Beranda / Romansa / JAIME (Indonesia) / Episode 2 : Luka Hati

Share

Episode 2 : Luka Hati

Penulis: iHapsari
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-05 02:01:00

Nayra sesenggukan sembari meringkuk di lantai kamar. Itulah pemandangan mengejutkan yang membuat Febi berlarian. Diraihnya tubuh Nayra, lantas didudukkan. 

Mata sembab, dengan air mata yang tidak henti-hentinya mengalir menyisakan jejak. Betapa raut wajah Nayra sungguh membuat prihatin siapa saja yang melihatnya. Seolah perih yang Nayra rasakan, tersalurkan pada orang di sekitarnya.

"Kamu kenapa, Nay?" tanya Febi.

Bibir Nayra hendak berucap. Berniat menjelaskan dengan singkat. Namun, lidahnya justru tercekat. Tiada kata yang terlontar demi memberi sebuah penjelasan. Yang tersuguh justru tangis sesenggukan. 

"Huuuuhuhuhu." 

Isak tangis Nayra terus menjadi, kala Febi sekali lagi bertanya tentang apa yang terjadi. Sungguh, Nayra ingin sekali berucap, mengumpat, meneriaki Ivan dan meluapkan luka hati yang begitu menyakitkan. Akan tetapi, lagi-lagi yang terus tersuguh hanyalah sebuah tangisan.

"Cup-cup-cup. Tenangkan dirimu dulu, Nay. Nanti saja jelaskan saat dirimu sudah tenang." Febi mencoba menjadi sahabat yang mengerti keadaan.

Satu anggukan tercipta di sela isak tangis Nayra. Selanjutnya, dengan disaksikan oleh sahabat baiknya, Nayra terus meluapkan rasa sakit hatinya melalui derai air mata. Hanya air mata yang saat ini mampu mewakili suasana hati Nayra.

Satu ruang kamar menggema suara tangisan. Teramat memilukan. Siapa pun yang mendengar, pastilah ikut merasakan kesedihan yang Nayra rasakan. Tak terkecuali dengan Febi, sahabat baik Nayra itu juga pilu melihat Nayra terus menangis tanpa henti. Apalah daya, yang Febi bisa lakukan saat ini hanyalah membiarkan air mata Nayra tumpah demi setitik rasa lega.

Lima belas menit berlalu. Isak tangis Nayra sudah mereda, meski linangan air mata itu masih membasahi pipinya. Sesekali Nayra tampak mengusap jejak air mata. Namun, kembali berjejak karena linangan air mata lainnya. 

Febi memperhatikan. Seketika itu mengambil kesempatan untuk mengambil beberapa barang di lantai kamar. Ada gelas plastik, sendok plastik, dan satu mangkuk plastik. Febi yakin sekali barang-barang plastik itulah yang tadi membuat bunyi 'klotak'.

"Minum dulu, Nay." Febi menyerahkan sebotol air mineral. 

"Makasih, Bi." Akhirnya, Nayra bisa berucap juga.

Air menineral diteguk perlahan. Ya, mulanya hanya perlahan. Satu dua tegukan. Sesaat kemudian, Nayra meneguk air mineralnya secara keseluruhan. Dalam sekejab, sebotol pun tandas, tidak ada lagi yang disisakan. Lebih dari itu, Nayra juga meremukkan botol air mineral dalam genggaman.

Kreeek! 

Febi yang melihat itu langsung menelan ludah. Melihat emosi Nayra yang tersalurkan lewat remukan botol air mineral, membuat Febi memunculkan banyak dugaan. Salah satunya tentang Ivan. Ya, Febi memang tahu tentang hubungan Nayra dengan Ivan.

"Nay, apa ini ada hubungannya dengan Kak Ivan?" 

Deg!

Nayra seketika menoleh ke arah Febi. Sorot matanya tajam, seolah menyimpan sebuah emosi yang siap dilontarkan. 

"Em ... Nay. Jangan gitu dong lihatinnya! Aku takut, nih!" Jantung Febi mendadak berdebar kencang. 

Sorot mata Nayra yang semula tajam, perlahan memudar. Nayra berganti pandang, menatap ubin-ubin kamar. Satu tarikan nafas dalam dilakukan. Setelahnya, barulah keluh-kesah Nayra dilontarkan dengan emosi yang masih bisa dikendalikan. 

"Iya, Bi. Mas Ivan mutusin aku," ungkap Nayra.

"Ha? Kok bisa, Nay? Bukankah minggu lalu kamu baru aja cerita kalau Kak Ivan mau nikahin kamu?" 

Salah. Tidak semestinya Febi bertanya dengan rasa terkejut yang justru tampak menggebu saat membuat tanya. Usai pertanyaan itu, mimik wajah Nayra berubah. Emosi yang tadi sempat mereda, kini justru kembali mengudara.

