Share

Episode 3 : Mengobati

Tiga minggu berlalu usai keputusan mengunci hati hingga tidak akan percaya lagi pada laki-laki. Sungguh, keputusan itu memberi arti tersendiri. Hati yang semula teramat perih, perlahan terobati. Tentu saja, senyum di wajah Nayra tidak serta merta tertoreh begitu saja. Butuh perjuangan ekstra di tengah linangan air mata yang sesekali masih saja hadir menegaskan rasa yang masih tersisa. 

Perih itu tidak akan tercipta kala rasa kecewa tidak pernah diterima. Namun, jika luka itu tidak pernah dirasa, maka pelajaran berharga tidak akan pernah diterima. Nayra, usai tiga minggu penuh berusaha mengobati luka hatinya, kini dia menjelma menjadi pribadi yang berbeda. 

Ketegasan yang sempat memudar akibat efek samping patah hati, kini sudah melekat lagi. Nayra sudah bisa berpikir jernih, meski sesekali masih saja merutuki diri. Wajar, proses bergerak untuk perubahan itu tidak bisa dilakukan dengan instan. Perlu waktu untuk mengusahakan. Juga, butuh keikhlasan untuk merelakan segala hal yang telah terjadi di masa silam.

"Feb, jadwal piket masak sudah kubuat. Aktif mulai besok, ya."

"Siap, Nay. Eh, kamu nggak ngampus?" Febi masih sempat bertanya, padahal sudah terlambat datang ke kampusnya.

"Masih sejam lagi, Feb. Kamu buruan berangkat, gih!" 

"Oke-oke. Aku duluan, Nay. Bye!"

"Eh-eh. Yang kamu bawa tasku, Feb!" seru Nayra dengan kencang.

Febi yang memang lebih ceroboh daripada Nayra, untuk kesekian kalinya salah membawa barang miliknya. Sempat tepuk jidat sebentar, Febi langsung balik kanan, menukar barang, kemudian berangkat dengan langkah cepat bak kendaraan yang mau kebut-kebutan.

Sepuluh menit usai kegaduhan pagi itu, Nayra telah rapi dan bersiap berangkat menuntut ilmu. Tidak terburu-buru seperti Febi, karena Nayra masih memiliki banyak waktu. 

Jalan kaki menuju kampus, itulah yang harus Nayra tempuh. Tidak naik ojek, motor, atau kendaraan apa pun. Yang Nayra lakukan ini untuk berhemat, karena uang bulanannya pas-pasan dan hanya cukup untuk kebutuhan kuliah selama sebulan. Ya, Nayra memang berasal dari keluarga yang jauh dari kata berkelimpahan. Bisa kuliah di kampus ternama, itu pun karena kecerdasan otak Nayra hingga dirinya bisa mendapatkan beasiswa. 

Tin-tin! 

"Nay, mana cowokmu? Masa tega ngebiarin ceweknya jalan kaki, sih?" tanya salah satu teman sekelas Nayra. Cowok sok peduli karena sering bertanya sana-sini, tanpa peduli itu adalah urusan pribadi.

Nayra tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum singkat. Sebuah senyum yang mengandung pesan tersirat bahwa Nayra sedang tidak ingin banyak berdebat.

"Jangan-jangan kamu habis putus sama Kak Ivan, ya Nay?" tebaknya.

Langkah Nayra terhenti. Begitu juga motor si teman yang sedari tadi mengekori. Aslinya enggan sekali Nayra menanggapi, apalagi sampai mengumbar status tentang dirinya saat ini. Akan tetapi, Nayra sadar, pastilah akan semakin banyak yang mempertanyakan jika mereka tidak mendapat penjelasan. Alhasil, Nayra pun mengungkap status hubungannya dengan Ivan yang telah berakhir tanpa membumbuinya dengan alasan.

"Ya. Aku sama Mas Ivan sudah putus. Jadi, jangan ungkit-ungkit lagi soal dia, ya!" Senyum Nayra mengembang di akhir penjelasan. Pertanda sebuah hati yang mulai tegar.

"Oh. Oke." 

Si teman Nayra itu seolah sadar kondisi. Tidak bertanya lebih karena khawatir ada sesuatu yang tidak nyaman untuk diingat lagi. Usai tawaran tumpangan ditolak sopan, si teman Nayra itu pun pamit duluan.

Satu helaan nafas dalam, itulah yang langsung Nayra lakukan. Tak lupa, seutas senyum turut ditorehkan. Ada setitik rasa lega karena ada orang lain yang tahu bahwa hubungan Nayra dan Ivan telah berakhir. Nayra yakin, kabar yang baru saja dia bagi akan cepat menyebar di kalangan teman seangkatan. Dengannya, Nayra berharap tidak akan ada lagi yang mempertanyakan status hubungannya dengan Ivan. 

