Niatnya ingin membantu sang majikan, tapi Mutia justru diperkosa. Awalnya dia tidak tahu kalau majikannya itu adalah musuh suaminya. “Bercerai darinya dan menikahlah denganku.” “Aku tidak bisa, Tuan.” “Lalu bagaimana kalau kamu hamil? Bayi itu pasti milikku.” Rendra tidak bodoh, dia tahu kalau dia adalah pria pertama yang menyentuh Mutia.
View MoreMutia terkejut ketika tubuhnya tiba-tiba didorong keras oleh Rendra. Awalnya, dia hanya ingin membantu sang majikan yang baru saja pulang dalam keadaan sempoyongan.
Nafas pria itu terengah-engah, keringatnya membasahi pelipis, dan wajahnya memerah tidak wajar. “A-apa yang terjadi, Tuan?” Mutia tampak khawatir. “Pergi! Kunci pintunya dari luar!” Rendra mengusir Mutia dengan suara bergetar. “T-tapi,Tuan.” Karena merasa khawatir dengan kondisi majikannya, Mutia justru mendekat. Dia menopang tubuh Rendra. Namun, saat jemarinya menyentuh lengan Rendra, pria itu justru menariknya dan mendorongnya ke atas tempat tidur. Tubuh Mutia langsung jatuh terlentang. Dia panik saat Rendra sudah berada tepat di atasnya. Tatapan mata Rendra menggelap dan nafasnya sangat memburu seperti sedang menahan sesuatu. “Kamu harus… membantuku, Mutia,” Suara Rendra parau, dia menatap penuh kegelisahan. “Kali ini saja… tolong aku!” Mutia meronta dan mendorong dada majikannya. “Tuan, lepaskan! Apa yang Tuan lakukan?!” Dia beringsut mundur, tapi tangan Rendra lebih cepat menangkap pergelangan tangannya. “Obat sialan ini… aku tidak bisa menahan,” “Tuan, sadar! Jangan lakukan padaku. Aku ini sudah bersuami!” Mutia hampir menjerit karena ketakutan. Tapi Rendra sudah kehilangan kendali. Bibirnya menempel kasar pada bibir Mutia, membuat wanita itu merintih tertahan. “Emm… lepaskan, Tuan… kumohon…” suaranya bergetar, tubuhnya juga menegang. Efek obat itu membuat nafas Rendra kian memburu. Sentuhannya menjadi tergesa tidak terkendali. Sementara tubuhnya bergetar menahan gejolak yang terus membakar. Mutia masih berusaha melawan, menolak setiap gerakan kasar Rendra, tapi lama-kelamaan tenaganya terkuras habis. Isakan pelan menggantikan teriakannya, dan tubuhnya gemetar di bawah bayang-bayang pria itu. “Mutia… kumohon… aku… tidak bisa berhenti,” suara Rendra merintih penuh penderitaan. Wajahnya memerah, dan matanya memejam menahan rasa sakit sekaligus hasrat yang meluap. Sisa waktu terasa begitu panjang. Suara napas mereka saling bercampur, dan detak jantung Rendra berdentum keras di telinga Mutia. "Ah.. Sakit...! Berhenti Tuan. Kumohon!" Mutia mengeluh setiap kali Rendra menggigit bagian tubuhnya. Saat Rendra merenggangkan kedua pahanya dengan kakinya, Mutia berteriak, "Tidak, Tuan! Jangan!" "Aaa.....!" Mata Mutia terbelalak. Dia menjerit kesakitan ketika sesuatu menekan pangkal pahanya dengan begitu kuat. Setelahnya, dia sudah tidak bisa meronta lagi, hanya bisa menangis menahan setiap hentakan kasar dari Rendra. Pandangan mulai berputar. Dia mencoba meraih apa saja yang bisa ia raih. Tapi tidak ada apa-apa di sisinya yang bisa ia raih. Kecuali hanya sprei. Mutia mencengkram kuat sprei itu. Begitu juga dengan Rendra, melakukan hal yang sama. Kedua tangannya mencengkram kuat sprei sambil terus