เข้าสู่ระบบRendra melepas jaket kulitnya dan tanpa banyak bicara, menutupi tubuh Mutia dengan jaket itu. Satu lengannya melingkar di punggung wanita itu, lalu mengangkat tubuh Mutia ke pelukannya.
Mutia tidak melawan. Rendra membuka pintu mobil dan meletakkannya perlahan di jok penumpang. Setelah memastikan tubuh Mutia bersandar dengan nyaman, Rendra menghidupkan mesin mobil dan melaju. Perjalanan berlangsung dalam diam. Hujan mengetuk atap mobil, tapi di dalam hanya ada keheningan. Sesekali Rendra melirik, dan wajah Mutia semakin pucat. Napasnya tidak teratur. “Mutia?” Rendra menyentuh lengannya. Mutia tidak merespon. “Mutia!” Dia menepuk pipinya pelan. “Ya Tuhan… dia pingsan!” Rendra menekan pedal gas lebih dalam, membelokkan mobilnya menuju rumah. Begitu sampai di halaman rumah, dia langsung meloncat turun dari mobil dan membopong Mutia masuk ke dalam, membawanya ke kamarnya sendiri. Dia meletakkan Mutia di atas tempat tidur. “Apa yang harus aku lakukan?” Rendra kebingungan. Dia hampir menghubungi dokter pribadi, tapi mengurungkan niat. Lalu memilih untuk menekan nomor Ken. “Ken, cepat ke kamarku.” Ken disana terkejut. Ini pasti ada masalah serius! Dia bahkan tidak bertanya dan langsung berlari ke kamar bos-nya. Hanya beberapa detik, Ken langsung muncul di depan pintu “Tuan, apa ada?” “Ken, Mutia pingsan. Badannya dingin sekali.” “Hah!” Ken tercengang dan langsung menoleh ke arah tempat tidur. “Nona Mutia, kok bisa? Apa yang terjadi?” “Aku menemukannya di bawah hujan.” Tadi, Rendra terbangun. Dia tidak melihat Mutia dikamarnya. Dia turun untuk memeriksa kamar Mutia. Tapi seorang penjaga melapor, jika melihat Mutia berjalan keluar. Rendra tidak sempat membangunkan Ken, dia langsung pergi sendiri untuk mencari Mutia. Dia khawatir Mutia akan mendapatkan masalah dengan suaminya karena pulang dalam keadaan seperti itu. Ken mendekat dan memeriksa suhu tubuh Mutia dengan punggung tangannya. “Kita butuh air hangat. Tuan harus bantu ganti bajunya. Kalau tidak, dia bisa demam.” Rendra menegang. “Dia bisa sakit kalau tidak diganti. Kalau Tuan tidak bisa, serahkan padaku.” Ken sudah mendekat. “Biar aku saja.” Rendra menarik tangan Ken. Sudut bibir Ken berkedut. “Oke. Kalau begitu, aku akan siapkan air hangatnya.” Setelah Ken keluar, Rendra menutup pintu kamar. Dia kembali menatap Mutia yang tertidur dalam keadaan basah kuyup. Jari-jarinya gemetaran saat menarik selimut dan berusaha mengganti pakaian Mutia dengan cara seaman mungkin. Semua dilakukan dari bawah selimut, tanpa menatap, tanpa menyentuh lebih dari yang perlu. Beberapa jam yang lalu, tubuh wanita ini telah ia nikmati dengan sangat buas dan tanpa perasaan. Saat mengingat tentang itu, wajahnya memerah dan tubuhnya menegang. Berkali-kali dia harus menarik nafas panjang, agar tidak terlalu tegang. Setelah berhasil mengenakan pakaian kering untuk Mutia, dia bisa sedikit bernafas lega. Dia melempar baju basah Mutia ke pojok ruangan. Rendra duduk di tepi tempat tidur, menatap Mutia beberapa detik. Wajah wanita itu masih pucat, tapi nafasnya mulai stabil. Suara ketukan pintu terdengar, Ken masuk dengan membawa baskom air hangat dan handuk kecil. Tanpa mengatakan apapun, Ken meletakkan baskom itu di dekat Rendra dan dia pergi keluar dengan menutup pintu. Setelah Ken pergi, Rendra mencelupkan handuk kecil, memerasnya pelan, lalu menempelkan ke dahi Mutia. Matanya menangkap bekas memar di pipi Mutia. Bekas tamparan tangan itu masih baru. Seperti ada batu besar yang tiba-tiba menimpa dadanya. Terasa sesak dan sakit. Wanita ini sangat malang. Dia pasti telah