“Apa pindah, tapi aku sudah nyaman disini”, kata Miranti yang tiba tiba sudah berdiri di depan pintu. “Demi keselamatan kalian, tolong dengarkan kami”, ucap Laura memohon. Miranti mendekat dan duduk bersama mereka. “Aku dan Satrio sudah menemukan kontrakan yang lebih layak dari ini dan kami sudah menyewanya untuk lima bulan ke depan. Tempatnya strategis dekat dengan jalan raya dan juga mini market jadi kalian tidak akan kesulitan kalau mencari kebutuhan bayi. Tapi aku mohon jangan kasih tahu keberadaan kalian pada Radit, aku takut dia akan mencelakai kalian. Paham kan !”, ucap Laura mengakhiri penjelasannya. Setelah mendengar penjelasan dari Laura bu Ismi bergegas masuk dan mulai memberesi barang barang yang akan di bawa.Sementara Laura dan Satrio melanjutkan makan, tiba tiba ponsel Laura berdering.KriiingSana tertera nama si penelpon yang tak lain adalah Tante Yul atau mami Miranti. Seketika Laura menghentikan makannya dan pergi menjauh dari Miranti untuk menerima tele
BAB 8 Kecewa Melihat suasana rumah yang nampak sepi dan lampu di seluruh ruangan masih gelap Radit merasa heran. “Kemana mereka, bukannya tadi siang mereka sudah pulang, atau jangan jangan… “ Radite tidak meneruskan ucapannya. Dia tidak sanggup membayangkan kalau terjadi apa apa pada anak dan istrinya. Jujur saja walau dia sering membentak dan bicara kasar pada istrinya tapi dalam hatinya masih sangat mencintai. Dia mendorong pintu dan ternyata tidak di kunci.Radite masuk dan menghidupkan saklar setelah lampu menyala ruangan terlihat lengang, kemudian dia meletakkan makanan dan bergegas ke kamar kemudian membuka lemari.Benar saja apa yang di khawatirkan terjadi, seluruh pakaian Miranti tidak ada, hanya tinggal beberapa potong pakaian dirinya.Dia terduduk dengan wajah penuh penyesalan dan kekecewaan, tangannya menjambak rambutnya sendiri. “Ya Allah kemana anak dan istriku pergi”, gumannya lirih.Makanan yang dia bawa dari warung Harti tergeletak begitu saja di meja. Dia be
Harti mengambil ponsel dari tangan Radite dan mengamati wajah istri Radite dengan lebih seksama.Harti berusaha mengingat wajah itu dengan keras, tapi tetap saja belum bisa mengingat di mana dia melihat wajah itu. “Baiklah mas Radite aku simpan foto ini nanti jika sudah ingat aku kabari mas Radite”, ucap Harti sambil menyerahkan ponsel milik Radite. “Terima kasih mba Harti, semoga secepatnya mba Harti bisa mengingatnya”, jawab Radite lirih. Setelah menghabiskan kopi yang dipesan dan membayarnya Radite pergi dari warung Harti untuk melanjutkan pekerjaannya.Sudah hampir tiga bulan sejak kepergian Miranti dari rumah kontrakannya dulu. Miranti menjalani kehidupanya hanya dengan ibu mertua dan anaknya, walau terasa sepi dan menjemukan tapi dia tetap bertahan karena dia tidak sanggup lagi untuk terus sakit hati dan juga kecewa akibat ulah suaminya. Demikian juga dengan bu Ismi beliau sering terlihat murung hanya cucu yang tumbuh cantik dan lucu yang saat ini bisa menghibur hatinya.
