Dunia mendadak dipenuhi abu-abu. Di mana-mana hanya kelabu, selayaknya hati yang tengah merasakan pilu. Begitu sakit. Sungguh terasa sakit meski tiada darah yang keluar dari luka yang jelas-jelas menganga di dalam sana. Luka lantaran putus cinta, benar-benar menyesakkan. Bahkan, air mata ikut berperan. Berkali-kali membuat jejak tangisan.
Nayra, dia baru saja putus cinta dari kekasih pertamanya. Kekasih yang begitu dicintainya. Sosok tampan yang begitu diharapkan untuk bisa berakhir di pelaminan. Nyatanya, usai tiga bulan yang manis dalam masa berpacaran, yang tersuguh selanjutnya adalah rasa hambar. Lebih dari itu, pahit pun turut Nayra rasakan.
"Break?"
Berulang kali Nayra mengulang kata 'break' yang menjadi penutup pesan usai kata maaf dan salam perpisahan.
"Putus? Aku dan kamu akhirnya putus? Benarkah ini?"
Nayra terus menatap layar ponselnya. Berusaha menolak fakta dengan mencari definisi lain dari kata 'break' yang dia terima. Sayangnya, Nayra tidak menemukan definisi lainnya. Di pesan selanjutnya, sang kekasih bahkan menegaskan dengan kata 'putus' yang seketika itu membuat Nayra berderai air mata.
Tes ... Tes-tes. Air mata jatuh tanpa aba-aba. Langsung menetes membasahi pipi Nayra. Awalnya hanya beberapa bulir, tapi selanjutnya begitu deras mengalir.
"Tega sekali kamu, Mas!" desis Nayra di sela isak tangisnya.
Air mata diusap perlahan. Nayra berusaha mengendalikan perasaan. Setelahnya, Nayra berniat membuat panggilan suara demi mendapat sebuah kejelasan. Nayra ingin sebuah alasan. Bukan hanya sebatas pesan pemberitahuan putus hubungan.
Satu kali mencoba, tidak ada tanda-tanda panggilan suara akan diterima. Percobaan kedua masih sama. Yang Nayra dengar hanya dering panggilan saja. Percobaan ketiga, yang ditelpon justru menonaktifkan nomor teleponnya.
"Pengecut!" umpat Nayra seraya melempar ponselnya ke kasur.
Hati dan pikiran tidak lagi bisa dikendalikan. Selain patah hati, kini Nayra juga emosi. Ingin rasanya memaki sang kekasih. Akan tetapi, Nayra masih sadar posisi.
"Kos-kosan. Iya. Aku harus ke sana sekarang. Jika di rumah, keluargaku pasti akan bertanya-tanya."
Nayra yang semula tengah libur semester dua di kampung halamannya, seketika memutuskan untuk kembali ke perantauannya. Tempat dia kuliah. Tempat yang mempertemukan Nayra dengan sosok lelaki yang kini menorehkan luka di hatinya.
Dengan lebih dulu membenahi mimik wajah, Nayra berpamitan kepada kedua orangtua. Satu alasan tentang perkuliahan lekas dipilih sebagai alasan. Berhasil, hanya dalam hitungan menit saja Nayra sudah berada di dalam kendaraan. Bersiap menuju tempat perantauan untuk bertemu kekasih yang kini statusnya sudah menjadi mantan.
"Mas Ivan, aku butuh kejelasan!" Lirih. Nayra berucap sembari mengusap air mata di pipi.
Ya, selama perjalanan, di dalam bus Nayra tidak bisa menahan tangisan. Memang, tidak ada isak tangis yang terdengar. Namun, tetap saja yang terlihat adalah tangisan, karena air mata Nayra terus mengalir meluapkan luka hati yang perihnya tidak tertahankan.
Dua jam perjalanan yang terasa menyesakkan. Selama dua jam lamanya Nayra harus meredam emosi berlebihan agar tidak terluapkan di dalam kendaraan umum yang penuh penumpang. Dan ... begitu sampai di kos-kosan, segala emosi dan rasa sakit hati itu terluapkan.
Di dalam kamar kos Nayra menangis sejadi-jadinya. Sesekali mengumpat dan memaki lelaki yang telah begitu tega mematahkan hatinya.
Puas dengan itu semua, barulah Nayra mencoba membuat panggilan suara lagi. Nomor ponsel sudah aktif kembali, tapi panggilan Nayra tidak diterima sama sekali. Hingga Nayra pun memutuskan untuk mengirim pesan. Posisi sang kekasih dipertanyakan. Namun, pesan balasan yang diterima beberapa saat kemudian justru menambah kekecewaan.
