Share

Episode 2 : Luka Hati

Nayra sesenggukan sembari meringkuk di lantai kamar. Itulah pemandangan mengejutkan yang membuat Febi berlarian. Diraihnya tubuh Nayra, lantas didudukkan. 

Mata sembab, dengan air mata yang tidak henti-hentinya mengalir menyisakan jejak. Betapa raut wajah Nayra sungguh membuat prihatin siapa saja yang melihatnya. Seolah perih yang Nayra rasakan, tersalurkan pada orang di sekitarnya.

"Kamu kenapa, Nay?" tanya Febi.

Bibir Nayra hendak berucap. Berniat menjelaskan dengan singkat. Namun, lidahnya justru tercekat. Tiada kata yang terlontar demi memberi sebuah penjelasan. Yang tersuguh justru tangis sesenggukan. 

"Huuuuhuhuhu." 

Isak tangis Nayra terus menjadi, kala Febi sekali lagi bertanya tentang apa yang terjadi. Sungguh, Nayra ingin sekali berucap, mengumpat, meneriaki Ivan dan meluapkan luka hati yang begitu menyakitkan. Akan tetapi, lagi-lagi yang terus tersuguh hanyalah sebuah tangisan.

"Cup-cup-cup. Tenangkan dirimu dulu, Nay. Nanti saja jelaskan saat dirimu sudah tenang." Febi mencoba menjadi sahabat yang mengerti keadaan.

Satu anggukan tercipta di sela isak tangis Nayra. Selanjutnya, dengan disaksikan oleh sahabat baiknya, Nayra terus meluapkan rasa sakit hatinya melalui derai air mata. Hanya air mata yang saat ini mampu mewakili suasana hati Nayra.

Satu ruang kamar menggema suara tangisan. Teramat memilukan. Siapa pun yang mendengar, pastilah ikut merasakan kesedihan yang Nayra rasakan. Tak terkecuali dengan Febi, sahabat baik Nayra itu juga pilu melihat Nayra terus menangis tanpa henti. Apalah daya, yang Febi bisa lakukan saat ini hanyalah membiarkan air mata Nayra tumpah demi setitik rasa lega.

Lima belas menit berlalu. Isak tangis Nayra sudah mereda, meski linangan air mata itu masih membasahi pipinya. Sesekali Nayra tampak mengusap jejak air mata. Namun, kembali berjejak karena linangan air mata lainnya. 

Febi memperhatikan. Seketika itu mengambil kesempatan untuk mengambil beberapa barang di lantai kamar. Ada gelas plastik, sendok plastik, dan satu mangkuk plastik. Febi yakin sekali barang-barang plastik itulah yang tadi membuat bunyi 'klotak'.

"Minum dulu, Nay." Febi menyerahkan sebotol air mineral. 

"Makasih, Bi." Akhirnya, Nayra bisa berucap juga.

Air menineral diteguk perlahan. Ya, mulanya hanya perlahan. Satu dua tegukan. Sesaat kemudian, Nayra meneguk air mineralnya secara keseluruhan. Dalam sekejab, sebotol pun tandas, tidak ada lagi yang disisakan. Lebih dari itu, Nayra juga meremukkan botol air mineral dalam genggaman.

Kreeek! 

Febi yang melihat itu langsung menelan ludah. Melihat emosi Nayra yang tersalurkan lewat remukan botol air mineral, membuat Febi memunculkan banyak dugaan. Salah satunya tentang Ivan. Ya, Febi memang tahu tentang hubungan Nayra dengan Ivan.

"Nay, apa ini ada hubungannya dengan Kak Ivan?" 

Deg!

Nayra seketika menoleh ke arah Febi. Sorot matanya tajam, seolah menyimpan sebuah emosi yang siap dilontarkan. 

"Em ... Nay. Jangan gitu dong lihatinnya! Aku takut, nih!" Jantung Febi mendadak berdebar kencang. 

Sorot mata Nayra yang semula tajam, perlahan memudar. Nayra berganti pandang, menatap ubin-ubin kamar. Satu tarikan nafas dalam dilakukan. Setelahnya, barulah keluh-kesah Nayra dilontarkan dengan emosi yang masih bisa dikendalikan. 

"Iya, Bi. Mas Ivan mutusin aku," ungkap Nayra.

"Ha? Kok bisa, Nay? Bukankah minggu lalu kamu baru aja cerita kalau Kak Ivan mau nikahin kamu?" 

Salah. Tidak semestinya Febi bertanya dengan rasa terkejut yang justru tampak menggebu saat membuat tanya. Usai pertanyaan itu, mimik wajah Nayra berubah. Emosi yang tadi sempat mereda, kini justru kembali mengudara.

"Mas Ivan jahat!" Botol air mineral yang sudah diremat justru dilempar asal ke arah dinding kamar.

"Nay, yang tenang dong!"

"Gimana mau tenang, Bi? Mas Ivan baru aja mutusin aku karena kehadiran cewek lain. Mas Ivan selingkuh, Bi. Se-ling-kuh."

Air mata Nayra kembali mengalir. Luka hati yang masih menganga jelas masih terasa perihnya. Begitu sakit hati itu membuncah, air mata tanpa permisi menjadi penandanya. Tanpa permisi, tanpa aba-aba. Yang Nayra pahami, begitu sakit hati terasa, air mata itu pun tumpah seketika. 

"Mas Ivan tega banget sama aku, Bi. Tiga bulan pacaran, ujung-ujungnya pisah karena hadirnya orang ketiga." Nayra menyeka ujung matanya. 

Febi membiarkan Nayra bercerita. Terus dibiarkan hingga akhirnya tangis Nayra kembali menjadi usai mengungkap statusnya yang selama ini hanya dijadikan sebagai cinta pengganti. 