BAB 10 Menghindar M..mas Radite”, aku berbalik arah dan masuk kembali ke dalam mini market sebelum ketahuan mas Radite. Lebih baik aku menghindar dari pada aku harus bertemu dengannya. Aku bergegas masuk kembali tanpa melihat kedepan karena pandanganku fokus ke luar memastikan apa yang aku lihat.Bruuuk…Aku menabrak seseorang sampai jatuh terduduk dilantai mini market. Untung saya tidak sedang ramai pengunjung. Aku berusaha bangun dan mengambil tas ku yang jatuh tak jauh dari tubuhku, namun ketika aku akan mengambil tas itu seseorang telah menyodorkan tas itu dihadapanku. Aku mendongak untuk melihat siapa yang aku tabrak. “Astaghfirullah maaf aku ngga sengaja”, kataku sambil mengambil tas yang ada di tangannya, ternyata orang yang aku tabrak itu bos yang telah mewawancarai aku tadi. Tanganku gemetar dan wajahku seketika pucat.Karena yang aku dengar pak Ricard adalah bos yang galak dan kejam. “Maaf pak saya ngga sengaja “, kataku masih dalam ke adaan duduk di lantai
Miranti duduk termangu sendiri di depan ruangan pak Ricard sambil mengingat omongan mba leader line tadi.Dari jauh dilihatnya pak Ricard baru datang,tatapan tajam mengarah ke padaku saat tahu aku sudah menunggu di depan ruangan kantornya. “Selamat pagi pak!”, aku memberi salam sambil tersenyum manis. Berharap beliau mau menjawab salamku bahkan membalas senyum manisku . Namun jangan kan tersenyum menjawab salam saja tidak, bahkan yang lebih membuat hatiku sakit dia hanya melirikku sekilas. “Ya Allah beri aku kesabaran, ternyata benar apa yang di katakan mba Leader line tadi, serem dan sangar kaya singa liar”, gumamku dalam hati sambil menggigit bibir bawahku. “Miranti Yuliana Edward masuk!”, perintah tegas dari pak Ricard menggelegar memecah keheningan membuat aku kaget. “I..iya pak”, jawabku terbata bata dan gugup. Aku masuk dan duduk di hadapannya layaknya anak sekolah di panggil guru bimbingan konseling karena melakukan pelanggaran. “Kamu sudah menerima pesan dari s
“Aku..aku”, Miranti terbata bata menjawab pertanyaan pak Ricard. Dirinya tidak dapat mengelak lagi untuk menyembunyikan identitas diri. “Katakan apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa tadi yang menelpon mu?” tanya pak Ricard mengintimidasi. Miranti tidak langsung menjawab dia terdiam cukup lama, bayangan kejadian yang dia alami selama ini bermunculan kembali di benaknya, tak terasa air matanya menetes tanpa bisa di bendung lagi. “Miranti Yuliana Edward aku tidak butuh tangisanmu, dan kau tahu tangisan tidak akan menyelesaikan masalah. Aku butuh jawabanmu agar aku bisa membantumu”. “Aku tidak butuh bantuan bapak, ini masalah keluarga aku bisa menyelesaikannya sendiri!”, jawab Miranti ketus sambil mengusap air matanya kasar.Mendengar jawaban Miranti membuat Ricard mengeraskan rahang, tangannya mengepal menahan kesal. “Oke jika itu mau mu, saya harap kamu profesional dalam bekerja. Jangan bawa masalahmu dalam pekerjaan saya tidak mau rugi!”, bentak Ricard sambil berla
Sejak mendengar ucapan pak Ricard tadi siang , Miranti tidak fokus dengan pekerjaannya dia lebih banyak diam dan melamun. Pikirannya melayang menduga duga apa yang terjadi dengan suaminya. Walaupun Radite sudah meninggalkan dirinya dan tidak mengakui Desy anaknya tapi dia masih perduli padanya, bagaimana pun juga Radite adalah orang yang pernah membersamai nya selama ini.Sampai di rumah Miranti masih memikirkan omongan atasannya itu. Bu, apa selama ini ibu pernah dengar kabar mas Radite?”, tanya Miranti pada sore itu saat mereka sedang bercanda bersama anaknya sambil menonton televisi.Mendengar pertanyaan menantunya bu Ismi terlihat gugup membuat Miranti menatap mertuanya heran. “Ibu tahu kabar mas Radite?”, tanya Miranti memastikan sekali lagi. Namun wanita itu terlihat sedih sambil menggelengkan kepalanya. Miranti hanya bisa menghela napas dalam dalam. Tiba tiba ponsel nya berdering, dia bergegas mengambil ponsel yang dia letakkan diatas meja. Ternyata panggilan masuk
BAB 14 Fakta yang sebenarnya Mendengar penjelasan dari atasannya tentang kabar suaminya membuat Miranti semakin tidak suka dengan pak Ricard yang di rasa sok tahu dan selalu menjelek jelekkan Radite suaminya. “Sudahlah pak bapak tidak tahu suami saya apalagi mengenalnya jadi jangan membuat berita bohong. Dosa lho pak fitnah orang”, kataku dengan muka sewot. Bukannya menyadari kesalahannya malah pak Ricard tertawa sinis. “Yang fitnah itu siapa, ini fakta yang harus kamu terima bahwa suamimu iu laki laki tidak bertanggung jawab. Jadi saya harap lupakan laki laki seperti Radite itu jika tidak ingin hidupmu lebih menderita. Jangan malah buta karena cinta. Memang cinta tidak ada logika …itu kata agnes monica, tapi yang menjalaninya harus pakai logika agar tidak keblinger seperti kamu”, pak Ricard tertawa melihat wajah Miranti cemberut.Kemudian meninggalkan ruangan itu. Kepergian atasannya membuat Miranti berpikir keras apa yang pak Ricard tahu tentang suaminya sehingga mem