Share

Part 3. Dokter laki-laki?

“Dia punya pandangan sendiri dalam menjalani hidup. Lagipula, Kendrick tidak memiliki garis keturunan murni dari keluarga Wiratama.” Mbah Putri tersenyum tipis. Sementara Friska melebarkan mata.

“Apa? maksudnya gimana, Mbah?” Friska semakin penasaran.

“Kendrick anak dari istri kedua. Tapi, saat itu kami sempat keliru. Ternyata, dia bukan darah daging suamiku, melainkan anak kandung dari lelaki lain sebelum kakekmu. Walaupun namanya tertulis di surat wasiat, tetapi dia menolaknya mentah-mentah, memilih pergi dan meninggalkan semuanya di sini. Dia juga tidak ingin menikah,” jelas Mbah Putri.

Friska dan Faris termangu. Ini jelas rumit.

“Itulah, garis keturunan terakhir berarti ada padamu, Friska. Hanya kamu satu-satunya!” sambung Mbah Putri.

Terkesan rumit dan menyebalkan menurut Friska. Pasalnya bukan ia tidak tahu soal pentingnya sang pewaris, melainkan sejak kecil ia tidak pernah bercita-cita pun berminat dalam mengurus sebuah bisnis perusahaan. Baginya itu bidang yang sangat tidak menarik, ia lebih suka berkecimpung didunia seni. Sebab itu, Friska saat ini tengah sibuk mengembangkan sebuah PH (Production House) yang sudah berjalan kurang lebih 5 tahun. Ia pun bisa membeli sebuah rukan elite yang ada di tengah kota besar sebagai kantor PH-nya. Itulah yang selalu disebut-sebut sebagai ‘kantor kecil’ kata Mbah Putri.

Awalnya, Friska hanya fokus pada hobi menulis naskah novel. Namun, kemudian penerbit mulai memperhatikan dan tertarik. Novelnya menjadi best seller. Semakin banyak penggemar yang berharap cerita dalam novel-novel karya Friska diangkat menjadi film.

Terinspirasi oleh antusiasme penggemar, Friska memutuskan untuk mengembangkan cerita-cerita tersebut menjadi visualisasi dalam bentuk short movie. Ia memutuskan untuk mengunggah itu melalui Channel YouTube pribadinya. Memberikan kesempatan bagi para penggemar untuk menikmati visualisasi yang menakjubkan dari karya-karyanya.

Sebenarnya sudah banyak PH besar mengajaknya bekerja sama dalam pembuatan film layar lebar. Saat ini pun sedang tahap proses segala keperluannya. Sambil menunggu, Friska terus mengembangkan karya-karyanya menjadi short movie versi PH-nya sendiri. Mengikuti selera penggemar dalam memilih pemain yang akan memerankan tokoh kesukaan mereka. Dengan begitu, tak akan mengecewakan ekspektasi para penggemar novel-novelnya.

Ternyata karyanya itu mendapatkan apresiasi dari banyak kalangan. Ide cerita dan tulisan Friska banyak disukai. Jumlah subscribers-nya pun saat ini sudah di angka 8 juta lebih. Sejak itu, ia mencoba lebih serius dalam menjalani semuanya, mengumpulkan banyak tim kreatif dan lain-lain, sementara dirinya memegang posisi produser dan merangkap menjadi sutradara.

Jadwal syuting pun sangat padat, sudah seperti PH besar dan layar lebar. Ia sangat sibuk. Pun dengan suaminya yang berprofesi sebagai desain landscape yang berfokus pada penataan taman outdoor. Job yang diterima oleh Faris pun cukup besar dan padat. Bisnis konstruksinya itu sudah banyak mendapatkan penghargaan dan kepercayaan dalam menjalani proyek-proyek besar.

Faris sering mendapatkan klien dari luar kota maupun daerah. Sementara Friska selalu sibuk mengikuti jadwal syuting hingga dini hari atau bahkan sampai pagi. Karena itulah, banyak yang mengatakan bahwa sepasang suami istri yang terlalu idealis itu tak kunjung diberikan keturunan karena jarang memiliki waktu bersama untuk ‘bercocok tanam’.

