Share

Cara Terhalus

Hari ini Juwita kedatangan klien dari luar Jawa yang minta dibuatkan gaun untuk acara lomba fashion show yang akan diikuti oleh klien itu. Dia melayani bersama beberapa pekerjanya dengan cekatan dari memilih bahan di gudang kain yang dia miliki hingga memberikan beberapa saran model baju sesuai keinginan. Dia juga sudah terbiasa untuk memadukan warna bahan agar pas di kulit klien.

Hampir setengah hari dia berkutat dengan kliennya itu dan baru beristirahat setelah jam tiga sore. Begitu pula dengan beberapa pekerjanya yang membantu dirinya untuk melayani klien tadi. Belum lagi dia juga harus memantau perkembangan produksi kolaborasi yang akan dirilis satu minggu lagi. Dia benar-benar hampir kewalahan dengan pekerjaannya sendiri.

"Kalian makan siang dulu, deh. Makasih banyak udah bantu seharian." Juwita menyodorkan beberapa lembar uang merah kepada asistennya, Erika. Tentu saja untuk mengapresiasi kerja sama yang baik antar pekerjanya tadi. Itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan Juwita saat puas dengan kinerja mereka. Para pekerjanya juga sudah hafal dan malah berusaha memberikan yang terbaik sebagai balas budi lebih.

"Tapi, Ibu juga belum makan dari tadi," ucap Erika, sungkan.

"Enggak papa. Habis ini saya harus pergi ke rumah sakit. Kamu jaga di sini, ya. Nanti jam lima ada klien yang bakalan ambil bajunya. Tanya aja ke Tia. Dia yang nyimpen baju klien yang biru payet itu, loh. Terus nanti jam tujuh malam kayaknya bakalan ada yang fitting baju kondangan warna maroon yang kemarin Sabtu. So, minta yang lain buat memberikan pelayanan yang terbaik, ya. Kalau ada yang datang selain itu, mending kasih waktu janjian aja. Saya percaya dengan kinerja kalian."

"Baik, Bu." Erika mengangguk paham. Dia adalah salah satu pekerja yang paling lama dan paling tahu dengan selera Juwita.

Juwita meneguk air putih yang telah disiapkan di mejanya sampai habis. "Ah, tapi kalian jangan sampai kemalemam juga. Maksimal jam sepuluh malam udah tutup. Kalau ada rombakan atau permintaan perubahan dikit dari klien, nanti kamu yang tangani, ya, Er. Kamu tahu, 'kan, bagaimana biasanya? Jangan lupa minta Bu Hartini untuk memantau gaun yang belum jadi, yang buat pameran kolaborasi itu."

Erika mengangguk. "Iya, Bu. Siap. Btw, terima kasih banyak, ya." Dia melambaikan beberapa lembaran merah yang tadi diberikan Juwita kepadanya.

Juwita mengibaskan tangannya sambil tersenyum sambil menyeringai, menggoda. "Hmmm, tadi bilang apa, cayang?" Dia malah mengeluarkan suara untuk mencandai Erika.

"Makacih, Ibu."

Mereka berdua tertawa. Terlalu lama bekerja bersama membuat selera humor mereka hampir sama. Juwita pun beranjak dari duduknya dan membawa tasnya. Senyumannya masih terpatri di wajahnya.

"Makasih banyak juga, ya." Dia menepuk pundak Erika dan berpamit pergi.

Tujuannya sekarang adalah ke rumah sakit. Meskipun sangat disibukkan dengan pekerjaannya, dia tidak lupa untuk pergi menjenguk Jamal untuk mengetahui keadaan pria itu.

Di perjalanan menuju rumah sakit, Juwita mampir ke restoran untuk membawakan beberapa makanan. Dia yakin pasti Jevano juga ada di sana untuk menjaga sang ayah. Melihat pemuda itu sangat sayang dan mau menghabiskan waktu untuk merawat orang tuanya, membuat dirinya tersentuh. Dia ingin berbagi kebahagian dengan Jevano, berharap juga bahwa pemuda tersebut tidak akan menolak pemberiannya.

Omong-omong tentang Jamal, keadaan pria itu sudah membaik. Apa yang diprekdisikan dan didiagnosis oleh dokter Ari juga benar. Jamal terkena radang usus buntu. Dengan persetujuan yang telah disepakati oleh mereka tempo lalu, Jamal pun mendapatkan perawatan intensif. Dia dioperasi dua hari yang lalu dan sekarang kondisinya mulai pulih kembali.

Juwita jadi teringat dengan perkataan Ari saat dia bertanya tentang keadaan Jamal. "Pak Jamal ini juga gizinya buruk, Kak. Aku mau tangani dia juga harus memedulikan kondisi tubuhnya."

Dengan antusias, Juwita langsung meminta Ari untuk melakukan yang terbaik. "Apa aja, pokoknya. Yang penting Pak Jamal kembali sehat wal afiyat. Utang budiku besar, Ri. Bayangin aja Mama Papaku kayak gimana kalau aku enggak ditolong sama Pak Jamal ini. Jadi, kalau emang butuh perawatan lebih lanjut lagi, berikan yang terbaik. Aku enggak main-main ini."