"Mas Ivan jahat!" Botol air mineral yang sudah diremat justru dilempar asal ke arah dinding kamar.

"Nay, yang tenang dong!"

"Gimana mau tenang, Bi? Mas Ivan baru aja mutusin aku karena kehadiran cewek lain. Mas Ivan selingkuh, Bi. Se-ling-kuh."

Air mata Nayra kembali mengalir. Luka hati yang masih menganga jelas masih terasa perihnya. Begitu sakit hati itu membuncah, air mata tanpa permisi menjadi penandanya. Tanpa permisi, tanpa aba-aba. Yang Nayra pahami, begitu sakit hati terasa, air mata itu pun tumpah seketika. 

"Mas Ivan tega banget sama aku, Bi. Tiga bulan pacaran, ujung-ujungnya pisah karena hadirnya orang ketiga." Nayra menyeka ujung matanya. 

Febi membiarkan Nayra bercerita. Terus dibiarkan hingga akhirnya tangis Nayra kembali menjadi usai mengungkap statusnya yang selama ini hanya dijadikan sebagai cinta pengganti. 

"Tisu, Nay." Febi menyodorkan sekotak tisu yang langsung disambut oleh Nayra.

"Mas Ivan masih cinta sama mantannya, Bi. Kekasihnya sebelum aku. Aku ini cuma cinta pengganti untuk sementara. Pelarian saja. Mas Ivan nggak pernah cinta. Begitu ketemu cewek lainnya, aku langsung diputusin gitu aja. Apa artinya aku yang juga seorang wanita? Sakit, Bi. Hatiku sakiiiiit sekali." 

Curhatan Nayra terus meluncur disertai derai air mata. Bedanya, kini Nayra bisa bercerita dengan lancar, meski ada emosi yang diluapkan. Paling tidak itu bagus untuk Nayra, sehingga sesak di dada bisa terkurangi dengan bercerita pada sahabatnya. 

"Anganku begitu tinggi. Aku terlanjur mencintai, Bi. Aku cinta Mas Ivan, tapi sekarang ... statusku hanyalah seorang mantan." 

Sesak hati Nayra kala menyebut kata mantan dengan begitu gamblangnya. Indah yang tiga bulan dirasa, kini harus berakhir pahit dan menyisakan luka di hati Nayra. 

"Apa aku kurang cantik, ya Bi? Atau mungkin ... penampilanku terlalu cupu? Pantas saja Mas Ivan memutuskanku." Seketika itu Nayra berdiri dan bercermin.

"Nay, sudah. Jangan mikir macam-macan lagi. Kamu itu cantik, baik." Febi berusaha menenangkan.

"Tapi kenapa Mas Ivan lebih milih wanita itu, Bi? Bukankah itu artinya aku benar-benar kurang di mata Mas Ivan?" 

"Kak Ivan yang kurang ajar, Nay. Bukan kamu yang kurang."

Febi tersulut juga emosinya. Ada rasa tidak terima sahabat baiknya itu diperlakukan demikian oleh Ivan. Namun, cepat-cepat Febi bersikap netral. Tidak lagi menyudutkan. Febi kembali menenangkan.

"Nay, mungkin ini jalan terbaik untukmu. Pertanda Mas Ivan bukan laki-laki yang baik untukmu." 

Nayra membuang pandang. Sebenarnya, hati kecil Nayra sempat mengatakan demikian. Hanya saja Nayra terlalu tebutakan oleh rasa cinta yang berlebihan pada Ivan. Jadilah, yang Nayra lakukan justru membanding-bandingkan dirinya dengan wanita pilihan Ivan.

"Nay," panggil Febi karena tidak mendapat tanggapan atas nasihatnya barusan.

Nayra menoleh. Meski terkesan acuh atas kata-kata Febi barusan, tapi Nayra memikirkan. 

"Bi, aku mau ketemu Mas Ivan," ungkap Nayra setelah lama terdiam.

"Buat apa, Nay? Mau nangis di depannya? Iya? Aku nggak setuju!"

Febi tegas mencegah kali ini. Sebagai sahabat, Febi tahu betul karakter Nayra yang mudah melow. Bertemu Ivan hanya akan menunjukkan kelemahan. Yang ada bukanlah penyelesaian, tapi sebuah tangisan. 

Nayra tersenyum kecut. Merasa bahwa dirinya tidak akan mungkin bisa bertemu Ivan untuk sekedar melontarkan kata makian atas kekecewaan yang Nayra rasakan. 

"Haruskah aku merelakan Mas Ivan untuk cewek itu, Bi?" Getir hati Nayra saat meminta pendapat Febi.

"Iya, Nay."