Namun, bagi Faris dan Friska semua ucapan itu hanya seperti angin lalu. bagi mereka pertemuan dan kehangatan dalam pernikahannya masih terjalin begitu baik, sangat baik. Mereka cukup pandai mengatur waktu sepadat apa pun itu.

“Kalian itu terlalu sibuk!” Wanita tua itu berdiri menghadap sepasang suami istri yang masih bergeming. “Harus ada yang mengalah. Dan, itu lebih baik kamu, Friska.”

Friska menelan ludah. Sebal sekali kalau harus diatur-atur seperti itu.

“Mbah Putri, Faris tidak pernah keberatan kalau Friska bekerja. Kasian juga, dia sudah bersusah payah membangun karir dan cita-citanya selama ini. Masa tiba-tiba harus ditinggalin gitu aja. Kalau masalah keturunan, kita juga sedang berusaha.” Faris berkomentar. Tumben sekali pria itu berani menyuarakan pendapat di depan wanita tua itu.

Mbah Putri tersenyum tipis. Ia menatap lekat wajah cucu-cucunya.

“Kalau bicara soal susah payah membangun karir dan cita-cita, maka saya juga bisa katakan hal yang sama. Friska bisa seperti ini berasal dari jerih payah kami di masa lalu. Nama besar, bisnis turun temurun, sudah setengah abad lebih bisnis itu terus berkembang. Saya hanya khawatir, kalau Friska tidak mau menggantikan posisi orang tuanya, lantas apakah kami harus menyerahkan perusahaan itu pada orang lain?” tanya Mbah Putri itu.

Friska menarik napas dalam dan mencoba tersenyum tenang. Ia paham sejak awal apa tujuan neneknya ingin bertemu.

“Mbah, Friska ngerti, kok. Soal bisnis dan perusahaan, biar nanti Friska sama Papa dan Mama aja yang bahas lagi ya.” Friska beranjak melangkah ke arah sang nenek dan merangkul hangat.

“Semua akan baik-baik saja, Mbah Putri. Bisnis turun temurun, nama besar, dan pewaris semua sudah kami pikirkan kedepannya. Doakan saja, semoga secepatnya Mbah Putri punya cicit.” Friska tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana yang semula sangat tegang.

Wanita tua itu pun tersenyum hangat.

“Mbah tidak memaksa kalau kamu mau terus bekerja. Tetapi, berdasarkan pengalaman dan tradisi jaman dulu, seorang perempuan yang sedang berjuang untuk hamil, alangkah baiknya untuk berdiam saja di rumah. Kesibukan kamu itu siapa tau saja salah satu yang membuat kamu itu stress dan kurang subur, Nak. Hanya saja jaman sekarang dan dulu itu sudah berbeda.” Mbah Putri menatap dengan senyuman getir ke arah depan.

“Tapi tak apa. Lakukan saja apa yang menurut kalian baik. Tapi sesekali coba pertimbangkan ucapan Mbah ya, Nak. Ini juga demi masa depan kalian,” sambungnya.

Setelah pertemuan dengan wanita tua itu. Friska dan Faris hanya terdiam sepanjang perjalanan. Sibuk dengan benaknya masing-masing, atau lebih tepatnya sedang unmood jika habis bertemu dengan yang dituakan dan membahas topik sama dan sangat menyebalkan. Bagaimanapun, mereka tetap harus bersikap baik dan patuh. Sebisa mungkin memilah kata-kata yang pas untuk bisa menenangkan hati orang tua agar tak begitu mencemaskan.

“Aku harus ketemu sama Om Kendrick. Harusnya dia bisa bantuin Papa ngurus bisnis keluarga!” seru Friska.

“Tapi gimana caranya? kita kan sibuk. Om Kendrick juga pasti sibuk. Lagian buat apa juga ketemu sama dia?” tanya Faris.

“Buat ngebujuk dia!” balas Friska. “Kalau dia gak pernah balik ke sini. Yang ada kita selalu dituntut terus sama Mbah Putri. Lagian, siapa tau aja Om Kendrick di sana udah nikah dan punya anak. Setidaknya ada pewaris lain selain aku!” Friska berujar kesal.