"Kenapa kamu menolak untuk bertemu denganku, Mas?" Nayra bertanya-tanya usai membaca pesan balasan.
Nayra tidak menyerah. Nayra kembali menghubungi kekasihnya. Dua kali mencoba, akhirnya panggilan suara itu diterima juga.
"Mas Ivan, aku mau ketemu!" Nayra to the point.
"Ngapain ketemu segala, sih. Semua sudah jelas, Nay. Kita putus!" tagas Ivan via panggilan telepon di seberang.
"Kenapa, Mas? Kenapa kamu minta putus? Bukankah tiga bulan ini hubungan kita baik-baik saja?" Nayra mulai meminta kejelasan.
Sejenak tidak ada sahutan di seberang. Nayra dengan menahan sesak di dada, tetap menunggu karena inilah kesempatannya untuk bisa mendengar penjelasan dari Ivan.
"Mas, jawab dong!"
"Seperti yang kubilang di pesan singkat tadi, Nay. Aku mau fokus kuliah!" ungkap Ivan.
"Bohong!"
Deg!
Nada suara Nayra meninggi. Jelas sekali Nayra ingin mengejar alasan yang lebih.
"Bohong apanya, sih Nay?"
"Jujur sama aku, Mas! Bukan itu kan alasanmu mutusin aku?"
Lagi-lagi Ivan di seberang sana terdiam. Tidak langsung merespon pertanyaan. Tentu, sikap Ivan yang demikian mengundang kecurigaan.
"Kenapa nggak dijawab, Mas? Ayo jujur!" desak Nayra.
"Kamu ingin aku jujur, Nay?"
"Iya!"
"Baiklah jika itu maumu. Aku akan jujur."
Lagi-lagi Ivan terdiam. Seolah ada kata-kata yang sedang dipersiapkan. Sementara Nayra, dia menajamkan pendengaran untuk mendengar penjelasan Ivan.
"Nay, kamu hanyalah cinta pengganti."
Deg!
Perih. Itulah yang Nayra rasakan usai penjelasan Ivan menohok hati. Air mata Nayra bahkan ikut mewarnai. Membasahi pipi, sebagai luapan rasa sakit hati.
"Kehadiranmu hanya sementara. Sebagai cinta pengganti dari mantan kekasihku yang sebelumnya. Si Ayu. Kamu pasti masih ingat dengan mantan kekasihku itu kan, Nay? Aku masih mencintainya. Dan ... maaf saja. Selama ini aku tidak mencintaimu sama sekali."
Deg!
Hati Nayra semakin terasa perih. Benar-benar sakiiiiit sekali. Seketika itu juga air mata semakin deras membasahi pipi. Isak tangis pun tidak lagi bisa ditutupi.
"Ka-mu ... TE-GA!" desis Nayra penuh penekanan kata.
"Maaf, Nay!"
"Maaf? Cukupkah kata maafmu itu mengobati lukaku ini, Mas? Aku sakit hati. Rasanya sakit sekali. Huuuuhuhuhuu!" Nayra terus terisak.
"Maaf." Hanya kata itu yang mampu Ivan katakan.
"Kamu bilang tidak mencintaiku sama sekali? Lalu kenapa kamu sering bicara tentang masa depan bersamaku sampai repot-repot ngenalin aku sama orangtuamu? Buat apa?!" Emosi Nayra tidak terbendung lagi.
"Maaf, Nay. Kuharap kamu bisa memahami posisiku."
"Apa kamu bilang? Kamu minta aku memahami posisimu, tapi kamu sendiri tega sama aku? Jahat sekali kamu, Mas!"
"Maaf, Nay."
Nayra terisak. Maaf dan penjelasan dari Ivan membuat hatinya semakin sesak. Di tengah kekacauan suasana hati yang menyakitkan, pikiran Nayra membuat banyak dugaan. Mendadak saja Nayra teringat satu pesan singkat di ponsel Ivan. Pesan singkat dari teman perempuan Ivan, yang kala itu mengucapkan selamat malam dengan emoticon yang menyiratkan perasaan.
Deg!
Jantung Nayra langsung berdebar-debar. Isak tangis memang sudah memelan, tapi dugaan yang baru saja muncul justru membuat Nayra diselimuti kecurigaan.
"Mas, kamu bohong lagi, kan?"
"Apanya sih, Nay? Aku sudah jujur. Aku masih mencintai mantan kekasihku. Kamu mau ngejar penjelasan apalagi, sih?"
