Share

Bab 5

Aydan menatap lekat wajah Aisyah. Menunggu barang kali ada kalimat yang akan Aisyah ucapkan. Namun sepertinya, semua telah jelas.

"Huh." Aydan menghela nafas panjan. "Jadi, kalau begitu tepatkan bukan kesimpulanku?" Aydan menutup kembali jalan yang diberikan untuk Aisyah.

Aisyah memandang Aydan dari ujung kelopak mata, dengan menyunggingkan senyum"Aku ada hubungan dengan Bapak Haikal tunangan Sintya, iya itu betul. Tapi sebagai atasan dan bawahan, hanya sebatas itu." Aisyah menggeser tubuh Aydan dengan telapak tangannya. Melangkah mantap menuju tempat Haikal dan Sintya berdiri.

Aydan hanya bergeming. Dan minggir seraya tangan Aisyah menyentuh lengan tangannya. Membiarkan Aisyah berjalan sendiri.

"Aku tahu kamu akan melakukan hal ini, meski entah apa yang sebenarnya ada di hatimu," batin Aydan dengan mata yang mengikuti pergerakan Aisyah.

Aisyah terus melangkah meski dengan semua rasa yang berbaur menjadi satu. Rasa sakit hatinya justru dipakai menjadi senjata.

Haikal berjalan mendekati pembawa acara, setelah melihat jam tangannya. Sepertinya dia tak menghiraukan lagi perasaan Sintya dan keluargannya. Menyaki Aisyah adalah satu kesalahan fatal yang harus dibayar.

Perjodohan yang seharusnya tak terjadi. Perjodohan yang benar-benar membuatnya kini dalam masalah besar, mungkin itu yang kini berkecamuk dalam batin Haikal.

Haikal berbisik pada pembawa acara, entah apa yang diucapkannya. Mungkin meminjam mix, karena pembawa acara mengangguk sambil memberikan mix di tangannya.

"Maaf, mohon perhatian untuk semuanya," ucap Haikal setelah menerima mix dari pembawa acara. Sontak semua mata memandang ke arahnya. Namun sebelum kalimat berikutnya ia ucapkan, matanya dibuat terbelalak dengan sosok Aisyah yang berdiri tak begitu jauh dari nya.

Pandangan Aisyah begitu fokus menatapnya, hingga semua kalimat yang telah terancang sempurna hilang dalam benaknya. Aisyah sukses membuat Haikal kelimpungan sekarang.

"Saya hanya ingin mengucapkan banyak terima kasih, untuk semua keluarga dan tamu undangan yang telah menyempatkan waktu serta tenaganya hadir di acara pertunangan saya dan Sintya. Terima kasih untuk doa kalian semua, semoga Tuhan mengijabahnya." Haikal tersenyum untuk menutup kalimatnya. Dia sangat cepat memutar otak merangkai kalimat lain yang jauh dari tujuan awalnya.

Aisyah masih menatapnya lekat, dengan senyum jahat yang tersungging di bibirnya.

"Hay," seseorang menyenggol bahu Aisyah.

Aisyah segera menoleh ke arah orang yang ada di belakangnya. "Hay Sin," jawab Aisyah membalas senyum Sintya.

"Kamu dari mana saja? Cuma kamu yang belum ikut foto." Sintya mengerucutkan bibirnya. "Kamu tak suka ada di sini?"

"Tidak… bukan begitu, aku hanya malu dengan penampilanku," jawab Aisyah sekenanya, sambil memperlihatkan dirinya.

"Apa yang membuatmu malu? Lihat dirimu, kamu sangat cantik, Aisyah." Sintya melihat Aisyah dari atas ke bawah dan kembali lagi ke atas. "Kenapa mesti malu?"

"Kamu tahu, orang-orang memelototiku, seperti melihat hantu," ucap Aisyah sambil menengok ke kanan ke kiri.

"Hem…Aisyah….Aisyah…." Sintya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mereka terpesona melihatmu, bukan karena kamu seperti hantu."

"Kamu sedang memujiku? Atau menyindirku?"

"Terserah kamu sajalah," ucap Sintya sambil melihat Aisyah malas. "Sebentar." Sintya memegang dagu Aisyah sambil memperhatikan lekat wajahnya. "Matamu sembab? Ada sesuatu?"

Aisyah baru ingat dia belum cuci muka setelah menangis tadi. Mungkin bekas sembab masih sedikit nampak.

"Ti-tidak," ucap Aisyah cepat, dengan mengembangkan senyum. "Kamu tahukan, aku tak suka make up, karena kadang bedaknya masuk ke mata. Ini tadi bedaknya sedikit masuk ke mata, iya." Aisyah mencoba meyakinkan Sintya, dengan alasan yang sedikit tidak masuk akal sebenarnya.

Sintya hanya mengangguk, karena ada hal lain yang lebih penting ingin diketahuinya. "Ah, ya. Tadi aku dengar kamu memanggil nama tunanganku? Kamu mengenalnya?" Sintya masih mengingat jelas kalimat yang Aisyah lontarkan tadi meski tak begitu keras tapi ia yakin Aisyah menyebut nama Haikal.

