Sesampainya di sekitar wilayah Bausasran, Widya mengarahkan mobilnya ke sebuah hotel yang cukup mewah dan berbintang. Saat turun dari mobil, Widya tanpa ragu menggandeng tangan Jasman.
Jasman agak kaget juga diperlakukan seperti itu. Namun ia merasa tak sampai hati untuk menarik tangannya dari lingkaran tangan halus wanita di sampingnya, dan membiarkan wanita itu nyaman di sampingnya.
Rupanya wanita cantik yang memiliki wajah mirip artis Wulan Guritno itu menyewa salah satu kamar di hotel itu secara khusus. "Ini semacam tempat persembunyiannya Mbak, Dik Jas," ucap Widya, tanpa bermaksud berkelakar, setelah mempersilakan Jasman untuk masuk ke dalam kamar hotelnya.
Jasman manggut-manggut. Namun dalam hatinya merasa kasihan dan prihatin atas nasib wanita yang bersamanya itu, kendati dia belum tahu persis kondisi kehidupan seperti apa yang tengah dialami oleh sang wanita tersebut sebenarnya. "Mengapa Mbak Widya harus bersembunyi? Kenapa Mbak tidak tinggal bersama orang tua atau keluarga Mbak saja, misalnya? Kan keamanan Mbak bisa terjamin," tanya Jasman.
Widya masuk ke dalam kamar mandi, bersih-bersih, lalu keluar. "Mbak berasal dari Ungaran," ucapnya sembari melap wajah dan tangannya dengan handuk kecil. "Oh ya, Dik Jas mau minum apa?”
“Apa saja, Mbak, yang penting tak beralkohol."
Widya mengambil beberapa minuman ringan kaleng di kulkas, lalu meletakkannya di meja kecil di hadapan Jasman. Kemudian dia duduk bersandar di tempat tidurnya sambil berselonjor kaki.
"Orang tua atau keluarga Mbak hanya tau kalau saat ini Mbak masih bekerja di Jakarta," Widya lanjut bercerita. "Yeah, memang tiga tahun yang lalu Mbak masih bekerja di sebuah perusahaan trading multinasional. Lalu dua tahun yang lalu Mbak pindah ke sini dengan laki-laki... yang di restoran sate tadi itu. Dia putra seorang pengusaha sukses di Jakarta, tapi juga memiliki beberapa anak perusahaan di Jateng, dan dia menjadi CEO di perusahaan keluarganya itu. Ah, ceritanya panjang Dik Jas. Lambat laun Mbak akan ceritakan semuanya kepada Dik Jas."
Jasman menatap wajah Widya dan mengangguk-angguk pelan. "Iya Mbak. Yang penting Mbak Widya merasa nyaman dulu akibat kejadian tadi itu."
“Sebenarnya itu bukan kejadian yang pertama, Dik Jas. Sebelum Mbak memutuskan keluar dari kehidupannya, pun ia sudah sering melakukan penzoliman kepada Mbak dalam bentuk verbal. Dan yang tadi mungkin pertama kali ia melakukan kekerasan secara fisik.”
“Mudah-mudahan hal seperti tadi tidak diulangi lagi oleh mereka tadi, Mbak,”ujar Jasman, tanpa berkeinginan untuk memasuki lebih jauh ke urusan pribadi Widya. Cukup sebagai pendengar yang baik saja dulu.
"Mudah-mudahan,”sahut Widya sembari membuka minumang kalengnya, dan meneguknya. “Sebenarnya,”lanjutnya lagi, “ Mbak punya dua rumah di Jogja ini, Dik Jas. Namun jika Mbak merasakan hidup yang kurang nyaman seperti saat ini, Mbak biasanya lebih memilih kamar hotel seperti ini untuk bersembunyi."
Sekali lagi, Jasman saat ini hanya berposisi sebagai pendengar yang baik saja. Lagi pula, tak ada hal yang harus ia tanya atau ceritakan untuk saat ini. Dia masih menganggap Widya sebagai orang asing yang baru ia kenal. Dia tak ingin memberi kesan dirinya kepo kepada wanita cantik itu. Dia memilih untuk pasif dan membiarkan saja wanita di depannya untuk bercerita tentang segala hal mengenai dirinya.
Ya, baginya, Widya murni bukan siapa-siapa, paling tidak untuk saat ini. Tak ada hal atau perasaan apa pun yang terasa dalam hatinya kepada wanita itu, selain daripada rasa kasihan. Wanita itu saat ini sedang sangat membutuhkan perlindungan darinya, dan ia ikhlas untuk memberikannya.
Tiba-tiba Jasman teringat lagi pada Ningrum, sang mantannya yang telah menerima pinangan laki-laki lain atas keinginan orang tuanya. Laki-laki yang menggandengan tangannya tadi siang dengan mesra. Kendati demikian, di hatinya tetap menyimpan rasa cinta dan rindu yang besar kepada gadis berdarah bangsawan Jogja itu. Sekalipun sudah tak ada hubungan kasih lagi, telah putus --atau lebih tepatnya diputuskan secara paksa--namun rasa cintanya tak pernah pupus dalam hatinya. Ningrum tetap ada dalam ruang hati dan benaknya. Akar-akar cintanya masih tertancap kuat di taman hatinya, sampai kini, dan hingga sampai kapan pun. “Ah, Ningrum, aku masih belum mampu untuk melupakanmu, dan tak akan pernah bisa untuk selamanya. Kautelah membawa serta sebagian jiwaku, karena itu aku masih sangat cemburu ketika kauberjalan dengan laki-laki pilihan orang tuamu itu,” jerit batin Jasman. “Apakah kaumasih mengingatku? Apakah hatimu masih seperti hatiku yang selalu merindkanmu setiap saat?”
Tidak! Ningrum pun tak pernah melupakannya, pun setiap saat selalu mengingatnya. Tak ada alasan sedikit pun yang bisa membuatnya harus melupakan laki-laki yang merupakan cinta pertama dan sejatinya, apalagi untuk membencinya. Cinta tak pernah berubah. Ruang hatinya sudah tak punya celah lagi untuk menerima cinta laki-laki, termasuk untuk menerima cinta seorang Hendri Soma, tunangannya, pilihan orang tuanya. Terkadang gadis berdarah ningrat yang berwajah tak kalah cantiknya dengan Widyanti itu menangis jika mengenang kembali semua hal yang indah dan berkesan bersama Jasman. Oh, tidak, aku tidak pernah menganggap Mas Jasman sebagai mantanku, sebab dia tetap ada di hatiku, bantin Ningrum.
Tadi siang itu, sebenarnya Ningrum melihat Jasman yang berjalan bersama Fadli. Hendri Soma yang lebih dulu melihat Jasman, memintanya untuk berpura-pura tidak melihatnya lalu berpura-pura menampakkan kemesraan. Ia sangat terpaksa mengikuti kemauan tunangannya itu. Jika tak mengikuti keinginannya, ia takut laki-laki itu akan berbuat yang enggak-enggak terhadapnya. Ia sangat tahu watak Hendri Soma yang suka emosian dan tak mengenal sikon jika keinginannya tak dituruti.
Jika Ningrum bandingkan antara Hendri Soma dengan Jasman, maka ia seperti antara warna hitam dengan putih. Sikap Hendri masih kekanak-kanakan dan kurang adab, dan ia tak pernah merasakan kenyamanan saat jalan dengannya. Sementara Jasman adalah tipe pria yang menjadi idaman semua wanita. Kesetiaannya tak ia ragukan, lemah lembut dan sangat menghormati dirinya sebagai kekasih dan sebagai wanita, juga memiliki sifat melindungi yang sangat tinggi. Dari segi fisik pun, Jasman jauh meninggalkan Hendri Soma. Tinggi, kekar, dengan wajah tampan, face khas laki-laki blasteran Arab-Ajam. Sementara Hendri Soma tubuhnya pendek dan cenderung punya penampilan alay, matanya jelalatan, play boy, tetapi cemburunya over dosis. Dan laki-laki yang paling membuatnya sangat cemburu tentu saja adalah Jasman.
Pernah suatu hari, saat ia diajak oleh tunangannya itu untuk menikmati keindahan obyek wisata Candi Prambanan, sang tunangannya itu meminta fotonya untuk dipakai mengambil gambar mereka berdua, karena hapenya sendiri terlupa di mobilnya. Saat membuka galeri untuk melihat gambar-gambar yang tadi diambilnya, tiba-tiba tunangannya itu uring-uringan.
“Kenapa, Mas? Wajahnya kok langsung kencang begitu,”tanya Ningrum.
“Kaumasih menyimpan foto mantanmu itu, ya?”tanya Hendri Soma sembari membuang pandangannya ke arah lain.
“Iya, Mas, lupa...”
“Ah, lupa atau memang sengaja? Tak rela untuk dihapus?”sindir Hendri Soma. “Ya hapuslah. Kamu kan sudah jadi calon aku! Mana fotonya mesra-mesra lagi. Huh...!”
“Ya Mas, ntar aku hapus kalau sudah di rumah,” sahut Ningrum.
“Tidak! Hapus sekarang!”ucap Hendri Soma sembari mengembalikan hape itu kepada Ningrum.
“Kok, maksa sih, Mas?”
“Ya wajar aku maksa, kamu kan sudah jadi tunanganku!” Hendri Soma menaikkan tekanan suaranya untuk mengalamatkan kejengkelannya.
“Iya aku tau, tapi ntar di rumah Ning hapusnya...”
“Sini hapenya!”Hendri Soma langsung merampas lagi hape itu dari tangan Ningrum. “Ayo, kita pulang.”
“Kenapa kok cepat pulang, Mas? Kita belum lagi lama?”protes Ningrum.
Hendri Soma tak menanggapi. Dalam mobil pun laki-laki yang juga berasal dari daerah seberang seperti Jasman itu menyetir dengan mulut membisu. Karena tak mau diajak bicara, maka Ningrum pun ikut-ikutan membisu.
Hendri Soma tidak langsung membawanya pulang ke rumahnya, tetapi membelokkan arah laju mobilnya ke arah Jl. Malioboro. Masih dalam kondisi membisu tunangannya itu menarik tangannya, mengajaknya untuk masuk ke sebuah Mall dan langsung menuju sebuah gerai handphone. Tanpa banyak bertanya pada penjaga gerai, ia langsung menunjuk sebuah kotak hape bersegel yang tergolong mahal yang terpampang dalam etalase. Tanpa menanyakan harganya, ia langsung menyerahkan kartu kreditnya pada penjaga gerai.
“Kaupakai hape ini,”ucapnya sembari menyerahkan hape baru itu kepada Ningrum.
“Tapi dalam hape Ning itu banyak nomor-nomor penting yang harus Ning salin dulu,”protes Ningrum dengan wajah kecewa.
“Ah, gampanglah itu, ntar aku kirimkan saja lewat WA.”
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.” “Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?” “Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Rencana selanjutnya Jasman akan balik ke Jogja. Akan tetapi baru saja ia akan mengarahkan arah mobilnya menuju Jogja, ponselnya berbunyi. Telepon dari Widya. “Ya, assalamualaikum Mbak. Astagfirullah…Bima sakit apa? Terus dirawat di rumah sakita mana…? Oh, baik, saya akan langsung ke Ungaran. Kebetulan ini saya lagi di Magelang.” Adit langsung mengarahkan mobilnya ke kiri, menuju Ungaran. Tak lupa ia menepon ke Ningrum, bahwa ia akan langsung ke Ungaran, dan kemungkinan akan pulang besok atau lusa. “Ya, baik, yang hati-hati di jalan ya, Mas?” Bima dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ungaran. Menurut dokter yang merawatnya, Bima mengalami demam dan muntah-muntah. “Bima hanya mengalami flu perut saja Pak. Besok juga sudah bisa keluar.” J
Ningrum memeluk tubuh suaminya dengan penuh rasa sayang. Lalu terakhir Jasman memberikan sebuah kejutan besar kepada Ningrum. Dia membawa istrinya itu dari rumah dengan naik mobil. Sejak dari dari rumah ia menutup mata istrinya dengan sebuah masker mulut. “Ada apa sih, Mas, kok mata Ning ditutup?” protes Ningrum manja. “Nggaklama kok, Sayang. Mas ingin memberikan sebuah kejutan buatmu, Dik,” ucap Jasman seraya mulai menjalankan mobilnya. “Hmm, Ning jadi penasaranbingit, nih!” Tak terlalu jauh dari rumah mereka, Jasman memelankan jalan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan di depan halaman sebuah b
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.&n
Jas duduk di kursi di samping Widya. “Selamat bertemu lagi, Mbak. Dunia ternyata begitu sempit, ya? Atau memang ini rencana Tuhan agak kita bisa bertemu lagi?” ucap Jasman pelan. Anak yang ada dalam pangkuan Widya menoleh dan menatap wajahnya. Jasman menyapanya dengan suara kecil dan melambaikan tangannya. Namun entah mengapa, saat ia bertatapan dengan balita dalam pangkuan Widya itu, ada perasaan aneh yang menjalar dalam nuraninya. Ia merasa sangat menyukai wajah anak itu dan seolah-olah ia telah mengenalnya. “Iya Dik. Mbak juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi,” ucap Widyia seraya melap sisa air matanya lantan menatap wajah Jas. Andaikata sikonnya mendukung, ia ingin memeluk tubuh laki-laki muda di samp