"Jujur sama aku, Mas! Kamu selingkuh kan? Aku yakin sekali ada orang ketiga yang merusak hubungan kita."
Ivan bungkam. Lama sekali tidak melontarkan penjelasan. Nayra yang yakin sekali dengan dugaannya terus mendesak Ivan agar kembali memberi penjelasan."Jawab, Mas!"
"Oke. Aku jawab. Aku sudah jujur tentang aku yang masih mencintai mantan kekasihku. Dan kamu ... Aku tahu kamu tulus mencintaiku, Nay. Tapi ada orang lain yang cintanya jauh lebih besar darimu. Dia rela berkorban memutuskan pacarnya demi aku!"
Deg!
Nayra jatuh terduduk di tepi ranjang kamar kos-kosan. Penjelasan Ivan hanya menegaskan bahwa status Nayra selama ini hanyalah sebagai cinta pengganti. Lebih dari itu, status cinta pengganti yang disandang Nayra, dengan begitu mudah digantikan oleh perempuan lain yang katanya cintanya jauh lebih besar dari dirinya.
"Apa yang kamu maksud ini adalah mantan kekasihmu sebelum aku, Mas?" tanya Nayra sembari menahan perih di dada.
"Bukan dia, tapi perempuan lainnya."
Deg!
"Dasar buaya!" umpat Nayra, dan seketika itu panggilan suara dimatikan sepihak oleh Ivan.
Nayra sesenggukan. Hatinya begitu perih tak tertahankan. Tidak ada lagi umpatan, makian, bahkan kata-kata apa pun yang dilontarkan. Yang ada hanya tangisan. Terus meluap dengan harapan bisa melegakan luka hati yang teramat menyakitkan. Ya, hanya harapan. Nyatanya, perih itu masih saja bertahan.
"Dasar buaya! Hah!"
Klotak!
Suara itu rupanya terdengar hingga keluar kamar. Febi, sahabat Nayra satu kos-kosan yang mendengar suara itu langsung membuka pintu kamar. Bola mata Febi membulat seketika. Tidak percaya mendapati kondisi sahabatnya di dalam kamar sana.
"Nayra!" seru Febi, melangkah cepat masuk ke dalam kamar Nayra.
Bersambung ....
Apa yang terjadi dengan Nayra? Nantikan lanjutan ceritanya!
Tidak butuh waktu lama hingga kabar itu sampai di telinga Nayra. Rasa tidak percaya sempat melanda. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Nayra bahwa sosok dalam peti adalah suaminya. “Jam tangan ini adalah hadiah yang kuberikan pada Mas Dhanu di hari bahagia kami. Mas … Dhanu ….” Air mata Nayra tumpah beriringan dengan sesak yang melanda dada. Semua kerabat sudah mengikhlaskan. Termasuk Nayra, dia pun mencoba ikhlash dengan takdir yang digariskan padanya. Meski sudah berminggu-minggu berlalu usai kejadian itu, kesedihan masih saja melanda dada. “Nayra, makanlah ini!” Itu suara lembut Soraya. Sejak menjadi istri Ron, Soraya sudah banyak berubah. Menjadi sosok yang lebih baik dan begitu ramah pada Nayra. Apalagi sejak Nayra kehilangan Dhanu, Soraya lebih sering mengunjungi Nayra. “Terima kasih, Sora. Apa Ron juga datang?” “Tuh! Baru aja selesai ngajak ngobrol si Bagas.”