Kala itu Juwita ditemani oleh Hellen untuk berbicara dengan Ari.

Pria itu melirik ke Hellen, memberikan isyarat akan sesuatu. Hellen melotot dengan tatapan ancamannya. Ari tertawa, teringat dia berdebat dengan Hellen tentang menguras isi dompet Juwita. Dia tidak setega itu juga kali. Apalagi saat melihat betapa baiknya Juwita memberikan hartanya untuk membalas budi. Dia juga masih punya hati. Bahkan dia ikut memberikan kemurahan hatinya dan mengatakan kepada Juwita untuk membayar biaya operasi setengah saja.

Kembali ke Juwita yang memesan makanan di restoran. Setelah pesanannya selesai, dia segera menuju rumah sakit. Tidak lupa dia selalu menelepon Hellen terlebih dahulu dan mengabarkan kedatangannya.

Ketika sudah sampai lobi, Juwita segera menuju ruang istirahat yang disediakan untuk para dokter yang sedang bertugas. Dia sudah hafal kamar yang biasa digunakan oleh sahabatnya itu. Pun para dokter yang lain juga kenal baik dengan Juwita. Bagaimana tidak, sahabat wanita itu adalah anak pemilik rumah sakit tersebut. Ya, siapa lagi kalau bukan Hellen.

"Nanti kalau Hellen udah ke sini, tolong bilang, ya, saya ada di kamar VIP biasanya." Juwita memberikan bungkusan makanan yang dia beli kepada orang yang ada di ruangan itu.

Segera, Juwita menuju tempat yang menjadi tujuan utamanya berkunjung di rumah sakit itu. Dia menaiki lift untuk mencapai lantai empat. Langkahnya mantap di atas sepatu hak tingginya. Senyumannya juga terpatri di wajahnya. Dia sudah membayangkan bagaimana melihat wajah semringah yang datar ala Jevano. Begitu pula eye smile pemuda itu.

Keluar dari lift, Juwita mengeratkan genggaman tangannya di tas kertas yang dia bawa. Dia telah menyiapkan banyak kata untuk mengajak bicara Jevano si pendiam itu. Pun dia juga sudah merangkai kalimat untuk membujuk Jamal agar dia masih diperbolehkan untuk membawakan makanan ke esokan harinya untuk Jevano. Kalau untuk Jamal, tentu saja sudah ditangani oleh pihak rumah sakit.

Juwita berdiri sejenak sambil menghadap pintu coklat ruang rawat Jamal. Dia menghela napas pelan dan mengulurkan tangannya. Baru saja pintu geser itu sedikit terbuka, dia bisa mendengarkan percakapan antara dua orang yang ada di sana. Dia yakin itu adalah suara Jamal dan anaknya. Dia pun memberanikan diri untuk mengintip kaca yang ada di pintu. Benar dugaannya.

Di dalam ruangan, Jamal terbaring di kasurnya dan masih tidak boleh banyak bergerak pasca operasi. Lukanya perlu waktu untuk kering juga meskipun tidak lebar.

"Jadi, sudah waktunya pendaftaran, ya? Sudah daftar di sekolah yang Ayah kasih tahu waktu itu?" tanya sang ayah, Jamal.

Jevano menggeleng. "Maaf, Ayah."

"Kenapa, Jevano? Ayah, 'kan, sudah bilang untuk masuk ke sekolah favorit itu. Banyak yang bisa kamu raih di sana, nak. Fasilitas untuk mengembangkan bakat kamu juga akan terpenuhi." Suara Jamal terdengar berat.

"Aku enggak setega itu juga buat masuk ke sana. Aku juga mikir Ayah. Ayah aja sekarang masih di sini, dirawat. Ayah udah enggak kerja berapa hari? Kalau aku masuk ke sana, Yah, bisa-bisa kita enggak punya apa-apa lagi buat hidup." Jevano mengatakannya dengan menunduk dalam. Sebenarnya dia takut untuk melihat wajah ayahnya. Pria itu pasti marah.

"Kamu juga tahu kalau Ayah masih mampu menyekolahkan kamu di sekolah favorit itu. Dulu, waktu kamu SMP, kamu udah enggak bisa masuk ke sekolah yang kamu inginkan. Sekarang, Ayah sudah menyiapkan uang dan tabungan untuk sekolah kamu, Jevano. Daftar ke sekolah favorit itu, ya. Ayah harus menebus kekecewaan kamu yang dulu." Tangan Jamal mengelus kepala anaknya.

Jevano menggeleng lagi. "Enggak, Yah. Sekarang pun aku sekolah di mana aja, oke, kok. Dulu aku enggak mikir keadaan Ayah, keadaan kita. Sekarang aku bisa, kok, ngembangin bakat musik dan dance aku di sekolah mana pun. Enggak perlu masuk ke sana, Ayah."

