Home / Rumah Tangga / JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA / Membalas Kebaikan sang Penyelamat

Share

Membalas Kebaikan sang Penyelamat

Author: Lily Arriva
last update Last Updated: 2023-06-10 10:51:05
"Astaga, Hellen. Gue lupa. Oke, gue ke sana. Lo udah makan malam apa belum? Gue bawain makan malam sekalian gitu, ya, buat lo sama anaknya Pak Jamal. Pasti dia juga belum makan." Juwita menepuk pipinya sendiri. Telepon dari mamanya tadi membuat pikirannya semakin penuh. Dia sampai lupa kalau akan menjenguk pria tersebut.



Juwita segera bangkit dan merapikan penampilannya. Ingat, diahabis kayal-kayal tadi. Dia pun segera mengambil kunci mobil dan segera menujuke rumah sakit, tempat pria itu dirawat.



***



Juwita membawa tas kertas berisikan makan malam yang dia beli saat hendak menuju ke rumah sakit. Dia sekarang sedang berdiri di lift dan menunggu gilirannya untuk keluar. Rasa capek yang ada di pikiran dan badan yang dia rasakan seharian seperti langsung hilang ketika Hellen mengabarinya tentang keadaan pria yang menolongnya itu. Berkali-kali dia merutuki dirinya sendiri karena kecerobohannya. Astaga, dia ini niat mau balas budi atau tidak, sih. Dia bahkan meragukan dirinya.



"Gimana keadaan Pak Jamal?" tanya Juwita saat melihat Hellen berdiri di depan ruang rawat pria itu. Dia menyerahkan tas kertas yang dia bawa tadi kepada sahabat yang berumur lebih muda darinya itu.



"Masih diperiksa sama Mas Ari. Tapi, kayaknya beneran butuh tindak lanjut, deh." Lalu, Hellen berisyarat dengan matanya ke kiri.



Juwita mengikuti arah isyarat Hellen. Ternyata di salah satu bangku tunggu ada seorang pemuda yang duduk dengan wajah yang tampak sangat khawatir, anak Pak Jamal. Dia pun mengangguk paham ke Hellen dan mengambil satu box dinner dari tas kertas yang dibawa Hellen. Kakinya mendekat perlahan kepada pemuda tersebut.



"Hai, Jevano?" tanya Juwita lembut. Dia duduk di sebelah pemuda itu. Tidak lupa, dia memasang senyuman terramah yang dia punya.



Pemuda itu menoleh dengan tatapan datar. Kedua alisnya terangkat, mempertanyakan siapa wanita di depannya itu.



Juwita mengembangkan senyumannya dan mengulurkan tangan kepada pemuda itu. "Tante Juwita." Dia mengenalkan diri lagi.



Pemuda itu tidak langsung menyambut tangan Juwita. Dia melihat wanita di hadapannya dengan tatapan penuh selidik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sudah seperti robot yang memindai sesuatu.



"Tante ini yang ditolong sama ayah kamu. Kemarin kamu sempet ketemu sebentar. Tante ini kemarin keburu pulang, ada yang cari soalnya." Hellen yang menyaksikan reaksi anak Jamal itu gemas sendiri. Enggak sabar maksudnya.



"Jevano, Tante." Pemuda tersebut menyambut tangan Juwita. Masih dengan muka datar, tanpa ekspresi kecuali gurat kekhawatiran yang sedari tadi tampak.



Juwita masih dengan senyumnya. Perlahan, dia menarik tangan Jevano dan menyerahkan kotak makan malam di tangan anak itu. "Makan dulu, ya. Tante yakin kamu belum makan malam."



"Kalau Tante? Udah makan malam?"



Pertanyaan itu sangat mendadak. Bahkan Juwita sendiri harus terdiam sesaat untuk berpikir. Di saat seperti ini, pemuda di hadapannya masih bertanya tentang keadaan orang lain. Akhirnya dia mengulaskan sebuah senyuman hangat dan mengangguk. "Belum. Tapi, enggak papa. Nanti Tante bisa makan bareng Tante itu." Dia menunjuk Hellen yang masih setia berdiri di tempatnya tadi.



Jevano mengarahkan pandangannya ke Hellen. Dia mendapatkan senyum ramah dari wanita tersebut. Namun, dia tidak membalas dan tetap bermuka datar. "Ini beneran enggak papa aku makan?"



"Iya, Jevano. Enggak papa. Itu Tante yang traktir. Tenang aja." Juwita sangat ramah.



"Enggak disuruh buat bayar dengan yang lain, 'kan?"



Seketika, kedua wanita yang mendengar pertanyaan itu terdiam. Mereka saling tatap untuk mendapatkan, setidaknya, jawaban atas pertanyaan rancu dari Jevano tersebut. Namun, nihil.