"Tisu, Nay." Febi menyodorkan sekotak tisu yang langsung disambut oleh Nayra.

"Mas Ivan masih cinta sama mantannya, Bi. Kekasihnya sebelum aku. Aku ini cuma cinta pengganti untuk sementara. Pelarian saja. Mas Ivan nggak pernah cinta. Begitu ketemu cewek lainnya, aku langsung diputusin gitu aja. Apa artinya aku yang juga seorang wanita? Sakit, Bi. Hatiku sakiiiiit sekali." 

Curhatan Nayra terus meluncur disertai derai air mata. Bedanya, kini Nayra bisa bercerita dengan lancar, meski ada emosi yang diluapkan. Paling tidak itu bagus untuk Nayra, sehingga sesak di dada bisa terkurangi dengan bercerita pada sahabatnya. 

"Anganku begitu tinggi. Aku terlanjur mencintai, Bi. Aku cinta Mas Ivan, tapi sekarang ... statusku hanyalah seorang mantan." 

Sesak hati Nayra kala menyebut kata mantan dengan begitu gamblangnya. Indah yang tiga bulan dirasa, kini harus berakhir pahit dan menyisakan luka di hati Nayra. 

"Apa aku kurang cantik, ya Bi? Atau mungkin ... penampilanku terlalu cupu? Pantas saja Mas Ivan memutuskanku." Seketika itu Nayra berdiri dan bercermin.

"Nay, sudah. Jangan mikir macam-macan lagi. Kamu itu cantik, baik." Febi berusaha menenangkan.

"Tapi kenapa Mas Ivan lebih milih wanita itu, Bi? Bukankah itu artinya aku benar-benar kurang di mata Mas Ivan?" 

"Kak Ivan yang kurang ajar, Nay. Bukan kamu yang kurang."

Febi tersulut juga emosinya. Ada rasa tidak terima sahabat baiknya itu diperlakukan demikian oleh Ivan. Namun, cepat-cepat Febi bersikap netral. Tidak lagi menyudutkan. Febi kembali menenangkan.

"Nay, mungkin ini jalan terbaik untukmu. Pertanda Mas Ivan bukan laki-laki yang baik untukmu." 

Nayra membuang pandang. Sebenarnya, hati kecil Nayra sempat mengatakan demikian. Hanya saja Nayra terlalu tebutakan oleh rasa cinta yang berlebihan pada Ivan. Jadilah, yang Nayra lakukan justru membanding-bandingkan dirinya dengan wanita pilihan Ivan.

"Nay," panggil Febi karena tidak mendapat tanggapan atas nasihatnya barusan.

Nayra menoleh. Meski terkesan acuh atas kata-kata Febi barusan, tapi Nayra memikirkan. 

"Bi, aku mau ketemu Mas Ivan," ungkap Nayra setelah lama terdiam.

"Buat apa, Nay? Mau nangis di depannya? Iya? Aku nggak setuju!"

Febi tegas mencegah kali ini. Sebagai sahabat, Febi tahu betul karakter Nayra yang mudah melow. Bertemu Ivan hanya akan menunjukkan kelemahan. Yang ada bukanlah penyelesaian, tapi sebuah tangisan. 

Nayra tersenyum kecut. Merasa bahwa dirinya tidak akan mungkin bisa bertemu Ivan untuk sekedar melontarkan kata makian atas kekecewaan yang Nayra rasakan. 

"Haruskah aku merelakan Mas Ivan untuk cewek itu, Bi?" Getir hati Nayra saat meminta pendapat Febi.

"Iya, Nay."

Nayra tertunduk sebentar. Mengambil nafas dalam, kemudian menyeka air matanya supaya tidak jatuh lagi membuat jejak tangisan. 

"Bisakah aku melakukannya, Bi?"

Pertanyaan Nayra membuat Febi justru bertanya-tanya. Febi tahu bahwa Nayra adalah perempuan cerdas, dan sering mengambil keputusan tegas. Nyatanya, kali ini sikap itu tidak nampak sama sekali pada diri Nayra. Yang nampak jelas hanyalah jiwa rapuh, yang masih mengharap cinta mantan untuk kembali direngkuh. Betapa definisi cinta itu buta kini berlaku. Nayra telah terbutakan oleh cinta, sungguh.

Lantaran tidak mendengar jawaban dari Febi, Nayra pun membuat keputusan sendiri. Nayra sadar, hatinya terluka begitu dalam karena cinta secara berlebihan. Nayra paham, pengharapan tinggi untuk bisa bersama Ivan adalah sebuah kesalahan. 

"Baiklah. Aku akan move on, Bi." 

Nayra memutuskan. Terdengar seperti sebuah keputusan yang dipaksakan demi sebuah perubahan keadaan. Namun, Nayra sadar bahwa dirinya harus segera melakukan. 

"Aku dukung keputusanmu, Nay. Move on lebih baik daripada terus bertahan dalam luka hati yang menyakitkan."

Nayra tersenyum kali ini. Bukan senyum kecut seperti tadi. Senyum Nayra kali ini dari hati. Wujud dari satu kesungguhan untuk benar-benar bisa move on dari Ivan. Akan tetapi, kata-kata Nayra selanjutnya justru mengundang kekhawatiran. 

"Sepertinya, hatiku akan terkunci. Aku tidak percaya lagi pada laki-laki."

Deg!

Ucapan Nayra barusan meluncur dengan ringan. Namun, Febi yang mendengar kalimat itu justru kepikiran.

Luka di hati Nayra telah menjelma bibit trauma. Rasa tidak percaya yang diungkapkannya, jelas-jelas akan berdampak pada langkah Nayra ke depannya. Lalu, sampai kapan Nayra akan mengunci hatinya?

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status