Nayra tertunduk sebentar. Mengambil nafas dalam, kemudian menyeka air matanya supaya tidak jatuh lagi membuat jejak tangisan. 

"Bisakah aku melakukannya, Bi?"

Pertanyaan Nayra membuat Febi justru bertanya-tanya. Febi tahu bahwa Nayra adalah perempuan cerdas, dan sering mengambil keputusan tegas. Nyatanya, kali ini sikap itu tidak nampak sama sekali pada diri Nayra. Yang nampak jelas hanyalah jiwa rapuh, yang masih mengharap cinta mantan untuk kembali direngkuh. Betapa definisi cinta itu buta kini berlaku. Nayra telah terbutakan oleh cinta, sungguh.

Lantaran tidak mendengar jawaban dari Febi, Nayra pun membuat keputusan sendiri. Nayra sadar, hatinya terluka begitu dalam karena cinta secara berlebihan. Nayra paham, pengharapan tinggi untuk bisa bersama Ivan adalah sebuah kesalahan. 

"Baiklah. Aku akan move on, Bi." 

Nayra memutuskan. Terdengar seperti sebuah keputusan yang dipaksakan demi sebuah perubahan keadaan. Namun, Nayra sadar bahwa dirinya harus segera melakukan. 

"Aku dukung keputusanmu, Nay. Move on lebih baik daripada terus bertahan dalam luka hati yang menyakitkan."

Nayra tersenyum kali ini. Bukan senyum kecut seperti tadi. Senyum Nayra kali ini dari hati. Wujud dari satu kesungguhan untuk benar-benar bisa move on dari Ivan. Akan tetapi, kata-kata Nayra selanjutnya justru mengundang kekhawatiran. 

"Sepertinya, hatiku akan terkunci. Aku tidak percaya lagi pada laki-laki."

Deg!

Ucapan Nayra barusan meluncur dengan ringan. Namun, Febi yang mendengar kalimat itu justru kepikiran.

Luka di hati Nayra telah menjelma bibit trauma. Rasa tidak percaya yang diungkapkannya, jelas-jelas akan berdampak pada langkah Nayra ke depannya. Lalu, sampai kapan Nayra akan mengunci hatinya?

Bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JAIME (Indonesia)   Episode 49 : Keseimbangan

    Tidak butuh waktu lama hingga kabar itu sampai di telinga Nayra. Rasa tidak percaya sempat melanda. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Nayra bahwa sosok dalam peti adalah suaminya. “Jam tangan ini adalah hadiah yang kuberikan pada Mas Dhanu di hari bahagia kami. Mas … Dhanu ….” Air mata Nayra tumpah beriringan dengan sesak yang melanda dada. Semua kerabat sudah mengikhlaskan. Termasuk Nayra, dia pun mencoba ikhlash dengan takdir yang digariskan padanya. Meski sudah berminggu-minggu berlalu usai kejadian itu, kesedihan masih saja melanda dada. “Nayra, makanlah ini!” Itu suara lembut Soraya. Sejak menjadi istri Ron, Soraya sudah banyak berubah. Menjadi sosok yang lebih baik dan begitu ramah pada Nayra. Apalagi sejak Nayra kehilangan Dhanu, Soraya lebih sering mengunjungi Nayra. “Terima kasih, Sora. Apa Ron juga datang?” “Tuh! Baru aja selesai ngajak ngobrol si Bagas.”

  • JAIME (Indonesia)   Episode 48 : Beginikah Takdirnya?

    Pulang kerja lebih awal membuat Nayra girang. Waktu bersama sang suami tentu saja lebih banyak dimanfaatkan. Hanya saja, Nayra terganggu dengan sikap Dhanu yang terkadang berubah sebal saat Nayra membahas tentang pekerjaan.“Kata orang, berbagi beban itu menguntungkan. Meski orang yang kita bagi itu tidak sepenuhnya paham, tapi cukup didengarkan saja membuat beban itu berkurang. Maukah Mas Dhanu berbagi cerita denganku?” tanya Nayra usai beberapa saat menimbang.Penuturan sang istri membuat Dhanu mengubah ego diri. Dhanu memutuskan untuk berterus terang. Tentang pekerjaan, Erika, dan rasa sebal yang masih saja tertanam meski Dhanu sudah memutuskan untuk mengabaikan Erika.“Seperti yang sudah pernah kubilang, Mas. Aku percaya pada Mas Dhanu. Aku tidak masalah jika Mas Dhanu harus berelasi dengan mantan kekasih Mas Dhanu di masa lalu itu. Jadi, Mas Dhanu yang tenang ya saat bekerja. Buang saja rasa sebalnya.”“Aku rasa, tidak a