Dugaan Nayra benar. Sesaat setelah tiba di kampus, beberapa teman mendekat dan menyemangati Nayra. Memang, teman-teman di kampus banyak yang tahu hubungan Nayra dengan Ivan. Pasalnya, paras Ivan yang menawan dan sempat banyak yang memperebutkan. Kala itu Nayralah yang merasa beruntung karena bisa ditawari sebuah hubungan oleh Ivan. Sayangnya, semua sudah berakhir sekarang.

"Nay, sudah tanda tangan pemrograman kelas belum?" tanya salah seorang teman.

"Belum. Ini mau ke ketemu dosen." Nayra menunjukkan beberapa lembaran yang siap dibubuhi tanda tangan.

"Ya sudah. Kita tunggu di gazebo, ya. Sekalian bahas kegiatan. Sudah tahu kan kalau kamu sekretarisnya?"

"Iya, aku tau kok."

Kecakapan Nayra dalam berbicara, juga semangatnya dalam kuliah menjadikan Nayra sering terpilih dalam kepanitiaan kegiatan kampusnya. Satu-satunya yang membuat Nayra tidak percaya diri adalah statusnya yang berasal dari keluarga tidak bergelimangan harta, alias jauh dari kata berkecukupan. Lebih-lebih, yang keluarga Nayra miliki adalah hutang. Namun, rasa minder itu tidak dominan. Semua tertutupi oleh prestasi-prestasi yang sering didapatkan Nayra.

"Terima kasih banyak, Bu. Saya permisi dulu." 

Nayra pamit usai mendapatkan tanda tangan. Langkahnya ringan. Hatinya pun riang. Akan tetapi, sesaat kemudian rasa nyaman itu memudar karena Nayra melihat sosok Ivan. 

Deg!

Ada debar. Sayang, bukan debar merdu yang dirasakan, melainkan debar menyesakkan. Ini adalah pertama kalinya Nayra melihat Ivan setelah tiga minggu berjuang mengobati luka hati yang menyakitkan. 

Betapa rasa sesak itu kembali datang. Rasa kecewa, rasa ingin marah, mendadak saja meraja dalam dada. Rasanya .... Uhh, benar-benar membuat hati Nayra porak-poranda.

Emosi Nayra semakin bertambah kala melihat Ivan dengan Olivia. Ya, Olivialah yang sempat dicurigai Nayra sebagai pihak ketiga. Dan ... benar saja. Kini Nayra melihat dengan mata kepalanya sendiri kedekatan Ivan dengan Olivia.

Rasa di dalam dada sudah membuncah. Ingin segera diluapkan, tapi ada ketidakmampuan. Nayra telah menjadi pihak yang tidak diharapkan. Bertengkar di muka umum justru hanya akan menjatuhkan. Bukan hanya menjatuhkan Ivan, Nayra pun akan terkena imbas dengan menjadi trending topik pembahasan.

Ketika hati tak mampu lagi menahan rasa yang berantakan, yang berperan selanjutnya adalah tangisan. Air mata Nayra sudah siap keluar. Namun, ditahan. Nayra membuang pandang, kemudian terpejam sebentar. Tangan yang semula mengepal pun terbuka perlahan. Nayra bukan pasrah. Dia hanya sedang tidak ingin terlalu banyak menoleh ke belakang dan mengulang perasaan menyesakkan.

"Tiga minggu benar-benar tidak cukup untuk mengobati luka hati hingga ke akar-akarnya," ucap Nayra.

Nayra menyadari bahwa tiga minggu ini yang dilakukan hanya mengobati luka dengan jalan menghindar. Kini saat kembali bertemu Ivan, sangatlah mungkin jika sesak itu kembali dirasakan. 

Sejenak, Nayra bertahan dalam posisinya sekarang. Sesekali melihat ke arah Ivan dan kekasih barunya, Olivia. Beberapa kali seperti itu, hingga kemudian Nayra berani mengambil jalan untuk menghadapi semua tanpa harus menghindar. 

Langkah pertama diambil, kedua, ketiga, hingga akhirnya langkah Nayra mengarah ke tempat Ivan dan Olivia berada. Terus mendekat, hingga akhirnya langkah Nayra berhenti persis di depan Ivan. Satu tatapan diberikan pada Ivan. Karena sikap Nayra yang demikian, Olivia mendekat dan langsung menggandeng tangan Ivan. Jelas-jelas Olivia bermaksud menegaskan statusnya sebagai kekasih Ivan.

"Maaf," ucap Ivan.

Nayra tersenyum lebar tanpa mengalihkan tatapannya dari Ivan. Tidak begitu lama, hanya beberapa detik saja. Setelahnya, Nayra menyerongkan posisi dan kembali melangkah pergi. Benar-benar pergi tanpa ada kata-kata tanggapan lagi. 

