Hari ini Juwita kedatangan klien dari luar Jawa yang minta dibuatkan gaun untuk acara lomba fashion show yang akan diikuti oleh klien itu. Dia melayani bersama beberapa pekerjanya dengan cekatan dari memilih bahan di gudang kain yang dia miliki hingga memberikan beberapa saran model baju sesuai keinginan. Dia juga sudah terbiasa untuk memadukan warna bahan agar pas di kulit klien.Hampir setengah hari dia berkutat dengan kliennya itu dan baru beristirahat setelah jam tiga sore. Begitu pula dengan beberapa pekerjanya yang membantu dirinya untuk melayani klien tadi. Belum lagi dia juga harus memantau perkembangan produksi kolaborasi yang akan dirilis satu minggu lagi. Dia benar-benar hampir kewalahan dengan pekerjaannya sendiri."Kalian makan siang dulu, deh. Makasih banyak udah bantu seharian." Juwita menyodorkan beberapa lembar uang merah kepada asistennya, Erika. Tentu saja untuk mengapresiasi kerja sama yang baik antar pekerjanya tadi. Itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan Juwita
Jamal termenung sambil menatap pemandangan malam kota Sidoarjo dari dinding kaca lebar ruang rawatnya. Kondisinya sudah membaik dan luka operasinya sudah pulih. Pun dia juga sudah merasakan badannya telah kembali sehat seperti semula. Bahkan lebih sehat dari pada yang sebelumnya. Helaan napasnya berembus dengan sangat berat. Seberat beban segan dan terima kasih yang harus dia tanggung sekarang.Pikiran Jamal melayang, menelusuri awal kejadian pada sekitar tiga minggu yang lalu. Awal mula dia pertemuannya dengan Juwita. Sejenak, dia merutuki dirinya. Kenapa juga waktu itu dia sok menjadi pahlawan dan membantu wanita tersebut dari para lelaki jalanan. Padahal dia sendiri juga tahu kondisinya saat itu sedang tidak terlalu sehat dan dalam keadaan kecapekan habis pulang kerja. Dia malah tanpa berpikir panjang melawan tiga orang tersebut dan berakhir seperti ini di rumah sakit. Ah, yang memalukan sekali adalah dia sempat ditemukan pingsan terlebih dahulu sebelum dibawa ke sini.Lalu, dia ha
Masih pagi dan Juwita sudah menelepon Hellen untuk mengajaknya keluar. Hellen yang sedang mengambil libur pun mengiyakan dengan cepat. Tanpa banyak bicara, Juwita langsung berdandan dan pergi dari rumah. Dia menjemput Hellen. "Lo kayak orang kabur, Kak." Hellen masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah bangku kemudi. "Emang gue lagi kabur." Hellen memasang sabuk pengaman. Kepalanya miring, menoleh ke sahabatnya. "Enggak usah lihat gue kayak gitu. Lo mau gue kasih tahu sesuatu apa enggak?" Juwita berusaha menghindari tatapan mata Hellen. Jantungnya berdebar meskipun tidak minum kopi. "Kita ke kafe atau ke apartemen gue aja. Ah, enggak. Mendingan kita ke butik gue." "Tenang, woi. Lo lagi nyetir ini." Juwita menghela napas panjang. Ternyata susah juga untuk menyembunyikan pikiran yang menumpuk dari sahabatnya ini. Dia ingin los tanpa hambatan, bercerita tentang kemarin. Percakapan antara dirinya dan Jamal di rumah sakit itu terus saja membayang-bayangi dirinya semalaman. Dia jadi tida
Satu lagi yang sampai sekarang membuat Juwita masih gelisah selain restu dari kedua orang tuanya. Bagaimana dia mendapatkan hati dari anak Pak Jamal?"Jevano belum tahu kalau gue sama Pak Jamal membuat keputusan ini. Gue juga takut kalau Jevano enggak bisa terima gue."Perkataan Juwita barusan membuat Hellen lemas sekaligus. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa. Dia tak habis pikir dengan sahabatnya ini. Kenapa malah mempersulit kehidupan, coba? Akan tetapi, dia tidak akan sefrontal itu untuk berbicara masalah sensitif ini kepada Juwita. Dia juga tidak mau temannya ini malah terbebani dengan omongannya. Dia harus menemukan cara agar bisa membuat hati Juwita lebih tenang."Kak, masalah Jevano bisa lo rundingin sama Pak Jamal, gimana bujuk dia. Yang terpenting sekarang adalah restu orang tua lo dulu. Lo enggak mau kebaikan mereka lo abaikan gitu aja, kan, demi lo bebas dari kencan buta?" Hellen memeluk sahabatnya dari samping. "Apa yang dimau sama Tante juga buat kebaikan lo, Kak. Lo em