diperlakukan tidak baik oleh suaminya. Dan… dia juga telah menjadi korban gairahnya malam ini. Rendra mengusap wajahnya dengan kasar. Hening. Hanya detak jarum jam yang terdengar di kamar itu. Lalu, perlahan terdengar Mutia mengerang kecil. “Mutia, kamu sudah sadar?” Rendra mencondongkan tubuhnya. Wanita itu membuka mata perlahan. Pandangannya buram. Begitu sadar penuh, dia mendongak dan langsung menatap Rendra. “Anda yang menolongku?” Rendra hanya mengangguk. “Terima kasih,” tapi tiba-tiba saja mata Mutia melebar saat dia menyadari jika pakaiannya telah berganti dengan pakaian pria. “Tuan… bajuku?” Wajahnya berubah merah padam. Rendra langsung berdiri dan buru-buru berkata,“Bajumu basah kuyup. Jadi aku terpaksa menggantinya. Kalau tidak…” Rendra menggaruk tengkuknya dan merasa sangat canggung, “Kamu bisa sakit.” Mutia menunduk. Dia memang tidak biša menyalahkan Rendra. Dirumah ini memang tidak ada wanita selain dirinya. Tidak mungkin kan, Rendra akan menyuruh Ken atau pelayan pria untuk mengganti bajunya? Tapi dia benar-benar sangat malu. Untungnya, Rendra langsung keluar dari kamar. Jadi rasa canggung diantara keduanya agak berkurang. Tapi tidak lama kemudian dia kembali masuk dengan membawa segelas susu hangat. “Minumlah. Ini bisa membantumu lebih nyaman.” Mutia menatapnya sekilas, lalu menerima gelas itu dan menyesap pelan. “Istirahatlah dulu, kalau nanti kamu mau pulang, aku atau Ken bisa mengantarmu.” Kata Rendra. Mutia menggeleng. “Tuan, sebentar lagi pagi. Bolehkah saya menginap disini? Saya tidak tahu harus menginap dimana. Saya… diusir suami saya.” Rendra mengerutkan kedua alisnya, “Kenapa? Apa dia tahu kalau…” Mutia langsung menjawab, “Tidak, tidak. Bukan itu. Dia hanya marah karena saya pulang sangat terlambat dan… dan tidak membawa bahan untuk memasak.” Rendra merasa sedikit lega. Dia mengira jika suami Mutia mengetahui kejadian itu. Tapi mendengar cerita Mutia, dia merasa marah pada suami Mutia. “Jadi kamu diusir suamimu hanya karena hal itu?” Mutia mengangguk perlahan. Rendra menatap Mutia dengan perasaan campur aduk. Suami macam apa itu? Dia membiarkan istrinya bekerja, tapi masih tega memperlakukannya seperti itu? Tapi Rendra hanya mendengus, “Baiklah, kamu tidur disini. Aku akan keluar.” “Terima kasih, Tuan.” Rendra hanya mengangguk, kemudian memutar tubuhnya. Dia berjalan menuju ruang tengah. Tubuhnya terhempas di sofa, tapi pikirannya jauh dari tenang. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan pernikahan Mutia? Rendra menatap langit-langit, berapa kali dia mengusap wajahnya dengan kasar. --Hari-hari berlalu sangat lambat bagi mereka. Baik Rendra maupun Ken sama-sama gelisah menunggu setiap bulan yang terus mereka lewati.Ada sedikit kekhawatiran yang tak bisa diabaikan dari hati Rendra: kalau bayi yang dikandung Mutia nanti perempuan, siapa yang akan menjadi penerusnya? Sementara Ken sudah pernah berjanji, bila Rendra tidak berhasil memiliki seorang putra, meskipun Ken sendiri memiliki putra, ia tetap tidak akan menjadikannya penerus perusahaan Dwintara.Ken sudah bersumpah untuk setia berdiri di sisi Rendra, bahkan untuk urusan keturunan. Dalam arti, apa pun yang terjadi, ia akan tetap berada di samping, bukan di depan.Hingga akhirnya, hari yang mereka tunggu benar-benar tiba.Tibalah waktunya Rimbun menjalani operasi caesar yang sudah disepakati sejak awal.Operasi berjalan lancar tanpa hambatan. Dan mengejutkan semua orang, tiga bayi kembar milik Ken ternyata semuanya adalah bayi laki-laki!Senyum kebahagiaan benar-benar terukir jelas di ujung bibir Ken dan Rendra.