Pulang kerja lebih awal membuat Nayra girang. Waktu bersama sang suami tentu saja lebih banyak dimanfaatkan. Hanya saja, Nayra terganggu dengan sikap Dhanu yang terkadang berubah sebal saat Nayra membahas tentang pekerjaan.“Kata orang, berbagi beban itu menguntungkan. Meski orang yang kita bagi itu tidak sepenuhnya paham, tapi cukup didengarkan saja membuat beban itu berkurang. Maukah Mas Dhanu berbagi cerita denganku?” tanya Nayra usai beberapa saat menimbang.Penuturan sang istri membuat Dhanu mengubah ego diri. Dhanu memutuskan untuk berterus terang. Tentang pekerjaan, Erika, dan rasa sebal yang masih saja tertanam meski Dhanu sudah memutuskan untuk mengabaikan Erika.“Seperti yang sudah pernah kubilang, Mas. Aku percaya pada Mas Dhanu. Aku tidak masalah jika Mas Dhanu harus berelasi dengan mantan kekasih Mas Dhanu di masa lalu itu. Jadi, Mas Dhanu yang tenang ya saat bekerja. Buang saja rasa sebalnya.”“Aku rasa, tidak a
Klontang! Beberapa peralatan dapur terjatuh. Lengan Nayra tak sengaja menyenggolnya. Dengan tergopoh Nayra mengambilnya, sambil melihat ke arah Dhanu yang tampak tenang-tenang saja. Ada perasaan tak biasa yang mulai dirasakan Nayra. Sikap Dhanulah penyebabnya. Biasanya Dhanu akan bersikap begitu peduli padanya. Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Meskipun Dhanu ada di dekat Nayra, tapi Dhanu sama sekali tidak membantu Nayra. Sedari duduk di kursi meja makan, fokus Dhanu tertuju pada layar ponsel. Raut wajahnya tidak berhias senyuman. Sempat Nayra bertanya, tapi Dhanu menjawab seadanya. Lantaran tidak nyaman, Nayra mendekati Dhanu dan mempertanyakan. “Mas, apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Nayra dengan hati-hati. Dhanu yang semula fokus ke layar ponsel, langsung mendongak usai mendengar pertanyaan itu. Dengan cepat Dhanu menggelengkan kepala, kemudian memberikan senyuman termanisnya untuk sang istri tercinta. “Maafkan aku,
Tamu kecil yang berdiri di depan pintu sama sekali tidak Nayra kenal. Nayra sempat tengok kiri kanan, siapa tahu ada orang lain yang mengantar. Namun, tidak ada tanda orang lain di sekitaran. Si tamu yang tak lain adalah bocah laki-laki itu datang sendirian.“Tadi … kamu memanggilku apa?” tanya Nayra sambil memposisikan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi si bocah.“Hehe. Iya, maaf. Kak Nayra.”Dengan lugunya bocah laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan wadah makanan berwarna biru dominan. Sambil tersenyum, Nayra menerima wadah makanan tersebut, dan tak lupa mengusap kepala si bocah dengan ramah.“Anak ganteng, siapa namamu?”“Bagas.”“Hai, Bagas. Berapa usiamu?”Si bocah lekaki bernama Bagas itu tidak menjawab, melainkan berhitung dari satu sampai tujuh sambil membuka satu per satu jemari tangannya. Selesai berhitung di angka tujuh, Bagas menyebutkan usianya den
Jalan tak melulu lurus. Ada kalanya belokan dan jalan bercabang tersuguh mengiringi perjalanan. Sesekali kerikil memberi kesan kasar. Bahkan, bebatuan besar nan tajam juga turut membayang di tepian.Ini bukan tentang kiasan hidup, melainkan perjalanan nyata yang ditempuh oleh Dhanu dan sahabat baiknya, Ron. Mereka berdua baru saja melewati jalan yang kurang nyaman untuk dilewati. Banyak belokan, jalan bercabang, kerikil, bahkan bebatuan besar di tepian cukup sering mereka jumpai.Ada perasaan gusar bercampur protes yang mengiringi perjalanan. Dhanu dan Ron bergantian saling menyalahkan atas kondisi yang saat ini harus bisa segera diselesaikan.“Belok kanan, Dhan! Aku yakin itu jalan yang benar!” seru Ron dari boncengan motor.“Kau yakin kali ini, Ron? Jika tidak, kita akan tersesat semakin jauh!”“Yakin sekali. Pasti ada warga di ujung jalan sana. Satu petunjuk saja, kita bisa pulang dengan segera.” Ron menggebu-
Rumah minimalis dua lantai, dengan garasi mobil dan teras depan yang tidak terlalu lebar. Di sinilah Nayra dan Dhanu tinggal. Kado pernikahan dari orangtua Dhanu memang menakjubkan. Sebuah rumah yang menjadi awal kehidupan baru setelah pernikahan.Hanya saja, rumah Nayra dan Dhanu terletak cukup jauh dari rumah orantua Dhanu. Letak rumah baru itu dipilih karena orangtua Dhanu juga memikirkan pekerjaan putranya. Sehingga, Dhanu tidak perlu lagi mengontrak rumah di dekat perusahaan tempatnya bekerja.Nayra, setelah menikah dengan Dhanu dia masih belum memikirkan untuk kembali bekerja. Lagipula, Dhanu meminta Nayra untuk terus menemaninya. Paham posisi dan status sebagai istri, membuat Nayra dengan ringan hati menuruti keinginan sang suami.“Mas, ayah ibu Mas Dhanu barusan telepon.”“Ada apa katanya?”“Ada yang kirim kado pernikahan buat kita di rumah sana, Mas.”“Akan kutelpon adik-adikku dulu. Biar ka