Gemerlap lampu yang dihias sedemikian rupa menerangi aula salah satu hotel bintang lima milik keluarga Anggari. Dekorasinya sangat mewah. Meja-meja panjang penuh dengan hidangan dengan tatanan boga yang menyegarkan mata. Makanan dan minumannya pun tidak bisa dibilang sederhana namun dihidangkan secara cuma-cuma. Semuanya telah dipersiapkan dengan sempurna meskipun hanya dalam waktu satu minggu."Jevano, sini. Ayo kita foto bareng." Juwita melambaikan tangannya kepada pemuda lima belas tahun yang sedang berdiri menyendiri di tengah keramaian para tamu undangan.Jevano mendekat, menuruti pinta Juwita. Dengan canggung dia berdiri di sebelah wanita yang sekarang sudah menyandang status sebagai ibu sambungnya, sambil menampakkan senyum tipis. Sungguh dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam acara besar dan formal seperti ini. Lebih lagi dia adalah tipe orang yang cukup tertutup. Seketika dia merasakan masuk ke dunia baru yang sangat asing."Ini yang namanya Jevano?" tanya seorang tamu
Setiap ibu pasti khawatir dengan masa depan anaknya. Lebih lagi jika mereka hanya memiliki satu anak. Hal itu pula yang membuat Nyonya Anggari terus menatap putri semata wayangnya dengan tatapan iba, bukan bahagia seperti semestinya. Berkali-kali dia harus menghela napas, mendesah, meringankan dadanya yang terasa sesak setiap melihat anaknya yang berfoto dengan para tamu. Juwita memang terlihat sangat bahagia dengan senyuman yang terus mengembang indah di wajah ayunya. Tangannya juga terus menggandeng duda yang baru dia kenal seminggu yang lalu. Entah kenapa hatinya resah. Padahal dia juga yang sangat menginginkan putrinya segera menikah."Aku gak tahu anak kita bakalan bahagia sama dia apa enggak," celetuk Nyonya Anggari yang duduk di samping suaminya.Tuan Anggari tersenyum menanggapi curahan hati Nyonya Anggari. Dia mengulurkan tangan untuk memijit pundak istrinya. "Yang penting dia udah mau nikah, Sayang. Itu yang kamu mau, kan?""Ya, tapi enggak sama duda juga, Pa. Anak satu, udah
"Kak Ju, ampun cantik banget sumpah." Siapa lagi tukang heboh yang berani mendekat ke keluarga Anggari kalau bukan junior sekaligus sahabat Juwita, Hellen. Dia memeluk Juwita dari belakang dan menempelkan pipi mereka.Juwita menoleh. Dia terkejut tapi wajahnya tambah bersinar. "Astaga, gue kira lo enggak dateng." Dia langsung bangkit dan memeluk gadis yang lebih muda darinya dua tahun itu. Senyumannya berkembang ayu di wajah cantiknya. "Enggak mungkin. Gue udah sempet-sempetin nyampe tepat waktu khusus buat lo." Hellen menguyel-uyel seniornya tersebut. "Kak. Selamat, Kak. Sumpah gue ikut seneng lo akhirnya mau nikah." Tanpa semua yang ada di meja tahu, Hellen sedang setengah basa-basi sekarang. Dia sedikit khawatir dengan sahabatnya ini. Keputusan yang diambil Juwita ini berat. Tapi, dia bisa melihat kesungguhan dari sahabatnya selama seminggu ini.Juwita tertawa. Dia melepaskan pelukannya pada Hellen. "Kamu juga cepetan nyusul, ya.""Dih, mentang-mentang udah nikah. Sekarang nodong
Mentari dan langit sedang akur untuk membuat bumi terlihat lebih indah dan cerah. Entah karena alasan apa, mereka seperti mendukung sekali kebahagiaan pasangan pengantin baru kita. Warna biru dan sinar cerah adalah kombinasi yang pas untuk menikmati hari. Jevano baru saja selesai mandi setelah membereskan semua barangnya yang ada di kontrakan. Dia berniat untuk menjemur handuknya. Matanya tidak sengaja melihat sang ayah sedang memasukkan beberapa barang yang tadi belum sempat dia kemas di ruang tengah. Dia mendesah. Hari ini adalah sehari setelah pernikahan ayahnya. Dia kira, dia dan ayahnya akan tidur di kamar hotel bintang lima, mengingat acara pernikahan kemarin digelar di sana. Pun, dari yang dia dengar, hotel itu milik keluarga ibu tirinya. Bukan, bukan maksud Jevano mau memanfaatkan fasilitas bagus yang tak pernah dia rasakan selama hidupnya. Namun, kenapa tidak sekalian saja istirahat di sana, sih, padahal badannya sudah capek sekali tadi malam. Rasanya nanggung aja. Pun ay