“Kita sampai?” Ayu tersentak bangun, merasakan mobil Hide sudah berhenti.Tapi tidak ada jawaban. Ayu melirik ke samping dan tidak mendapati siapapun duduk di kursi kemudi. Ayu menegakkan punggung dan sedikit panik, mengira dirinya sendirian. Tapi ada sesuatu turun dari tubuhnya. Mantel berwarna tanah gelap. Mantel milik Hide yang menutupi tubuhnya. Itu melegakan karena berarti Hide ada di dekatnya.Ayu memandang keluar mobil, dan akhirnya melihat Hide bersandar pada kap mobil. Tampak asap mengepul di sekitar kepalanya. Asap rokok yang membuat Ayu mengernyit. Seingatnya Hide sudah berhenti merokok dulu.Ayu membuka pintu, dan Hide menoleh. Dengan reflek dia mematikan rokok dengan menekannya pada kap mobil dan memasukkan sisanya ke dalam kemasan di kantong.“Dimana kita?” Ayu bingung saat melihat matahari oranye yang condong ke barat di hadapannya, dan pemandangan pantai di depannya sangat asing.“Sendai.” Hide mendorong tubuhnya duduk di atas kap mobil, sementara Ayu ternganga“Sendai
Kaito tersentak, saat merasakan ada tangan yang tiba-tiba menimpa pinggangnya. Kaito membuka mata, tapi memejam lagi karena kepalanya terasa sangat berat dan pusing.Kaito mengernyit dan menekan pangkal hidungnya. Merasa jika dia bermimpi karena seharusnya tidak ada siapapun yang tidur di sampingnya. Sudah beberapa lama Ayu pergi dari rumah. Tapi kemudian Kaito memaksakan diri membuka mata, karena sadar jika berat beban yang menimpa pinggangnya adalah nyata. Dan Kaito juga menyadari jika tubuhnya saat ini berbaring di ranjang—di atas matras empuk, bukan di atas futon. Kaito berbalik ke samping dan membelalak. “Apa yang kau lakukan disini?”Kaito bergeser menjauh, sambil menyambar selimut menutupi tubuhnya. Kaito menyadari tubuhnya polos tanpa apapun.Karin—yang ada di sampingnya, menggeliat. Dan Kaito memaki dalam hati, karena keadaan tubuh Karin juga polos tanpa pakaian seperti dirinya. Karin perlahan membuka mata menatap Kaito—beberapa detik terdiam, lalu memekik. “AGHH!” Karin be
Ayu memalingkan wajahnya yang memerah, malu. Seperti pencuri yang terpergok“Kita sebenarnya ada di mana?” tanya Ayu. Berhasil menemukan pertanyaan. Dan jelas tidak ingin membahas kenapa mereka berada di ranjang yang sama.“Hotel. Aku tidak sanggup menyetir sampai ke Tokyo kemarin malam. Jadi aku berhenti di sini,” jelas Hide, sambil menyingkirkan selimut dan mengusap kepalanya. Menguap dan berdiri menuju kamar mandi.Ayu hanya mengangguk. Tidak akan marah karena Hide mengambil keputusan yang benar. Menyetir dalam keadaan mengantuk sangatlah berbahaya. Ayu kini ingat apa yang dilakukannya sebelum tidur. Mereka sempat berhenti untuk makan, dan setelah berangkat lagi, perutnya terasa mual. Ayu meminum pil anti mual terakhir yang diberikan dokter beberapa hari lalu. Dan setelahnya Ayu tertidur. Hide yang memindahkan Ayu kamar ini, dan Ayu sama sekali tidak menyadarinya.“Kita sarapan, setelah itu kita kembali ke Tokyo,” kata Hide setelah keluar dari kamar mandi.“Ya.” Ayu menyingkirkan s
Rasa bersalah memang akan sangat mempengaruhi keberanian dan rasa percaya diri dengan amat mudahnya. Itu yang terjadi pada Ayu. Sejak tadi Ayu tidak bisa mengangkat kepala, dan seluruh tubuhnya terasa sangat rapuh. Ayu sedang merasa gentar karena rasa bersalah.Jika menghitung mulai hari dimana dia mencoba menemui Kaito, sampai ke pantai dan harus menginap dua malam—karena mualnya masih cukup parah, maka ada total delapan hari Ayu telah absen tanpa alasan jelas. Hari ini Ayu datang yang ke kantor dengan mempersiapkan hatinya. Mempersiapkan hati jika sekiranya akan dipecat. Ayu sudah menetapkan akan mencari kerja hari ini juga malah.Tapi Ayu berencana memohon pada Watanabe untuk memberinya surat rekomendasi yang akan membuatnya memiliki pengalaman meski beberapa minggu. Berharap akan lebih mudah mencari pekerjaan nantinya. Ayu meletakkan tasnya di meja, duduk terpekur menunggu nasib. Menunggu Watanabe memanggilnya.“Nakamura-san?”Ayu tersentak dan menoleh, terlihat Mori yang baru sa