Mereka sudah berada di ruang khusus rumah sakit. Rendra dan Mutia menunggu di luar, sementara Ken dan Rimbun berada di dalam ruang pemeriksaan.Dokter mulai melakukan USG pada kandungan Rimbun. Setelah beberapa saat, dokter wanita itu menoleh pada Ken yang duduk di ujung ranjang, dekat kaki Rimbun."Ada apa dengan istriku, Dok?" Ken cepat berdiri dan mendekat.Dokter tersenyum."Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan Ken.""Jadi istriku benar-benar hamil?" Ken bertanya lagi, kali ini dengan suara lebih tegang."Tentu saja. Istri Anda benar-benar hamil, hanya saja…""Hanya apa, Dok?" Ken mulai gelisah."Nona Rimbun mengandung bayi kembar tiga sekaligus. Ini luar biasa, Tuan!" Dokter tampak benar-benar kagum."Hah? Apa?" Ken tercengang. Rimbun yang masih berbaring pun langsung menoleh cepat."Lihat, Tuan. Ada tiga janin di dalam rahim Nona," ujar dokter sambil menunjuk monitor USG portabel 4D."Jadi istriku… hamil bayi kembar tiga?" Ken masih tak percaya."Benar, Tuan. Itu sebabnya pe
"Jadi usia Fic sekarang belum mencapai delapan belas tahun?" Mutia tercengang setelah mendengar cerita Rendra tentang Fic."Benar, Mutia. Mungkin karena didikan fisik dan mental yang begitu keras untuknya, membuat Fic tumbuh dua kali lebih matang dari usia sebenarnya."Mutia masih mengingat dengan jelas bagaimana Fic pernah menyelamatkannya. Tembakan pistol Fic sangat tepat, mengenai tangan Dion yang hampir saja melubangi perutnya. Lalu bagaimana Fic mengangkat tubuhnya dengan begitu mudah dan membawanya berlari menuju mobil untuk dibawa ke rumah sakit.Raut wajah Fic yang ketakutan dan sangat cemas itu masih terbayang jelas. Tangisannya kala itu menggambarkan betapa ia sebenarnya masih sangat muda.Fic menangisi Mutia sepanjang perjalanan. Takut istrinya Rendra itu tidak selamat, takut mendapat murka Rendra, dan takut kehilangan orang yang dianggapnya keluarga."Tapi Fic pernah mengatakan padaku kalau dia sudah di sini sejak orang tuamu masih ada?" tanya Mutia."Dia hanya bergurau, M
"Mana bisa seperti itu? Kita susah payah memperjuangkan perusahaan itu. Sekarang kamu mau membiarkan perusahaan itu hilang begitu saja?" Ken mulai emosi."Bukan begitu, Bodoh! Itu hanya bayanganku kalau semua itu benar-benar terjadi. Makanya kamu harus berpikir, Ken! Kamu kan hebat dalam urusan memikirkan sesuatu. Ayo berpikir!" Rendra berdiri mengikuti Ken.Ken tertawa. Ia tahu Rendra hanya bercanda, lalu duduk kembali. Rendra ikut duduk.Keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Mereka mencari solusi agar perusahaan tetap berjalan stabil meski mereka tidak bisa hadir sepenuhnya, sementara para istri sedang ngidam parah dan tidak ingin ditinggal."Ah!" Ken tiba-tiba mengacungkan telunjuk."Kamu menemukan solusinya?" Rendra langsung menatap penuh harap."Tentu!""Bagaimana?""Hanya ada satu solusi yang tepat.""Apa, Ken? Cepat katakan!""Sudah saatnya dia ikut andil dalam perusahaan. Tidak sia-sia selama ini kita mendidiknya dengan baik. Sudah saatnya dia membuktikan kemamp
Bikin panik saja!Fic memilih pergi.Rendra menyeret langkahnya keluar rumah. Wajah terpaksa sangat terlihat, namun demi istri tercinta ia tetap melakukannya.Seorang penjaga menyapa. “Tuan Rendra, Anda akan keluar?”“Ah, iya.”“Tapi ini sudah malam,” ujarnya heran.“Aku tahu ini sudah malam!” Rendra melotot.“Ah, maksud saya… apa tidak sebaiknya Tuan Rendra ditemani seseorang? Tuan Ken mungkin?”Rendra hanya mendengus, sedikit melirik pintu sebelum menghampiri mobilnya.‘Lebih baik aku mengajak Ken saja.’Baru saja hendak menghubungi Ken, orang yang dimaksud sudah terlihat berjalan terburu-buru menuju mobil lain.“Ken!”Tangan Ken yang hampir membuka pintu mobil berhenti. Ia menoleh. “Tuan Rendra!”“Malam-malam begini kamu mau ke mana?” Rendra menghampirinya.“Kamu sendiri mau ke mana?” Ken balik bertanya.Ken mendengus. Ia menundukkan wajah sedih, menyandarkan punggungnya pada pintu mobil.“Rimbun ingin makan otak-otak.” Ia menoleh pada Rendra, yang langsung tergelak.“Belikanlah, K
Ken tidak menjawab pertanyaan Rendra, malah menoleh pada istrinya.“Sayang, sejak kita menikah… aku tidak pernah melihat kamu datang bulan. Benarkah? Atau aku yang tidak tahu?”Mendengar pertanyaan Ken, Rendra spontan menoleh pada Mutia.“Mutia… bulan ini aku juga belum melihat kamu datang bulan?”Mutia mendongak, mencoba mengingat-ingat.“Iya, Rendra. Aku terlambat… sudah hampir satu minggu ini.”“Astaga! Benarkah?”“Seingatku begitu.”“Jadi maksudnya?” Rendra kini menoleh pada Ken.Ken masih menunggu jawaban dari Rimbun.“Sayang… kamu tidak haid?”“Terakhir aku datang bulan dua minggu sebelum kita menikah. Seharusnya aku sudah kedatangan tamu dua minggu yang lalu. Aku juga sudah terlambat sekitar dua mingguan… dan aku lupa!”Jawaban dua wanita itu membuat kedua pria itu sama-sama menepuk kepala.“Artinya… mereka bukan keracunan!” ucap Rendra.“Artinya, istriku hamil!” Ken hampir berteriak.“Tuan, Dokter sudah datang,” ucap Fic dari pintu.Semua menoleh. Dokter wanita itu masuk setel