"Dia bawahanku." Haikal muncul tiba-tiba dari sisi samping Aisyah dan Sintya. "Dia karyawan di kantorku," ucap Haikal sambil menatap lekat ke arah Aisyah.

"Oh….begitu," ucap Sintya sambil sedikit tertawa. "Pantas kamu memanggilnya Pak tadi." Sintya sedikit membuka senyumnya.

"Hem… i-iya." Aisyah tersenyum sambil menundukkan pandangannya, karena tatapan Haikal selalu berhasil menghipnotisnya. Tatapan dingin yang entah kenapa justru menarik perhatiannya.

"Mulai sekarang jangan panggil dia Pak dech. Berasa tua banget tunanganku." Sintya menggandeng lengan tangan Haikal, membuat Haikal sedikit terperanjat dengan aksi Sintya. "Bagaimana kalau panggil Mas aja?"

"Ha?" Aisyah membolakan matanya. "Apa katamu tadi? Mas? Itu tidak sopan namanya, masa iya panggil atasan Mas?"

Aisyah mencoba mengajak hatinya bersahabat kali ini. Ia mencoba terlihat tetap ceria di depan Sintya.

"Eh siapa bilang? Kamu panggil Mas kalau sedang di luar kantor."

"Tapi sepertinya aku lebih nyaman panggil, Pak." Aisyah menatap Haikal yang dari tadi menatap fokus ke depan. "Iya, kan Pak Haikal."

"Terserah kamu saja," jawab Haikal dingin. Dalam lubuk hatinya, ia ingin Aisyah mengiyakan perintah Sintya, namun dia tak bisa berkutik sekarang. Mengiyakan ucapan Aisyah mungkin menjadi alternatif terbaik kali ini.

"Ih…, pokoknya jangan panggil Pak. Masih muda ganteng gini di panggil Pak. Pokoknya aku gak rela Sayang, kalau kamu dipanggil Pak sama Aisyah." Sintya merengek sambil terus bergelayut pada lengan Haikal.

"Baik, baik. Apapun keinginanmu," jawab Aisyah terpaksa mengiyakan keinginan Sintya. Dengan senyum yang dipaksakan mengembang di bibirnya.

Melihat Sintya bermanja di lengan Haikal, memanggilnya sayang, membuatnya hatinya tercabik-cabik sebenarnya. Tapi apa daya bendera perang yang Haikal kibarkan dia terima. Mau tidak mau dia harus siap dengan semua resiko, bahkan meski hatinya mungkin akan hancur berkeping-keping.

"Oh ya, Aisyah kapan kamu akan mengenalkanku dengan pria yang pernah kamu ceritakan pada ku? Pemuda tampan,yang sudah mapan, mandiri, terkesan angkuh tapi sebenarnya rendah hati."

Spontan Haikal memandang Aisyah. "Siapa pria yang kamu ceritakan? Apakah aku? Tapi kenapa kamu tak mau memperjuangkannya?" batin Haikal bertanya-tanya.

Aisyah hanya melihat Haikal dari ekor matanya. Sorot mata Haikal terlihat jelas mengharap jawaban dari Aisyah.

"Jangan buat aku semakin penasaran Aisyah, jawablah." Sintya kembali merengek. "Ayolah, kenalkan sama kita. Iya kan sayang?" Sintya memandang Haikal dengan senyum penuh kebahagiaan.

Haikal mengangguk, dan membalas senyum Sintya. "Siapakah lelaki itu sebenarnya? Aku pun ingin tahu," batin Haikal bergumam.

Aisyah hanya tersenyum, membuat Sintya dan terutama Haikal semakin penasaran.

"Entahlah, mungkin suatu saat nanti akan ku kenalkan." Aisyah mengedikkan bahu.

"Jika memang ada yang akan ku kenalkan," batin Aisyah. Kalimat yang tak mungkin diucapkannya. Melihat Sintya yang begitu bahagia tak tega Aisyah merusaknya begitu saja, tapi sampai kapan hatinya mampu untuk bertahan. Entahlah.

"Permisi nona, anda Aisyah?" Seorang pelayan yang Pak Adam sewa berdiri tepat di samping Aisyah, sambil, membawa buket bunga.

"Iya, benar."

"Ini ada, titipan untuk anda dan ini juga ada surat."

"Oh ya, terima kasih," ucap Aisyah sambil menerima buket bunga lily dan sepucuk surat.

"Ehem, jadi kapan nih. Mau dikenalin nya." Sintya mengulang kalimatnya sambil memandang buket dt tangan Aisyah.

Aisyah hanya tersenyum menanggapi kalimat Sintya. Sedang Haikal mungkin masih mencoba mendamaikan amarah yang meluap di hatinya.

"Apa mungkin Aydan menyiapkan semua ini?" Aisyah membatin sambil mencari sosok Aydan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status