Share

Part 2. Banyak Keresahan

Farida langsung membuat panggilan telepon dengan nomor itu. Tak lama panggilan pun terhubung.

“Hallo, sayang?” sapa Farida dengan santai.

“Hallo, Tante, gimana udah lihat hadiah dari Queenza? tadi dia seneng banget habis beliin Tante boneka. Katanya kangen, kok jarang main ke sini lagi?” jawab seorang wanita dari seberang panggilan.

“Udah, kok. Cantik banget bonekanya. Oke, besok Tante main ke sana lagi ya. Sekarang lagi ada acara soalnya.” Farida menyesap minumannya.

“Acara anniv Mas Faris sama istrinya, ya? oh ya, gimana tuh apa istrinya udah isi?” tanya orang itu.

“Belum. Bodo, ah. Jangan bahas itu.” Farida mendengkus pelan. 

“Hahaha, oke-oke. Oh ya, gak apa-apa kalau Tante belum punya cucu, kan ada Queenza sama bentar lagi adik bayinya launching. Tinggal dua bulan lagi aku lahiran. Tante bisa gendong bayi lagi deh.”

“Syukurlah, kalian sehat-sehat ya. Udah gak sabar nih pengen gendong bayi!” Farida tertawa kecil. Tampak asyik sendiri berbincang di telepon bersama seorang wanita yang diduga adalah ibu dari dua anak.

Sedangkan di lain sisi, Friska sedari tadi memperhatikan mertuanya yang terlihat bahagia sekali. Bahkan sempat melakukan panggilan video dengan seorang wanita.

*** 

Faris bangun pagi-pagi sekali. Setelah menyegarkan tubuhnya, ia berjalan ke arah tempat tidur dan melakukan rutinitas pagi kesukaannya yaitu mengecup seluruh inci wajah sang istri yang masih terlelap. Kadang tersenyum sendiri saat melihat Friska menggeliat karena merasa terusik tidurnya. 

Pria yang sangat romantis. Itu yang selalu diucapkan oleh Friska. Suaminya ini adalah pria idaman dan nyaris mendekati sempurna menurut versinya. Selama 8 tahun menikah, Faris tak pernah bersikap kasar apalagi sampai bermain fisik. Penyabar, lembut, hangat tetapi juga tegas untuk beberapa hal. Sikap dan perlakuan manisnya selalu sama dan tak pernah berubah meski sudah delapan tahun menjadi suami.

Sementara menurut Faris, Friska adalah wanita yang sangat unik dan menarik. Cantik dan sangat manis katanya. Tak bosan dipandang meski tanpa polesan sedikitpun. Wanita yang ia pacari sejak dibangku kuliah semester akhir itu akhirnya ia resmikan pasca lulus kuliah. 

Di hari wisuda, Faris menyematkan cincin tanda pertunangan dengan Friska, dan selang satu tahun setelahnya mereka pun menikah. Meskipun masih berusia 23 tahun saat itu, mereka merasa sudah mantap secara lahir dan batin untuk berumah tangga.

Kedua keluarga pun setuju. Mengingat hubungan antar keluarga juga terbilang cukup baik dan akrab kala itu, terlebih karena urusan di beberapa bisnis membuat orang tua mereka akhirnya memutuskan untuk bekerja sama. Ikatan semakin kuat. Pun harapan demi harapan mulai dituai untuk sepasang suami istri yang terbilang muda tersebut.

Friska keturunan ningrat dari keluarga yang cukup terhormat, terpandang dan segalanya. Faris pun begitu, ia pria yang tampan, cerdas, dan dari garis keturunan ningrat pula—berdasarkan silsilah keluarga. Banyak yang mengagumi hubungan keduanya. Mereka cocok, sangat serasi dan sepadan.

Friska membuka mata saat Faris tak henti mengganggunya. Ia mengukir senyum tipis saat pertama kali mengerjap, wajah sang suamilah yang pertama kali ia lihat. Sangat tampan dan mempesona, wajah bersih dengan aroma napas segar sudah seperti imun penyemangat paginya. 

Good morning, my love,” sapa Faris setelah satu kecupan ia daratkan di kening istrinya.

Friska tersenyum manis lalu melingkarkan tangan di leher suaminya. Menarik tubuh pria itu hingga posisi mereka saat ini sangatlah intim. Sebuah kebiasaan manis yang selalu dilakukan oleh mereka. Tertawa kecil, saling menjahili hingga keduanya terkekeh geli.

“Oh ya, tadi mama telpon, katanya sore ini kita diminta datang ke villa.” Friska mengikat rambut hitamnya lalu membuatkan teh hangat untuk ia dan suami nikmati di sofa kamar hotel.

“Ke villa? Tumben. Ada acara apa emang?” Faris mengernyit. Kemudian ia meraih secangkir teh buatan istrinya lalu menyesap dengan nikmat.

“Aku juga gak tau.” Friska duduk disebelahnya. “Biasanya, kalau ke villa itu ada Mbah Putri!” katanya dengan tatapan menerawang.

“Ohh.” Faris mendesis, “Terus, kita jadi ke obgyn gak nanti?” tanya Faris.

Setelah melalui perdebatan yang intens dan drama yang cukup panjang, Faris dan Friska akhirnya membuat janji temu dengan seorang dokter kandungan. Mengingat jadwal mereka yang selalu bertabrakan sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk berkonsultasi. Setelah melewati banyak tarik-ulur, akhirnya keduanya sepakat bahwa ini adalah saat yang tepat untuk bertemu dengan dokter kandungan.

Friska menaikkan kedua alis dan menghela napas pelan, “Hari ini aku masih capek banget sih, lusa aja kali ya? Soalnya ini juga udah mulai terasa nyeri perutnya. Bener-bener kayak lagi haid. Mungkin bentar lagi aku datang bulan.” 

Faris tersenyum manis sambil menaruh jemarinya di perut sang istri lalu berujar, “semoga beneran ada baby-nya!”

“Gimana bisa? orang hasil tes pack semalam aja garis satu!” timpal Friska dengan bibir yang mengerucut.

“Itu kan hasil dari benda doang. Kan banyak tuh katanya yang beneran hamil, tapi pas di tes pack hasilnya malah negatif. Nah, pas di USG malah positif. Siapa tau aja kalau kamu juga begitu.” Faris tersenyum hangat.

Istrinya mengesah lelah dengan tatapan yang gundah. “Nggak mungkin.”

“Kapan ya aku bisa hamil? Rasanya capek banget berperang sama pikiran sendiri kalo menjelang haid, dan harus mengumpulkan nyali saat mau tes kehamilan,” keluhnya lagi.

“Sabar dong, sayang. Kita kan lagi berusaha juga. Memang belum waktunya aja.” Faris merengkuh istrinya.

“Lebih ke capek sama omongan keluarga kamu sih, Ris! Apalagi mulutnya mama,” kata Friska yang akhirnya kembali kesal jika mengingat semua sikap mertuanya itu.

“Ya, aku paham, kok. Udah, gak usah hiraukan omongan mereka. Toh, ini kan rumah tangga kita. Pernikahan ini kita yang menjalani bukan mereka. Kita juga gak minta apa-apa sama orang tua!” ujar Faris.

“Iya tapi aku kesel aja. Aku ngerasa Mama kamu tuh berubah aja beberapa tahun kebelakang ini. Gara-gara aku gak hamil-hamil kali,” kata Friska dengan ekspresi kesal.

“Berubah gimana maksud kamu?” tanya Faris terheran.

“Beda aja. Gak kayak waktu kita pacaran dulu dan awal-awal nikah. Manissss banget! pas tau sampe sekarang kita belum punya anak, dia jadi lebih judes, jutek dan ketus aja kalau ngomong. Buktinya semalam dia sinis banget kan sama aku.” Friska menghela napas setelah meluapkan sebagian uneg-unegnya.

Faris tersenyum tipis dan mengusap kembali puncak kepala istrinya. Berusaha menenangkan.

“Mungkin aja Mamaku itu lagi banyak masalah. Apalagi kan Amara juga malah memutuskan pengen kerja di luar negeri. Jadi, Mama sama Papa banyak pikiran!” kata Faris dengan lembut.

“Amara mau kerja di luar negeri? kenapa emangnya?” tanya Friska yang terheran mendengar adik iparnya akan bekerja jauh.

Faris tertawa kecil dan berkata, “Udah cita-cita dia dari dulu! kan dari semenjak SMA aja si Amara tuh udah berani ninggalin rumah, cari sekolah yang jauh dan memilih nge-kost!” 

“Pantes aja,” gumam Friska. “Karena itu kali, Mama jadi makin kesepian. Udah mah belum punya cucu, anak bungsunya jarang ada di rumah.”

“Udah nggak apa-apa. Walaupun begitu, dia kan gak sendirian kok. Ada Papa, dan Mama juga punya kesibukan lain,” ucap Faris.

Friska hanya bergeming. Benaknya kembali teringat dengan suasana tadi malam. Mertuanya tampak asyik berkomunikasi bersama seorang wanita. 

“Mama tuh punya temen yang masih muda gitu ya, Ris?” tanya Friska tiba-tiba. 

Faris mengeryit dan menjawab, “Ibu-ibu muda gitu maksudnya?”

Friska terdiam sesaat. Lalu mengangguk pelan.

“Aku kurang tau sih. Emangnya kenapa?” tanya Faris lagi.

“Semalam aku lihat dia lagi video call gitu, sama cewek cantik.” Friska menatap sendu ke arah lain.

“Ohh, sama Amara kali!” Faris menebak asal.

Friska menggeleng tidak yakin. Menerawang ingatan dan merasa ada aneh.

“Bukan. Amara kan rambutnya pendek dan agak pirang. Cewek yang aku lihat itu rambutnya lurus panjang, hitam legam. Pokoknya bedalah sama Amara. Di tambah … ada anak kecil juga!” Friska menghela napas. Hatinya menjadi gusar.

Faris bergeming. Ia pun tidak bisa menebak terlalu jauh. Pasalnya ia tidak punya lagi sanak saudara wanita yang masih muda dan punya anak kecil. Teman-teman arisan atau rekan kerjanya pun rata-rata sudah berumur. Siapa kira-kira?

“Ah, mungkin anak kliennya kali. Gak usah dipikirin! Mama emang gitu orangnya, kadang tiba-tiba dia punya kenalan orang jauh. Gampang akrab juga kan sama orang asing!” Faris berusaha rasional.

Friska pun tak mau berpikir terlalu jauh, apalagi sampai mengarah ke yang tidak-tidak. Mungkin saja yang dikatakan oleh suaminya benar. Ia pun mengerti satu hal dengan sikap mertuanya, yaitu mudah akrab dan dekat.

Kemudian benak Friska kembali pada hal yang menjadi masalah yang sempat mengganjal saat ini.

“Perasaan aku juga jadi gak enak gini. Aku ngerasa, kedatangan Mbah Putri ke villa juga pasti menyangkut hal yang sama nih,” kata Friska.

“Maksudnya?” tanya Faris.

“Pasti mau bahas soal keturunan!” jawab Friska dengan ekspresi yang datar. Sementara Faris hanya terdiam dengan kedua alis yang terangkat.

Masalah yang sama selalu saja menjadi hal utama yang ada dalam benak keduanya. Selama bertahun-tahun menikah, dan pertanyaan soal anak mulai sering mereka dengar, membuat pertemuan dengan siapa pun justru menjadi momok yang mengerikan untuk sepasang suami istri itu.

Namun, apa yang bisa diperbuat selain harus tetap sabar dan pasrah. Sebanyak apa pun pertanyaan-pertanyaan itu, tetap tak akan pernah ada jawaban. Karena sejatinya anak adalah titipan dan rahasia Tuhan. Terkadang, mereka yang bertanya pun hanya sekedar berbasa-basi dan memang tak pernah sepeduli itu dengan perasaan orang.

“Jangan mikir kejauhan. Mungkin Mbah putri cuma kangen aja sama kamu.” Faris selalu menengahkan perasaan istrinya yang sedang gundah.

