Share

Bab 7

Ketegangan terlihat di wajah semua anggota keluarga ketika melihat Haikal menggandeng lengan Aisyah. Dengan buket bunga yang sebenarnya entah dari siapa.

"Aisyah? Ada hubungan apa dia dengan Haikal. Dan genggaman tangan itu?" Sintya bertanya dalam hati, sambil mengamati keduanya. Ada sedikit rasa curiga dalam hatinya.

Sedang Pak Wijaya memendam amarah yang luar biasa, telapak tangannya mengepal. Mungkin jika tidak di depan calon besan, beliau akan datang menghampiri keduanya dan menampar Aisyah. Atau meninju Haikal, mungkin.

"Ada apa ini, Nak Haikal?" Ibu Laila yang dalam kebingungan berjalan mendekati Aisyah dan merengkuh tubuhnya. Haikal spontan melepaskan genggaman tangannya. "Ada apa dengan anak ku?"

Haikal melempar senyum ke arah Ibu Laila. "Ah… tak ada apa-apa, Tante." Entah sejak kapan panggilan itu tiba-tiba berubah. Biasanya Haikal memanggil Ibu Laila dengan kata Ibu, tapi entah kenapa mulutnya kini memanggilnya tante. "Aku hanya ingin mengenalkan Aisyah. Bukankah dia juga keluarga Pak Adam, kita sudah saling berkenalan tapi Aisyah justru menyendiri dari tadi."

Haikal melempar senyum kepada semua anggota keluarga, dan mendapat senyuman dari mereka. Ketegangan sedikit luntur, tapi rasa curiga dalam hati Sintya tak lantas hilang.

"Ah… benar," ucap Pak Adam sambil mendekat ke arah Aisyah, berdiri di antara Aisyah dan Haikal. "Ini Aisyah anak dari almarhum kakak saya, Anton."

Kalimat Pak Adam sukses membuat Pak Wijaya tersentak. Anak gadis yang baru ia hina ternyata bagian dari keluarga calon besannya.

Aisyah tersenyum, "Selamat malam  dan salam kenal, Om dan Tante, semuanya." Aisyah menganggukan sedikit kepalanya. "Maaf, Om saya permisi dulu, mau kebelakang. Maaf, Bu, aku kebelakang dulu."

Pak Adam dan ibu Laila mengangguk, dan Aisyah segera berlalu dari mereka. Mengetahui siapa pengirim buket dan membaca apa isi surat itu juga menjadi satu bagian penting baginya.

Aisyah menemukan satu bangku kosong dan jauh dari kerumunan. Buket diletakkan di samping tempat ia duduk. Dan surat diambil dari dalam amplop.

"Maaf, saya boleh duduk?"

Aisyah menoleh ke sumber suara, "Pak Wijaya?" Aisyah mengerutkan kening, sambil beranjak dari tempat duduk. "Ada perlu apa lagi Anda, menemui saya?  Belum puas, Anda mencaci saya?"

"Tidak." Pak Wijaya menatap wajah Aisyah, dengan rasa penasaran yang memuncak di benaknya. "Ada yang ingin saya tanyakan. Boleh saya duduk?"

"Silahkan."

Pak Wijaya duduk di bangku lain di sisi Aisyah. Entah kemana dirinya yang tadi begitu tenang. Kali ini Beliau tampak begitu cemas.

"Untuk semua perkataan saya tadi, saya minta maaf." Pak Wijaya membuka pembicaraan. "Maaf, untuk semuanya."

"Tak perlu minta maaf, cukup menjadi pelajaran untuk Anda." Aisyah memotong cepat kalimat Pak Wijaya.

"Iya, semua menjadi pelajaran untuk saya."

"Saya paham, karena Anda orang berpendidikan, attitude Anda  juga pasti sudah sangat terasah." Aisya menjawab cepat. Tak mungkin orang yang angkuh akan cepat menyadari kesalahannya, pikir Aisyah.

"Ada yang ingin saya tanyakan." Pak Wijaya berucap pelan. "Apa benar kamu anak Anton?" ucap Pak Wijaya hati-hati.

 

"Apa kurang jelas ucapan Om Adam tadi?!" 

"Sangat jelas, tapi aku hanya ingin pengakuan dari mulutmu." Pak Wijaya kembali bersikap dingin.

Aisyah menghembuskan nafas panjang. "Ya, aku anak kedua dari ayah Anton dan Ibu Laila."

Tanpa sepatah kata Pak Wijaya pergi, setelah mendengar jawaban Aisyah. Entah apa yang sebenarnya membuat itu sangat penting untuk Pak Wijaya. Hingga beliau yang begitu merendahkannya tiba-tiba menemuinya hanya untuk mendengar konfirmasi yang sudah jelas jawabannya.

"Apa, Anda mengenal ayah saya." Entah apa yang tiba-tiba membuat Aisyah menanyakan hal itu. Dia hanya mengikuti instingnya saja.

Pak Wijaya menghentikan langkahnya sejenak sedikit mengangkat kepalanya, dan kembali melanjutkan langkah kakinya tanpa menjawab pertanyaan Aisyah.

"Apa mungkin benar Pak Wijaya mengenal ayah, atau ada sesuatu yang mungkin Beliau tahu?" Aisyah berbisik pada dirinya. 

Dari kejauhan tampak Haikal tengah melangkah menuju tempatnya berdiri.

"Apalagi yang akan Haikal lakukan sekarang? Ada apa dengan ayah dan anak ini tak bosankah mereka menggangguku malam ini?" Aisyah menghembuskan nafas panjang sambil kembali duduk.

Haikal menyusul Aisyah dengan alasan ada urusan pekerjaan yang harus ia bicarakan. Dia telah menjelaskan bahwa Aisyah bekerja di kantornya. Sehingga dengan mudah seluruh keluarganya percaya dengan alasan yang ia buat.

"Ada apa lagi, Pak Haikal?" Aisyah dengan cepat bertanya sebelum Haikal sempat menyapanya. Hembusan nafasnya sudah lebih dulu terdengar di telinga Aisyah.

"Apa yang ayahku lakukan, barusan?" Haikal bertanya cepat dengan masih berdiri di belakang Aisyah.

"Tak ada. Beliau hanya minta maaf atas perbuatannya tadi"

"Dan kamu tak ingin berterima kasih padaku?" Haikal duduk di bangku lain di sisi Aisyah, bangku yang sempat diduduki ayahnya tadi.

"Untuk? Jika itu tentang ayahmu yang minta maaf, bukankah itu memang tugas kamu menyadarkan kesalahannya?"

"Huft, baiklah. Sepertinya kamu sedang tak ingin diganggu." Haikal beranjak dari tempat duduknya. Dan pergi meninggalkan Aisyah.

"Kenapa dengan Haikal, dia hanya ingin mengucapkan itu saja? Bukankah dia senang mendebat sebelumnya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status