"Kenapa Papa enggak marah sama Mama soal Pak Hadi?" tanyaku penuh selidik. Sejak tadi, pertanyaan itu terus menggangguku."Papa sadar kok Ma, selama ini belum bisa jadi suami yang baik. Karena itu, Papa malah malu, saat mengingat mantan Mama lebih perhatian sama Mama ...," jelasnya lirih.Sepertinya, dia memang benar-benar telah berubah. Karena aku tidak pernah melihatnya seperti ini sebelumnya. Akhirnya, kuturuti juga permintaan Mas Pras untuk pulang ke rumah, hari itu juga. Sebagai gantinya, aku mewanti-wanti dia supaya diam dan Teh Lina tidak perlu tahu masa laluku dengan Aa Hadi.Dia setuju dan mengerti hubunganku yang sudah terjalin baik dengan Teh Lina.Heummm, rasanya Mas Pras jadi terlihat lebih ganteng dua kali lipat kalau menuruti keinginan Jani. Uhuk!Sesampainya di rumah, mataku dibuat terbelalak oleh pemandangan yang ada. Sedangkan Mas Pras hanya senyum-senyum saja melihatku yang mulai kembali emosi.Baju kotor, piring kotor dan rumah yang berantakan. Semakin menambah le
"Assalamualaikum Tante ...!" Suara Ranti dari luar, cukup mengagetkan dan membuat kami saling bepandangan.Mas Pras lalu berjalan membukakan pintu."Waalaikumusalam, masuk, Ran!" perintahku tanpa beranjak. Maklum, masih lemas."Nindy sama Hamdi mana Tan? Kangen juga aku sama dua bocah itu, udah lama enggak gendong!" kata Ranti sembari masuk menghampiriku .Ranti ini kebiasaan. Kalau manggil Tante suka nggak selesai. Setengah-setengah begitu, kan jadi enggak enak didengernya!"Tidur di kamar tuh, habis makan," sahutku."Ehm, muka Tante pucat banget, sakit ya, Tan?" tanyanya terlihat khawatir."Iya Ran, sepertinya Tante kecapek-an di jalan waktu pulang kampung itu," kataku menerka.Mas Pras yang ada di hadapanku, memandang dengan khawatir."Belum enakan ya, Ma?" "Belum, Pa!""Ranti, Bagaimana kalau Om titip Nindy sama Hamdi? Om mau bawa Tante Jani ke dokter ...."Hah? Apa enggak salah denger ini? Tumben peka! Biasanya kalau belum berhari-hari, nggak bakal dibawa ke dokter."Iya Om, sa
Jakarta, dua belas tahun yang lalu."Assalamualaikum, Chika?" tanyaku pada seseorang di sambungan telepon. Tak sabar rasanya ingin berbicara dengan sahabat SD-ku itu. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa mendapatkan nomor telepon Chika dari Ina, teman sekelas kami juga."Waalaikumusalam, ini siapa?" sahut suara di ujung telepon.Tapi ... kenapa suaranya laki-laki?"Ini benar nomor telepon Chika?" tanyaku dengan sedikit ragu."Maaf salah sambung." Lelaki di ujung telepon memutuskan sambungan telepon.""Hih kenapa juga salah sambung? Ina gimana sih kasih nomor?" dengkusku kesal sambil melempar handphone pertama yang kumiliki itu. Harapanku untuk bisa berbicara dan melepas rindu dengan Chika pupus sudah.Kembali kuraih handphone Nokia 3310 itu dan mengamati nomor yang tertera di layar, dengan nomor di kertas pemberian dari Ina. Setelah kuperhatikan dengan teliti, tak ada yang salah dengan nomor yang diberikannya. Tapi kenapa bisa salah sambung?[Maaf ya, tadi saya lagi kerja. Boleh kena
Ya Allah, bagaimana ini???Ingin rasanya aku kabur ke planet Mars kalau begini. Bukan hanya bibirku yang tiba-tiba kelu. Kakiku lemas, nafas tercekat, seluruh sendi terasa lepas. Ya Allah, inikah akhir hidup Anjani???Ingin aku melirik bagaimana respon Teh Lina, atau Aa Hadi. Tapi aku tidak sanggup, aku hanya menunduk dan menunggu dengan pasrah, apapun yang akan terjadi selanjutnya."Sarah, maksud kamu apa?" tanya Teh Lina yang masih kebingungan.Kupejamkan mata dan berharap Sarah tiba-tiba bisu. Ya ampun jahat banget kamu Janiiii!!!"Mamaaaaaaaaaa ...! " Suara tangisan Hamdi, yang sering membuatku kesal, kini terdengar bagai pembawa alunan kesejukan."Hamdi?" seruku.Wussshhh!!!Kuambil jurus seribu langkah mengatasnamakan kekhawatiranku pada Hamdi.Terima kasih Nak, terima kasih! ucapku penuh haru.Dengan gemetar, aku menyusui Hamdi yang tangisnya langsung berhenti begitu aku datang.Menyusulah sepuasnya Nak, hari ini kamu pahlawan Mama! Ucapku dalam hati, sambil mengecup keningnya.
