat bahwa ibunya sudah ada di dalam kantor keamanan. Kevin menyenggol Felix untuk menanyakannya. “Sudah berapa lama ibuku di sini?” tanya Kevin.Felix terdiam sejenak memikirkan setelah kejadian yang terjadi di ruangan, ia bergumam, “Mungkin hampir dua jam,” jawabnya memberi tahu.Kevin meringsek maju ke depan berupaya untuk melihat kondisi Ibunya sendiri yang sudah mulai menatap dirinya. Kevin berjongkong di hadapan Ibunya
Kevin yang mengamuk akhirnya hanya bisa keluar dari kantor polisi. Bram mengejarnya untuk bisa menenangkan Kevin. “Kevin!” panggil Bram namun Kevin tidak menggubrisnya.Sekali lagi Bram mencegah kegilaan Kevin, kakinya berderap mendekati Kevin. “Hei! Tatap aku!” kesal Bram.Dengan marah Kevin menyentak tangan Bram yang memegangnya. “Apa lagi?” tanya Kevin dengan setengah berteriak.“Apa yang akan kau lakukan? Kau memikirkannya secara matang, Kevin,” ucapnya.Kevin terhenyak perkataan Bram ada benarnya ia harus memikirkan semua rencananya harus dengan matang-matang jika tidak ibunya sendiri tidak akan tertangkap dan akan terus menerus lepas kendali sama seperti ular yang dengan mudahnya lepas dari toples jika tidak di ikat dengan kencang.Perumpaan yang di katakan oleh Bram ketika mereka bertemu jelas membuat Kevin teringat. Ibunya saat ini sudah seperti ular yang lepas dari toples. “Aku marah kepada diriku.” Cakap Kevin.“Lalu, apa hubungannya dengan kasusmu?” tanya Bram kepada Kevin.
Dengan perlahan Kevin mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan direktur rumah sakit. Dari dalam ruangan terdengar suara sapaan yang tidak asing di telinganya yang meminta untuk masuk. Perasaan gugup bercampur dengan ketakutan menusuk hati di dalam hati Kevin.Tring!Suara pintu terbuka Kevin melangkah masuk ke dalam dengan perasaan bercampur, ia tidak yakin sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya. Kehidupannya sudah hancur berkeping-keping dengan masalah keluarga dari pihak ibunya sendiri.Kevin bisa melihat pamannya sendiri dan Bram yang menunggunya. “Duduk,” pinta Bram. Kevin tak lagi bisa berkutik, ia menuruti perintah Bram ketika menyadari bahwa Frederick berusaha untuk meledeknya.Frederick yang masih dalam pengaruh obat terlarang tertawa kecil, ia seperti kegirangan melihat keponakannya berada di depannya. “Hai, keponakanku,” kekeh Frederick. Kevin hampir saja menjotos laki-laki paruh baya tersebut jika Bram tidak mencegahnya.“Kalau bukan karena Bram, aku sudah memukulmu hin
Kevin yang setelah mendengar berita bahwa pamannya di tangkap oleh Bram dengan segera menuju rumah sakit untuk meminta keterangannya dan bagaimana ia bisa menangkapnya secepat mungkin.Miranti hanya bisa melihat kelakuan Kevin sembari tertawa kecil beberapa kali hingga membuat Kevin salah tingkah. “Tante, sudahlah,” rajuk Kevin.“Tante, tidak tertawa namun tante tertawa akan sikapmu yang masih sama seperti dahulu,” kenang Miranti yang masih ingat akan kenangan lama itu.“Pak, tolong percepat,” kilah Kevin.Supir taksi dengan segera menancapkan gasnya, ia berfokus ke jalanan yang tengah hampir padat menuju kantor kepolisian. Jarak tempuh yang harus di lalui mereka tidak memakan waktu cukup lama.Baik Kevin dan Miranti hanya bisa bertahan di tengah jalanan yang padat dengan harapan bahwa setidaknya pihak kepolisian menahan Frederick. Mereka yang sudah ketakutan hanya menunggu dengan cemas memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.Hingga akhirnya mereka semua sampai di depan rumah sa
Bram menyeringai lebar melihat Ferdiansyah yang tertangkap. “Kau ingin kabur tapi tidak melihat tempatnya. Bagaimana bisa kau lolos dari gedung ini?” tanyanya dengan cengegesan.Ferdiansyah tidak bisa berkutik lagi. “Ya. Itu salahku karena aku tidak melihat tempatnya bahwa aku ada di gedung ini,” katanya yang menghela napas secara kasar.Bram melihat kepada masing-masing petugas yang menangkapnya. “Dia mencuri apa?” tanya Bram kepada salah satu petugas.“Dia mencuri obat-obat milik rumah sakit,” ulangnya lagi dengan nada kesal.“Maksudku jenisnya. Maaf,” kata Bram yang mengklarifikasi pertanyaannya kepada mereka. “Apa sudah di cari tahu?” sambung Bram.“Kami sedang mencari tahunya jenis obat apa yang di curinya,”“Baiklah.” Ferdiansyah yang tertangkap basah akhirnya hanya bisa berdiam diri bahkan lidahnya kelu. “Bawa dia ke ruang interogasi satu,” lanjut Bram yang memberikan perintah kepada petugas polisi.“Baik, Pak,” jawab mereka. Kedua petugas tersebut akhirnya membawa Ferdiansya