“Tapi kata Mbah Putri kan udah jelas. Kalau Om Kendrick bukan keturunan asli leluhur kalian. Ibaratnya ya cuma anak tiri. Sementara yang diwajibkan untuk melanjutkan perusahaan itu harus keturunan Wiratama.” Faris berkata santai.

Friska mendengkus lelah. “Di surat wasiat jelas ada nama Om Kendrick. Kakek sendiri yang tulis. Artinya, dia juga di kasih kepercayaan dan wewenang untuk perusahaan turun temurun itu!”

“Cuma di kasih kepercayaan, tapi gak wajib!” balas Faris.

Friska membuang pandangan. Tak mau lagi berdebat. Kepalanya mulai berdenyut-denyut. Ada banyak yang jauh lebih penting dibandingkan harus berseteru soal pewaris keluarga.

Mobil mereka mulai memasuki kawasan kota. Faris berbelok ke arah selatan hendak menuju rumah sakit. Sementara istrinya masih terdiam dengan tatapan kosong ke arah jendela kaca mobil.

Faris berdeham kecil.

“Kayaknya agak telat deh kita.” Faris menginjak pedal rem saat lalu lintas di depan mulai padat dan macet. “Kasian dokternya nungguin.”

Friska mengerjapkan mata dan menghela napas. Menatap dengan senyuman simpul di wajah. Masih tak memberi komentar apa-apa pada ucapan suaminya.

Suara dering ponsel berbunyi. Friska merogoh ponsel dan melihat nama pemanggil di layarnya.

Vika asst calling...

Asisten produsernya menelepon.

“Ya, Vik. Kenapa? Oh, emangnya Pak Benno gak bisa handle dulu? Hm, oke-oke. Aku ke sana deh!”

Panggilan berakhir.

Faris menaikkan alis dan bertanya. “Ada masalah, kah?”

Friska mengesah lelah. Kembali menyandarkan punggung di kursi.

“Gak ada yang bisa handle aku di lokasi. Pak Benno, sutradara 2 itu kecelakaan.” Friska menarik napas lagi. “Kita puter balik, yuk. Antar aku ke lokasi!”

“Lho, terus ke dokternya gimana?” tanya Faris.

“Cancel aja. Bisa nanti-nanti itu mah,” jawab Friska cepat.

Faris mengernyit dan membalas, “tapi rumah sakitnya udah didepan tuh. Sebentar aja gak apa-apa kali, Fris?”

“Duh, aku udah badmood duluan nih ke dokter juga.” Friska menunduk lesu. Antara bimbang dan gusar.

“Udah, kita ke dokter dulu aja, terus langsung ngebut ke lokasi kamu, bentaran kok, kan kita cuma konsul dulu!” Faris terus membujuk sang istri. Pikirnya kapan lagi bisa memiliki waktu lengang untuk bisa berkonsultasi dengan seorang dokter kandungan ditengah-tengah kesibukan mereka.

Friska tampak menimbang-nimbang. Ia pun sebenarnya penasaran dengan kondisi kesehatannya. Terutama masalah kesehatan rahim. Benaknya sudah lelah bertanya-tanya mengapa hingga 8 tahun menikah masih tak kunjung hamil.

“Oke, deh.”

Walaupun takut, tapi rasa penasaran terus mendominasi. Kemudian ia mengirimkan sebuah pesan pada asistennya, memberitahukan kalau ia telat datang ke lokasi karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan.

***

Mobil kini memasuki area parkir di basement rumah sakit. Faris sedari tadi sudah ditelepon oleh asisten dokter kandungan. Mengingat jadwal kunjungan sudah telat hampir satu jam. Lalu, mereka menaiki lantai dua di mana ruang poli dokter kandungan berada. Setelah menghampiri meja resepsionis, Faris dan Friska diarahkan untuk menunggu di kursi depan ruangan dokter. Mengingat mereka terlambat, akhirnya harus didahului oleh pasien lain sesuai peraturan.

Mereka saat ini duduk di kursi tunggu tepat di depan ruangan dokter yang pintunya bertuliskan:

dr. Zafriel Adiningrat, Sp.OG,. M.Kes

Faris membaca nama dokter yang mengisi ruangan itu. Meskipun ini yang sangat diinginkannya yaitu dapat kesempatan setelah sekian tahun untuk bertemu dokter kandungan, tetapi ia melupakan satu hal.

Itu dokternya laki-laki?

Faris tiba-tiba resah dan gugup sendiri. Ia menoleh pada istrinya yang tampak sibuk dengan ponsel. Ia tahu, Friska pasti sedang mengatur arahan pada tim PH-nya di lokasi syuting. Wajahnya pun terlihat gusar karena soal pekerjaan, sedangkan Faris terlihat gundah. Merasa menyesal mengapa tidak menanyakan terlebih dahulu pada staf perawat mengenai dokter yang telah ia pilih itu.

Selama ini pikirnya, yang menangani kasus-kasus kehamilan pasti didominasi oleh dokter perempuan. Karena sepengetahuannya bidang itu pasti berkaitan dengan kebidanan—yang mana memang semuanya adalah wanita.

“Tapi ... ini nama dokternya kok laki-laki, sih?” gumam Faris. Tak lama pintu itu terbuka dan sepasang suami istri keluar dari ruangan itu sembari tersenyum-senyum. Istrinya mengusap perut yang mulai membesar.

Pikirannya mulai menjalar jauh. Membayangkan apa yang dilakukan dokter itu pada pasien wanitanya?

“Kenapa?” tanya Friska yang baru menyadari suaminya tengah resah.

“Itu ... dokternya malah cowok!” katanya dengan datar.

Friska menautkan alis dan berkata, “Emang kenapa kalau cowok?”

Faris terdiam, belum sempat menjawab seorang perawat dari dalam ruangan itu membuka pintu dan memanggil nama pasien berikutnya.

“Nyonya Friska Wiratama.”

Deg! Sekarang tiba giliran mereka untuk masuk. Friska beranjak masuk ke ruangan tersebut. Sedangkan Faris masih bergeming dengan ekspresi yang sulit untuk diungkapkan.

Apa puter balik aja kali ya? ganti dokter! Faris mendadak berubah pikiran.

Friska menghentikan langkah dan menoleh ke arah suaminya yang masih mematung dengan ekspresi gelisah di belakang sana.

“Ris, ayo!” kata Friska sembari mengedikkan dagu ke arah ruangan di depannya. Sementara Faris hanya bisa menelan ludah dan berkali-kali menarik napas untuk mendapatkan ketenangan dan mengusir semua pikiran negatif.

Akhirnya, Faris pun memasuki ruangan dokter itu. Dua orang perawat menyapa dengan ramah pasiennya, mempersilakan untuk duduk di sebuah kursi yang berseberangan dengan kursi dokter. Friska masih sibuk dengan ponselnya. Pandangan pria itu mengedar ke segala arah, memperhatikan dengan saksama seluruh yang ada di ruangan itu. Asisten dokter tampak sedang sibuk mempersiapkan alat-alat untuk pemeriksaan.

Kemudian pandangan matanya menoleh ke arah kanan, tepatnya ke sebuah wastafel. Terdapat seorang pria bertubuh tinggi tegap, lengkap dengan setelan gaun APD berwarna biru tua sedang mencuci tangan.

Mungkin itu dokternya?

Tidak lama kemudian, pria bertubuh tinggi tegap itu berbalik badan dan melangkah ke arah meja dokter seraya tersenyum dan menyambut hangat kedatangan pasiennya.

“Selamat malam.” Dokter lelaki yang berparas menawan itu pun menyunggingkan senyuman lalu duduk di kursi.

“Malam.” Faris tersenyum tipis, sesaat menilik ke arah istrinya yang ternyata masih sibuk dengan ponselnya. Ia menyikut pelan lengan Friska memberikan kode untuk menyudahi sejenak aktivitas di ponsel.

Friska pun terkesiap dan menoleh cepat ke arah suaminya, terdiam lalu tersadar bahwa di hadapannya sudah ada seorang dokter yang sedang membaca rekam medis. Membaca beberapa pemeriksaan dasar dari pasien sebelum bertemu dengan dokter.

Matanya menyipit dan menatap lamat-lamat dokter dihadapannya. Tak lama dokter itu pun mengangkat wajah lalu tersenyum.

“Zafriel!” seru Friska dengan ekspresi tertegun. Membuat suaminya menoleh cepat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status