Juwita mendesah kasar. Kakinya menendang kaki meja terdekat. Kesal sekali rasanya. Kenapa harus membahas kejadian menyakitkan seperti itu untuk membuatnya menyerah? "Akh, kenapa harus nikah, sih?!" gerutunya dalam sepi. Dia pun meninggalkan sofa dan meja pelengkap itu untuk menuju tempat ternyaman di ruangan istirahat khususnya. Tubuhnya merebah di atas kasur yang empuk. Matanya menatap langit-langit lama. Pikirannya bercabang.
Tring!Suara dering ponsel membuatnya terbangun. Dia meraih benda pipih tersebut. Nama yang tertera di layar membuatnya mendengkus. "Kenapa telepon?" tanyanya agak judes karena masih kesal."Coba gue tebak. Kalau Kakak kayak gini, tuh, biasanya habis dapet pertanyaan 'kapan nikah' atau 'kamu mau sama dia enggak'. Correct me if I'm wrong." Suara itu membuat Juwita mendecak dan memutar bola mata. "Kan, gue bener. Hahaha. Mekanya, Kak. Cepetan cari gandengan sana." Tak ada jawaban dengan cepat berarti seniornya itu sedang menahan diri. Dia jadi girang kalau begini."Lo diem aja, ya, Hellen. Gue enggak selera debat.""Gak ada yang ngajak debat astaga. Frustasian amat jadi orang." Nada riang gadis itu memenuhi telinga Juwita. Dia jadi tidak tega sudah menjawab dengan sewot tadi."Sorry. Gue beneran lagi kepikiran ini. Mana Mama bawa-bawa umur Papa lagi." Dia menghela napas. "Apa gue beneran nikah aja, ya?""Woy, Kak! Ya iyalah. Anda ini bagaimana. Ya emang Kakak harus nikah. Emang mau jadi perawan tua?""Udah keles."Hellen terdiam. Sepertinya dia salah bicara. "Ma-maksud gue, emang mau terus-terusan gitu?" Dia menggosok telapak tangannya di atas paha. Khawatir yang diajak bicara masih sensi. Bisa tamat dia kalau mereka bertemu."Ya, enggak juga. Gue cuma gak bisa mikirin kalau nikah kayak gimana gitu, loh. Secara, gue enggak punya kenalan dan gue udah umur segini masih perawan," Juwita mencurahkan isi hatinya."Bagus, dong, Kak, masih perawan. Artinya Kakak masih terjaga." Hellen ingin melonggarkan hati sahabatnya."Lo pasti ngerti apa yang sebenernya gue maksud. Apalagi yang diinginkan Mama itu bukan sekedar pernikahan gue." Juwita menghela napas masygul. "Gue harus gimana.""Buka hati, Kak. Buka hati. Siapa tahu sebenernya banyak yang udah kepingin deketi Kakak tapi Kakak malah menghindar dan gak buka pintu sama sekali."Apa yang dikatakan Hellen sama dengan papanya tadi. Sudah lama dia tidak merasakan yang namanya jatuh cinta. Mungkin sekitar sepuluh tahun? Ah, dia hanya teringat dengan seniornya di bangku SMA yang sangat keren itu. Lalu, dia juga harus merasakan patah hati karena seniornya sudah memiliki kekasih. Itu cinta dan patah hati pertama yang harus dia rasakan secara bersamaan. Setelahnya, dia hanya mengagumi orang-orang di sekitarnya dan menolak para lelaki yang ingin menjalin hubungan kasih dengannya."Harus banget, ya, gue nerima Pak Karsa?" Itu adalah nama pria yang pernah menyatakan cinta kepada Juwita. Salah seorang pebisnis yang cukup disegani. Tentu saja dia juga mengajak Juwita membangun rumah tangga."Jangan, anjir. Ya, enggak Pak Karsa juga kali, Kak. Lo mau jadi istri pak tua kayak gitu? Ih, jangan, Kak. Dari lagatnya aja udah kelihatan kalau mata keranjang. Skandalnya banyak. Jangan, Kak. Jangan."Juwita tertawa. "Gue juga enggak seputus asa itu juga kali." Dia merebahkan dirinya di kasur lagi. "Lo tahu, Len? Gue bahkan jadi mikir mau kawin kontrak aja.""Lo gila, sih, Kak. Jatuh cinta beneran baru tahu rasa lo.""Iya, gue mikir gitu juga. Terus gue enggak bisa mikir jalan keluar apa pun.""Udah dibilang buka hati, Kak. Kakak juga cantik, kaya, rajin. Pasti banyak yang mau."Juwita memandangi langit-langit dengan tatapan kosong. "Iya, Len. Semoga."Semoga ada yang mau dan semoga orang itu tidak membuat hatinya sakit. Sebab, hal utama yang membuatnya menutup hati selama ini adalah dia takut patah hati lagi."Btw, Kak. Aku sebenarnya mau ngabari kalau Pak Jamal udah siuman. Anaknya juga langsung ke sini habis sekolah. Kakak enggak ada niatan buat ke sini apa?""Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.