"Maksudnya?" tanya Juwita ingin kejelasan.



"Jasa, misalnya." Jevano sangat tenang saat menjawab.



Hellen, di tempatnya, menahan tawa. Pikiran mereka terlalu dewasa untuk menghadapi pertanyaan dari anak remaja. Dia pun segera menghentikan tawa yang ditahannya dengan tarikan napas dalam. Juwita kalau sedang melotot seram.



"Enggak, Jevano. Ini sebagai rasa tanggung jawab Tante aja ke kamu." Juwita berusaha untuk menjelaskan keadaannya.



"Kenapa harus merasa bertanggung jawab? Karena Ayah?"



Juwita mengangguk. "Iya. Sebagai rasa terima kasih Tante juga ke ayah kamu. Sekarang, kan, ayah kamu sedang dirawat. Jadi, sudah selayaknya kalau Tante, sedikit banyak, mengurus kamu. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang ke Tante, ya."



"Hmm." Jevano mengangguk paham. Masih dengan deheman dan anggukan dingin dan datar. "Terima kasih, Tante."



Juwita tersenyum melihat reaksi pemuda itu. "Dimakan, ya." Dia mendapatkan anggukan dari Jevano. Tanpa sadar, dia mengamati setiap pergerakan pemuda itu. Dia bisa menyimpulkan bahwa Jevano adalah tipe anak yang pendiam dan patuh. Wajahnya juga sangat bisa dikatakan sedap untuk dipandang. Sama rupawannya dengan Jamal.



"Jangan lihatin aku kayak gitu, Tante. Aku jadi enggak bisa makan." Ucapan Jevano menyadarkan Juwita dari 'pengamatan' seksamanya barusan.



"Ah, iya. Maaf, ya." Lalu, dia membuang wajahnya ke mana saja asalkan tidak ke Jevano lagi. Dia segan jika harus mendapatkan teguran lagi dari pemuda itu.



"Kak Ju, jadi enggak?" Hellen mengangkat tas kertas yang ada di tangannya. Senyumannya terlihat sekali sedang mengejek Juwita.



"Iya, sini." Dengan senang hati, Juwita menyambut tawaran Hellen. Ya, dia perlu menyelamatkan dirinya dari mati gaya di hadapan Jevano sekarang.



Hellen menghampiri Juwita dan duduk di samping sahabatnya itu. "Lo utang budi ke gue, Kak," bisiknya yang langsung mendapatkan cubitan dari Juwita. Dia tertawa.



***



Pintu ruang rawat Jamal terbuka setelah beberapa saat. Dari baliknya, Ari keluar bersama dua perawat yang menemaninya.



Juwita langsung berdiri dan menghampiri lelaki itu. Disusul oleh Jevano dan Hellen setelah meletakkan kotak makan malam mereka.



"Keadaan Pak Jamal, bagaimana, Dok?" tanya Juwita penuh dengan nada kekhawatiran. Bahkan Jevano yang notabene anak dari Jamal saja sampai heran.



"Sejauh ini keadaannya semakin baik. Hanya saja, saya tambah yakin akan sesuatu." Ari terlihat berpikir sejenak sebelum mengatakan diagnosisnya. "Sepertinya Pak Jamal harus mendapatkan perawatan lebih. Beliau ada gejela usus buntu. Jadi, kalau keluarga berkenan, kami akan menindak lanjuti semuanya."



Juwita lanngsung menoleh ke Jevano. Anak itu terlihat kaget meskipun wajahnya tetap datar seperti tadi. Dia tidak mengatakan apa-apa. Mungkin sedang kebingungan dan mencoba mencerna apa yang sedang terjadi kepada ayahnya.



"Jevano mau Ayah sembuh total dan enggak sakit, 'kan? Ayah ditindak lebih lanjut, boleh?" Juwita bertanya dengan sangat ramah dan penuh dengan perhatian untuk memberikan pemuda itu pengertian.



Dengan gerakan patah-patah, Jevano mengangguk. "Ta-tapi, nanti biayanya?" Tatapannya terlihat ragu. Binarnya matanya meredup saat melihat balik ke arah Juwita.



"Tante yang tanggung. Kamu tenang aja. Tante udah bilang, 'kan, kalau ini juga untuk rasa terima kasih Tante kepada ayah kamu. Jadi, Tante tanya sekali lagi, boleh, ya, ayah kamu ditindak?" Juwita tersenyum teduh, membuat hati Jevano, tanpa disadari pemuda itu, menghangat.



Jevano mengangguk.



Juwita beralih ke Ari dan menatapnya dengan penuh keyakinan. Dia mengangguk sebagai isyarat untuk memperbolehkan tindakan terhadap Jamal.