menghentak. Keringatnya bercucuran, hingga mengalir ke rahang. Dia belum berhenti dan masih terus bergerak. Lebih dari satu jam Rendra menggempur Mutia tanpa ampun. Sampai akhirnya, semuanya perlahan mereda. Malam kembali sunyi. Mutia hanya bisa terbaring lemah, tubuhnya gemetaran, hatinya penuh luka sekaligus kebingungan. Air mata jatuh membasahi pipinya. Dengan sisa tenaga, dia memalingkan wajah, tidak sanggup menatap Rendra yang kini terkulai lelah di sisinya. Pria itu terbaring dengan nafas yang masih tersengal, tubuhnya basah oleh keringat. Dia menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Lalu sesaat dia menoleh pada Mutia yang membelakanginya. Efek obat itu memang berhasil mereda, tapi menyisakan rasa bersalah yang menyesakkan dadanya. Ini adalah pengalaman pertamanya di atas ranjang! Dan Mutia yang berstatus istri orang justru harus menjadi pelampiasannya. Rendra Dwintara, dia adalah pemilik Dwintara Crop. Beberapa tahun ini, perusahaannya memang berkembang dengan sangat pesat dan berada di jajaran lima besar teratas. Beberapa jam yang lalu, Rendra sama sekali tidak menyangka jika malamnya akan berubah menjadi kacau seperti ini. Sore itu Ken, sekretaris sekaligus sahabatnya sudah memperingatkan agar dia tidak menghadiri pesta ulang tahun Natali, teman sekelas mereka dulu. Ken merasa undangan itu aneh, terutama karena datang langsung dari Dion, pacar Natali, sekaligus orang yang paling membenci Rendra. Lalu tiba-tiba saja saat mereka akan berangkat, staf perusahaan menghubunginya dan mengatakan jika gudang barang Dwintara Crop kebakaran. Ini bukan suatu kebetulan, kan? Selama ini, tidak pernah ada kejadian apa-apa. Para staf perusahaan mereka selalu bekerja dengan baik dan tidak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun. Tapi Rendra bersikeras untuk datang. Dia yakin tidak akan ada masalah besar. Rendra menyuruh Ken pergi duluan ke perusahaan untuk melihat situasi, sementara dia tetap menghadiri pesta seorang diri. Di pesta, Rendra hanya minum beberapa teguk anggur yang disuguhkan oleh Natali sendiri. Tapi beberapa menit kemudian, kepalanya terasa ringan, lalu panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Tenggorokannya kering, napasnya semakin berat, dan pikirannya kabur. Ini terasa aneh.. Dia mulai curiga ada sesuatu di dalam minumannya. Menyadari hal itu, dia berpikir harus segera pergi dari sini. Pada saat dia keluar dari pesta, Cesilia salah satu teman lama mereka yang selama ini mengejarnya, sempat menghampirinya dan menawarkan diri untuk menemani. Rendra menolak, lalu segera pergi. Dia benar-benar berjuang untuk tetap sadar dan jangan sampai melakukan kesalahan sedikitpun. Akhirnya dia berhasil pulang. Dia pikir, dia akan bisa mengendalikan diri setelah sampai di rumah. Sialnya, saat tiba di kamarnya dia justru bertemu dengan Mutia. Dan setelah itu, segalanya berubah. – Sekitar tengah malam, Rendra terbangun. Dia langsung terlonjak kaget saat mengingat dengan jelas kejadian semalam. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Mutia tidak ada di tempat tidurnya lagi. Hanya berantakan yang tersisa. Sprei kusut, bantal dan guling sudah entah kemana. Pakaiannya dan baju Mutia berserakan di bawah. Lalu pandangannya jatuh pada bercak darah yang cukup banyak di sprei putih tempat tidur ini. Matanya membulat tidak percaya. "Dia masih perawan? Bagaimana mungkin?” Dia teringat pertemuannya dengan Mutia, dia bilang kalau sudah bersuami. –“Tuan, kenapa?”Rimbun menoleh, merasa Ken tampak gelisah karena terus bergerak di tempat.“Tidak apa-apa. Jangan menoleh.” Ken menahan wajah Rimbun agar tetap menghadap ke depan.“Tuan, kamu terus bergerak. Apa kamu tidak nyaman?” Rimbun kembali menoleh dengan polos.“Jangan menatapku, Rimbun. Kamu ini…” Ken kembali mendorong wajahnya dengan sedikit jengkel.“Aku bisa menerkammu, tahu!” desis Ken dengan nada tertahan.“Menerkam? Maksudnya apa?” Rimbun mengerutkan kening bingung.“Ah, sudah diam! Jangan banyak bergerak!” Ken mendekatkan tubuhnya lebih rapat, membuat Rimbun tak bisa bergerak sama sekali.Sesaat, suasana menjadi hening. Hanya suara napas mereka yang terdengar, terasa begitu dekat dan menegangkan. Tangan Ken bergerak, tanpa sadar meremas lengan Rimbun.“Arg…!” tiba-tiba Ken berteriak kecil, membuat Rimbun terkejut.“Tuan, kenapa?” tanya Rimbun cepat.“Tidak… tidak apa-apa,” jawab Ken gugup, sama terkejutnya dengan suaranya sendiri.“Rimbun, sebaiknya kamu ke ranjang saja
Masih di tempat dan waktu yang sama.Rimbun sudah selesai mengelap tubuh bagian bawahnya. Ia kemudian berganti pakaian—setelan tidur yang baru dibeli Ken, lengkap dengan pakaian dalamnya yang juga dibelikan oleh pria itu. Sambil melirik ke arah Ken yang hanya tampak ujung kepalanya dari balik sofa, bibirnya tersenyum kecil.“Hihi…” Rimbun terkikik melihat pantulan dirinya di cermin. Lucu dan imut, seperti boneka Barbie versi sederhana, dengan pakaian tidur ala anak konglomerat.“Lucu banget aku. Jadi gemes sendiri. Gemes sama yang beliin bajunya,” gumamnya geli.Ia lalu melangkah ke kamar mandi untuk menggosok gigi, mencuci muka, dan melakukan ritual kecil khas perempuan. Namun, baru sebentar menyentuh air, tubuhnya sudah menggigil.“Heh, ternyata aku belum sembuh,” keluhnya sambil mendekap tubuh sendiri. Ia keluar dari kamar mandi dan berjalan menghampiri Ken.“Tuan!” panggilnya.Ken menoleh. Wajah gadis di depannya itu tersenyum manis—senyum yang sukses membuat detak jantungnya mela
“Kamu pernah membeli ini? Artinya aku bukan wanita pertama yang kamu perhatikan?” tanya Rimbun dengan tatapan tajam.“Memang bukan. Astaga! Maksudnya—”“Dasar pria murahan! Playboy!” potong Rimbun ketus.“Eh, Rimbun, bukan begitu maksudku. Dengar dulu,” ucap Ken panik. “Wanita pertama yang aku perhatikan itu Nona Mutia. Aku harus menjaganya kalau Tuan Rendra sedang tidak bersamanya. Soal barang-barang wanita, aku memang pernah membelinya… maksudku, menemani Tuan Rendra membeli untuk Nona Mutia. Begitu.”“Aku tidak percaya!”“Sungguh, Rimbun. Kalau tidak percaya, kamu bisa tanya langsung ke mereka. Saat itu pertemuan pertama mereka. Tuan Rendra membawa Nona Mutia dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan. Karena dia tidak punya baju ganti, kami berdua terpaksa mencarikannya. Kami bahkan sempat berdebat di toko soal ukuran itu.”Ken menarik napas panjang. “Sejak saat itu, aku berpikir kalau suatu hari aku punya istri, aku harus tahu ukuran tubuhnya. Supaya tidak bingung kalau nanti har