Lengang sejenak. Friska hanya terdiam dan mungkin merasa semua itu hanya pikiran buruknya saja.

“Ya udah, habis dari villa berarti kita jadi kan ke obgyn?” tanya Faris lagi, sebelum menjawab sebuah pesan dari salah satu staf rumah sakit yang tengah mengingatkan jadwal pertemuannya dengan dokter kandungan.

Friska mengangguk pelan dan tersenyum.

Di sebuah villa yang terletak dekat dengan pegunungan. Friska akhirnya tiba di tempat buyutnya. Sebuah komplek villa elite yang berdiri sejak jaman penjajahan Belanda hingga saat ini. Seorang wanita tua tampak tersenyum hangat menyambut kedatangan cucunya. Faris dan Friska mencium punggung tangan sang nenek yang juga mendekap penuh rindu pada mereka.

“Mbah Putri, gimana keadaannya?” tanya Friska sambil melingkarkan tangan di lengan wanita tua itu.

“Sehat, kalian gimana kabarnya? pasti masih terus sibuk sama pekerjaan kalian masing-masing, kan?” tanya wanita tua bernama Putri Ratna. Dia adalah nenek dari Friska. Biasa disebut dengan Mbah Putri.

Saat ini mereka sudah duduk di ruang tamu. Friska di sebelah neneknya, sedangkan Faris duduk berseberangan dengan mereka.

“Kalau soal itu sih udah pasti, Mbah.” Faris tersenyum lebar.

“Tapi, kamu gimana, Fris? masih sibuk di kantor kecil kamu itu?” tanya Mbah Putri.

Friska menatap singkat suaminya, lalu tersenyum menatap wajah wanita tua itu. Ia mengangguk dan berkata, “Masih, Mbah. Ya, walaupun kami sibuk, tapi kan gak pernah ngelupain kewajiban masing-masing, kok.”

Mbah Putri tersenyum tipis seraya menarik napas dalam-dalam.

“Kalian boleh bilang seperti itu karena belum punya anak. Friska, kenapa kamu gak tinggalkan saja pekerjaan kantor kecil kamu itu dan mengambil alih posisi ayahmu di perusahaan? Kamu kan pintar dan cerdas, pewaris tunggal. Kalau bukan kamu ya siapa lagi?” ujar wanita tua itu.

Friska dan Faris hanya termangu dengan ekspresi yang datar. Senyum hangat di wajah mereka kian memudar. Bukan hanya soal anak, Friska memang selalu dituntut untuk melanjutkan bisnis keluarga Wiratama Group secara turun temurun. Mengingat ia adalah putri tunggal dari pengusaha sukses dan terpandang bernama Raden Arya Wiratama dan Lisda Wiratama. Akan tetapi, ia selalu enggan dan memang tidak pernah berminat untuk berkecimpung di dunia bisnis. Walaupun milik keluarga sendiri. 

Namun, sebuah budaya turun temurun terkadang sangat sayang jika harus berhenti begitu saja. Di beberapa tempat, pewaris itu sangatlah penting demi untuk menyambung keturunan yang akan menjalankan bisnis keluarga itu, terlebih Wiratama Group sudah cukup besar dan sangat sukses. Sementara, di sini hanya Friska satu-satunya keturunan terakhir yang harusnya siap melanjutkan. Jika dia tidak bersedia, maka harus ada keturunannya yang siap menggantikan.

“Kan masih ada Om Kendrick, adiknya Papa. Bukankah sebagian besar sahamnya pun ada sama dia?” Friska menatap heran.

“Kendrick tidak bisa turut mewarisi perusahaan besar ini. Dia juga terlalu naif sampai tidak mau pulang!” Mbah Putri menghela napas. Seolah tak ada harapan atas nama itu.

“Lho, memangnya kenapa, Mbah? kalau tidak salah, dulu almarhum kakek sempat menulis nama dia di lembar wasiat keluarga?” tanya Friska penasaran. Sepertinya ada yang tidak beres dari salah satu keluarganya itu.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status