  • JAIME (Indonesia)   Episode 47 : Memperbaiki Hubungan

    Klontang! Beberapa peralatan dapur terjatuh. Lengan Nayra tak sengaja menyenggolnya. Dengan tergopoh Nayra mengambilnya, sambil melihat ke arah Dhanu yang tampak tenang-tenang saja. Ada perasaan tak biasa yang mulai dirasakan Nayra. Sikap Dhanulah penyebabnya. Biasanya Dhanu akan bersikap begitu peduli padanya. Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Meskipun Dhanu ada di dekat Nayra, tapi Dhanu sama sekali tidak membantu Nayra. Sedari duduk di kursi meja makan, fokus Dhanu tertuju pada layar ponsel. Raut wajahnya tidak berhias senyuman. Sempat Nayra bertanya, tapi Dhanu menjawab seadanya. Lantaran tidak nyaman, Nayra mendekati Dhanu dan mempertanyakan. “Mas, apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Nayra dengan hati-hati. Dhanu yang semula fokus ke layar ponsel, langsung mendongak usai mendengar pertanyaan itu. Dengan cepat Dhanu menggelengkan kepala, kemudian memberikan senyuman termanisnya untuk sang istri tercinta. “Maafkan aku,

  • JAIME (Indonesia)   Episode 46 : Tetangga Sebelah

    Tamu kecil yang berdiri di depan pintu sama sekali tidak Nayra kenal. Nayra sempat tengok kiri kanan, siapa tahu ada orang lain yang mengantar. Namun, tidak ada tanda orang lain di sekitaran. Si tamu yang tak lain adalah bocah laki-laki itu datang sendirian.“Tadi … kamu memanggilku apa?” tanya Nayra sambil memposisikan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi si bocah.“Hehe. Iya, maaf. Kak Nayra.”Dengan lugunya bocah laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan wadah makanan berwarna biru dominan. Sambil tersenyum, Nayra menerima wadah makanan tersebut, dan tak lupa mengusap kepala si bocah dengan ramah.“Anak ganteng, siapa namamu?”“Bagas.”“Hai, Bagas. Berapa usiamu?”Si bocah lekaki bernama Bagas itu tidak menjawab, melainkan berhitung dari satu sampai tujuh sambil membuka satu per satu jemari tangannya. Selesai berhitung di angka tujuh, Bagas menyebutkan usianya den

  • JAIME (Indonesia)   Episode 45 : Tersesat

    Jalan tak melulu lurus. Ada kalanya belokan dan jalan bercabang tersuguh mengiringi perjalanan. Sesekali kerikil memberi kesan kasar. Bahkan, bebatuan besar nan tajam juga turut membayang di tepian.Ini bukan tentang kiasan hidup, melainkan perjalanan nyata yang ditempuh oleh Dhanu dan sahabat baiknya, Ron. Mereka berdua baru saja melewati jalan yang kurang nyaman untuk dilewati. Banyak belokan, jalan bercabang, kerikil, bahkan bebatuan besar di tepian cukup sering mereka jumpai.Ada perasaan gusar bercampur protes yang mengiringi perjalanan. Dhanu dan Ron bergantian saling menyalahkan atas kondisi yang saat ini harus bisa segera diselesaikan.“Belok kanan, Dhan! Aku yakin itu jalan yang benar!” seru Ron dari boncengan motor.“Kau yakin kali ini, Ron? Jika tidak, kita akan tersesat semakin jauh!”“Yakin sekali. Pasti ada warga di ujung jalan sana. Satu petunjuk saja, kita bisa pulang dengan segera.” Ron menggebu-

  • JAIME (Indonesia)   Episode 44 : Kado Pernikahan

    Rumah minimalis dua lantai, dengan garasi mobil dan teras depan yang tidak terlalu lebar. Di sinilah Nayra dan Dhanu tinggal. Kado pernikahan dari orangtua Dhanu memang menakjubkan. Sebuah rumah yang menjadi awal kehidupan baru setelah pernikahan.Hanya saja, rumah Nayra dan Dhanu terletak cukup jauh dari rumah orantua Dhanu. Letak rumah baru itu dipilih karena orangtua Dhanu juga memikirkan pekerjaan putranya. Sehingga, Dhanu tidak perlu lagi mengontrak rumah di dekat perusahaan tempatnya bekerja.Nayra, setelah menikah dengan Dhanu dia masih belum memikirkan untuk kembali bekerja. Lagipula, Dhanu meminta Nayra untuk terus menemaninya. Paham posisi dan status sebagai istri, membuat Nayra dengan ringan hati menuruti keinginan sang suami.“Mas, ayah ibu Mas Dhanu barusan telepon.”“Ada apa katanya?”“Ada yang kirim kado pernikahan buat kita di rumah sana, Mas.”“Akan kutelpon adik-adikku dulu. Biar ka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status