Jamal menghela napasnya, merilekskan ototnya yang menegang karena menahan amarah. "Kalau begitu, kamu bakalan butuh biaya tambahan, Jevano. Dan Ayah enggak akan memberikan apa pun kecuali biaya sekolah."

Jevano terdiam. Kalau pun dia mengajukan diri dan membahas bahwa dia bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri pun pasti percuma. Ayahnya tidak akan mengijinkan hal yang seperti itu.

"Ayah merasa bersalah, Jevano. Ayah merasa belum bisa jadi ayah yang baik, yang bisa berikan kamu fasilitas layak, yang kamu butuhkan. Biarkan Ayah menebus yang dulu itu. Ayah juga ingin melihat kamu lebih berkembang lagi." Jamal memegang dagu Jevano dan mengangkat wajah anaknya agar melihat ke arahnya. Wajah Jevano sangat sendu. Itu menbuat hatinya teriris.

"Kamu juga tahu kalau kamu pintar. Ranking satu paralel di sekolah. Kamu butuh fasilitas yang lebih tinggi, Nak. Ayah yakin kamu juga mau membanggakan diri di depan Ayah. Tapi, kamu juga enggak tega sama keadaan Ayah sekarang. Ayah paham. Cuma, tolong bantu Ayah biar enggak terus-terusan merasa bersalah ke kamu. Kamu anak Ayah satu-satunya. Ayah bakalan beri kamu yang terbaik. Kamu harapan Ayah, Nak."

Tak terasa, air mata Jevano menetes. "Maafin Jevano, Ayah."

"Sini peluk Ayah." Jamal merentangkan tangannya. Dia menyambut pelukan anaknya dan memberikan kehangatan bagi pemuda itu. "Lihat kamu sekarang jaga Ayah di sini juga bikin Ayah sedih. Seharusnya kamu liburan sama temen-temen kamu yang lain. Tapi, kamu malah milih di sini sama Ayah."

Mereka melepaskan pelukan. Jevano kembali duduk di tempatnya. Kepalanya kembali dibelai oleh sang ayah. "Jevano anak baik. Nurut sama Ayah, ya."

Kalau begini Jamal seperti sedang menenangkan Jevano kecilnya dulu. Tidak terasa anaknya itu sudah besar. Hampir enam belas tahun. Dan selama lima belas tahun hidupnya bersama Jevano, dia merasa belum bisa memberikan yang terbaik bagi anaknya. Maka dari itu, ini saat yang tepat untuk menebusnya.

Jevano baru saja lulus SMP dan pendaftaran untuk masuk SMA sudah dibuka. Hal itu membuat Jamal semakin bertekad untuk cepat sembuh dan berusaha dengan keras demi mencukupi kebutuhan Jevano ke depannya.

"Jangan khawatir. Kamu enggak lupa, 'kan, kalau Ayah juga dapat promosi dari kantor. Setelah Ayah sembuh, Ayah akan bekerja keras untuk mendapatkan uang lebih biar kita bisa liburan." Jamal menyuguhkan senyuman yang sangat teduh untuk anaknya.

Jevano mengangguk. Hal itu lebih dari cukup untuk membuat Jamal bahagia meskipun dia juga sedang merasakan sakit di dadanya. Tidak, dia tidak mempunyai masalah di jantung ataupun paru-paru. Rasa sakitnya lebih dalam dari pada itu.

"Maafkan Ayah, ya, Nak. Ayah harus berbohong." Suara hati Jamal berbicara.

Di balik pintu masuk itu, Juwita masih berdiri di sana sambil menyeka air matanya yang jatuh berkali-kali. Dia tidak jadi masuk dan malah mendengarkan percakapan antara ayah dan anaknya itu. Hatinya ikutan terenyuh. Dia bahkan mulai membayangkan bagaimana kehidupan mereka selama ini.

Wanita itu menutup kembali pintu dengan perlahan agar tidak mengeluarkan suara yang mengganggu. Dia masih mempunyai adab untuk tidak merusak suasana di dalam ruangan itu. Dia memilih untuk menunggu dan mendudukkan dirinya di kursi ruang tunggu depan ruangan tersebut.

Air matanya kembali jatuh. Ternyata orang yang menolongnya itu benar-benar baik. Namun, setelah mendengarkan percakapan tadi, Juwita malah semakin kepikiran tentang kehidupan keluarga kecil itu. Malang sekali nasib mereka. Satu hal yang membuatnya terbebani; karenanya, Jamal masih terbaring di rumah sakit ini dan meninggalkan pekerjaannya. Dia tidak bodoh untuk tidak memahami kondisi mereka dari pembicaraan tadi.

Juwita pun bertekad untuk membalas budi kepada Jamal dengan nilai yang lebih. Bagaimanapun secara tidak langsung, dia juga menjadi alasan atas nasib keluarga yang malang itu. Juga bagi Jevano untuk tidak ikut liburan bersama teman-temannya.

Dia harus memikirkan cara terbaik untuk membantu dengan halus.

"Tapi, bagaimana caranya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status