“Tidak mungkin. Tuan Rendra itu bos paling pengertian. Jadi kamu tidak perlu cemas. Cepat sembuh, supaya bisa kembali membantuku di kantor,” ucap Ken lembut sambil menggenggam jemarinya.Rimbun tersenyum tipis. “Terima kasih, Tuan Ken. Kamu sudah sangat baik padaku.”“Sudah kubilang, aku ini baik. Kamu saja yang belum mengenalku dengan benar,” jawab Ken sambil tersenyum hangat.“Iya, Tuan. Maafkan aku,” sahut Rimbun lirih.“Sekarang tidurlah. Kamu perlu banyak istirahat. Maafkan aku, mungkin kamu kelelahan karena terlalu sibuk membantuku,” ucap Ken lembut.“Tidak juga. Penyakit ini memang sering kambuh kok,” jawab Rimbun santai.“Kalau bisa, mulai sekarang jangan kambuh lagi. Asal kamu mau menjaga pola hidup yang sehat dan bersih, penyakit ini akan menjauh darimu. Jadi setelah sembuh nanti, kamu harus pindah dari kos kumuh itu. Aku akan bantu carikan tempat tinggal yang lebih layak. Atau kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di sini sesuka hatimu. Bagaimana?”Rimbun tersenyum kecil. “Kala
“Ke tempatku dulu.”“Rumah yang kemarin? Aku tidak mau, Tuan. Tidak enak dengan Nona Mutia dan Tuan Rendra. Aku takut merepotkan mereka. Lagipula Nona sedang sakit juga,” sahut Rimbun pelan, menolak.“Kamu benar. Tapi kamu ini sedang sakit, Rimbun. Tempat tinggalmu itu tidak baik untuk kesehatanmu saat ini.”“Tidak apa-apa, Tuan. Itu sudah cukup bagiku. Aku tidak mau merepotkan orang lain.”“Aku tidak akan tenang kalau kamu di sana. Siapa yang akan memperhatikan dan merawatmu? Aku tidak mungkin datang terus ke kostmu, sumpek di kamarmu itu. Belum lagi ibu kostmu yang galak,” ucap Ken dengan nada kesal tapi penuh khawatir.“Ya sudah, tidak perlu datang, aku biasa sendiri kok,” jawab Rimbun.“Tidak bisa, Rimbun. Aku khawatir.”Akhirnya Ken memutar kemudi, tidak jadi membawa Rimbun ke rumah Rendra, juga tidak mengantarnya ke kost. Ia melajukan mobil menuju tempat lain yang dianggap paling tepat untuk merawat Rimbun.Tak lama, mobil berhenti di depan sebuah bangunan luas bergaya modern. K
“Apa Rimbun tidak ada?”“Bun...!” Ken memanggil cukup keras sambil mengetuk pintu.Tak ada jawaban. Ia mencoba memutar gagang pintu dan ternyata tidak dikunci. Dengan hati-hati, Ken mengintip ke dalam. Ia mendapati Rimbun sedang meringkuk di kasur, masih terbungkus selimut tebal.“Astaga! Dia masih tidur?” gumam Ken, lalu masuk dan mendekat.“Rimbun?” Ia menarik selimut itu dengan kasar.Gadis itu terlonjak kaget, segera duduk dan mendekap tubuhnya sendiri sambil menatap Ken dengan panik.“Tuan... Tuan Ken! Selimutnya! Kembalikan selimutnya, aku... aku kedinginan,” ucap Rimbun terbata, tubuhnya bergetar menahan dingin.“Selimutnya, Tuan... tolong kembalikan,” pintanya lemah.Ken sempat terdiam. Tapi sesaat kemudian, ekspresinya berubah cemas. Ia baru menyadari sesuatu yang tidak beres.“Bun, kamu kenapa? Kamu sakit?” tanyanya, kini menunduk dan mendekat.Rimbun melirik sekilas, masih mendekap dirinya erat.“Dingin, Tuan. Dingin sekali. Maaf... aku tidak bisa berangkat bekerja hari ini
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments