LOGINPagi berikutnya.
Plak... Plak... Plak....!!! Entah sudah berapa kali pukulan Ken mendarat di tubuh para penjaga. "Bodoh! Bodoh! Tidak berguna!" Umpat Ken. "Maafkan kami, Tuan." Para penjaga menunduk sembari meremas jari jemari masing-masing. Salah seorang penjaga berkata dengan ragu-ragu, "Kami memang sempat mendengar teriakan Tuan Rendra dan Nona Mutia. Tapi mana mungkin kami berani mendobrak pintu itu. Kami berpikir, mereka sedang…” "Sebenarnya apa yang terjadi? Kami sungguh tidak mengerti." Kata yang lain. Ken hanya menggertakkan giginya dengan geram, kemudian menoleh pada kepala pelayan yang bernama Fic, yang berdiri di belakangnya. "Pecat mereka semua Fic, penjaga tidak berguna!" "Tapi, Tuan,” Salah satu penjaga berlutut di kaki Ken. "Tuan, kami sudah mengabdi lebih dari sepuluh tahun di rumah ini. Adakah kesalahan kami selain kali ini? Tolong beri kami toleransi." Ken tidak menghiraukannya kemudian melangkah masuk. Fic segera menyusulnya dengan tergesa. "Tuan, anda tidak boleh begitu saja memecat mereka." Ken tidak menjawab. "Tuan, jika penjaga mendobrak pintu kamar Tuan Rendra, apa anda tidak membayangkan bagaimana malunya Tuan Rendra?" Ken masih terdiam. "Lebih bagus mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi." Sambung Fic. Ken menoleh, setelah berpikir beberapa detik, dia mengangguk. "Kamu benar. Baiklah, jangan pecat mereka." Ken melanjutkan langkahnya ke ruang kerja. Hari ini Ken tidak akan pergi kemana pun. Pikirannya hanya satu, mencari tahu siapa orang yang berani menjebak Rendra. Sementara itu di kamar utama. Rendra menggeliat di atas sofa, perlahan membuka dia matanya. Sepertinya dia baru saja terlelap, tapi saat melihat jam ternyata sudah pukul tujuh pagi. Mau tidak mau dia bangun dan berjalan gontai ke dalam dan segera menuju kamar mandi. Matanya masih terasa berat. Rendra meraba gagang pintu kamar mandi. Ceklek! Dia perlahan masuk. "Aaaa....!!" Suara lengkingan panjang milik tubuh polos yang sibuk menutup bagian sensitifnya. Mutia kebingungan mana yang akan ditutup — yang atas, yang bawah terbuka. Akhirnya satu-satunya jalan adalah duduk di lantai dengan merapatkan kakinya dan menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Rendra yang kaget bukan kepalang, terasa seperti disambar petir. Dia membeku. Bahkan untuk menunduk atau menggeser kakinya pun tidak sanggup rasanya. "Astaga!" "Tuan.. keluar! Keluar!" Rendra yang nyawanya masih belum sepenuhnya terkumpul akibat bangun dari terlelap sebentar itu belum sadar juga. "Tuan!" "Ah iya!" Rendra baru tersadar, segera membalikkan badan. Lalu cepat-cepat keluar dari kamar mandi. "Tutup pintunya!" Grep! Rendra segera menutup pintu. Dia mengusap wajahnya berkali-kali, lalu menyandar lemas di dinding. Kenapa dia bisa lupa kalau ada Mutia di dalam kamarnya? Sialan! Pagi-pagi, matanya telah ternoda! Dia menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka. Dia langsung menghampiri Mutia yang masih berbalut handuk saja. "Kamu ini? Kenapa tidak menguncinya? Kamu sengaja ya?” "Saya lupa kalau ini kamar Tuan. Anda juga kenapa tidak mengetuk pintu dulu? Apakah ada orang di dalam? Begitu seharusnya." Rendra menggaruk kepalanya. "Aku, aku juga lupa kalau ada kamu di sini." Akhirnya keduanya terdiam. Sama-sama menyisih. Yang satu duduk di sisi ranjang bagian sana dan yang satu di ujung sini. Mutia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Rendra menoleh pas saat bersamaan dengan Mutia yang juga menoleh. Keduanya canggung, kemudian saling menunduk. "Maaf. Aku tidak mendengar suara air atau apa pun tadi. Mungkin pengaruh aku terbangun dan buru-buru," Rendra meminta maaf. "Maafkan saya juga. Saya juga lupa mengunci pintu tadi, karena buru-buru," Mutia pun meminta maaf. "Sudahlah. Ini murni kecelakaan. Anggap saja begitu." Keduanya terdiam cukup lama. Tenggelam dengan pikirannya masing-masing. "Tuan. Dimana baju saya semalam?" tanya Mutia. "Itu!" Rendra menunjuk ke sudut ruangan. Mutia segera menghampiri tumpukan bajunya dengan menarik selimut. "Itu basah. Pakai dulu bajuku. Nanti agak siangan aku akan menyuruh orang membelikan baju ganti untukmu," kata Rendra sambil memilih kaos terkecilnya dan memberikan pada Mutia. "Tapi Tuan." "Pakai dulu. Untuk sementara." "Bukan itu. Tapi masalahnya." "Apa lagi?" "Saya, tidak ada bra dan CD. Ini juga masih basah." Mutia mengangkat bra hitam miliknya. "...?" Rendra menoleh, memperhatikan benda yang sempat di tangannya semalam. "Anda punya simpanan seperti ini?" "Hah!” Sudut bibir Rendra berkedut. “Kamu pikir aku punya simpanan wanita di rumah ini dan menyimpan benda-benda seperti itu?" "Ya bukan seperti itu maksudnya. Siapa tahu punya Ibu Tuan!" ucap Mutia menunduk merasa bersalah. "Ibuku meninggal sejak aku kecil. Mana ada punyanya yang tertinggal," sahut Rendra. Mutia terdiam. Dia kembali duduk di tepi ranjang. "Pakai dulu bajumu, aku ke kamar mandi dulu. Nanti aku akan mengantarmu ke toko," Rendra segera beranjak ke kamar mandi. Menyelesaikan mandinya dengan cepat. Tapi pemandangan tubuh polos tadi terbayang di benaknya. Semalam, dia tidak melihat dengan jelas, dan barusan, itu benar-benar sangat jelas. Tubuh wanita itu sangat bagus dan mulus. "Sial benar nasibku. Perempuan itu sudah merusak semua yang ada di diriku. Otakku juga sudah tercemar olehnya." "Ah.. mana dia istri orang. Kalau saja bukan…” Kalau bukan? Apa kurebut saja dia dari suaminya ya? Suaminya juga bukan pria baik. Mutia juga sepertinya sangat tertekan dengan pernikahannya. Rendra terus berbicara ngawur pada dirinya sendiri.Hari-hari berlalu sangat lambat bagi mereka. Baik Rendra maupun Ken sama-sama gelisah menunggu setiap bulan yang terus mereka lewati.Ada sedikit kekhawatiran yang tak bisa diabaikan dari hati Rendra: kalau bayi yang dikandung Mutia nanti perempuan, siapa yang akan menjadi penerusnya? Sementara Ken sudah pernah berjanji, bila Rendra tidak berhasil memiliki seorang putra, meskipun Ken sendiri memiliki putra, ia tetap tidak akan menjadikannya penerus perusahaan Dwintara.Ken sudah bersumpah untuk setia berdiri di sisi Rendra, bahkan untuk urusan keturunan. Dalam arti, apa pun yang terjadi, ia akan tetap berada di samping, bukan di depan.Hingga akhirnya, hari yang mereka tunggu benar-benar tiba.Tibalah waktunya Rimbun menjalani operasi caesar yang sudah disepakati sejak awal.Operasi berjalan lancar tanpa hambatan. Dan mengejutkan semua orang, tiga bayi kembar milik Ken ternyata semuanya adalah bayi laki-laki!Senyum kebahagiaan benar-benar terukir jelas di ujung bibir Ken dan Rendra.
Mereka sudah berada di ruang khusus rumah sakit. Rendra dan Mutia menunggu di luar, sementara Ken dan Rimbun berada di dalam ruang pemeriksaan.Dokter mulai melakukan USG pada kandungan Rimbun. Setelah beberapa saat, dokter wanita itu menoleh pada Ken yang duduk di ujung ranjang, dekat kaki Rimbun."Ada apa dengan istriku, Dok?" Ken cepat berdiri dan mendekat.Dokter tersenyum."Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan Ken.""Jadi istriku benar-benar hamil?" Ken bertanya lagi, kali ini dengan suara lebih tegang."Tentu saja. Istri Anda benar-benar hamil, hanya saja…""Hanya apa, Dok?" Ken mulai gelisah."Nona Rimbun mengandung bayi kembar tiga sekaligus. Ini luar biasa, Tuan!" Dokter tampak benar-benar kagum."Hah? Apa?" Ken tercengang. Rimbun yang masih berbaring pun langsung menoleh cepat."Lihat, Tuan. Ada tiga janin di dalam rahim Nona," ujar dokter sambil menunjuk monitor USG portabel 4D."Jadi istriku… hamil bayi kembar tiga?" Ken masih tak percaya."Benar, Tuan. Itu sebabnya pe
"Jadi usia Fic sekarang belum mencapai delapan belas tahun?" Mutia tercengang setelah mendengar cerita Rendra tentang Fic."Benar, Mutia. Mungkin karena didikan fisik dan mental yang begitu keras untuknya, membuat Fic tumbuh dua kali lebih matang dari usia sebenarnya."Mutia masih mengingat dengan jelas bagaimana Fic pernah menyelamatkannya. Tembakan pistol Fic sangat tepat, mengenai tangan Dion yang hampir saja melubangi perutnya. Lalu bagaimana Fic mengangkat tubuhnya dengan begitu mudah dan membawanya berlari menuju mobil untuk dibawa ke rumah sakit.Raut wajah Fic yang ketakutan dan sangat cemas itu masih terbayang jelas. Tangisannya kala itu menggambarkan betapa ia sebenarnya masih sangat muda.Fic menangisi Mutia sepanjang perjalanan. Takut istrinya Rendra itu tidak selamat, takut mendapat murka Rendra, dan takut kehilangan orang yang dianggapnya keluarga."Tapi Fic pernah mengatakan padaku kalau dia sudah di sini sejak orang tuamu masih ada?" tanya Mutia."Dia hanya bergurau, M
"Mana bisa seperti itu? Kita susah payah memperjuangkan perusahaan itu. Sekarang kamu mau membiarkan perusahaan itu hilang begitu saja?" Ken mulai emosi."Bukan begitu, Bodoh! Itu hanya bayanganku kalau semua itu benar-benar terjadi. Makanya kamu harus berpikir, Ken! Kamu kan hebat dalam urusan memikirkan sesuatu. Ayo berpikir!" Rendra berdiri mengikuti Ken.Ken tertawa. Ia tahu Rendra hanya bercanda, lalu duduk kembali. Rendra ikut duduk.Keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Mereka mencari solusi agar perusahaan tetap berjalan stabil meski mereka tidak bisa hadir sepenuhnya, sementara para istri sedang ngidam parah dan tidak ingin ditinggal."Ah!" Ken tiba-tiba mengacungkan telunjuk."Kamu menemukan solusinya?" Rendra langsung menatap penuh harap."Tentu!""Bagaimana?""Hanya ada satu solusi yang tepat.""Apa, Ken? Cepat katakan!""Sudah saatnya dia ikut andil dalam perusahaan. Tidak sia-sia selama ini kita mendidiknya dengan baik. Sudah saatnya dia membuktikan kemamp
Bikin panik saja!Fic memilih pergi.Rendra menyeret langkahnya keluar rumah. Wajah terpaksa sangat terlihat, namun demi istri tercinta ia tetap melakukannya.Seorang penjaga menyapa. “Tuan Rendra, Anda akan keluar?”“Ah, iya.”“Tapi ini sudah malam,” ujarnya heran.“Aku tahu ini sudah malam!” Rendra melotot.“Ah, maksud saya… apa tidak sebaiknya Tuan Rendra ditemani seseorang? Tuan Ken mungkin?”Rendra hanya mendengus, sedikit melirik pintu sebelum menghampiri mobilnya.‘Lebih baik aku mengajak Ken saja.’Baru saja hendak menghubungi Ken, orang yang dimaksud sudah terlihat berjalan terburu-buru menuju mobil lain.“Ken!”Tangan Ken yang hampir membuka pintu mobil berhenti. Ia menoleh. “Tuan Rendra!”“Malam-malam begini kamu mau ke mana?” Rendra menghampirinya.“Kamu sendiri mau ke mana?” Ken balik bertanya.Ken mendengus. Ia menundukkan wajah sedih, menyandarkan punggungnya pada pintu mobil.“Rimbun ingin makan otak-otak.” Ia menoleh pada Rendra, yang langsung tergelak.“Belikanlah, K
Ken tidak menjawab pertanyaan Rendra, malah menoleh pada istrinya.“Sayang, sejak kita menikah… aku tidak pernah melihat kamu datang bulan. Benarkah? Atau aku yang tidak tahu?”Mendengar pertanyaan Ken, Rendra spontan menoleh pada Mutia.“Mutia… bulan ini aku juga belum melihat kamu datang bulan?”Mutia mendongak, mencoba mengingat-ingat.“Iya, Rendra. Aku terlambat… sudah hampir satu minggu ini.”“Astaga! Benarkah?”“Seingatku begitu.”“Jadi maksudnya?” Rendra kini menoleh pada Ken.Ken masih menunggu jawaban dari Rimbun.“Sayang… kamu tidak haid?”“Terakhir aku datang bulan dua minggu sebelum kita menikah. Seharusnya aku sudah kedatangan tamu dua minggu yang lalu. Aku juga sudah terlambat sekitar dua mingguan… dan aku lupa!”Jawaban dua wanita itu membuat kedua pria itu sama-sama menepuk kepala.“Artinya… mereka bukan keracunan!” ucap Rendra.“Artinya, istriku hamil!” Ken hampir berteriak.“Tuan, Dokter sudah datang,” ucap Fic dari pintu.Semua menoleh. Dokter wanita itu masuk setel