"Baiklah kalau begitu. Saya akan jadwalkan pemeriksaan lebih lanjut karena ini sudah larut. Mungkin besok Pak Jamal bisa mulai diperiksa, foto rontgen, dan lain sebagainya." Ari memberikan penjelasan.



"Makasih, Dok." Juwita lega. Untung yang menangani Jamal orang yang dia kenal. Jadi gampang jika harus bertanya apa-apa.



"Terima kasih, Dok." Jevano sedikit menundukkan kepalanya, lalu memandang lurus ke arah Ari.



"Jaga ayah kamu, ya." Dokter muda itu menepuk bahu Jevano. "Wah, kamu suka olah raga, ya. Pundak kamu enggak main-main, loh, ini." Dia memberikan sedikit pijatan untuk merasakan otot tangan pemuda itu.



Jevano hanya bisa tersenyum segan. Dia tidak membalas dengan perkataan apa pun.



Rendah hati sekali, batin Juwita sambil mengamati ekspresiyang diberikan pemuda itu. Ternyata, kalau tersenyum seperti ini Jevano terlihat lebih tampan. Matanya hilang dan membentuk lengkungan, seakan jugaikut tersenyum. Ah, apakah ini yang dinamakan eye smile? Baru kali ini diamelihatnya secara langsung dan sangat menawan. Ya ampun manis sekali anak ini.



Di saat seperti itu, Jevano mendekat ke ayahnya dengan langkah agak ragu. "Ayah enggak papa?"



Jamal tersenyum meskipun wajahnya tampak masih pucat dan badannya masih lemas. Dia mengangguk. "Jagoan Ayah udah makan malam?"



Jevano mengangguk. "Sudah, Ayah. Tante ini yang belikan Jevano makan malam."



Jamal mengarahkan pandangannya ke Juwita. "Terima kasih sudah mau mengurus anak saya. Terima kasih juga karena sudah membawa saya ke rumah sakit. Saya berjanji akan menggantinya kalau sudah bisa keluar dari sini."



Juwita langsung melambaikan tangannya. "Tidak usah. Anggap saja ini adalah ungkapan terima kasih saya. Bahkan, semua ini pun menurut saya belum cukup untuk membalas kebaikan Anda. Jadi, tolong jangan merasa terbebani."



Jamal diam. Wanita di hadapannya ini terlihat bersungguh-sungguh. Dia pun mengangguk. "Sekali lagi terima kasih banyak." Bukan karena dia ingin memanfaatkan fasilitas mewah rumah sakit saat keadaannya seperti ini, namun tidak enak jika harus menolak dan saling membalas sungkan. Setidaknya dia akan memasukkan wanita ini ke daftar orang yang harus dia balas suatu saat nanti.



"Ayah, kata dokter Ari tadi kemungkinan besar Ayah kena usus buntu. Terus aku ditanya boleh ditindak atau enggak. Tante ini nawarin mau bantu, jadi maafin Jevano karena bilang iya." Pemuda itu menunduk lemas, merasa bersalah. "Jevano cuma mau Ayah sehat lagi seluruhnya."



Juwita sedikit was-was mendengarkan percakapan antara anak dan ayahnya itu. Dia berharap Jamal tidak menentang keputusan yang telah mereka buat tanpa persetujuannya tadi. Dia jadi harap-harap cemas.



Jamal melirik ke arah Juwita, mencoba memastikan kebenaran ucapan anaknya. Dia pun mendapat anggukan dari wanita tersebut. Lantas, dia pun tersenyum dan mengangguk. Dia mengelus kepala anaknya dengan lembut. "Iya, enggak papa."



Lega. Sangat lega sekali rasanya.



Hellen yang sedari tadi berdiri di posisi paling belakang pun ikut merasakan lega. Astaga, dia seperti menyaksikan adegan hangat antara anggota keluarga sungguhan. Tatapannya tidak lepas dari Jevano, anak itu ternyata juga memperhatikan detail. Tersimpulkan dari cara dia memberitahukan kepada ayahnya apa yang terjadi dan saat dia menyebut nama Ari.



Seketika Hellen mempunyai satu ide cemerlang. Dia melebar kansenyum dan melangkah maju, mendekati Juwita setelah memberikan isyarat salam kepada Jamal. Dia menyenggol lengan sahabatnya. "Kak Ju, enggak sekalian daftar aja jadi anggota keluarganya?"


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Expart 1

    "Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Keluarga Jamal 2

    Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Keluarga Jamal

    "Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Panggilan Ke Sekolah

    Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Permintaan Bunga

    Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu

  • JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA   Berbicara Dengan Bunga

    "Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status