Hide menyusul karena menyadari Ayu belum pulang. Kemarahan Hide yang selama beberapa hari kebelakang sedikit mengendur, kembali lagi karena Ayu kembali melanggar perintahnya.Hide mengatakan dengan jelas jika Ayu tidak boleh bekerja lembur. Dia mengizinkan Ayu bekerja, tapi tidak dengan lembur.Tapi saat hari pertama bekerja, Ayu dengan mudahnya melanggar perintah,“Cepat sekali kau datang jika tentang urusan Ayumi.”Ryu menyambutnya di depan lift lantai dua. Dia tentu tahu tentang kedatangan Hide dari security yang mengenalinya. “Jangan berkomentar hal yang tidak perlu, aku malas mendengar.” Hide mendesis.Tidak ingin menerima sindiran, dan langsung berjalan menuju tempat ruangan Ayu berada.“Dia masih di dalam bukan?” tanya Hide.“Ya.” Begitu mendengar security melapor tentang kedatangan Hide, Ryu langsung memastikan Ayu belum keluar dari kantor.“Aku sudah meminta Mori untuk tidak membebankan lembur pada semua tim di bawahnya. Heran, tapi Mori… Oh, tidak!”Ryu membekap mulutnya, k
“Apa kau sadar?” tanya Ayu.Tapi Kyoko hanya berdiri sempoyongan sementara menunjuk Ayu yang kebingungan, lalu Kyoko tertawa berderai. Cara tertawa yang belum pernah didengar oleh Ayu. Saat mabuk, Kyoko benar-benar menjadi orang yang sangat jauh berbeda.“Tenang sedikit. Aku tidak bisa membawamu ke dalam taksi.” Ayu mencoba untuk menyadarkan Kyoko dengan menepuk lengannya. Tapi Kyoko sudah benar-benar mabuk.Mereka tadi makan malam bersama—Mori dan kedua timnya, dan diakhiri dengan minum. Ayu tentu saja tidak minum sama sekali. Perasaan Ayu tentang kandungannya masih tidak bisa dijelaskan, tapi Ayu tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan seperti minum alkohol.Sudah cukup sekali beberapa minggu lalu Ayu mabuk saat tidak mengetahui dirinya hamil. Ayu sedikit bergidik saat mengingat dirinya pernah mabuk dalam keadaan hamil. Jelas Ayu tidak akan mengulang kebodohan itu.Ayu tadi berhasil menghindar dengan berbagai macam alasan—paling akhir Ayu berbohong dengan mengatakan tidak se
Kaito menatap Ayu yang terlihat mengelus perutnya. Gerakan yang tidak berarti apapun untuk Kaito.Tapi pikiran Ayu kembali ke kandungannya. Jika saja penawaran dari Kaito itu datang sebelum Ayu mengetahui soal kehamilannya, mungkin Ayu langsung akan menerimanya.Tapi semua terlambat, dan tidak akan bisa diperbaiki lagi. Ayu tidak mungkin kembali kerumah Kaito dalam keadaan hamil—mustahil. Satu hal yang pasti, Kaede tidak akan menyambutnya dengan sukarela maupun dengan senyum bahagia.“Apa ibumu mengetahui apa yang kau lakukan saat ini?” tanya Ayu.Ia sedikit berharap, tapi pandangan mata Kaito yang layu cukup untuk memberitahu Ayu jika apa yang diharapkan adalah kemustahilan.Banyak hal yang berubah dari dirinya saat ini, tapi tidak dengan Kaito. Dia masih menjadi Kaito yang manis dan ingin membuat ibunya puas dengan selalu bersikap sopan tanpa bantahan.“Sakit. Aku merasa sangat sakit,” gumam Ayu, sambil memasukkan gelas kertas miliknya yang sudah kosong ke dalam saku mantelnya. Tida
Keberanian dan amarah karena Ayu memang benar-benar jengkel dengan apa yang dilakukan Hide. Kaito mengecewakan, tapi menurutnya Hide juga telah bertindak terlalu jauh dengan mengancam Kaito tadi.“Bagaimana mungkin aku tidak ikut campur? Saat ini kau membawa anakku, dan kau akan membawanya ke rumah yang terkutuk itu. Dengan begini kau bisa melihat bukan? Pria idamanmu itu tidak lebih dari betina yang menyamar jadi jantan!” cela Hide dengan seringai ejekan.“Aku sudah berjanji akan menjaga anak ini, dan aku akan menjaganya. Aku tidak akan dengan bodoh membawanya ke keluarga Nakamura! Tapi apa yang aku lakukan setelah itu adalah terserah aku! Terserah aku ingin hidup dengan siapa dan dengan cara apa…”“Kau berpikir untuk kembali bersama dengan Sampah itu setelah melahirkan anakku?!” Desisan Hide semakin rendah. Setelah paham apa keinginan Ayu yang terpendam.“Ya!” Ayu menjawab, tapi mengalihkan pandangan dengan berpura-pura menyibak rambutnya. Ayu tidak yakin dengan rencana itu, tapi me