Share

Bab 6

Aisyah pergi meninggalkan Haikal dan Sintya, untuk membaca surat yang ia terima, entah dari siapa. Dan mencari sosok Aydan yang tak tiba-tiba tak tampak batang hidungnya. 

"Ada perlu apa kamu di sini?" Seseorang tiba-tiba berdiri di samping Aisyah berucap dengan nada rendah, dan terdengar menghakiminya. 

Aisyah menoleh ke arah laki-laki setengah baya, kedua tangan yang dimasukkan dalam saku celana.

"Pak Wijaya?!" Aisyah sedikit terkejut mendapati Ayah Haikal  yang berdiri di sampingnya. Pergi meninggalkan satu masalah, tapi justru sepertinya ia akan dapat masalah baru, dengan bertemu Pak Wijaya.

"Perempuan tak tahu diri. Bukan aku sudah memperingatkanmu untuk menjauhi anak ku!" Pak Wijaya fokus menatap ke arah depan. Sepertinya enggan melihat Aisyah. Nada bicaranya lirih namun penuh penekanan. "Apa kamu yakin untuk kehilangan pekerjaanmu?"

Entah angin apa yang tiba-tiba membawa Pak Wijaya beberapa bulan  mengajak Aisyah bertemu dengan menitipkan surat pada teman sekantor Aisyah. Padahal Aisyah tak mengenal sosok Pak Wijaya sebelumnya. Hingga pertemuan antara mereka pun terjadi. Dan Pak Wijaya menyuruh Aisyah untuk menjauhi Haikal, anaknya.

Aisyah hanya mengiyakan kalq itu dengan semua kebingungan yang ada di venaknya. Dia dan Haikal hanya sebatas atasan dan bawahan meski hubungan mereka memang dekat, sangat dekat malah. Tapi malam ini, Aisyah telah menemukan semua jawabannya. Pak Wijaya menyuruhnya menjauhi Haikal karena dia telah dijodohkan.

"Maaf sebelumnya Pak Wijaya," ucap Aisyah sambil menundukkan kepala. "Saya ada di sini bukan karena Pak Haikal, Pak."

"Lalu apa urusan mu di sini?" Pak Wijaya menyungingkan senyum, seolah tengah merendahkan Aisyah.  "Oh ya, mungkin saya tahu apa yang sedang kamu lakukan di sini. Kamu bekerja sebagai pelayan di luar jam kerja kantor? Benar seperti itu bukan?"

Batin Aisyah tersentak. Tak menyangka semua itu keluar dari mulut Pak Wijaya. 

"Iya, Bapak benar." Aisyah hanya mengiyakan semua yang Pak Wijaya tuduhkan padanya, mengelak dan menjelaskan semua pada orang yang memandang dirinya rendah hanya akan menguras tenaga. Lagipula Pak Wijaya juga tidak akan percaya kalau ia mengatakan Pak Adam adalah om nya.

"Lalu apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah tugas pelayan ada di dapur? Kamu malah enak-enakan ikut pesta di sini. Kasihan teman pelayan yang lain. Kerja itu yang bener. Kasian Adam membayar orang yang kerjanya keluyuran, tidak tanggung jawab dengan tugasnya." Pak Wijaya memberondong dengan nada yang ditekan."

"Iya, Pak. Maaf saya permisi." Aisyah menundukkan kepala, dan beranjak dari tempatnya berdiri.

"Baju siapa yang kamu pakai, jangan-jangan kamu mengambil baju Sintya calon mantuku untuk kamu pakai." 

Aisyah menghentikan langkahnya. Mengambil nafas panjang dari mulutnya. Memutar badannya dan menatap wajah Pak Wijaya. "Maaf Pak Wijaya yang terhormat." Aisyah menekan nada bicaranya. "Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, tolong jaga bicara Anda. Maaf saya, tidak serendah yang Anda pikir! Terima kasih untuk semua caci Anda. Permisi!"

Aisyah memutar badan, melangkah tegap meninggalkan Pak Wijaya.

"Dasar, pelayan," ucap Pak Wijaya dengan nada mengejek.

Aisyah berjalan dengan berlinang air mata, "Kenapa sakit hati ini terus bertambah," batin Aisyah meronta.

Aisyah berjalan sambil menyeka air matanya. Pandangannya sedikit rabun karena air mata yang terus mengenang di kelopak matanya.

Tiba-tiba seseorang meraih lengan tangannya. Seketika Aisyah tersentak,  menghentikan langkah dan menoleh ke samping.

"Apa yang ayahku, lakukan? Dia menyakitimu?" Haikal berucap lirih, tak ingin orang lain mendengar apa yang ia ucapkan. "Ayo kita tunjukan semua yang dia ucapkan itu, salah."

Haikal tanpa sengaja mendengar semua percakapan ayahnya dengan Aisyah. Dan memutuskan untuk memberi sedikit pelajaran untuk ayahnya, agar tidak seenaknya menilai orang lain.

Aisyah tak mampu melawan, ia terus mengekor, dengan pergelangan tangan yang masih digenggam erat oleh Haikal.  Dengan jantung yang berdegup kencang.

"Ini salah, aku harus membuang perasaan ini, aku tak boleh menyimpannya, kecuali aku siap untuk menyakiti hatiku sendiri," batin Aisyah. 

"Seharusnya aku melakukan ini dari tadi, tanpa harus mendengar semua alasanmu. Aku tak ingin melepaskan genggaman ini kali ini, apapun alasanmu kali," batin Haikal, sambil menoleh sekejap ke arah Aisyah.

"Apa mungkin dia akan melakukan apa yang dia ucap tadi? Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Bukankah dia yang membuat perjanjian, dan aku sudah melakukan apa yang dia mau, lalu apa ini?" Aisyah kembali membatin.

Keduanya saling bungkam, dan bicara dalam hatinya masing-masing. Apakah itu cara hati bekerja, menyatukan rasa tanpa harus mengucapkannya. Melindungi tanpa harus diminta, menenangkan disaat kondisi tidak kondusif.

"Maaf, semuanya. Saya mengganggu waktunya sebentar." Haikal menghentikan langkah di depan semua keluarga inti. Di depan keluarganya dan di depan keluarga Sintya yang kebetulan tengah duduk di satu meja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status