Semoga beruntung dengan pilihanmu, Mas. Batin Nayra.

Semakin jauh kaki diayun, Nayra semakin menyunggingkan senyum. Kembali ada setitik rasa lega karena akhirnya Nayra bisa bertemu tatap dengan Ivan dan Olivia tanpa harus berderai air mata. 

***

Satu tahun kemudian. 

Postur tinggi kurus dengan penampilan sederhana yang biasa melekat pada tubuh Nayra, ditambah polesan make up tipis yang tidak terlalu kentara, membuat beberapa teman lelaki sempat menaruh hati. Sayangnya, hati Nayra terkunci. Meski sudah setahun berlalu, Nayra masih tidak percaya dengan cinta yang ditawarkan oleh seorang lelaki. 

"Feb, tas yang satunya jangan lupa dibawa. Ingat, kereta berangkat pukul tujuh. Jangan sampai keliru!" 

"Iya, Nay. Eh, kamu jadi naik bus?"

"Iya. Memang mau naik apalagi, Feb."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan, Nay. Kalau ada penumpang cowok yang iseng di bus, cuekin saja. Atau laporin sama pak sopirnya biar diturunin paksa."

Nayra terkekeh pelan. Kalimat seperti itu rutin Febi lontarkan setiap kali Nayra hendak pulang ke kampung halaman.

"Iya, Feb. Kamu juga hati-hati di jalan."

Nayra sudah bersiap. Berpamitan sebentar, kemudian Nayra pun pulang ke kampung halaman. 

Suasana hati riang menyelimuti perjalanan pulang. Tidak ada lagi tangisan, dan tidak ada lagi rasa sakit hati berlebihan. Nayra sudah benar-benar move on dari Ivan. Saat berpapasan langkah di kampus pun Nayra sudah tidak dihantui perasaan.

"Aku pulang. Semoga liburan semester ini akan begitu menyenangkan," ujar Nayra sembari menatap deretan pohon di luar kendaraan.

Seminggu di rumah, liburan Nayra terasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang spesial. Hingga kemudian, pagi-pagi buta ada satu pesan masuk di salah satu akun sosial media Nayra.

"Mas Ivan?" 

Nayra bertanya-tanya ketika mendapati nama Ivan tertera di kotak pesannya. Wajar jika Ivan menghubunginya lewat sosial media, karena Nayra sudah memblokir nomor Ivan di daftar kontak ponselnya sejak setahun lalu.

Bola mata Nayra membulat usai membaca pesan dari Ivan. Rupanya, Ivan meminta bertemu untuk sebuah penjelasan. Ivan mengaku bahwa keputusannya setahun lalu adalah sebuah kesalahan. Ivan pun mengaku bahwa dirinya sangat menyesal telah mengakhiri hubungan dengan Nayra. 

"Kenapa baru sekarang kamu sadar, Mas?" Nayra geleng-geleng kepala.

Tentu, Nayra tidak langsung tergoda. Luka yang sempat tertoreh telah banyak memberinya pelajaran berharga. 

Olivia selingkuh. Sekarang aku sadar betapa bodohnya aku waktu itu. Tidak seharusnya aku putus darimu.

Begitulah salah satu pesan Ivan yang membuat Nayra tersenyum karena merasa menang. Namun, pesan Ivan selanjutnya seketika membuat Nayra menajamkan pikiran.

Aku masih mencintaimu, Nay. Maukah kamu melanjutkan hubungan kita yang sempat terjeda?

"Cih." 

Refleks saja Nayra mengumpat demikian. Tidak habis pikir juga dengan jalan pikiran Ivan. Selama setahun Nayra berjuang mengobati hati akibat status cinta pengganti, kini Ivan kembali hadir dengan menawarkan cinta lagi. 

Nayra tidak berlama-lama mengirim pesan balasan. Dari jalan cerita masa lalu, Nayra sudah bisa mengambil keputusan. Cinta pengganti, hati yang terkunci, ketidakpercayaan pada lelaki, itulah yang menjadi dasar. Saat itu juga Nayra pun menolak keinginan Ivan.

"Rupanya kamu tidak beruntung dengan pilihanmu, Mas."

Satu senyum disunggingkan usai berakhirnya pesan balasan untuk Ivan. Nayra meletakkan ponselnya, dan tidak peduli lagi dengan pesan balasan Ivan.

Nayra memilih keluar menuju halaman depan. Masih pagi. Tampak sinar matahari yang mulai menyinari bumi. Saat Nayra sibuk menikmati alam, saat itulah sebuah mobil melintas di halaman depan. 

Mobil itu berhenti di depan rumah tetangga sebelah. Penumpang yang turun langsung bisa dikenali oleh Nayra. Salah satunya adalah .... Dhanu, cinta masa kecil Nayra. 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status