Teteh marah atau enggak sih, sama Jani?Hiks, mending Teteh bu**h Jani sekalian deh!Keesokan harinya, aku bangun lebih pagi untuk menyapu halaman, agar bisa bertemu dengan Teh Lina. Karena biasanya, dia akan membeli sayuran di ujung gang setiap pagi.Selain ucapan terima kasih atas oleh-oleh yang dia berikan, aku juga ingin memastikan sikap Teh Lina setelah mengetahui semuanya dari Sarah.Lama kusapu jalanan, hingga debu pun ikut menghilang, tapi Teh Lina tidak kunjung keluar. Ya Allah, apa Teh Lina tahu, kalau Jani nungguin Teteh?Rasanya kenapa lebih sakit daripada saat tahu telah dibohongi Aa Hadi ataupun Mas Pras?"Bersih amat sih, Ma!" tegur Mas Pras yang sedang bersiap berangkat kerja dan memanaskan motornya.Aku hanya mendelik tak menyahut. Sesaat kemudian, aku teringat sesuatu dan langsung menghampiri Mas Pras.Hari ini, kan hari gajian Mas Pras. Dan untuk pertama kali, aku tak ingin melewatkannya, meski hanya sekedar mengambil uang di ATM."Mana kartu ATM-nya Pa? Katanya Ma
Aku meringis saat rasa sakit di sekitar perut bagian bawah mulai menjalar.Perlahan, berusaha kembali mengingat kejadian tadi siang. Meski samar, aku masih ingat dan cukup sadar, saat dokter dan para perawat menanganiku yang mengalami pendarahan dan menyebabkan keguguran.Air mataku mengalir begitu mengingat, bayi di dalam kandunganku tidak bisa bertahan. Ya Allah ... apakah ini dosa Jani karena sempat mengeluhkan kehamilan ini?Samar-samar, kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan mendapati seorang wanita sedang duduk sambil memainkan ponselnya.Tapi ... bukankah itu Teh Lina?Ya Allah ... apa karena Jani rindu sama Teh Lina, terus jadi terbayang-bayang? Mana mungkin Teh Lina ada di sini?"Ehm ...!" Aku berdehem, bukan saja karena tenggorokanku kering, tapi sengaja agar menarik perhatian wanita berkerudung ungu yang sedang menunduk itu.Mendengarku berdehem, dia memasukan ponselnya ke dalam tas dan beranjak menghampiriku. Kini memang jelas, kalau dia benar-benar Teh Lina. MasyaaAl
Mas Pras diam membisu. Sengaja kukeraskan volume suara, hingga keluarganya sangat terkejut. Mungkin dia malu. Bukannya sungkem sama orangtuanya yang datang jauh dari kampung, Mas Pras malah melengos dan langsung pergi. Teh Lina terus menggenggam tanganku sejak tadi. Aku tahu, mungkin saat ini, aku terlihat seperti orang yang paling dikasihani.Sedangkan keluarga suamiku, mereka diam saja. Mungkin malu dengan kelakuan anaknya."Maaf ya Pak, Bu ...," ucapku sebisanya."Untuk apa, Nduk? Pras yang salah. Ibu sampai kehilangan muka begini!"Aku menghela nafas. Asal jangan suruh Jani cari ya Bu, Jani enggak tau hilang di mana, beneran deh ...!"Baiknya, kalian istirahat di kontrakan aja. Jani enggak tega. Kalian pasti capek seharian ini."Kasihan juga aku melihat mereka yang dipenuhi rasa bersalah. Terlebih, mereka belum istirahat sejak tiba siang tadi.Setelah memberi wejangan panjang lebar sampai aku mengantuk, keluarga Mas Pras menuruti saranku untuk kembali ke kontrakan."Sebentar lag
Assalamualaikum Teh ...Ketika membaca pesan ini, Jani berharap Teteh dalam keadaan bahagia.Terima kasih karena telah mengizinkan Jani memiliki seorang kakak seperti Teteh.Hanya ini yang bisa Jani berikan, semoga Teteh suka. Jani tau, Teteh bisa membeli apapun yang Teteh inginkan. Kalau bisa, apapun juga akan Jani berikan untuk Teteh, sebagai rasa terima kasih yang tulus dari seorang adik.Jangan melow ya Teh, nanti make-up nya luntur!_____________________________________________Pesan yang kutulis untuk Teh Lina dan kuselipkan bersama dengan tas kecil berwarna ungu, kembali terlintas di ingatanku.Aku sama sekali tidak menyangka, apa yang kutulis dadakan itu, bisa meredam kekesalan Teh Lina saat mengetahui masa laluku dengan Aa Hadi. Padahal, saat itu aku benar-benar tulus menuliskannya, karena rasa sayangku padanya sebagai seorang adik.***Hari ini, aku akan kembali ke kampung dan memulai lembaran baru di sana bersama anak-anakku.Mas Pras, bahkan tidak menahan sama sekali keti